Luluk Farida

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Luluk Farida Muchtar
Luluk Farida Muchtar.jpeg
Tempat, Tgl. LahirMalang, 14 April 1975
Aktivitas Utama
  • Pendiri dan Pengasuh Majlis Ta’lim “Rahmah” Malang (2016-sekarang)
Karya Utama
  • Pembina Yayasan Pondok Pesantren PPAI Darun Najah Ngijo Karangploso Malang (2019-sekarang)
  • Pengasuh Program “Merawat Cinta Kasih” Radio Madina FM (kajian rutin kitab Uqudullijain) dan di Masjid Agung Jami’ Kota Malang (2019-sekarang)

Dr. Hj. Luluk Farida Muchtar, S. Ag., M.Pd lahir di Malang pada 14 April 1975. Saat ini ia tinggal di Malang. Pada tahun 2016 dia mendirikan dan mengasuh Majlis Ta’lim “Rahmah” di Malang hingga sekarang. Selain itu, dia juga Pengasuh Program “Merawat Cinta Kasih” Radio Madina FM yang memberikan kajian rutin kitab Uqudulujain di Masjid Agung Jami Kota Malang sejak 2019 hingga saat ini.

Luluk terlibat sebagai peserta dalam pertemuan pra Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di DIY yang membahas tentang persiapan, rekruitmen dan merekomendasikan peserta kongres. Kemudian ia hadir sebagai peserta KUPI yang diselenggarakan pada April 2017, dan pasca kongres ia terlibat aktif mensosialisasikan dan mengimplementasikan gagasan-gagasan KUPI dalam dakwahnya, serta aktif menjadi peserta dan nara sumber pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh KUPI dan jaringannya.

Riwayat Hidup

Luluk Farida adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya dan Ibunya, K.H. Ach. Muchtar Ghozali dan Bunyai Hj. Halimatus Sakdiyah, merupakan pengasuh Pondok Pesantren PPAI Darun Najah, Malang. Ia lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, belajar bersama orang tua dan saudaranya sejak kecil hingga sekarang. Pendidikan formalnya sejak SD hingga kuliah diselesaikan di Malang. Ia menyelesaikan studi S1 Bahasa Arab di IAIN Sunan Ampel Malang tahun 1997, kemudian melanjutkan pendidikan Pascasarjana dalam Kajian Pendidikan Islam tahun 1999-2003. Pada 2019 ia melanjutkan Sekolah Pascasarjana Program Doktoral Universitas Islam Nusantara Bandung dalam bidang Ilmu Kependidikan – Manajemen Pendidikan.

Karena kedekatan dan pengabdiannya pada dunia pesantren, Luluk mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Al-Latihfiyah 3 Bahrul Ulum Takmbakberas Jombang pada tahun 1996 sampai 2008. Selain mengasuh Majelis Ta’lim “Rahmah”, ia juga menjadi Penasihat Majlis Ta’lim An-Nafi’ wal Afiq Karangwidoro Dau Malang sejak tahun 2017 dan Pembina Yayasan Pondok Pesantren PPAI Darun Najah Ngijo Karangploso Malang sejak 2019.

Luluk kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai acara lokal, nasional dan internasional mengenai pendidikan, keadilan gender Islam, pencegahan ekstrimisme, parenting, dan Keislaman. Ia juga menjadi narasumber dalam kegiatan kemasyarakatan dan pemerintahan, serta acara-acara seperti pada TV 9, Radio Madina FM Malang, Fanpage & Youtube: Swara Rahima, Mubadalah.id, Islami,co, LKK-PBNU, dan AMAN Indonesia.

Luluk banyak bekerja sebagai konsultan dan trainer di bidang pendidikan, di antaranya menjadi trainer IAPBE (Indonesia Australia Partnership in Basic Education) pada tahun 2004-2007; surveyor and Pelaksana Monitoring & Evaluation of IAPBE di Jember Jawa Timur pada tahun 2006; trainer KTSP tahun 2006 hingga 2007; trainer School Clinic Program IAPBE (Indonesia Australia Partnership in Basic Education) tahun 2007; trainer bersama Madrasah Education Development Project (MEDP); konsultan dan narasumber Pengembangan Modul Islam Rahmatan Lil Alamin Kementrian Agama RI pada 2014 hingga 2019; Koordinator Survey Pondok Pesantren Jawa Timur (Overview of Islamic Education-Analitical and Capacity Development Partnership) pada tahun 2017.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Di pesantren, Luluk mengajar jamaah ibu-ibu, santri puteri dan santri putera. Ia mengajar bahasa Arab di Madrasah dan pengajian tafsir Jalalain. Dalam kajian tafsir Jalalain, ia memastikan para santri agar mereka mengetahui bahwa al-Quran tidak bisa dimaknai secara tekstual. Dibutuhkan metodologi khusus untuk memaknai ayat dan penguasaan disiplin ilmu yang cukup sehingga terhindar dari politisasi ayat-ayat Al-Quran. Dengan penjelasan tersebut ia berharap agar para santri tidak mudah diprovokasi dan diadu domba dengan menggunakan tafsir ayat-ayat yang keliru dan bias. Luluk mengajar tafsir Jalalain sejak tinggal di Pondok Pesantren Tambak Beras sekitar tahun 1997 sampai kemudian dilanjutkan di Malang sejak tahun 2017 hingga sekarang. Ia menggunakan metode yang berbeda kepada setiap santrinya, disesuaikan dengan siapa santri dan audiensnya agar kajian Jalalain lebih mudah dipahami.

Berkaitan dengan Majelis Rahmah yang ia dirikan, Luluk menuturkan bahwa pendiriannya dilatarbelakangi oleh dorongan dan antusiasme masyarakat sekitar perumahan yang menginginkan adanya kajian untuk siraman rohani warga Muslim yang minoritas di wilayah itu. Majelis Rahmah kemudian semakin berkembang dan muncul inisiatif untuk menggelar program Sekolah Ibu Cerdas yang merupakan program satu tahun. Dalam perkembangannya, Majelis Rahmah juga diikuti oleh ibu-ibu yang berada di luar lingkungan pondok pesantren yang memiliki latar belakang dan kesibukan yang berbeda-beda. Mereka membutuhkan wadah untuk belajar sekaligus bersosialisasi dengan sesama perempuan. Pengajian ini merupakan ruang aman bagi sesama perempuan untuk saling bercerita tentang pengalaman mereka sebagai istri, ibu, pekerja, dan pengalaman perempuan secara umum.

Sejak 2019 hingga sekarang, Luluk mengasuh program “Merawat Cinta Kasih” Radio Madinah FM dengan mengkaji kitab Uqudulujain, dua kali dalam satu bulan dan pengajian di Masjid Jami Malang yang ia lakukan sebulan dua kali secara tatap muka langsung. Kitab Uqudullujain selama ini masih dikaji secara bias oleh para guru dan ustadz.  Sejak usia 15 tahun Luluk sudah terbiasa dengan kajian Uqudulujain yang bias tersebut. Oleh karena itu, Luluk mencoba memberikan tafsir dengan perspektif yang berkeadilan dan menggali validasi hadits yang dikutip oleh Imam Nawawi. Hadits-hadits tersebut ditelusuri apakah termasuk hadits shahih, dhaif, maudhu’, yang menjadi pertimbangan apakah dapat digunakan sebagai rujukan atau tidak yang berkorelasi dengan ayat Al-Quran dan hadits. Dalam kajiannya, ia juga mempertimbangkan perbedaan budaya penulis yang berasal dari Banten dan peserta pengajian yang berada di Jawa Timur. Posisi perempuan Sunda dan perempuan Jawa berbeda sehingga membutuhkan pendekatan khusus untuk menjembatani perbedaan budaya tersebut. Pendekatan ini ia lakukan untuk menghindari bias dalam memberikan kajian yang dampaknya bisa melahirkan kezaliman atas nama agama.

Luluk juga membangun pemikiran kritisnya mengenai ketidakadilan gender di pesantren dengan melakukan penelitian saat kuliah S1. Ia bertujuan untuk membuktikan apakah ajaran Islam itu seperti apa yang dipelajarinya dan dialaminya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dari penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa pendidikan, nilai, dan semua yang diterima selama ini hanyalah persepsi, tafsir, dan interpretasi yang sepihak tanpa melibatkan perempuan. Tafsir dan ajaran yang banyak diberikan masih banyak yang tidak mempedulikan keadilan, kepekaan, dan bahkan justru menzalimi perempuan.

Menurutnya, tidak ada satu pun ayat tentang kewajiban perempuan tapi justru ayat-ayat yang memberikan kewajiban kepada laki-laki. Namun, dalam praktik sehari-hari di dalam masyarakat, perempuan justru mendapatkan beban kewajibab lebih banyak daripada laki-laki. Tafsir-tafsir yang bias mengutamakan pengaturan dan kewajiban kepada perempuan untuk melakukan banyak hal dan membuat perempuan patuh dengan ancaman dosa dan neraka. Selain itu, ternyata banyak hadits palsu yang digunakan terutama dalam kitab Uqudullujain. Mirisnya, hadits-hadits palsu itu yang dipercaya oleh masyarakat dan dianggap sebagai ajaran agama yang harus dipatuhi. Kezaliman kepada perempuan melalui tafsir hadits yang salah juga diperkuat oleh budaya masyarakat yang bias gender. “Sebenarnya di Jawa perempuan itu setara dengan laki-laki, tapi dengan menggunakan ayat-ayat yang bias itu jadi kesetaraan yang dibangun budaya itu justru dikalahkan oleh keyakinan beragama yang salah,” jelas Luluk.

Luluk mendapatkan pemikiran progresifnya dari ibunya yang perogresif dan dinamis. Ibunya mengusahakan anak-anaknya untuk sekolah dan kuliah formal, sehingga Luluk mendapatkan dukungan untuk melanjutkan sekolah, tidak hanya di pesantren. Ibunya menekankan kepada santri-santri puteri untuk berdaya sebagai perempuan dan tidak bergantung kepada suami.

Selain mendapatkan pengaruh pemikiran progresif dari Ibunya, Luluk juga belajar dari pengalamannya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki pemikiran dan pengalaman serupa selama mengikuti program Rahima. Bagi Luluk, KUPI memberikan ruang bagi dirinya untuk bergerak dan sesuai dengan pemikirannya yang progresif. KUPI merupakan forum bergengsi dengan ulama-ulama yang keilmuannya tidak diragukan, dan dipersiapkan dengan matang dan panjang. Menurutnya, setelah kongres KUPI, para Ulama perempuan memiliki “taring dan gigi” yang menguatkan perjuangan dan jaringan ulama-ulama di berbagai daerah. Luluk tidak merasa berjuang sendirian. Bersama KUPI dan jaringan di seluruh daerah di Indonesia, perjuangan para ulama perempuan semakin dikuatkan untuk berdakwah dan berjuang bersama.

Selama ini kata “ulama perempuan” disempitkan menjadi istilah “Bu Nyai”, yaitu ulama perempuan yang memiliki ilmu pengetahuan dan menjadi istri ulama laki-laki. Akan tetapi, seringkali ulama perempuan yang menjadi Bu Nyai tidak diakui sebagai ulama perempuan, malah justru suaminya yang dianggap ulama meskipun tidak memiliki pengetahuan sebagai ulama. Perspepsi Ulama perempuan dalam masyarakat adalah ustadzah dan yang memberikan pidato keagamaan.

Selama berdakwah, Luluk menghadapi tantangan dari masyarakat yang terbiasa dengan ajaran dan nilai yang mereka pegang selama berabad-abad, sehingga saat ia memberikan perspektif yang berbeda, mereka resisten. Tantangan paling besar yang ia hadapi bersama jamaahnya dimulai dari orang-orang terdekatnya seperti suami, mertua, dan keluarga. Dia mendapatkan penolakan karena memberikan pemahaman kepada ibu-ibu tentang apa yang menjadi kewajiban perempuan dan laki-laki yang dianggap menentang agama dan menyalahkan laki-laki. Ia mendapatkan protes dari bapak-bapak yang merupakan suami dari ibu-ibu jamaahnya, hingga ada yang melarang untuk mengikuti kajiannya dengan mengatakan, “Jadi perempuan durhaka nanti kamu kalau ngaji ke situ.”

Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, strategi yang dilakukan Luluk adalah ia tetap istiqomah dan melanjutkan dakwah yang sudah dilakukannya selama puluhan tahun. Ia tetap konsisten untuk berbagi ilmu dan memberikan kontribusi bagi masyarakat luas. Selama pandemi, ia mengaku baru berani mencoba untuk melakukan ngaji online melalui YouTube, Instagram, dan Facebook.

Luluk berbicara mengenai tantangan paling berat yang dihadapi KUPI, yaitu situasi pandemi karena tidak memungkinkan untuk melakukan kongres secara tatap muka. Untuk persiapan kongres, tim yang bertanggung jawab masih bisa berdiskusi dengan para ulama perempuan di berbagai wilayah secara online. Namun, jika kongres dilaksanakan secara online akan menjadi terbatas. Sebagai peserta, Luluk mengikuti dan memberikan dukungan kepada penggerak dan pemikir KUPI yang utama dalam semua program dan kongres KUPI selanjutnya.

Peran terbesar KUPI menurut Luluk adalah menguatkan ulama-ulama perempuan di seluruh daerah di Indonesia, yang selama ini merasa berjuang sendirian. Para ulama perempuan merasa dikuatkan secara mental dan keilmuan, serta memiliki teman seperjuangan dalam berdakwah dan berkontribusi kepada masyarakat. Fatwa-fatwa KUPI telah menjadi dasar-dasar yang kuat bagi ulama-ulama perempuan dalam penguatan dalil, referensi, dan keilmuan. KUPI juga membutuhkan Rahima, Fahmina, Alimat, AMAN, Mubadalah, dan partner lainnya untuk memberdayakan ulama-ulama perempuan.

Daftar Bacaan Lanjutan


Penulis : Wanda Roxanne
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir