Halaqah Paralel
Halaqah Paralel adalah rangkaian proses proses forum dialog dengan 21 tema yang berbeda yang diikuti oleh seluruh peserta KUPI 2 sesuai minat masing-masing yang berlangsung pada hari Jumat, 25 November 2023 di kompleks PP. Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara. Halaqah paralel ini bekerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah, Organisasi kemasyarakatan, NGO dan lembaga-lembaga terkait lainnya.
Pra Musyawarah Keagamaan tentang Pengelolaan Sampah bagi Keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Perempuan
Ibu Nyai Thoaitilah membuka dengan pembacaan tawasul dan dilanjutkan oleh moderator dengan pemaparan rangkaian agenda diskusi. Narasumber memberikan penjelasan bagaimana pengalamannya mengenai pengelolaan sampah, Bapak Wahyudi, demikian biasa dipanggil adalah sosok kepala desa Panggungharjo yang berhasil membuat gerakan di desanya. Desa pertama di Indonesia yang mengembangkan program perlindungan sosial secara mandiri sejak tahun 2013. Pengembangan berbagai program perlindungan sosial untuk masyarakat rentan dengan beberapa skema yang dilakukan di desa itu menjadi pengetahuan atas respon persoalan sampah.
Para peserta dibawa untuk melihat aksi-aksi solutif yang dilakukan oleh Bapak Wahyudi. Desa Panggungharjo telah memiliki rumah sehat sederhana dan disewakan kepada para warga desa dengan sistem yang dibuat sekaligus menjadi sebuah program edukasi dalam pengelolaan keuangan keluarga yang berawal dari sampah.
Strategi utama untuk menyelesaikan permasalah sampah ini ditopang oleh beberapa prinsip dasar. Yang pertama adalah terkait dengan pemberlakuan kebijakan tarif layanan yang proporsional, misalnya, semakin banyak membuang sampah maka semakin banyak membayar. Prinsip dasar yang kedua adalah mengolah sampah menjadi intermediate product yang menopang industri-industri lanjutan. Prinsip dasarnya sama, ketika sampah sudah terpilah, maka menjadi komoditas yang dapat dijual belikan. Prinsip dasar yang ketiga adalah manajemen berbasis data agar dapat mengetahui warga mana yang perilakunya belum berubah.
Untuk menyelesaikan persoalan sampah tanpa TPA (Tempat Pembuangan Akhir) membutuhkan berbagai macam infrastruktur, mulai dari politik berupa kebijakan regulasi dan lain-lain yang berupa pemerintah, infrastruktur sosial berupa bank sampah. Bank sampah yang dimaksud bukanlah sistem bisnis, namun sebuah sistem sosial. Karena itu jangan berharap ada aktivitas ekonomi di bank sampah karena soalnya terlalu kecil. Bahkan sebelumnya tanpa bangunan pun aktivitas pengelolaan sampah dapat berjalan karena hanya fokus pada pengambilan sampah di masing-masing rumah tangga, pemilahan dan penjualan. Yang didorong adalah gotong royong dan sukarela. Begitu juga infrastruktur ekonomi atau lembaga ekonomi yang menopang atau melakukan pendekatan-pendekatan ekonomi untuk menjamin keberlanjutan gerakan perubahan ini secara ekonomi.
Beberapa pertanyaan yang muncul dalam diskusi diantaranya yaitu dari Ibu Nyai Durotul Yatimah dari Pesantren. Al-In’am, Sumenep, Madura yang bertanya, bagaimana mengintegrasikan pendidikan ekologi dalam kurikulum pesantren dan sekolah dan menyadarkan stakeholder akan pentingnya pengelolaan sampah?. Dan pertanyaannya yang kedua, bagaimana meminimalisir sampah ketika yang paling banyak menjadi produsen sampah terbesar adalah perempuan?
Pertanyaan disambung oleh Ibu Zaimah dari Institut Agama Islam Negeri Kudus yang menanyakan tiga hal yakni; 1) Apakah di Desa Panggungharjo warga dididik untuk meminimalisir sampah? 2) Bagaimana cara untuk menduplikasi sistem yang diterapkan di Desa Panggungharjo di ranah pesantren dengan cara yang lebih sederhana? 3) Apa masalah yang paling banyak muncul saat memulai gerakan ini dan bagaimana menanggulanginya?
Semua persoalan yang ditanyakan sangat peserta diskusi merepresentasikan peserta yang turut hadir menyimak pemaparan dari narasumber sejak awal. Kemudian Narasumber menjawab dengan tegas bahwa jika pemerintah tidak punya komitmen kuat untuk mendorong perubahan itu, sampai kapan pun tidak akan tercapai. Permasalah ini sesungguhnya terkait dengan isu polusi. Jika dilihat dengan rantai nilai, yang terdiri dari hulu, tengah dan hilir, pemerintah setiap tahunnya mengeluarkan 25 milyar hanya untuk mengurusi masalah tengah yang meliputi kontrak pengangkutan, solar, membayar pegawai yang mengangkut sampah, namun tidak ada upaya mendorong sisi pelaku maupun pemanfaatan di ranah hilir. Perubahan dimulai dari diri kita sendiri untuk meminimalisir sampah. Jika belum bisa meminimalisir sampah, maka lakukan perubahan di pemanfaatan sampah dengan memilah sampah dan tidak memerlukan alat-alat untuk memilah sampah yang harus ditunjang oleh teknologi. Karena itu, pendekatan teknologi menjadi infrastruktur terakhir yang harus dilengkapi karena sifatnya hanya untuk meningkatkan efisiensi atas sebuah proses yang dapat dilakukan secara manual. Pemanfaatan sampah ini jangan sekali-sekali dianggap sebagai bisnis, namun gunakan ini sebagai aksi sosial.
Forum diskusi berjalan kondusif dengan representasi peserta dari unsur pesantren, majlis taklim, perguruan tinggi, pimpinan ormas agama dan aktivis. Tantangan-tantangan yang dihadapi peserta dalam ruangan KUPI sebagai gerakan, perlu membangun serta memastikan meningkatnya kesadaran masyarakat atas perlindungan pada perempuan dan keselamatan makhluk hidup dengan pengelolaan sampah secara bijak.
Pada penutupnya disampaikan bahwa persoalan-persoalan yang lebih khusus tentang pengelolaan sampah dan keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan dibahas di forum musyawarah keagamaan. Pertanyaan-pertanyaan yang masih menjadi perhatian dan dibutuhkan diskusi yang lebih mendalam; Mengapa perempuan menjadi penghasil sampah terbesar? Adakah kaitannya dengan relasi Mubadalah dalam sektor domestik di dalam keluarga? Bagaimana pengelolaan sampah di dalam keluarga? Bagaimana pengelolaan makanan di dalam keluarga, apakah sudah melibatkan semua pihak di dalam keluarga sehingga tidak ada lagi pernyataan bahwa membuang sampah terbesar adalah perempuan. Bisa jadi perempuan hanya agent dalam keluarga yang ditugaskan untuk membuang sampah, sehingga akan muncul pertanyaan mengapa hanya perempuan yang membuang sampah?
Begitu juga dengan produksi sampah yang khas diproduksi oleh perempuan dalam kaitannya dengan reproduksi, apakah betul-betul itu hanya tanggung jawab perempuan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab di musyawarah keagamaan dan mudah-mudahan akan menghasilkan fatwa yang tidak hanya membebankan persoalan sampah kepada satu pihak saja. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Pra Musyawarah Keagamaan tentang Peran Perempuan dalam Melindungi NKRI dari Bahaya Ekstremisme Beragama
Merawat negara adalah kewajiban setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan. Menanamkan nilai-nilai kebangsaan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada generasi yang akan datang adalah salah satu cara untuk menjaga persatuan, menjaga nilai-nilai kebangsaan yang tertuang pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) Tahun 2021 yang dirilis oleh Setara Institut menyoroti tren penyeragaman di masyarakat yang semakin memperkuat intoleransi.
Ekstremisme berbasis agama merupakan fakta yang mencederai empat pilar kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Esensi nilai dasar negara dalam Pancasila mengamanatkan prinsip kebangsaan yang berlandaskan pada nilai religius ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai keadilan, nilai keadaban, dan nilai demokrasi. Sementara itu, visi gerakan ekstremisme berbasis agama yang cenderung mengarah pada perubahan pilar kebangsaan Indonesia semestinya harus dicegah.
Nilai-nilai kebangsaan inilah sebagai pendekatan dalam mendalami fenomena ekstremisme. Ekstremisme merupakan momok masyarakat dan musuh bangsa sehingga perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat bangsa. Istilah ekstremisme kekerasan kerap kali digunakan bergantian dengan terorisme.
Merujuk pada pernyataan al-Qur’an, hadis, pendapat ulama dan penegasan UU yang berlaku, maka segala hal yang menghambat kekokohan negara dengan menanamkan nilai kebangsaan dan mencegah segala bentuk tindakan ekstremisme harus dihilangkan. Hal ini menjadi kewajiban seluruh warga negara baik laki-laki dan perempuan serta semua lapisan, mulai lingkup terkecil seperti keluarga sampai tingkat negara.
Sepanjang sejarah pergerakan perempuan Indonesia, nilai-nilai Pancasila ikut mempengaruhi pembentukan identitas perempuan Indonesia. Jika membaca kembali sejarah gerakan perempuan, sesungguhnya perempuan Indonesia sudah lama berkontribusi dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Salah satu momentumnya adalah Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928.
Dalam kaitannya dengan pencegahan ekstremisme beragama, peran penting ulama perempuan menjadi sangat krusial dalam memberikan pemahaman terhadap narasi-narasi keagamaan yang terkait dengan fiqh jihad.
Pada tanggal 25 November 2022 dalam Halaqah paralel, forum dibuka oleh Siti Rofi’ah dengan bertawassul kepada para ulama dan para pejuang KUPI yang telah mendahului kita semua. Selanjutnya diberikan kepada moderator acara yaitu Kamilia Hamidah.
Kamilia Hamidah memberi pengantar terkait mengapa KUPI penting mengangkat isu peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama. Peran perempuan masih kurang maksimal dalam pencegahan ekstrimisme, sebelum KUPI proses pembahasan isu ini telah melalui perjalanan panjang melalui berbagai Halaqah, baik regional maupun nasional. Selanjutnya kesempatan diberikan kepada narasumber masing-masing 10 menit. Poin-poin kunci yang disampaikan adalah ekstrimisme selalu dipertentangkan dan tidak ada definisi pasti terkait istilah itu, ekstremisme bisa jadi sangat subjektif dan memiliki bagasi politik tertentu terkait bagaimana negara menerjemahkan. Peran negara dan bagaimana mengartikulasikan istilah ekstremisme ini juga tergantung pada suatu kondisi khusus. Negara bisa jadi akan mengeluarkan pandangan karena misi pertaruhan perebutan kekuasaan. Ekstremisme agama di Indonesia juga sangat dipengaruhi olehnya. Ekstrimisme bisa dilihat dan diidentifikasi, karena seseorang yang terpapar paham ekstrimisme akan mengalami atau melewati proses radikalisasi seperti keyakinan boleh mendominasi orang lain, internalisasi intoleransi, keengganan berkomunikasi dan berelasi dengan orang yang berbeda cara pandang keagamaan dan agama, menyetujui penggunaan kekerasan sebagai alat politik, dan keterlibatan perempuan digunakan sebagai pengalih, mereka akan lebih luput dilihat dari aparat keamanan, karena perempuan dinilai lebih tidak mungkin untuk melakukan kekerasan / ekstremisme.
Komnas Perempuan sebagai lembaga nasional: Pendidikan public, memastikan dukungan dan edukasi terhadap public yang kemudian dirumuskan dalam rekomendasi kebijakan. Ruang kerjasama salah satunya adalah perumusan fatwa. Membangun sistem pemulihan bagi setiap yang terlibat dan menjadi bagian dari ekosistem ini.
Kekerasan atas nama agama mengancam esensi negara. Mengarah pada penghancuran pilar kebangsaan. Sesi dilanjutkan dengan diskusi peserta dan narasumber. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Pra Musyawarah Keagamaan tentang Perlindungan Perempuan dari Pemaksaan Perkawinan
Pada Halaqah tematik pra musyawarah keagamaan dimulai pukul 13.00-14.45 di ruang pertemuan Joglo 3. Diawali dengan alasan kenapa kawin paksa diangkat dalam musyawarah keagamaan, proses yang sudah dilakukan hingga pra musyawarah. Tim penanggung jawab komunitas yang terdiri dari Nurun Sariyah, Khotimatul Husna, dan Arifah Millati, memaparkan draft hasil musyawarah keagamaan yang sudah dilakukan sebelumnya. Terdapat beberapa masukan terkait dengan data, dalil, dan klarifikasi pada sejumlah informasi yang dirasa masih kurang. Beberapa masukan dari peserta dalam Halaqah tematik Pra Musyawarah Keagamaan tentang Pemaksaan Perkawinan. diantaranya:
- Pelurusan salah satu istilah budaya sasak yaitu Pruse, adalah istilah untuk seseorang yang berstatus sepupu dari jalur ayah, seseorang boleh mengangkat secara paksa sepupu dari ayah yang lebih diutamakan daripada dari jalur ibu
- Namun yang perlu diperhatikan Kembali adalah, saat ini Pemaksaan justru muncul dari anak kepada orang tuanya (anak memaksa ortu untuk menikahkan dengan seorang pria)
- Menambahkan data perkawinan paksa, di Bondowoso terdapat adat seorang A ditunangkan dengan B, masih berstatus tunangan setelah itu B diajak berhari2 ke ortunya untuk dikenalkan yang pada akhirnya muncul prasangka negative tetangga sampai muncul ungkapan “kenapa tidak nikah saja “ sehingga perkawinan juga harus segera dilaksanakan
- Fatwa KUPI sangatlah penting , maka harus menjadi pegangan semua ulama di Indonesia, karena masih banyak tokoh atau pemuka agama yang belum teredukasi soal bahaya Pemaksaan perkawinan. Dalam hal ini terdapat kasus, perempuan dilamar laki-laki dan perempuan tersebut menolak, , tidak diam di situ, pihak laki-laki mendatangkan ustadz untuk memberikan pandangan kepada perempuan dengan dasar dalil agama agar perempuan tersebut mau, dalil agama yang digunakan misalnya (kalau menolak 3 kali laki-laki soleh akan dapat petaka)
Religious leader dan community leader harus memiliki POWER untuk bersama sama memberikan edukasi kepada anak tentang Kespro
Perlu mengedukasi masyarakat, menjelaskan Hukum Islam kepada masyarakat atas bahaya dari dampak melakukan pemaksaan perkawinan
Di Sumedang dan Bandung perkawinan dini yang berawal dari kawin paksa sangat banyak terjadi, namun yang lebih membahayakan sebenarnya adalah anak anak tidak mengetahui bahaya reproduksi sehingga memaksa orang tua untuk dinikahkan , keheranan saya bertambah saat pihak KUA justru terkadang memberikan solusi agar seseorang bisa menikah dengan mudah walaupun usia perkawinan mempelai sebenarnya masih kurang
Wajib melakukan perlindungan kepada perempuan dalam bahaya perkawinan, ditemukan kasus pemaksaan perkawinan kepada anak di Lombok dan Sukabumi, dan Ketika terjadi kezaliman dalam perkawinan perempuan masih belum mendapatkan keadilan bahkan di hadapan hakim
UU Perlindungan anak pasal 81 ayat 1, sudah jelas bahwa “ setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain , dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300jt dan paling sedikit 60 jt
Stop media yang romantis pernikahan, seringkali media mempertontonkan keromantisan artis setelah menikah, bahwa menikah hanya soal bersenang-senang, bahwa pernikahan adalah solusi dari berbagai kesulitan, bahwa menikah adalah hanya soal bertamasya ke Luar Negeri dll
Term pemaksaan bentuknya bermacam-macam, ada pemaksaan yang bersumber dari orang tua, ada yang dari anak, namun juga ada pemaksaan bersumber dari Masyarakat, sehingga harus dipertegas siapa yang melakukan PEMAKSAAN? bagi seseorang, terutama yang berada di lingkungan patriarkhis, missal dengan predikat perawan tua, susah jodoh dll. Dikalangan Masyarakat Madura masih ada seseorang yang di ritual dalam bentuk disiram air dengan tujuan agar penghambat susah dapat jodoh hilang
Problem Dualisme Hukum di Indonesia juga menjadi satu masalah, Masyarakat a lebih percaya agama dari pada hukum konstitusi, oleh sebab itu KUPI menggunakan Konstitusi sebagai dasar hukum
Dispensasi nikah atas pengajuan nikah dini yang merupakan bentukan dari pemaksaan perkawinan, banyak diterima atau dikabulkan oleh hakim , karena hakim takut ancaman masyarakat
Tafsir agama banyak dipersoalkan, mayoritas kitab fiqih menyatakan boleh mengawinkan anak laki-laki atau perempuan walau filmahdi (di ayunan ibu) , oleh sebab itu cara pandang yang ke fikih-fikihan harus diubah. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Pra Musyawarah Keagamaan tentang Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Kehamilan akibat Perkosaan
Deskripsi......
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Pra Musyawarah Keagamaan tentang Perlindungan Perempuan dari Bahaya Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan Tanpa Alasan Medis
Deskripsi......
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Perlindungan Hak-Hak Difabel dan Lansia oleh Negara dan Masyarakat
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pada awalnya merupakan kegiatan sebuah kongres, dalam perjalannya menjadi gerakan yang menghimpun individu dan lembaga yang meyakini bahwa nilai-nilai keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan dengan pendekatan keadilan hakiki berdasarkan nash-nash atau teks-teks keagamaan Islam yang rahmatan lil alamin. Dalam perjalanan 5 (lima) tahun sejak tahun 2017, KUPI merupakan ruang perjumpaan antar Ulama Perempuan Indonesia dari beragam latar belakang pendidikan dan organisasi yang bersifat non partisan, inklusif, partisipatoris, lintas organisasi, lintas generasi, lintas latar belakang sosial dan pendidikan. Oleh karena itu, sebagai gerakan yang mengusung nilai yang inklusif, KUPI memandang penting dalam membahas perlindungan hak difabel dan lansia oleh negara maupun masyarakat yang sampai saat ini hak-hak mereka masih terpinggirkan, baik dalam keterlibatannya di ruang-ruang pengambilan keputusan maupun fasilitas umum yang masih tidak ramah terhadap kelompok difabel dan lansia.
Kegiatan pararel ini dihadiri oleh peserta KUPI 2 dengan berbagai latar belakang, yakni aktivis, akademisi, organisasi masyarakat, dan lain-lain. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Nurul Saadah Andriani yang menyampaikan tinjauan kritis terhadap UUD perkawinan terkait kebolehan poligami atau pengajuan perceraian bagi suami yang memiliki istri disabilitas. Kemudian yang kedua Zakia yang menyampaikan materi kebutuhan dan akomodasi yang layak difabel kekerasan disabilitas dan anak. Ketigan Bahrul Fuad yang menyampaikan materi tentang perlindungan hukum dan perlindungan anak perempuan disabilitas dalam perkawinan. Keempat Anirotul Munawaroh M.SI yang menyampaikan pandangan Islam terhadap poligami, atau pengajuan perceraian bagi suami yang memiliki istri disabilitas. Moderator dalam kegiatan ini adalah M Ghufran Kordi K.
Nurul Saadah menyampaikan materinya, Nurul merupakan aktivis di Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda) Yogyakarta. Nurul mengawali materi tentang definisi difabel, kemudian membahas stigma yang dialami perempuan difabel di keluarganya. Menurut Nurul, perempuan difabel kerap distigma akan melahirkan anak difabel juga, tidak bisa diandalkan dalam urusan rumah tangga baik domestik maupun dalam memberikan pelayanan kepada keluarga, dan tidak bisa berkontribusi dalam keuangan. Nurul kemudian melanjutkan bahwa stigma yang dialami perempuan disabilitas juga termasuk dalam regulasi, dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 4, hakim mengizinkan suami melakukan poligami jika istri terdapat cacat yang tidak bisa disembuhkan. Nurul juga pernah mendampingi perempuan disabilitas yang ditelantarkan oleh suaminya karena dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual suami.
Narasumber kedua, Zakia merupakan aktivis dari Yayasan pergerakan difabel Indonesia yang berbasis di Makassar. Zakia mengawali pembicaraan dengan menceritakan pengalaman proses pendampingan kepada korban kekerasan seksual yang dialami disabilitas perempuan. Proses pendampingan dilakukan cukup lama karena keterbatasan fasilitas penegak hukum untuk kelompok disabilitas dan dari disabilitasnya itu sendiri yang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Zakia juga menyampaikan pengalamannya dalam mengadvokasi kasus kekerasan seksual yang dialami disabilitas perempuan dengan berbagai hambatannya. Selain mengadvokasi, Zakia melakukan pendampingan psikologi, dan pendidikan pemberdayaan perempuan disabilitas.
Kemudian Bahrul Fuad menyampaikan konstruksi sosial yang dialami oleh disabilitas dan lansia. Fuad menyampaikan bahwa konstruksi sosial mempengaruhi kebijakan yang ada dan berdampak kepada kelompok disabilitas dan lansia yang terpinggirkan. Selain itu, tafsir-tafsir teks agama yang bias terhadap kelompok disabilitas juga turut mempengaruhi terjadinya diskriminasi, salah satunya ayat poligami yang diturunkan menjadi regulasi boleh poligami apabila memiliki pasangan disabilitas. Bahrul Fuad juga menyampaikan temuan-temuan Komnas Perempuan terkait kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan disabilitas. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Kepemimpinan Perempuan di Akar Rumput/Komunitas; Pengalaman Kerja-kerja Jaringan KUPI
Ulama perempuan sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat dapat membagikan kisahnya kepada para peserta di dalam perhelatan KUPI 2, terkait upaya-upaya yang telah mereka lakukan di akar rumput. Peserta mendapatkan inspirasi maupun strategi dalam melakukan pengorganisasian di akar rumput. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 48 peserta dari beragam latar belakang seperti aktivis perempuan, akademisi, media, ormas, dan lain-lain. Adapun narasumber yang hadir dalam kegiatan ini yakni Ida Nurhalida asal Tasikmalaya, Ratna Ulfah dari Purworejo, Raudlatun asal Sumenep, dan Ibu Siti Latifah asal Ledokombo, serta fasilitatornya adalah Bapak Kiai Helmy Ali.
Ratna Ulfah asal Purworejo Jawa Tengah. Ratna adalah seorang pemimpin komunitas Majelis Taklim Ar-Rohmah yang beranggotakan perempuan kepala keluarga. Ia mendirikan majelis taklim ini pada 2018 dengan tujuan untuk menguatkan perempuan single parent dari segi ekonomi. Melalui majelis taklim itulah Ratna melakukan pendampingan kepada anggotanya, seperti penguatan motivasi kepribadian, infaq produktif, pendampingan dalam dukungan usaha, dan lain-lain. Terkait dengan dukungan usaha tersebut, Ratna mengungkapkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari We Lead melalui Rahima, yakni respond grants yang diberikan saat pandemi Covid-19. Dukungan tersebut merupakan bantuan modal bagi anggota Majelis Taklim Ar-Rohmah, sebesar Rp 400.000 kepada 12 orang anggota. Para anggotanya tersebut memiliki berbagai usaha, seperti jualan beras, dawet, makanan, pulsa, dan lain-lain. Melalui dukungan tersebut, para anggota mendapatkan keuntungan. Dari 2,5% laba yang diperoleh itulah, Ibu Ratna bersama anggota komunitasnya memutar profitnya dan menyalurkan kembali dukungan usaha kepada anggota lainnya yang belum sempat mendapatkan dukungan modal usaha.
Bagi Ratna, menjadi pemimpin komunitas perempuan kepala keluarga mengalami berbagai kendala dan tantangan. Masih kuatnya stigma buruk terhadap janda, mengeksiskan status janda, hingga dianggap membuat perkumpulan anti nikah adalah berbagai tantangan yang dihadapi. Saat ini, Majelis Taklim Ar-Rohmah berkembang, tidak hanya kepada perempuan single parent tetapi juga kepada perempuan yang telah menikah tetapi berperan sebagai tulang punggung keluarga.
Raudlatun asal Sumenep, Madura, ia menyampaikan materi mengenai Perempuan Kompolan Kobher Madura: Membangun Resiliensi Perempuan di masa Pandemi Covid-19. Komunitas Perempuan Kobher ini lahir pada 2019 saat Pandemi Covid-19 dalam merespons beberapa hal, yakni (a) minimnya keterampilan perempuan di lingkungan sekitar; (b) ingin mengubah pola kebiasaan perempuan sekitar yang cenderung bergosip, tanpa melakukan kegiatan produktif; (3) ingin memperkuat kemandirian ekonomi perempuan, karena pada umumnya tidak memiliki pekerjaan dan bergantung kepada suami. Adapun saat pandemi terjadi, Raudlatun bersama komunitasnya melakukan inisiatif, yakni pembuatan pengolahan jamu. Inisiatif tersebut dilatarbelakangi oleh situasi sekitar dimana banyak dedaunan yang bermanfaat di sekitar rumah tetapi tidak dimanfaatkan sebagai bahan dasar jamu. Selain itu juga adanya kemampuan dari ibu-ibu yang ingin untuk menggali potensi diri karena memiliki kemampuan dalam membuat jamu.
Adapun dalam proses pembuatan jamu tersebut, Perempuan Kompolan Kobher juga mengalami berbagai kendala. Beberapa di antaranya seperti (a) manajemen pemasaran yang belum maksimal, sebab jamu dalam bentuk cair tidak dapat diperjualbelikan secara meluas; (b) multi beban perempuan yang membuat para anggota masih belum fokus untuk berkelompok, sehingga kegiatan produksi jamu terbebankan pada satu orang; (c) tempat produksi jamu yang masih berpindah-pindah. Namun bagaimanapun, dalam pengelolaan produksi jamu tersebut, para anggota Perempuan Kompolan Kobher mendapatkan berbagai pembelajaran. Di antaranya yakni pentingnya berjejaring atau bekerja sama, semakin mendalami minat dan bakat tiap personal, serta memahami akan pentingnya kesabaran dan ketelatenan dalam melakukan pengorganisasian masyarakat.
Ida Nurhalida asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang berfokus pada madrasah yang ramah lingkungan. Isu tersebut menjadi concern bagi Ida, dilatarbelakangi oleh kegelisahannya terhadap kondisi lingkungan di mana masih banyak santri maupun guru yang belum memiliki kesadaran terhadap kondisi lingkungan, baik itu pengelolaan sampah maupun penggunaan listrik dan air. Padahal, di dalam ajaran Islam itu sendiri sangat banyak anjuran kepada manusia untuk menjaga alam. Pada akhirnya Ibu Ida melakukan langkah-langkah dengan tim guru untuk melakukan gerakan peduli lingkungan di madrasah. Ada 6 unsur yang menjadi fokus utama, yakni (1) kebersihan; (2) pengelolaan sampah; (3) penanaman pohon atau penghijauan; (4) penghematan dan konservasi air; (5) penghematan dan konservasi energi; (6) inovasi, kampanye lingkungan hidup.
Siti Latifah asal Ledokombo, Jember, Jawa Timur. Ia berfokus untuk membangun beberapa kegiatan, seperti pengasuhan gotong royong dan sekolah bok-ebok. Inisiatif yang dibuat pada 2014 tersebut dilatarbelakangi oleh situasi di lingkungannya di mana para perempuan pergi meninggalkan kampung untuk bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri, sedangkan anak-anaknya tidak ada yang mengasuh. Adapun salah satu materi yang disampaikan dalam sekolah bok-ebok tersebut, komunikasi keluarga. Materi tersebut menjadi penting untuk dibahas karena dalam keluarga itu, sangat jarang orang tua yang dapat berkomunikasi dengan baik kepada anak. Misalnya, menanyakan kabar di sekolah ataupun meminta maaf kepada anak. Bu Latifah berharap melalui komunitas tersebut, pengasuhan anak-anak dapat dilakukan secara gotong royong melalui jargon ‘anak kita, anak kamu, anak kita semua’. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Peran Tokoh Lintas Iman Dalam Kerja-kerja Keadilan Gender dan Kemanusiaan
Sebagai negara yang masyarakatnya memiliki keberagaman agama, suku, bangsa, adat, dan gender, sudah menjadi kebutuhan jika ada banyak komunitas lintas iman di berbagai daerah, baik diinisiasi secara mandiri oleh masyarakat, maupun oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Interfidei, adalah salah satu organisasi tua di Indonesia yang sejak berdirinya memang memiliki visi untuk meluaskan ruang dialog antar iman di Indonesia, Interfidei sendiri lahir sejak 31 tahun lalu, berarti setidaknya sudah 31 tahun komunitas lintas iman eksis di Indonesia, dengan beragam dinamikanya sesuai dengan situasi dan kondisi politik juga geografis.
Masifnya gerakan lintas iman, terkadang masih belum melibatkan isu keadilan gender dalam proses didalamnya, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitas artinya, keterlibatan perempuan dalam gerakan komunitas lintas iman ini masih sedikit, sedangkan secara kualitas adalah perbincangan atau isu keadilan gender masih belum banyak didiskusikan dalam ruang-ruang dialog lintas iman. Hanya segelintir komunitas saja yang mulai konsisten untuk menghadirkan keadilan gender sebagai perspektif dalam kerja-kerja komunitas lintas iman, atau pengarusutamaan gender dalam komunitas lintas iman.
Dalam Halaqah Paralel KUPI 2 ini, salah satu kelas akan membahas tentang “Peran Tokoh Lintas Iman dalam Kerja-Kerja Keadilan Gender dan Kemanusiaan”, untuk memberikan inspirasi dan pandangan bagaimana pengalaman para narasumber dalam melakukan kerja-kerja keadilan gender dan kemanusiaan melalui komunitas lintas iman.
Ada empat pembicara dalam forum ini yaitu Dr. A. Elga J. Sarapung, dengan subtema penyampaian pengalaman pelibatan perempuan dalam membangun kerja-kerja keadilan gender dan kemanusiaan. Nia Sjarifuddin, dengan subtema penyampaian pengalaman mendorong pelibatan masyarakat untuk menciptakan ruang dialog antar agama. Listia Suprobo, S.Ag, M.Hum, dengan subtema penyampaian pengalaman pelibatan perempuan dalam membangun dialog antar agama dan Jay Ahmad, dengan subtema penyampaian “kerja-kerja komunitas dalam membangun dialog lintas iman. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Peran Ulama Perempuan dalam Perlindungan Buruh Migran akibat Pandemi
Kegiatan pararel ini dihadiri oleh peserta KUPI 2 dengan berbagai latar belakang, yakni aktivis, akademisi, organisasi masyarakat, dan lain-lain. Narasumber dalam kegiatan ini adalah Yuniyanti Chuzaifah (Pegiat HAM Perempuan), Anis Hidayah (Komisioner Komnas HAM RI), Siti Badriyah (Migrant Care), dan Rina Komariah (Direktorat Perlindungan WNI, Kemenlu RI). Moderator kegiatan ini adalah Santi Andriyani.
Narasumber pertama, Yuniyanti Chuzaifah membahas Ulama Perempuan Dalam Perlindungan Migrant Terdampak Pandemi dan Integrasi GEDSI. Hal ini dibahas untuk melihat hubungan keagamaan dalam isu migrasi. Menurut Yuni, isu migrasi hanya dilihat sebagai aspek ekonomi dan demografis. Di sisi lain, isu migrasi tidak menjadi core yang penting dan dilepaskan dari konteks agama. Padahal menurut Yuni, agama sangat kental dengan isu migrasi, jadi KUPI adalah rumah baru bagi para migran karena ada ulama yang tidak hanya menghadirkan fatwa dari langit namun dari pengalaman langsung. Yuni kemudian memaparkan permasalahan pekerja migran dalam konteks agama, misalnya kasus marital sex orang dihukum mati karena dianggap perzinahan. Selanjutnya konsep kepemimpinan perempuan dari pengalaman buruh migran yang menjadi polemik karena perempuan dianggap tidak bisa menjadi kepala keluarga. Jadi, menurut Yuni, agama dan buruh migran akan selalu berdampingan.
Yuni kemudian memaparkan tentang Gedsi (gender equality disability and social inclusion), bagaimana perempuan mengalami gangguan kejiwaan karena akses mobilitas korban KS dan rumitnya perlindungan karena pandemi, kecelakaan kerja yang membuat kerusakan fisik dan sakit gradual (penggunaan kimia untuk pembersihan, sakit fisik, dan terlambat). Kemudian, Yuni menjelaskan inisiatif yang pernah dilakukan oleh lembaga keagamaan, salah satunya ada lembaga yang berusaha menyelamatkan buruh migran dari lilitan rentenir dengan menggunakan fikih anti riba.
Terakhir, Yuni menjelaskan rekomendasi peran ulama perempuan dalam isu buruh migran, diantaranya:
- Anak-anak dari ibu yang menjadi buruh migran dibina di pesantren dan tetap menghormati dn respect kepada ibunya.
- Anak-anak migran mendapatkan scholarship sebagai penyelamatan dari pemiskinan multi generasi.
- Membuat inisiatif berimbang/selaras antara filantropik dan langkah sistemik
- Memperkuat tafsir /teologi GEDSI disabilitas yang masih sangat minim
Selanjutnya Anis Hidayah menyampaikan Peran Negara dalam Pemenuhan HAM pekerja migran perempuan dan anggota keluarganya pasca pandemi. Anis mengawali pembicaraan dengan mengatakan bahwa isu buruh migran itu kerap dijadikan objek dan stigma. Anis mencontohkan posisi buruh migran menjadi objek adalah menjadi sasaran para penyanyi melakukan konser di luar negeri, atau pada pendakwah yang melakukan dakwah di luar negeri. Namun posisi buruh migran adalah objek bukan subjek. Padahal mereka yang menggerakan ekonomi kreatif, ekonomi wisata, bahkan diplomasi agama. Selain itu, stigma yang masih melekat salah satunya dalam banyak tafsir islam dan agama lain, peran perempuan dalam keluarga itu marjinal. Perempuan buruh migran adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Tetapi hingga kini tidak pernah dikatakan perempuan sebagai kepala keluarga.
Anis kemudian mengatakan pentingnya KUPI membangun narasi-narasi yang berpihak pada perempuan pekerja migran, mencegah dan mendorong lembaga-lembaga agama termasuk pesantren memiliki satu ruang untuk memiliki pengasuhan pada anak migran yang terlantar. Selain itu, pendidikan migrasi itu juga harus memuat pendidikan gender tentang kesehatan reproduksi. Karena sampai hari ini pekerja migran perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak memiliki solusi. Sehingga penting dipastikan ulama perempuan memiliki kepentingan untuk memastikan agar hak asasi pekerja migran perempuan termasuk akses justice itu tersedia.
Terakhir Anis menjelaskan bahwa bekerja ke luar negeri adalah bagian dari hak asasi manusia. Termasuk bagi pekerja perempuan dan masuk dalam salah satu yang sudah jelas ‘sesungguhnya tanah dan bumi Allah itu luas’, maka manusia bisa berhijrah untuk bekerja, bersekolah, bersenang-senang, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing tetapi bagaimana dalam konsep pekerja migran, negara harus menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Pembicara ketiga, Siti Badriah menyampaikan ‘Peran dan Inisiasi Masyarakat Sipil dalam inisiatif dan integrasi Gedsi dan upaya Perlindungan Pekerja Migrant perempuan dan anggota keluarganya pasca pandemi. Siti mengawali pembicaraan dengan menceritakan masa lalunya sebagai TKI korban kekerasan, kemudian tahun 2012 dikuliahkan Migrant Care dan sejak tahun 2019 resmi menjadi advokat. Kemudian Siti menjelaskan tentang Undang-undang perlindungan pekerja migran Indonesia No 18 tahun 2017. UU tersebut sudah menjamin adanya peran masyarakat sipil dalam Pasal 32 ayat 2.
Adapun peran masyarakat yang bisa dilakukan adalah penanganan kasus, monitoring, penyediaan dan distribusi informasi migrasi aman, mendorong penegakan hukum/ access to justice, pengorganisasian, informasi budaya, dan informasi hukum. Siti kemudian memberikan masukan kepada ulama perempuan untuk memberikan informasi dan pelatihan, pemberdayaan, dan pendataan terkait isu migran.
Terakhir, Rina Komariah membahas peran dan upaya pemerintah dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran dan anggota keluarganya pasca pandemi. Rina menyampaikan data-data terkait situasi buruh migran di luar negeri, kemudian menyajikan data dari aplikasi peduli WNi, dalam aplikasi tersebut banyak TKI yang mengadukan adalah laki-laki padahal kasus lebih banyak dialami oleh perempuan. Rina kemudian Rina menyampaikan capaian dari Kemenlu yakni 7 WNI dibebaskan mati, ABK yang sudah ditangani kasusnya, pemulangan WNI dari Wuhan ketika awal pandemi, dan lain-lain.
Lalu Rina menyampaikan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan, di antaranya: Pertama upaya perlindungan itu harus berlanjut. Kedua, pemenuhan hak pada PMI. Ketiga pencegahan migrasi yang tidak aman atau migrasi yang beresiko. Keempat Policy Coherence itu harmonisasi kebijakan. Terakhir, Rina memberi informasi kepada peserta yang akan ke luar negeri untuk Kalau teman install safe travel. Aplikasi tersebut digunakan untuk melihat perwakilan WNI di negara setempat atau negara terdekat yang tidak ada perwakilannya. Kemudian install Portal layanan dan perlindungan WNI. Portal tersebut adalah sistem yang dibangun untuk mencatat WNI di luar negeri untuk mempermudah akses perlindungan. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Peran Ulama Perempuan dalam Advokasi Hak-hak Politik Perempuan
Masruchah mewakili KUPI memberi pengantar dalam diskusi paralel ini, dengan mengaitkan urgensinya KUPI 2 mendiskusikan Peran Ulama Perempuan Indonesia dalam advokasi hak-hak politik perempuan, baik di ruang struktural atau kultural. Hak politik perempuan telah diatur dalam Maqashid asy Syariah terkait Hifz Aql dan Islam secara prinsip tidak membedakan hak politik perempuan dan laki-laki.
KUPI sebagai bagian gerakan perempuan dan gerakan sosial yang mengakar di Pesantren, Majlis Taklim, Perguruan Tinggi/lembaga pendidikan dan komunitas-komunitas lainnya memandang penting menuju perhelatan pemilu 2024 mengambil peran dalam ruang –ruang demokrasi baik sebagai pengawas partisipatif, mencalonkan sebagai anggota legislatif, pendidikan politik atau pendidikan pemilih hingga kampanye damai.
Tingginya keterwakilan perempuan di lembaga kebijakan akan berpengaruh terhadap misi KUPI untuk mendorong hadirnya kesetaraan, kerja-kerja kemanusiaan dan kebangsaan. Masruchah menyampaikan terimakasih pada pimpinan UN Women Indonesia yakni Dwi Yuliawati Faiz yang telah mendukung paralel ini, demikian juga pada Lolly Suhenti dari Bawaslu RI dan Hasyim Asy’ari dari KPU RI.
Selanjutnya Masruchah menyerahkan pada Dwi Yuliawati Faiz untuk menyampaikan pengantar terkait urgensinya KUPI menyuarakan isu hak-hak politik perempuan. Menurutnya KUPI dipandang strategis untuk terlibat dalam kancah demokrasi dan meningkatkan posisi perempuan melalui keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga kebijakan.
Pada akhir 2021 Committee Cedaw mengingatkan Indonesia terkait masih minimnya keterwakilan perempuan di lembaga parlemen (masih dibawah 30%). Sementara Indonesia punya komitmen melalui SDGs 2030 adalah 50:50. Maka KUPI diharapkan bisa berkontribusi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga strategis termasuk dalam parlemen.
Selanjutnya forum diserahkan pada moderator untuk memimpin proses diskusi paralel, dan meminta narasumber untuk menyampaikan paparannya masing-masing 10-15 menit. Paparan pertama diberikan oleh Dr. Ida Budhiati.
Poin-poin kunci yang disampaikan adalah pentingnya KUPI dengan basis sosialnya untuk mengambil peran-peran strategis di ruang publik dan politik. KUPI memiliki kekuatan besar dengan jaringannya di pesantren, majlis taklim, perguruan tinggi dan kalangan muda.
Selanjutnya Lolly Suhenty/Bawaslu RI, MH menyampaikan bahwa KUPI dengan jaringannya diharapkan dapat terlibat dan menggerakkan sebagai pengawas partisipatif. Mengapa ? Ruang-ruang demokrasi harus ada keterlibatan dari jaringan KUPI yang selama ini perannya sangat signifikan baik di tingkat nasional ataupun daerah bahkan hingga level akar rumput.
Sementara Dr. Hasyim Asy’ari/KPU RI menekankan bahwa KUPI perlu memperbanyak dan menguatkan kader pemimpin perempuan di segala tingkatan yang bisa masuk di ruang-ruang strategis struktural dan kultural. Keterlibatan atau keterwakilan perempuan di ruang-ruang strategis ini akan turut berkontribusi terhadap kesejahteraan perempuan dan pemajuan Indonesia.
Momen pemilu 2024 adalah salah satu langkah yang bisa digunakan KUPI untuk terlibat melakukan pendidikan politik untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dan juga memilih secara cerdas. Selanjutnya dilanjutkan tanya jawab narasumber dengan peserta. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Dakwah Kekinian Jaringan Muda KUPI (Digital dan Non-digital)
Terkait kerja-kerja ulama perempuan, dalam dakwahnya diperlukan dukungan dari berbagai pihak salah satunya anak muda. Peranan anak muda menjadi penting sebab mereka dekat dengan dunia digital seperti media sosial. Selain dunia digital, anak muda jaringan KUPI juga bergerak secara luring dengan komunitasnya masing-masing seperti pondok pesantren, kampus, majelis taklim, dan lain-lain. Anak muda yang dekat dengan teknologi informasi memiliki peranan untuk berdakwah dalam rangka menyebarluaskan gagasan dan pendekatan KUPI. Melalui pertemuan bertema “Dakwah Kekinian Jaringan Muda KUPI: Digital dan Non Digital” diharapkan dapat menginspirasi sekaligus memperkuat gerakan anak muda dalam jejaring KUPI.
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 40 peserta dari beragam latar belakang seperti aktivis perempuan, akademisi, pondok pesantren, ormas, dan lain-lain. Adapun narasumber yang hadir dalam kegiatan ini yakni An An Aminah, Kalis Mardiasih, dan Sarjoko, serta fasilitatornya adalah Zahra Amin dari Mubadalah.id. Tema-tema yang diangkat oleh masing-masing narasumber yakni (a) An An Aminah: Kesan-Kesan Reflektif sebagai Ulama Perempuan dalam Dakwah Digital; (b) Kalis Mardiasih: Peluang dan Tantangan Dakwah Keadilan Gender Islam di Media Sosial; (c) Strategi Dakwah dalam Digital.
Dalam paparannya, An An Aminah mengungkapkan bahwa dalam berdakwah, sangat penting untuk memperhatikan target sasaran. Harus ada brainstorming dan latar belakang kelompok sasaran. Cara untuk mengenali target sasaran tersebut, dapat dilakukan melalui games/ kuis yang tersedia di kanal digital. Setelah membuat target sasaran, selanjutnya adalah menetapkan materi yang berkesesuaian dengan kebutuhan kelompok yang disasar. Pendekatan dalam menyampaikan materi juga penting. Misalnya, menggunakan pendekatan orang dewasa dan cara yang interaktif.
Narasumber berikutnya, Kalis Mardiasih menjelaskan terkait strategi dalam berdakwah. Kalis memaparkan bahwa menceritakan pengalaman perempuan sangat penting untuk diangkat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai posisi dan persoalan perempuan di dalam keluarga. Dalam berdakwah, Kalis juga menceritakan bahwa mengangkat kasus yang sedang viral juga menjadi strategi untuk mengangkat konten dan memberi edukasi. Berikut beberapa poin dalam pemaparan Kalis: (a) Prinsip konten adalah kualitas bukan kuantitas, lalu isunya hilang; (b) melihat kekhasan masing-masing kanal, misalnya Twitter dapat melihat trending topic; (c) penting untuk branding isu agar orang-orang mudah melakukan pencarian; (d) sangat penting untuk berdakwah dengan narasi edukatif yang juga menebarkan gagasan.
Narasumber berikutnya adalah Sarjoko yang menceritakan pengalamannya dalam melakukan dakwah di media sosial. Beberapa poin yang diangkat oleh narasumber. Pertama, dalam mengoptimalisasi media sangat penting untuk membangun pengikut organik. Melalui pengikut yang organik, maka akun juga dapat membuat engagement yang lebih kuat. Meningkatkan pengikut tersebut dipengaruhi oleh konsistensi dalam membuat konten. Kedua, dalam kampanye gerakan perempuan juga dibutuhkan perspektif laki-laki yang peduli terhadap itu tersebut, sehingga keterlibatan laki-laki menjadi penting untuk menarik minat laki-laki lainnya. Ketiga, perjuangan Keadilan Hakiki sangat penting untuk disampaikan pada perempuan maupun laki-laki. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Penguatan Rumusan Paradigma dan Metodologi Fatwa KUPI
Deskripsi......
Menguatkan Otoritas Musyawarah Keagamaan KUPI di Mata Negara dan Masyarakat
Fatwa adalah pandangan hukum Islam yang dikeluarkan individu atau lembaga yang dianggap memiliki otoritas mengenai persoalan tertentu. Fatwa hadir biasanya diawali dari pertanyaan atas apa yang dialami seseorang. Jika yang mengajukan pertanyaan perempuan, berarti fatwa dikeluarkan didasarkan pada pengalaman mereka. Pertanyaannya; sejauh mana seseorang atau lembaga memahami pengalaman perempuan, sehingga jawaban yang dikeluarkan benar-benar relevan.
Dalam metode fiqh dan ushul fiqh, kita mengenal metode istiqra’, penelitian berbasis pengalaman. Bagi KUPI, berfatwa adalah bagian beragama yang menjadi hak penuh laki-laki dan perempuan secara setara. Perempuan sebagai manusia adalah sama dengan laki-laki ; memiliki akal budi, tubuh dan jiwa, pengetahuan dan pengalaman, yang layak dan otoritatif bagi kerja-kerja fatwa. Berfatwa adalah bagian dari beragama. Beragama adalah sesuatu yang khas dari manusia. Beragama itu merujuk dari sesuatu yang transenden dan metafisik, walau di sisi lain bagaimana bisa menjawab hal-hal profan dalam realitas kehidupan, sebagaimana kita ber Islam dalam kehidupan kita sehari-hari.
Fakta-fakta sosial yang masih mendiskriminasikan perempuan dan kelompok rentan diskriminasi lainnya seperti disabilitas, anak-anak, lansia, KUPI memandang penting mengeluarkan fatwa dengan pendekatan ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan dan kesemestaan serta perspektif ma’ruf, mubadalah, keadilan hakiki dalam berfatwa.
Hasil fatwa KUPI I tahun 2017 terkait larangan kekerasan seksual, larangan perkawinan anak telah menjadi pertimbangan, rujukan penyelenggara negara dan masyarakat dalam menyikapi persoalan terkait kasus-kasus kekerasan seksual dan perkawinan anak menjadi catatan keberhasilan KUPI. Dari pengalaman inilah, KUPI II memandang penting membincang strategi memperkokoh otoritasnya terhadap isu-isu sosial krusial yang perlu dilakukan musyawarah keagamaan dan menghadirkan keputusan fatwa KUPI.
Menurut Prof. Machasin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga KUPI dengan otoritas keagamaannya, teori Fiqh dan Ushul Fiqh, yang memepertimbangkan pengalaman korban sebagaimana prinsip Islam Rahmatan lil Alamin yang memberi perhatian keadilan pada yang lemah dan dilemahkan. Dalam kerja-kerja jejaringnya KUPI perlu meningkatkan dengan kelompok-kelompok yang punya pengaruh agar perspektif KUPI dengan otoritas keagamaannya makin banyak diaplikasikan dalam kebijakan.
Nihayatul Wafiroh, anggota DPR RI Fraksi PKB memberi paparannya dengan pengalaman fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam menggunakan pertimbangan dan rujukan hasil fatwa KUPI larangan kekerasan seksual dalam mengadvokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang kini menjadi UU nomor 12 tahun 2022. PKB sebagai partai moderat dan banyak kalangan ulama didalamnya, menjadi terbantu dengan pandangan keagamaan KUPI saat menyikapi prolegnas RUU TPKS. Termasuk juga saat menyuarakan hadirnya Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 terkait pasal pendewasaan usia perkawinan, KUPI memiliki ketegasan larangan perkawinan anak.
Sementara Olivia Chadijah Salampessy, anggota Komnas Perempuan menyampaikan bagaimana pengalaman Komnas Perempuan saat bekerjasama dengan KUPI dalam mengadvokasi isu kekerasan seksual. Pandangan keagamaan KUPI sangat membantu untuk menguatkan posisi korban, bagaimana pemuka-pemuka agama harus turut memulihkan korban.
Lembaga-lembaga agama harus mengintegrasikan isu bahayanya kekerasan seksual dalam pengajaran. Masruchah mewakili Majelis Musyawarah KUPI menyampaikan pengalaman KUPI berstrategi menggunakan fatwa dalam advokasi di lembaga-lembaga strategis pengambil keputusan. Baik di parlemen, pemerintah, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan berpengaruh.
KUPI dengan kekuatan otoritas keagamaannya, pendekatan kultural menembus struktur-struktur pengambilan keputusan. Jaringan KUPI baik di parlemen, pemerintah, akademisi, pesantren, majlis taklim, ormas-ormas keagamaan dan di lembaga masyarakat sipil lainnya sebagai strategi menyuarakan visi-misi KUPI dimanapun jaringan KUPI berada. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Kepemimpinan Perempuan dalam Memperkuat Pemahaman terhadap Implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan sejak 9 Mei 2022, diundangkan melalui Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 2022. Pengundangan ini disambut baik semua pihak karena kegentingan kasus kekerasan seksual terjadi di segala usia, tempat bahkan tempat yang dianggap aman sekalipun. Demikian halnya pelaku juga ada di segala usia bahkan berlatar belakang sebagai pendidik, tokoh masyarakat, tokoh agama dan salah satunya terjadi di pesantren. Kasus Bechi Jombang dan Herry Wiryawan Kabupaten Bandung merupakan contoh kasus yang terjadi di pesantren menjadi sorotan nasional.
Disisi lain, di kalangan pesantren juga sumber pembaharuan terjadi atas dorongan ulama perempuan. Fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama pada tahun 2017 secara tegas menyatakan pengharaman kekerasan seksual. Fatwa ini mampu membangun kesadaran publik terhadap kasus-kasus kekerasan seksual dan turut berkontribusi dalam pengesahan UU TPKS. Dalam kongres kedua KUPI terus mengusung tema yang relevan dan dibutuhkan yaitu "Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan”.
Kongres ini merupakan ruang yang strategis untuk mendorong pemahaman terhadap implementasi UU TPKS. KUPI mengagendakannya dalam Halaqah Khusus kongres dengan memberikan perhatian pada peran Ulama Perempuan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di ormas keagamaan, lembaga pendidikan formal dan non formal keagamaan. Ruang ini juga disediakan untuk berbagai kalangan, salah satunya perwakilan organisasi masyarakat sipil khususnya organisasi perempuan.
Pemahaman terhadap UU TPKS masih sangat penting dilakukan untuk membangun kesadaran publik, kesadaran korban bahkan pelaku. Dibutuhkan juga upaya memperkuat kesadaran dalam menterjemahkan mandat keberpihakan pada korban dari UU TPKS dari kalangan aparat penegak hukum dan pemerintah yang mempunyai tanggung jawab sebagai penyedia layanan dalam Unit Pelayanan Terpadu.
Dalam diskusi tematik terkait dengan Kepemimpinan Perempuan dalam Memperkuat Pemahaman terhadap Implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sangat dinamis dan aktif. Masing-masing narasumber memaparkan sejumlah materinya. Sri Nurherwati-Yayasan Sukma dan Anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual misalnya, berliau memaparkan terkait dengan gambaran dari UU TPKS yang mencakup: pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban kekerasan seksual (KS), rehabilitasi pelaku, dan bagaimana mewujudkan lingkungan tanpa KS dan ketidak berulangan. Nurher juga menjelaskan terkait dengan aturan turunan dari UU tersebut. Pemaparan sangat mendalam terkait dengan isi dari UU TPKS dan bagaimana peran serta masyarakat termasuk ulama perempuan dalam mengimplementasikannya.
Misiyah Direktur Institut KAPAL Perempuan menyambung pemaparan terkait dengan peran serta masyarakat dalam upaya mencegah maupun menangani korban KS sebagaimana tertera dalam UU TPKS. Ibu Misi memaparkan dengan detail terkait peran serta masyarakat, termasuk kepemimpinan perempuan dan ulama perempuan. Menurutnya kepemimpinan perempuan mempunyai kemampuan dalam menginisiasi, menggerakan sehingga terjadinya sebuah perubahan secara kolektif menuju keadilan gender dan inklusi. Lebih lanjut mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan membutuhkan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dan KUPI sangat strategis. Menurutnya kepemimpinan perempuan bukan terjadi secara alamiah, namun diupayakan dengan membangun kesadaran kritis, komitmen dan keberanian. Ibu Misi juga menceritakan pengalaman mendampingi korban menjadi penyintas yang sangat inspiratif.
Narasumber berikutnya AKBP Rita Wulandari Wibowo, S.I.K., M.H., Kasubbagsumda Sespusinafis Bareskrim Polri menjelaskan terkait dengan peran kepolisian dalam proses hukum implementasi dari UU TPKS. Menurutnya, terdapat mekanisme penanganan kasus KS melalui layanan terpadu. Penyelenggaraan pelayanan terpadu terintegrasi, multi aspek, lintas fungsi dan sektor bagi Korban, Keluarga Korban dan atau Saksi tindak pidana KS sebagaimana dalam pasal 1 angka 13. Lebih lanjut AKB Rita mengatakan bahwa mitra kerja kepolisian adalah para pendamping. Pendamping adalah orang yang dipercaya dan memiliki kompetensi mendampingi Korban dalam mengakses hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sebagaimana dalam pasal 1 angka 14.
Pendamping Korban meliputi: petugas LPSK; petugas UPTD PPA; tenaga kesehatan; psikolog; pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; psikiater; Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal; petugas Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; dan Pendamping lain (Pasal 26 UU TPKS). UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan & Anak) adalah unit pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yang berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lainnya (Pasal 1 angka 11). AKB Rita menyampaikan juga terkait dengan siapa saja yang bisa menjadi pendamping, bagaimana posisi keterangan saksi dalam persidangan KS, dan bagaimana mekanisme pelaporannya ke kepolisian ketika terjadi kasus KS. Pelaporan bisa dilakukan oleh korban atau orang yang mengetahui kejadian tersebut.
Narasumber berikutnya adalah Dra. Retno Sudewi selaku kepala UPTD Jawa Tengah turut menguatkan peran UPTD dalam implementasi UU TPKS. Ibu Retno memulai memaparkan kasus KS di Jawa Tengah yang menempati rangking ke-4 data nasional symphony KPPPA. Dan kasus terbanyak adalah KS pada anak. Data kasus ini baru yang dilaporkan, dan Ibu Retno mengakui bahwa masih banyak yang tidak terlaporkan. Pemerintah Jawa Tengah telah membentuk UPTD sebagai respon atas berbagai kasus kekerasan termasuk KS. Jawa Tengah sendiri adalah daerah pertama yang telah mempunyai UPTD dan telah mempunyai Peraturan Daerah No 4 Tahun 2022 tentang Perlindungan Perempuan dan anak. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah melakukan sosialisasi UU TPKS ke semua instansi. Sebagai upaya preventif sosialisasi juga dilakukan dinas PPPA Jawa Tengah mulai ranah keluarga, lembaga pendidikan termasuk pesantren.
Narasumber terakhir adalah Nyai Muyassaroh Hanifah dari Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin Cilacap. Ibu Muyas menyampaikan terkait dengan pelayanan terpadu yang ia gagas di pesantren. Sebagaimana filosofi pesantren sebagai lembaga pelayan masyarakat (khadimul ummah), karena itu pelayanan terpadu di pesantren Bu Nyai Muyas bagian dari melayani umat dalam mendengar dan merespon persoalan umat. Balai An Nisa, tempat pelayanan terpadu korban yang dikelola Bu Nyai Muyas bersama dengan ibu-ibu yang ada di sekitar pesantren. Bapalai Perempuan An-Nisa bahkan membantu menyekolahkan anak-anak korban kekerasan seksual melanjutkan pendidikan di pesantren Al Ihya Ulumaddin, dengan menyembunyikan identitasnya bahwa ia adalah korban. Muyas mengakui bahwa Layanan terpadu memang belum maksimal sesuai dengan RUU TPKS. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Keluarga Muslim Indonesia dalam Perspektif KUPI
Deskripsi......
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Peran Ulama Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Pendidikan Non Formal
Nur Mahmudah selaku moderator memberikan pengantar tentang catatan komnas perempuan dalam 10 tahun terakhir Kekerasan seksual sudah menjadi darurat kekerasan seksual (KS). Belakangan banyak terjadi KS baik di perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan keagamaan. tentu ini menjadi keprihatinan kita bersama untuk melakukan pencegahan dan penanganan. Kemudian moderator meminta narasumber untuk menyampaikan paparannya. Paparan pertama diserahkan kepada Margaret (ketum PP Fatayat NU) yang menyampaikan tentang refleksi pengalaman fatayat dalam mengadvokasi undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS)
Margaret Aliyatul Himmah, Ketua PP. Fatayat NU menyampaikan pemaparannya berangkat dari definisi KS menurut UUTPKS, jenis-Jenis KS menurut UUTPKS dan beliau juga menegaskan bahwa Perempuan dan anak yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual, tempatnya bisa terjadi dimana saja termasuk tempat belajar baik formal maupun non formal. Lembaga pendidikan non agama maupun keagamaan. Bahkan di dalam organisasi masyarakat juga sama tak luput dari KS.
Lebih lanjut narasumber juga menyampaikan dampak KS bagi korban secara psikis : depresi, gangguan mental korban dalam kondisi tertentu ingin mengakhiri karena merasa sudah tidak punya masa depan. Dampak lainnya ada yang mengalami luka sekitar alat kelamin atau bahkan seluruh tubuh, kondisi psikis bisa mengganggu Kesehatan korban.
upaya dan penanganan KS menurut perlu keterlibatan dan kerjasama semua stakeholder. Baik yang terdekat dengan korban seperti keluarga, guru dan tetangga, pemerintah maupun masyarakat, termasuk ulama perempuan..
Pembicara berikutnya Mahrus Elmawa dari Kementrian Agama RI menyampaikan tentang pencegahan dan penanganan KS di satuan Pendidikan. Point yang disampaikan tentang landasan filosofis dan yuridis terkait banyaknya KS. Peraturan Menteri Agama (PMA) implementasinya tentang pencegahan dan penanganan KS dalam pandangan politik dan hukumnya memberikan otoritas lembaga pendidikan untuk menggunakan sesuai aturan yang dibuat kemenag. Sistematika PMA terdiri dari 7 bab yang sangat komprehensif dalam pencegahan dan penangan KS.
Tazkiyatul Muthmainnah dari PW. Fatayat NU Jawa Tengah menyampaikan sharing terkait pengalaman Fatayat dalam melakukan penanganan dan pendampingan KS. Fatayat NU Jateng Melakukan pendampingan dan penanganan kasus kekerasan seksual melalui LKP3A, fatayat NU juga memiliki SOP penanganan KS yang disebut dengan PSEA (Protection of Sexual, Exploitation and Abuse) atau Perlindungan dari Eksploitasi dan Perlakuan Salah Seksual (PEPSS). Mba Tazkiya juga menyampaikan Strategi yang dilakukannya melalui litigasi dan non litigasi, tak lupa juga menyampaikan tentang kendala yang dihadapi dalam penanganan KS.
Ernawati dari Pesantren Nurul Huda Garut menyampaikan materi tentang Praktik Baik Pencegahan Kekerasan Seksual di pesantren.Mba ernawati menyampaikan bahwa pesantrennya sedang menyusun SOP Pencegahan dan Penanganan KS yang sudah dalam tahap finalisasi. Penyusunan SOP penanganan KS sendiri berangkat dari adanya kasus kekerasan yang dialami oleh santrinya, untuk itu dalam rangka untuk melindungi semuanya santrinya pesantren Nurul huda membuat SOP penanganan KS ini secara komprehensif, bekerjasama juga dengan Puskesmas dan Polsek diwilayah setempat pondok pesantren. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Pemeliharaan Alam dan Peran Perempuan Lintas Agama: Perspective Ecofeminisme dalam Agama-agama
Dalam konteks sosial, banyak pemahaman yang memaknai bumi sebagai ibu yang memberikan sumber air, makanan, dan sumber kehidupan lainnya. Namun sumber ini dieksploitasi habis-habisan oleh sistem kapitalisme, budaya patriarki dan pemikiran feudal. Karena itulah pandangan ekofeminisme muncul dimana pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam mengelola sumber-sumber kehidupan sangat penting untuk dimunculkan, terlebih diajarkan kepada anak dan cucu yang akan mewarisi alam di masa depan.
Berkaca pada realitas ini, diperlukan gerakan sosial yang mengakar dan berkesinambungan untuk mengubah sistem nilai yang lebih adil dan beradab terhadap perempuan dan anak. Tanggung jawab untuk membuat perubahan ini tidak hanya pada perempuan namun pada semua orang termasuk laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dimulai dari dalam keluarga, komunitas, masyarakat dan negara.
Niscaya keberlanjutan alam dapat dicapai jika semua melakukan perubahan dan pembaruan. Belajar dari para wirausaha sosial di seluruh dunia yang telah didukung selama lebih dari 40 tahun, ASHOKA menyadari bahwa dibutuhkan setiap orang untuk membuat perubahan sosial agar kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan bagi semua dapat diwujudkan. Gerakan “Everyone a Changemaker – (EACH)” demikian ASHOKA menamakannya, yaitu gerakan untuk membuat setiap orang melakukan perubahan sosial demi keadilan.
Gerakan ini menempatkan anak-anak dan orang muda sebagai sentral, dimana semua orang akan terlibat menciptakan lingkungan sosial agar dapat menumbuhkan potensi mereka secara maksimal. Dalam hal ini keluarga dan sistem pengasuhan menjadi bagian yang sangat penting dalam ekosistem yang harus dikembangkan.
Sebagaimana layaknya sebuah pepatah yang mengatakan “dibutuhkan dukungan seluruh kampung untuk membesarkan seorang anak”, maka tidak seharusnya tanggung jawab pengasuhan hanya dibebankan kepada perempuan. Pemahaman bahwa seorang ibu adalah “sekolah pertama” bagi anaknya, merupakan tuntunan kepada kita akan kekuatan, kekuasaan dan kepemimpinan seorang Ibu dalam membangun sistem nilai dan ekosistem tumbuh kembang anak melalui pola pengasuhan.
Sebagai pemimpin, seorang ibu memiliki kuasa penuh untuk mengambil keputusan dan menentukan pembagian peran-peran keluarga agar tercipta lingkungan yang memungkinkan anak dan remaja tumbuh kembang menjadi “changemaker (pembaharu)”. Keluarga sebagai sebuah ekosistem pengasuhan mensyaratkan keterlibatan dan kerjasama semua anggota keluarga termasuk ayah, ibu, anak-anak, dan semua orang yang hidup bersama secara aktif dan kompak.
ASHOKA mengajak organisasi perempuan dan anak muda di Indonesia ikut mengembangkan ekosistem pengasuhan dalam pemberdayaan keluarga pembuat perubahan (changemaking family) sebagai bagian dari strategi mengembangkan gerakan “Everyone A Changemaker” melalui Gerakan Pembaharu (GAHARU) Keluarga. Gerakan ini bertujuan membangun ekosistem keluarga dimana anak-anak dapat tumbuh kembang menjadi pembaharu, dan keluarga menjadi agen perubahan bagi sekitarnya termasuk dalam menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan egaliter.
Gaharu Keluarga resmi dicanangkan sebagai gerakan bersama melalui lokakarya di Subang pada tanggal 26–30 Juni 2022. Pada lokakarya ini, 14 organisasi dan komunitas perempuan dan anak muda (Ashoka, Aisyiyah, Fatayat NU, RAHIMA, PEKKA, Ibu Profesional, TANOKER, PESADA, SEJIWA, IBEKA, KBR, Komunalian, Main Bareng Project, Tuntungan Board Game).
Untuk perluasan dukungan gerakan ini, Yayasan Ashoka mengorganisir sesi interaktif bertema “Keluarga Pembaharu dan Peran Perempuan dalam Perlindungan Alam” pada sesi paralel Kongres Ulama Perempuan Indonesia II di Jepara pada tanggal 25 November 2022. Topik ini sejalan dengan tema Keluarga dan tema Perlindungan Alam yang diusung dalam berbagai pembahasan di KUPI II.
ASHOKA adalah Lembaga global yang sudah lebih dari 40 tahun mendukung social entrepreneur di seluruh dunia dengan memberikan fellowship.
Dari 4000 fellow, ada 200 fellow dari Indonesia yang disiapkan sebagai change makers. Dalam 20 tahun terakhir ini ASHOKA mempelajari bahwa seorang social entrepreneur umumnya harus dimulai dari masa kecil. Karenanya, sasaran changemaker lebih ke anak-anak muda. ASHOKA mencanangkan Gerakan Everyone Change Makers, dimana setiap orang bisa menjadi agen perubahan. Semangat yang sangat sejalan dengan nilai KUPI. KUPI selalu berusaha mengisi berbagai kekosongan untuk suatu proses yang lebih inklusif.
Ada 4 pilar dari change making yang diyakini ASHOKA harus dimiliki setiap orang. 1) Empati. Empati harus ditumbuhkan menjadi karakter dan menjadi nilai dari setiap anak untuk tumbuh kembang hingga dewasa. 2) Kemampuan berkolaborasi. Kolaborasi lintas agama, lintas kepercayaan, lintas negara, perlu dilakukan. 3) Leadership. Kepemimpinan masa depan, modern, bersifat kolektif, bukan structural meniscayakan kepemimpinan yang bekerja sama. Kepemimpinan yang bukan orientasi kekuasaan, melainkan untuk perubahan. 4) Praktik change making.
Selain itu, ada 2 ekosistem yang ingin ditekuni gerakan changemaker. Pertama, ekosistem keluarga. Tidak peduli siapapun yang jadi pemimpin keluarga dan dengan model seperti apa suatu keluarga, ekosistem keluarga harus membuat anak-anak menjadikan tumbuh kembang anak-anak dan remaja dengan baik. Kedua, ekosistem pendidikan. Sekolah, pesantren, atau apapun yang berbau pendidikan secara struktur dengan kurikulum.
Ustaz Khotibul Umam dari Pesantren Annuqoyyah Madura menekankan pentingnya perempuan memiliki peran yang nyata dalam menjaga lingkungan, sebagaimana yang gerakan ekofeminis lakukan. Ketergantungan manusia terutama perempuan (juga anak) terhadap air, sangat ditentukan seberapa jauh kepeduliannya terhadap lingkungan. Pesan keislaman untuk menjadikan umatnya sebagai khoirunnas anfauhum linnas (sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat untuk manusia lainnya) adalah titik dorong untuk perempuan (bahkan siapapun) berbuat sesuatu. Setiap orang atau kelompok, harus menjadi pembaharu/change maker.
Ustaz Umam membagikan pengalaman di pesantrennya yang sedang terus menerapkan gerakan lingkungan melalui program; pemulung sampah gaul. Gerakan yang dilakukan murid-muridnya yang berfokus pada penanganan sampah plastik, sampah organik, dan tim pangan lokal. Selain membekali murid-murid dengan pengetahuan dan membangun cara pandang masyarakat tentang lingkungan hidup, juga dibangun pengetahuan bagaimana bisa mengurangi produksi sampah untuk kemudian memanfaatkannya (kembali) dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai.
Untuk mendukung program peduli lingkungan, pesantren dan sekolah memberlakukan peraturan seperti tidak boleh menggunakan air minum sekali pakai, membawa piring sendiri ke kantin, siswa wajib mempunyai tas, agar sampah bisa diminimalisir. Dan untuk menegakkan peraturan yang ada, pesantren membentuk polisi lingkungan yang bertugas mengingatkan bila ada yang melanggar.
Lalu ada program pendampingan dimana edukasi yang diberikan adalah keharusan belajar tentang lingkungan, mengerti tentang permasalahan lingkungan apa yang terjadi di sekolah atau komunitasnya, serta mencari solusinya dan merancang rencana aksi-aksi strategis ke depan. Untuk kepentingan rencana aksi, pesantren dan sekolah berjejaring dengan mitra, sehingga program yang dikerjakan di sekolah dapat berkolaborasi dengan pihak lain diharapkan bisa berdampak semakin luas. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Membangun Resiliensi Indonesia dari Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan
Radikalisme dan ekstremisme kekerasan saat ini masih menjadi persoalan bersama bangsa Indonesia. Bahkan, radikalisme dan ekstremisme kekerasan atau terorisme seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Sebab jika dilihat dalam sejarahnya, aksi radikalisme dan terorisme ini selalu hadir sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sebut saja Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM. Kartosuwiryo yang hadir beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Sejak NII lahir, pada Agustus 1948, teror terhadap bangsa dan negara Indonesia terus berlanjut bahkan sampai hari ini. Seakan teror sudah menjadi bagian dari perjalanan bangsa dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Jika diamati aksi dan pelaku teror juga terus mengalami perubahan, baik dari sisi sasaran maupun modusnya. Termasuk di dalamnya adalah pelibatan perempuan dan anak. Dari sisi sasaran, pada awalnya aksi teroris menyasar pemerintah. Hal ini dilakukan karena perjuangan yang dilakukan adalah keinginan mengubah dasar negara dari pancasila menjadi Islam. Pada tahap selanjutnya teror dialamatkan kepada simbol barat, karena dianggap sebagai perusak moral juga penyebab kesengsaraan umat Islam di berbagai belahan dunia, seperti Afghanistan, Palestina dan beberapa negara lainnya. Jihad yang dilakukan kelompok ekstremis selanjutnya adalah keinginan untuk menerapkan Khilafah Islamiyah. Mereka melakukan teror di berbagai negara di dunia. Mereka mengkafirkan dan membunuh warga masyarakat yang tidak sepaham dengannya. Mereka juga membunuh aparat kepolisian, karena dianggap sebagai aparat negara thaghut dan penghalang perjuangan mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan terjadi pada pelaku teroris. Pada awalnya kita mengenal pelaku teroris adalah laki-laki. Namun saat ini beberapa pelaku teroris adalah perempuan bahkan anak-anak. Jika kita telusuri, perubahan ini terjadi setelah ISIS mempropagandakan kepada seluruh jihadis di seluruh dunia, untuk melibatkan seluruh anggota keluarga yang ada untuk melakukan aksi istisyhadiyah melawan pemerintahan thaghut. Keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme sebelum adanya ISIS hanya sebatas sebagai pendukung dengan beragam peran. Kebanyakan mereka yang terlibat karena adanya hubungan pernikahan yaitu sebagai istri para terdakwa teroris. Beberapa perempuan yang terlibat kasus terorisme pada tahun 2004-2009 dan dijatuhi hukuman pidana diantaranya yaitu istri terdakwa teroris: Putri Munawaroh (istri Nurdin M. Top), Munfiatun (istri kedua Nurdin M. Top), Arina Rahma (istri ketiga Nurdin M. Top), Inggrid Wahyu Cahyaningsih (istri Sugeng Waluyo yang membantu pelaku teroris Bom Cimanggis), Rasidah binti Subari (istri Husaini bin Ismail pelaku pemboman di Singapura), Ruqayah binti Husen (istri Umar Patek), Deni Carmelita (istri Pepi Fernando pelaku bom buku dan bom Serpong), Rosmawati (kelompok Santoso), dan Nurul Azmy Tibyani (jaringan kelompok Santoso). Keterlibatan mereka hanya memberikan bantuan dan ikut terlibat karena perbuatan suaminya dalam terorisme yang artinya pada periode ini para perempuan tidak terlibat langsung dalam jaringan dan aksi terorisme.
Namun, sejak tahun 2016, terjadi trend baru terkait peran perempuan yang masuk dalam jaringan terorisme, yang tidak lagi sekedar membantu pelaku terorisme, melainkan menjadi aktor kunci pelaku terorisme. Yang paling fenomenal adalah apa yang dilakukan oleh pak Dita yang melibatkan seluruh keluarganya dalam aksi terorisme dengan melakukan aksi bom bunuh diri di beberapa Gereja di Surabaya.
Ema Mukarromah dari Jalastoria menyampaikan bahwa fenomena meningkatnya ekstremisme kekerasan dari para istri komunitas tertentu. Narasumber juga menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute terkait tahapan seseorang menjadi teroris. Dalam paparannya narasumber menyampaikan bahwa puritanisme dan radikalisme jika dibiarkan bisa berubah menjadi ekstremisme. Indikasi awal yang bisa dilihat dari seseorang yang terpapar radikalisme adalah menolak bergaul dengan orang yang berbeda agama, bahkan meminta anak-anaknya untuk tidak bergaul dengan yang berbeda agama. Mereka juga menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam dan harus diganti. Selanjutnya yang bisa dilihat dari indikasi awal adalah adanya persetujuan terhadap sistem khilafah Islamiah sebagai satu-satunya solusi atas persoalan yang ada, dan paham-paham lainnya yang bertentangan dengan pemahaman kebanyakan masyarakat Indonesia. Bermula dari paham puritan ini kemudian berubah menjadi intoleran, dan pada tahap selanjutnya akan berkembang menjadi ekstremisme.
Berikutnya Munajat, Ph. D (Ketua Biro Bebras UIN Salatiga) menjelaskan bahwa saat ini anak-anak kita sudah diajari paham ekstrimis melalui berbagai media. Oleh karena itu, narasumber tergerak untuk membentengi anak-anak dari paparan ekstremisme dengan memberikan tempat belajar untuk mereka termasuk mengembagkannya di beberapa daerah. Menurutnya meskipun HTI, JI, dan FPI telah dilarang, namun persoalan radikalisme belum selesai. Mereka terus bergerak dan berkamuflase melalui berbagai wajah dan untuk mengelabui masyarakat.
Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana anak-anak jika ada persoalan tidak lari kepada terorisme. Sebab kebanyakan dari kasus terorisme bermula dari pelarian mereka atas persoalan pribadi yang menimpa. Mereka dalam posisi rentan yang kemudian menjadi target oleh doktrin ekstremisme. Mereka kemudian di doktrin bahwa solusi atas persoalannya adalah Islam kaffah dan itu hanya ada dalam negara Islam.
Disinilah pentingnya resiliensi bersama, agar kita terhindar dari ekstremisme. Pada dasarnya banyak dimensi terkait resiliensi diantaranya adalah sosial politik, kemanusian, religiusitas dan ideologi. Kita mulai dengan memilah narasi yang masuk ke kita. Menguatkan narasi pendidikan damai, toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada dan lain sebagainya. Kita juga harus masuk ke keluarga eks napiter untuk melakukan deradikalisasi dan menguatkan keyakinannya berbeda dengan suaminya. Sebab dalam keyakinan mereka istri yang menolak pemahaman suaminya yang berideologi teroris, maka dianggap khulu atau cerai secara otomatis. Disisi lain, seorang istri yang suaminya menjadi teroris, dia akan menerima stigma sosial, dan merasa diawasi masyarakat. Kondisi ini dimanfaatkan kelompok atau jaringan lamanya, untuk kemudian diajak melakukan amaliah lagi.
Maka kita harus merangkul mereka (keluarga napiter), membekali keterampilan istri napiter atau eks napiter perempuan, mendidik mereka dan menguatkan untuk bangkit, dan diupayakan untuk bisa bekerja. Sementara anak-anaknya yang distigma sebagai aib masyarakat dibina dan diberi pendidikan dalam perspektif moderasi. Sehingga dia akan tumbuh dalam iklim dan lingkungan yang harmonis dalam keragaman dan menganggap semua saudara.
Dr. Hj. Luluk Farida Muchtar, S.Ag., M. Pd., mengawali pembicaraannya dengan menyampaikan pengalaman hidupnya yang biasa hidup dalam keragaman agama, dimana masjid dan gereja bisa berdampingan. Awal 2000an kehidupan kemudian berubah, ketika tahun 2004 sampai 2015 ada tetangganya yang ditangkap densus 88 karena menjadi jaringan teroris. Awalnya semua memang puritan, tapi jika dibiarkan maka akan berubah menjadi ekstremisme. Sementara disisi lain, orang-orang baik memilih untuk diam tidak berusaha mengcounter narasi kebencian yang pada akhirnya membuat kerusakan di bumi. Ingatlah bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi, yang diakibatkan oleh tindakan satu atau beberapa orang, dampaknya akan menimpa kepada banyak orang tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang tidak berdosa. Sebagai contohnya adalah apa yang dialami Suriah. Meskipun yang berkonflik adalah kelompok ISIS dan pemerintah, tapi semua warga terkena dampaknya.
Pada dasarnya teroris tidak terlalu paham konsep agama apalagi tentang khilafah. Oleh karena itu, siapapun harus bergerak dengan bil hikmah wal mauidhoh hasanah, dengan mengiringi/membangun kesadaran logika ekstremisme hingga tergugah. Setiap orang harus bertahan, sabar, dan lakukan yang bisa diupayakan baik di dunia nyata maupun di dunia maya dengan konten-konten kontra naratif yang bermanfaat. Apa yang dilakukan semua orang dengan tujuan resiliensi akan perlahan diminati follower; konsep kebaikan, kebenaran, keadilan yang kita tawarkan akan bisa diterima dengan baik. Kontra narasi dalam bentuk apapun harus dilakukan. Sebab intoleransi akan datang dari manapun termasuk dari lingkungan terdekat kita. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Praktik Perkawinan Anak di Indonesia: Hambatan dan Tantangan terhadap Implementasi UU. No. 16 Tahun 2019 & UU. No. 12 Tahun 2022.
Terdapat beberapa isu yang berkembang dalam diskusi Halaqah Pra Musyawarah Keagamaan tentang Pemaksaan Perkawinan. diantaranya:
Indonesia menempati peringkat kedua angka perkawinan anak di Asean. Meski ada penurunan, namun kasusnya masih tetap tinggi. Kasus ini paling banyak terjadi di pedesaan. Faktor penyebab kawin anak adalah kehamilan tidak dikehendaki, pendidikan rendah, budaya, ekonomi. Dampaknya secara fisik, psikis, ekonomi, bahkan pada kesehatan reproduksi apabila hamil di usia anak baik bagi ibu maupun bayinya.
Problem utama perkawinan anak: cara pandang masyarakat yang melihat perempuan sebagai objek baik dalam cara pandang budaya dan berpengaruh pada cara pandang agama, Regulasi hukum dari pemerintah juga masih kurang konsisten dalam mencegah perkawinan anak
Lemahnya implementasi dispensasi nikah di pengadilan agama: PMA No 5 Tahun 2019 ttg pedoman dispensasi nikah di PA dana PN. Dalam UU no.16/2019; filosofis; untuk melindungi keluarga dan menjamin hak anak; Pasal 7; perkawinan hanya boleh 19 tahun bagi laki dan pr, Pasal 8; boleh mengajukan dispensasi nikah dengan alasan mendesak. Alasan ini diinterpretasi beragam oleh Pengadilan; diperlukan relasi kuasa orang tua yang dapat memberikan pertimbangan hakim dalam mengabulkan dispensasi nikah. Dan Pasal 14 PMA; hakim mengidentifikasi alasan-alasan untuk dispensasi perkawinan, memperhatikan kondisi psikologis dan kesehatan. Pasal 15 PMA; mendengar keterangan ortu, anak perlu didampingi, adanya rekomendasi dari psikolog, perlu ada penerjemah, ada atau tidaknya pemaksaan, perlunya adanya komitmen orang tua. Pemeriksaan anak di persidangan harus ada rekomendasi dari yang berwenang yaitu UPTTA, dan memperhatikan pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah kawin anak; Sudah ada perda yang mendukung pencegahan perkawinan anak. Adanya partisipasi masyarakat dan pendekatan berbasis kultural. Upaya Preventif; penyuluhan, regulasi atau aturan baru ttg usia perkawinan.Upaya Represif; pelatihan parenting, pendidikan-pendidikan tentang perkawinan usia dini
KUPI telah mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan pada 2017 (KUPI 1) yang mewajibkan semua elemen untuk mencegah perkawinan anak dan kewajiban untuk melindungi anak dari praktek tersebut
Tantangan: Adanya upaya pemaksaan dalam pernikahan, adanya faktor budaya dan agama, mindset hakim yang masih lemah dalam memahami hak anak sehingga mudah mengabulkan permohonan dispensasi pernikahan, dalam UU TPKS tantangan utk perkawinan anak siapa yang akan melapor? bagaimana pembuktiannya? Dan bagaimana kesiapan aparat hukum ini belum diatur, Konservatisme agama; narasi agama yang tidak memihak pada perempuan, Kurangnya sosialisasi terkait regulasi yang ada, Adanya budaya perkawinan anak yang masih mengakar di tengah masyarakat. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama.
Lima tahun terakhir ada pergeseran pelibatan perempuan yang semula sebagai korban, kemudian pendukung, dan merambah menjadi pelaku atau aktor intoleransi, yang berhijrah dan menjadi jihadis. Ini menunjuk kejadian bom bunuh diri di Mapolres Medan baru-baru ini, yang disinyalir kuat korbannya terpapar radikalisme dari isteri dan guru ngajinya. Pelibatan istri juga terjadi pada kasus bom tiga gereja di Surabaya pada 2018 silam.
Keadaan perempuan yang secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik terdiskriminasi, membuatnya minim akses pengetahuan dan pendidikan. Belum lagi pengaruh budaya patriarki yang mengharuskan perempuan untuk taat terhadap perintah suami, termasuk dalam aksi radikalisme-terorisme. Apalagi jika pemahaman mereka terhadap agama keliru.
Dari kondisi tersebut, perempuan dipandang lebih mudah di doktrinasi, dipengaruhi untuk terlibat dalam aksi radikalisme dan intoleransi. Perempuan juga dianggap lebih lembut dan halus dalam melakukan upaya radikalisme” bukan saja terkait pemahaman keagamaan yang sempit dan keliru, tindakan radikalisme juga dipengaruhi apa yang dialami mereka. Misalnya, kekerasan, konflik, peperangan, kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, diskriminasi gender. Selain itu, nilai-nilai dan tatanan kehidupan yang ada dianggap gagal mewujudkan perdamaian, kesejahteraan, dan keadilan abadi. Akibatnya, ideologi radikalisme dan intoleransi yang sekarang ini dikemas dalam materi lebih sistematis, bahkan mudah diakses secara online maupun offline, membuat mereka mudah terpengaruh. Sebenarnya perempuan bisa menjadi agen perdana dan agen toleransi, jika ini mau diupayakan. Karena itu Kongres Ulama Perempuan ke 2 telah menggelar salah satu tema dalam paralel nya adalah Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama.
Laporan ini merupakan laporan khusus kelas paralel “Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama” yang diselenggarakan dalam serial halaqah paralel Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2 di halaman MTs Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari Bangsri Jepara, pada tanggal 25 november 2022.
Masuk pada Materi “krisis global dan fenomena radikalisme serta dampaknya kepada perempuan: Bagaimana membangun strategi dan mengatasinya?” yang disampaikan oleh Kamala Chandrakirana. Kamala memulai dengan menyampaikan gambaran gerakan global dan mengaitkannya dengan radikalisme dan kepemimpinan perempuan. Pertama-tama, Kamala menampilan foto Nazi dan Demo 212 Jakarta. Kamala menegaskan bahwa Nazi adalah sebuah gerakan ekstrem-radikal (far night). Sementara Demo 212 Jakarta menggunakan simbol-simbol dan cukup intens, juga dapat disebut sebagai gerakan ekstrimis-radikal. Menurut Kamala, radikalisme bukanlah fenomena baru, sehingga bentuknya selalu beragam dan kontekstual. Fenomena yang saat ini kita hadapi tidak terlepas dari konteks-konteks serupa yang terjadi di belahan negara lain.
Dalam hasil penelitiannya tentang pemilu tahun 2015 ditemukan 20 negara yang mengalami krisis finansial yang berdampak pada kehidupan warganya. Lebih lanjut, penelitian itu menyebutkan bahwa gerakan-gerakan ekstrim kanan (far night) dan ekstremis kiri (left right) meningkat cukup drastis sebelum dan setelah krisis. Dari hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk memahami apa yang terjadi saat ini.
Salah satu yang menanggung krisis dan terkena dampak dari gerakan ekstremisme adalah perempuan. Kamala kemudian memetakan tiga hal yang menjadi fokus krisis yang dihadapi oleh perempuan. Krisis iklim, Menurut Kamala, adanya virus corona dapat menghentikan perputaran roda ekonomi, sosial dan politik. Pesan yang disampaikan oleh virus ini adalah seluruh sistem ekonomi yang sudah dibangun, memperlakukan alam sebagai tempat untuk akumulasi kekayaan, apa yang tersedia di alam semesta seakan-akan untuk dikuasai dan dijadikan sebagai alat hidup, adalah salah. Pandemi akan terjadi lagi jika kita tidak mengubah pola-pola industri, pertanian, dan cara kita berpikir tentang alam. Pandemi adalah krisis. Krisisnya bukan sekadar memakai masker dan menjaga jarak, tetapi krisis tersebut menciptakan penyakit-penyakit baru yang akan mematikan.
Kedua Krisis pangan dan energi akibat perang. Krisis ekonomi akibat Perang Rusia-Ukraina berdampak pada kehidupan kita sekarang. Kita harus siap jika perekonomian negara kita semakin memburuk. Negara-negara yang saat ini berkuasa di bidang ekonomi sedang berseteru, tentu hal itu akan menciptakan eskalasi geopolitik dan dampaknya adalah militerisasi dan meningkatnya persenjataan.
Kretiga soal Otoritarianisme. Istilah ekstremisme-radikalisme bukanlah istilah baru. Kedua istilah ini pernah digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menanggalkan gerakan yang dibuat oleh Pangeran Diponegoro. Belanda menyebut para pejuang Indonesia sebagai ekstremisme ketika mereka ingin menguasai Indonesia kembali setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. Hingga sekarang, istilah tersebut sangat kontekstual, bukan istilah yang netral, tetapi mempunyai misi politik. Begitu juga dengan gerakan perempuan yang sering dipahami sebagai gerakan ekstremis. Selain kedua istilah itu, kita juga sering mendengar istilah islamisme, yaitu ideologi totalitarian dengan pusat ideology keagamaan, interpretasi holistik, mempunyai misi penguasaan dunia, dan memanfaatkan segala cara untuk mencapai tujuan akhir.
Sebagai ideologi totalitarian, kekerasan bukan satu-satunya cara bagi islamisme untuk mencapai tujuannya. Islamisme percaya pada ketidakterpisahan antara agama, gaya hidup keseharian, dan pemerintahan. Menurut Mozaffer, islamisme adalah gerakan yang terbelah tanpa ada sumber kepemimpinan global yang tunggal dengan perwujudan yang beragam di tingkat nasional.
Ada yang menyebut kondisi krisis kita hari ini dengan polycrisis. Krisis hari ini bukan lah krisis tunggal, tetapi krisis yang berlapis-lapis sehingga kita tidak bisa menyebutnya sebagai krisis lagi, tetapi polycrisis. Perempuan akan menanggung dampak poly crisis tersebut (krisis iklim, pangan, energi, dan otoritarianisme).
Kita harus membongkar cara berpikir dan pengetahuan yang sektoral. Jika yang dihadapi adalah sebuah ideologi, kita harus menjawabnya dengan ideologi tandingan yang berangkat dari pengalaman hidup perempuan. Tawaran Nyai Nur Rofi’ah ‘Keadilan Hakiki’ berangkat dari kondisi biologis perempuan. Kita perlu menempatkan paradigma dan cara berpikir yang disampaikan Nur Rofi’ah dalam konteks poly krisis dunia hari ini. Ada yang mengatakan, saling merawat (care manifesto) adalah sebuah jawaban untuk era ke depan.
Mengakhiri pemaparan materinya, Kamala menegaskan bahwa KUPI adalah sebuah ideologi atau cara pandang baru tentang bagaimana hidup dalam sistem peradaban dunia dengan akar lokalitas. Saat membicarakan ekstremisme-radikalisme, kita tidak sekadar memantau orang yang bergabung dalam gerakan itu. Kita harus memahami ideologinya. Ideologi hanya bisa diatasi dengan ideologi dan gerakan.
Hal lain yang muncul juga soal Narasi Jihad; Sebagai stimulus, Lies Marcoes memulai dengan membahas terlebih dahulu mengenai gerakan Diponegoro. Mulanya, gerakan Diponegoro dimaknai sebagai gerakan nasionalis-sekuler. Namun, dalam pandangan Pemerintah Kolonial Belanda, gerakan itu disebut gerakan radikal. Gerakan Diponegoro sama sekali tidak ada hubungannya dengan pandangan keagamaan. Namun dalam perkembangannya, ada tokoh-tokoh yang dapat menemukan bahwa gerakan itu muncul dari pandangan keagamaan. Dari sana lah pandangan keagamaan bisa mempengaruhi ideologi untuk melakukan perubahan.
Selanjutnya, Lies memperlihatkan 13 narasi tentang jihad baik yang bersumber dari ayat, hadits dan fatwa. Lalu peserta diajak untuk memilih mana saja ayat, hadits, ataupun fatwa yang menurut mereka mempunyai pengaruh pada diri mereka terkait makna jihad yang mereka yakini. Setiap peserta mempunyai tafsiran yang berbeda dari setiap ayat dan hadits yang ada.
Seperti memaknai QS. al-Baqarah ayat 218: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Lies mengajak peserta untuk merenungkan kembali makna dari ayat-ayat, hadits dan fatwa tersebut. Jihad untuk laki-laki adalah berperang, sedangkan jihad untuk perempuan adalah haji dan umrah, berbuat baik kepada suami, melayani suami. Dari sini dapat dilihat bahawa ada pendefinisian yang berbasis pada gender. Pendekatan lainnya, perempuan boleh berjihad namun perempuan harus menjadi laki-laki terlebih dahulu atau dimaskulinkan.
Pemahaman dan pemaknaan jihad yang didapatkan dari ayat dan hadits dapat mempengaruhi orang lain. Hal itu disampaikan dan dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui pengajian, media sosial, ceramah, dan lainnya. Narasi tentang jihad menyebar ke mana-mana dan tentu kita tidak bisa mengontrolnya. Narasi tentang jihad dari teks keagamaan bisa berubah sedemikian rupa karena ada pemaknaan dari banyak orang.
Narasumber ketiga adalah Noor Huda Ismail. Ia menyampaikan baik cerita maupun narasi adalah kejadian yang sama, namun framing-nya berbeda. Masuk pada tema inti kelas ini, Noor Huda menyampaikan bahwa orang yang terlibat dalam kasus terorisme atau radikalisme karena ideologi. Seseorang dapat bergabung dengan kelompok terorisme karena persoalan domestic, maskulinitas, individu, relasi bapak-anak yang tidak baik. Dalam hal ini, keamanan negara (state security) masih sangat kuat dalam menghadapi kasus-kasus terorisme.
Namun hal yang luput diperhatikan, terorisme juga merasakan keamanan insani/ individu (human security)—jiwa mereka, relasi bapak-anak lelaki atau perempuan. Orang yang terlibat dan bergabung dengan kelompok terorisme dapat dipenjara, kehilangan menjadi bapak yang baik atau menjadi suami yang baik.
Noor Huda membagi narasi menjadi tiga. Pertama, narasi induk, yaitu narasi yang diyakini kebenarannya oleh kultur tertentu—dalam konteks Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Satu narasi bisa dimaknai berbeda-beda. Kedua, narasi kelompok. Al-Qur’an atau Hadits-nya sama, namun tafsirnya berbeda dalam kelompok tersebut. Karena itu, memilih kelompok menjadi sangat penting. Ketiga, narasi individu atau subjektif.
Noor Huda juga menyampaikan keterlibatan seorang perempuan dalam pendanaan teror di Indonesia. Seorang perempuan dengan latar belakang keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Ia lompat pagar dan terlibat dalam pendanaan teror karena narasi di media sosial. Narasi yang berkembang di media sosial terus menerus dan bersifat gender. Perempuan dan laki-laki mempunyai cara yang berbeda untuk menjadi radikal. Seorang perempuan ingin bergabung dengan kelompok radikal karena ia ingin punya laki-laki (agen penerus jihad).
Apa yang dialami seorang perempuan yang terlibat dan tergabung dalam kelompok radikal adalah buah dari narasi yang bisa menyebar dengan melalui media sosial. Siapa saja boleh menarasikan apapun selama mereka mempunyai kemampuan untuk bernarasi. Para teroris berhasil menyampaikan ajaran radikalisme di media sosial dan internet, tidak lagi melalui pengajian-pengajian. Masalah yang terjadi di Indonesia adalah susah bertemu kiai atau ustaz yang benar mencari informasi keagamaan di media sosial. Kita perlu memahami isu ini dari dalam sendiri (emic understanding), di mana pelaku bercerita dan berefleksi atas apa yang sudah dilakukan.
Kelas diakhiri dengan sesi tanya jawab dan diskusi terkait narasi jihad yang terus berkembang baik di pesantren, diskriminasi terhadap kelompok Syiah yang dianggap kafir, dan variasi narasi dominan di media sosial. Menurut Lies, hal yang dominan adalah gagasan bagaimana menjadi lelaki yang akan membawa dirinya dan keluarganya ke surge. Narasi yang digunakan adalah Surat Yusuf, dimana cerita tentang Nabi Yusuf diterjemahkan dan di cocok-cocokkan dengan perjuangan seorang jihadis. Seorang jihadis berhadapan dengan thaghut. Narasi itu dimaknai sebagai narasi tunggal terkait radikalisme (single story about radicalism). Hal itu juga yang terus-terusan dinarasikan di media sosial. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |
Peran PSGA Dalam Gerakan Keulamaan Perempuan Indonesia
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) sangat penting untuk terus menyuarakan kesetaraan gender, pemenuhan hak dan perlindungan anak. Paralel ini dapat menjadi media bagi para akademisi, para intelektual untuk terus menyuarakan persoalan dan ide-idenya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, hak-hak perempuan dan perlindungan anak. Paralel kali ini menjadi lebih penting lagi karena masuk sebagai tema khusus yang dimasukan dalam kongres kupi.
Pikiran-pikiran para ulama perempuan sangat mencerahkan sehingga efektif untuk menyuarakan hak-hak perempuan, isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak yang akhir-akhir ini mengemuka. Lebih lanjut syafi'i berharap pelibatan pimpinan ptki dan psga untuk mensosialisasikan kegiatan ini agar memiliki dampak yang lebih besar, baik dalam lingkup akademik maupun masyarakat. Kegiatan ini berfungsi sebagai penguatan komitmen dan political will dalam penyelenggaraan pencegahan kekerasan seksual dan untuk mendapatkan masukan-masukan produktif dalam penguatan pengarusutamaan gender.
Dokumen ini merupakan laporan diskusi paralel dengan tema peran psga dalam gerakan keulamaan perempuan indonesia yang diselenggarakan pada perhelatan kongres ulama perempuan indonesia ii yang dilaksanakan di jepara pada tanggal 25 november 2022.
Kongres yang diselenggarakan pada 24-26 november memiliki agenda 21 diskusi paralel dengan tema-tema krusial bagi peradaban kemanusiaan dan perempuan, beserta 5 tema musyawarah keagamaan yang telah dimulai sejak sebelum kongres dilangsungkan melalui serangkaian halaqah-halaqah keagamaan.Halaqah dibuka dengan pertanyaan kritis dari moderator: apakah psga bagian dari gerakan keulamaan perempuan?. Pertanyaan bernada skeptis ini kemudian dijawab oleh yunianti chuzaifah dan alimatul qibtiyah dengan menyebut bahwa secara bahasa kata ulama berakar dari kata ilm yang artinya adalah ilmu atau pengetahuan. Oleh karenanya, syarat utama untuk menjadi ulama adalah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni yang mampu memberikan kemanfaatan secara luas.
Pada tahun 2017 di KUPI 1 didefinisikan bahwa ulama adalah gerakan bersama dari orang-orang yang berilmu, dari disiplin ilmu apapun, yang memiliki rasa takut kepada allah swt (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlak karimah), untuk bekerja sama menyampaikan, mengamalkan, dan menegakkan keadilan di muka bumi ini, pada semua manusia, serta memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Dengan definisi ini, predikat ulama tidak melekat pada jenis kelamin tertentu. Melainkan bisa disandang oleh laki-laki maupun perempuan, yang berkiprah dan berkarya, berdasarkan keimanan, ilmu dan pengetahuan, untuk kemaslahatan dan keadilan, baik pada ranah individu, keluarga, masyarakat, manusia sejagat, dan semesta.
Merujuk definisi tersebut, psga yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas dalam pengembangan pengetahuan yang berperspektif gender dan inklusi sosial. Dan, melalui otoritasnya, psga memiliki peranan penting dalam mewujudkan perguruan tinggi responsif gender. Dengan peran tri dharma yang diemban, PSGA merupakan bagian dalam gerakan keulamaan perempuan yang bergerak di institusi pendidikan.
Napas panjang psga, berbeda dari gerakan masyarakat sipil yang terorganisir dalam sebuah lembaga kemasyarakatan atau NGO—yang saat ini masih sangat tergantung pada dana hibah program, menurut alimatul qibtiyah (komisioner komnas perempuan & akademisi di uin sunan kalijaga) aktivisme psga yang berada di lingkungan ptkin terbilang cukup stabil dan memiliki nafas yang panjang. Karena secara finansial anggota psga merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki gaji bulanan. Pun dengan aktivitas yang dikelola oleh psga mendapat dukungan dari anggaran pemerintah melalui perguruan tinggi.
Sementara tantangannya adalah kemampuan individu pengelola psga untuk terus berinovasi. Sebab, meski peran psga di atas kertas strategis dan signifikan dalam pengarusutamaan gender di lingkungan perguruan tinggi, tetapi tidak jarang anggaran yang diberikan dalam masih sangat terbatas. Hal ini disampaikan oleh khasan ubaidillah (ketua psga uin raden mas said surakarta).
Menghubungkan kerja-kerja pendampingan sosial yang berada di kampung dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh psga di ranah kampus. Perguruan tinggi yang diisi oleh hanya satu jenis kelamin (perempuan), bukan sebuah indikator sebagai perguruan tinggi yang sudah “gender”. [] (ZA)
Dokumen Kegiatan:
Materi | : | Materi 1 |
Materi 2 | ||
Materi 3 | ||
Materi 4 | ||
Notulensi | : | Download |
Rekaman Suara | : | Download |
Galeri Foto | : | Download |
Laporan Narasi | : | Download |