Machasin
Prof. Dr. Machasin lahir di Purworejo, 13 November 1956. Aktivitasnya saat ini sebagai dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia merupakan salah satu pembicara pada seminar nasional, salah satu rangkaian program di dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Ia berbicara satu panel dengan K.H. Husein Muhammad, Dr. Nur Rofiah, dan Siti Aisyah. Materi yang disampaikannya bertajuk “Tantangan dan Peluang Ulama Perempuan dalam Menebarkan Islam Moderat”.
Riwayat Hidup
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Brenggong menjadi pendidikan formal pertama Machasin pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan di SLTP PGAN Purworejo pada tahun 1971, dan SLTA 6 Kabupaten Purworejo pada tahun 1973. Setelah selesai di tingkat Menengah Atas, Machasin melanjutkan ke jenjang S-1 jurusan Sastra Arab, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada tahun 1979. Selanjutnya, ia melanjutkan jenjang S-2 (1988) dan S-3 (1994) di universitas yang sama, mengambil Program Kajian Keislaman. Dalam proses penyelesaian disertasinya, ia mengikuti program INIS (Indonesia-Netherlands Coorporation in Islamic Studies) di London, Belanda, dan Mesir pada tahun 1989-1990. Ia mendapatkan anugerah Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam, dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tahun 1998 Machasin dikirim ke Hartford, CT, USA, untuk belajar relasi Muslim-Kristen di acara Hartford Seminary. Kemudian ia sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab (1993-1999) dan Direktur Pascasarjana (2005-2006) UIN Sunan Kalijaga. Ia juga pernah diundang sebagai dosen tamu selama dua bulan di EHESS, Paris, pada 2008. Periode 2012-2014 ada tiga jabatan yang ia pegang, yaitu Pgs. Ka. Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Staf Ahli Menag Bidang Hukum dan HAM, dan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI. Pada periode 2014-2016, ia menjabat sebagai Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenaag RI. Ia juga pernah menjadi Syuriah PBNU.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Machasin telah lama mengkritisi sejarah Islam yang minim melibatkan perempuan. Paadahal, menurutnya, buku Ushul al-Ghabah bi Ma’rifati Shahabah berisi ulama-ulama yang menjadi sanad dalam hadits, di mana 5 jilid diisi laki-laki dan 1 jilid diisi perempuan. Ia mengkalkulasi, meski hanya 1 jilid, kira-kira ada 17% keterlibatan perempuan dalam meriwayatkan hadits nabi. Begitupun di dalam Al-Qur’an, tidak sedikit nama perempuan yang disebut di dalamnya, seperti Maryam, Zainab, dan Aisyah. Artinya, perempuan juga berperan di dalam sejarah Islam, meski jumlahnya sedikit. Berdasar pada perasaan ganjilnya itu, Machasin mulai menulis tentang peran perempuan dalam sejarah Islam, misalnya, “Female Ulama in Islamic History “(2001).
Dalam lanskap yang lebih luas, Machasin juga mempertanyakan kenapa perempuan dalam Islam dipinggirkan. Ia merujuk artikel berjudul “Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning” karya Martin van Bruinessen, yang menuliskan bahwa kitab Parukunan Jamaluddin ditulis oleh seorang laki-laki. Padahal, yang sebenarnya bahwa kitab tersebut ditulis oleh seorang perempuan bernama Syekhah Fatimah, cucu Syekh Arsyad al-Banjari sekaligus saudara perempuan Syekh Jamaluddin itu sendiri. Pengatasnamaan laki-laki itu dikarenakan pada masa itu menulis kitab adalah “pekerjaan” laki-laki. Ada kemungkinan, menurut Machasin, jika ditelusuri lebih lanjut, perempuan juga berkontribusi dalam bidang keilmuan Islam.
Machasin juga mengisi diskusi di banyak tempat tentang perempuan dalam dunia Islam, seperti di Paris. Selain itu, ia juga sempat menulis kebolehan perempuan menjadi imam dalam jamaah yang ada laki-lakinya. Ia menilik ke belakang bahwa ada Umi Waraqah yang menjadi imam salat. Ia merujuk pada sebuah kitab yang menyebutkan bahwa muazin waktu itu disebutkan berjenggot, apakah itu bukan laki-laki? Ia menyayangkan itu, dan kasus-kasus sejenisnya, tidak diungkap dalam sejarah Islam.
Kualifikasi menjadi ulama perempuan sebenarnya sama dengan ulama laki-laki. Ulama juga tidak harus mengusai semua ilmu, bisa jadi satu ilmu dikuasai seperti bidang gender, tasawuf, dan fiqh. Dalam artian, bagi Machasin, siapa pun bisa menjadi ulama, baik laki-laki atau perempuan, asal mereka bisa mengajarkan nilai-nilai Islam dan aktif di dalam masyarakat. Ulama itu memiliki pengikut, orang-orang yang menerima pemikirannya, jadi Machasin menekankan bahwa sebagai ulama juga harus berkumpul dengan masyarakat, tidak berperilaku semaunya sendiri. Ia memberi perluasan makna pada syarat berkumpul dengan masyarakat, yaitu bisa melalui media, baik media sosial atau media tulisan. Perempuan bisa menggunakan media-media itu untuk menyebarkan pemikiran keagamaannya, bisa berupa isu perempuan, kemanusiaan, perbedaan, dan lain sebagainya. Machasin menekankan, sebagai ulama harus bisa menjadi role model dalam bidangnya dan menjadi pemimpin. Itulah mengapa ia menekankan yang disebut sebagai ulama tidak boleh berperilaku semaunya sendiri karena ia akan dicontoh oleh masyarakat.
Pada masa-masa lampau, Machasin sering mendakwahkan isu-isu perempuan melalui khotbah. Beberapa tema yang cukup menjadi perhatiannya adalah perkawinan anak. Sedangkan untuk saat ini ia lebih sering menampaikannya sesuai aktivitas yang sedang dijalaninya. Meskipun demikian, ia tidak menutup kemungkinan untuk berbicara banyak tentang isu perempuan dan gender kalau diminta. Atau, ia akan ikut nimbrung kalau seawaktu-waktu ada masalah berkaitan dengan isu gender, ulama perempuan, ketidakadilan karena perbedaan; entah melalui grup WhatsApp, FB, atau ruang kelas.
Salah satu tema yang sering ia sampaikan adalah bahwa Islam tidak mengunggulkan satu jenis kelamin di atas jenis kelamin lainnya, kecuali perannya. Ia menekankan kelebihan laki-laki atas perempuan dikarenakan dua hal. Pertama, kepemimpinan yang lebih baik. Tapi, lanjutnya, sekarang ini banyak perempuan yang lebih baik dari laki-laki dalam memimpin. Kedua, karena laki-laki sebagai pencari nafkah. Namun, ia menekankan ulang, masyarakat Indonesia sekarang tidak melulu laki-laki. Dalam hal ekonomi bisa join, musyawarah, bahkan perempuan yang mencari nafkah. Memang secara “formal” laki-laki yang disebut sebagai pencari nafkah, tapi realitanya tidak sedikit juga perempuan yang mencari nafkah. Peran inilah yang bisa berganti, tubuh bisa laki-laki tapi pikirannya bisa perempuan, begitu pun sebaliknya.
Machasin mendorong kita untuk mengakui bahwa laki-laki memiliki keterbatasan dalam melihat masalah. Laki-laki memang sering tampil selama ini, tapi mereka tidak bisa melihat dari sudut pandang perempuan. Sedangkan perempuan ada, dan bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat dari sudut pandang laki-laki, yaitu sudut pandang perempuan. Dan, seharusnya jangan memperlawankan feminisme dengan patriarki. Karena, menurut Machasin, patriarki itu lawan dari matriarki. Ia mencontohkan sifat keibuan, yang tidak dimiliki kebanyakan laki-laki, dalam pengasuhan anak. Ketika anak nakal, ibu akan merangkul, sedangkan banyak “bapak” akan memukul. Jadi, di sini pentingnya sudut pandang permepuan, ia melengkapi sudut pandang keagamaan yang selama ini dilihat sepenuhnya melalui sudut pandang laki-laki yang menghasilkan bias gender.
KUPI sendiri belum begitu dikenal masyarakat, masih embrio, dan kegiatannya belum menonjol. Bagi Machasin, memang kongres tersebut luar biasa, tapi ia belum bisa menjadi gerakan yang bisa memengaruhi perjalanan kehidupan masyarakat. Masih diperlukan gerakan yang lebih masif dan dipenuhi “perempuan”. Ia menyodorkan pertanyaan dialektis, “Bisa tidak perempuan betul-betul hadir?” Ia masih meyakini KUPI belum bisa lepas dari laki-laki, seperti kehadiran Husein Muhammad, Faqih Abdul Kodir, Muqsith Gazali, dan tokoh laki-laki lainnya. Ia tidak mempermasalahkan kehadiran laki-laki, tapi mengkhawatirkan suara keibuan (umumiyah) di dalamnya yang datang dari perempuan sendiri. Ia menandai paling tidak hanya satu-dua perempuan yang lantang berbicara dan intensif menulis serta menyampaikan pendapat. Sementara itu, yang dihadapi adalah masyarakat yang dibentuk dengan sudut pandang laki-laki yang tidak mau memperhatikan apa yang tidak bisa dilihat oleh laki-laki.
Machasin melihat peluang ulama perempuan diterima di masyarakat cukup besar. Ia menyadari sekarang ini banyak perempuan belajar agama. Namun, ia juga menyadari tantangan di dalamnya, terutama ketika perempuan mulai berkeluarga, yaitu sedikitnya kesempatan. Kemampuan memang ada dengan banyaknya mengenyam pendidikan, tapi kesempatan untuk menyampaikan itu yang diragukan Machasin, yaitu perempuan memiliki kesempatan membagi waktu yang sempit. Perempuan dalam keluarga, dalam pemahaman masyarakat, disibukkan dengan urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki cenderung tidak peduli terhadap hal tersebut. Memang benar laki-laki adil gender itu ada, meski dalam persentase yang kecil.
Dalam berbagai pertemuan dan diskusi, porsi bicara laki-laki masih tergolong lebih besar dan menonjol dibandingkan perempuan. Machasin mensinyalir ada pengaruh budaya di sini, yang membuat perempuan sedikit bicara meski soal isu gender dan perempuan. Ini adalah tantangan untuk KUPI sendiri, karena, dalam pengelihatan Machasin, hanya ada beberapa perempuan saja yang gencar berbicara, misalnya Lies Marcoes dan Nur Rofiah.
Karya-Karya
Machasin banyak menuliskan gagasannya dalam bentuk artikel ilmiah dan buku. Berikut beberapa di antaranya:
- Memahami Islam dengan Ilmu Adab, (Suka Press 2018), Buku
- Al-Dirāsāt al-Islāmiyya amām taḥaddī altanawwuʻ al-tsaqāfī fī al-‘ālam al-muʻāṣir, (Dār al-Fārābī, Libanon, 2017), artikel.
- Transnasional Ideologies and Religious Local Wisdom, Jurnal Heritage of Nusantara, 2017.
- Syekh Yusuf tentang wahdat al-wujud suntingan dan analisis intertekstual naskah Qurrat al-‘Ain, Jakarta: Puslitbang dan Khazanah Keagamaan, 2013 (bersama Tatik Maryatut Tasnimah, Zamzam Affandi, Habib).
- Die Wahrheit der andern enerkennen; Kernpunkte für eine islamitische Friedentheologie, (Ferdinand Schöningh, Paderborn, Germany, 2010), artikel dalam buku.
- Pembaruan Islam: dari mana dan hendak ke mana? buku terjemahan karya AbdouFilali-Ansary, Reformer l’islam? Mizan, Bandung, 2010.
- Memahami Wajah para Pembela Tuhan, Penerbit: DIAN/Interfidei, Yogyakarta, Edisi: September, 2003 (editor bersama Gerrit Singgih & TH. Sumartana).
- Islam Teologi Aplikatif, Yogyakarta: Alif, 2003.
- Agama dan Negara: Perspektif Islam, Kristen, Konghucu, Katolik, Buddha, Yogyakarta: Interfidei, 2002 (bersama Th. Sumartana dkk).
- “Female Ulama in Islamic History,” Khazanah, 2001.
- Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme (Yogyakarta: LKiS, 2001), Buku.
- “Pluralisme dalam Semangat Kesatuan Transendental” dalam Sumarthana, et.al. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfidei, 2001.
- “Understanding the Qur’ân with Logical Arguments Discussion on `Abd al-Jabbâr's Reasoning,” al-Jami`ah Journal of Islamic Studies, 2001.
- “`Abd al-Jabbâr and the Problem of God's Justice: Discussion on the Concept of Lutf,” Lektur, 2001.
- Al-Qadli Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Daftar Bacaa Lanjutan
- “Parukunan Jamaluddin” Ternyata Ditulis Ulama Perempuan Berdarah Banjar-Bugis https://religi.apahabar.com/2018/12/parukunan-jamaluddin-ternyata-ditulis-ulama-perempuan-berdarah-banjar-bugis/
- Faculty Member: Prof. Dr. Machasin, MA. http://pps.uin-suka.ac.id/id/50-faculty-members/1015-prof-dr-h-machasin-ma.html
- Biografi Prof. Dr. KH. Machasin, MA https://pesantren.laduni.id/post/read/33338/biografi-prof-dr-kh-machasin-ma
- Kyai Machasin: Radikalisme Bisa Datang dari Rumah https://www.suara.com/wawancara/2017/06/19/070000/kyai-machasin-radikalisme-bisa-datang-dari-rumah?page=all
- Guru Besar UIN Yogya: Tak Semua yang Dibungkus Agama Itu Baik dan Benar https://islamindonesia.id/berita/guru-besar-uin-yogya-tak-semua-yang-dibungkus-agama-itu-baik-dan-benar.htm
Penulis | : | Miftahul Huda |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |