Kamala Chandrakirana
Kamala Chandrakirana lahir pada 2 Oktober 1960, merupakan aktivis dan advokat untuk Hak Asasi Manusia dan demokrasi. Dia merupakan anggota pendiri dan dewan direksi Musawah, Ketua dan Dewan Direksi “Urgent Action Fund for Women’s Human Rights” Asia Pacific, Ketua dan Dewan Direksi “Indonesia for Humanity”, sekaligus menjadi anggota pendiri dan dewan Pembina Rahima.
Sebagai salah satu penggerak KUPI, Nana menggodok KUPI dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Husein Muhammad, Faqihuddin Abdul Kodir, Badriyah Fayumi, Helmi, Nur Rofiah, dan AD Eridani. Diskusi terus dilakukan berulang kali untuk menghasilkan konsep bersama untuk KUPI. Para inisiator dan eksekutor KUPI ini ini akhirnya bersepakat bahwa output dari kongres adalah fatwa yaitu pandangan keagamaan.
Para penggerak KUPI sempat terkejut melihat perhatian, antusiasme, dan respon dari para peserta dan masyarakat luas terkait KUPI. Kongres KUPI saat itu mendapat sorotan yang besar dari berbagai tokoh-tokoh Indonesia dan juga mendapatkan respon luar biasa di tingkat internasional. Bagi Nana, perhatian masyarakat di tingkat nasional dan internasional seperti “gelombang besar yang tak terduga” yang membawanya dan delegasi KUPI diundang oleh Parlemen Inggris untuk menceritakan tentang KUPI. Di tingkat internasional saat Nana berbicara tentang KUPI, masih banyak yang terkejut dengan istilah “ulama perempuan”. Mereka mempertanyakan bagaimana bisa ada ulama perempuan di Indonesia karena di Negara lain tidak ada istilah itu.
Riwayat Hidup
Nana, demikian ia biasa dipanggil, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Soedjatmoko Mangoendiningrat dan Ratmini Gandasubrata. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang memiliki idealisme yang tinggi terkait kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi. Ia menyelesaikan S1 Jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia (1979-1981), kemudian melanjutkan double degree dalam Sosiologi di Universitas Sophia Tokyo (1981-1983). Satu tahun kemudian melanjutkan studi Magister Sains bidang Sosiologi Pembangunan di Universitas Cornell, Ithaca, New York (1984-1988).
Ia terlibat dalam berbagai kerja-kerja nasional, regional, dan internasional. Sejak Januari 2010 hingga sekarang dia menjabat sebagai Ketua dan Dewan Direksi “Indonesia for Humanity” yang merupakan Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan. Ia memimpin upaya untuk memperkenalkan strategi penggalangan dana publik untuk keadilan sosial. Di saat yang sama ia merangkap posisi sebagai Koordinator Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Ia terpilih menjadi Ketua Dewan Pembina Fahmina Institute (LSM) sejak 2013 hingga sekarang, setelah menjadi Anggota Dewan sejak 2009.
Nana juga terlibat dalam Rahima, LSM yang mendukung pemberdayaan ulama perempuan di bidang akademis dan di akar rumput, serta mengembangkan perspektif keadilan gender dalam Islam. Ia menjabat sebagai anggota pendiri dan Dewan Pembina sejak 2011 hingga sekarang. Ia aktif menjadi Ketua dan Dewan Pembina Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) sejak tahun 2017 hingga sekarang. Sejak Januari 2019 hingga sekarang dia juga menjadi Sekretaris Dewan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), setelah sebelumnya aktif menjadi anggota sejak 2008 dan kemudian menjadi Wakil Ketua Dewan periode 2014-2019.
Di level internasional, Nana menjadi Ketua dan Dewan Direksi Urgent Action Fund for Women’s Human Rights – Asia and Pacific di Afrika dan Amerika Latin sejak 2017. Sejak 2009 sampai 2011 ia menjadi Anggota Pendiri Musawah, sebuah gerakan global untuk kesetaraan dan keadilan dalam keluarga muslim, kemudian sejak 2018 hingga sekarang menjadi Anggota Dewan Direksi. Ia juga bergabung sebagai anggota dan Tim Manajemen “Foundations for Peace Network” dengan anggota Irlandia Utara, Palestina, Serbia, Georgia, India, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal, dan Indonesia (2014-sekarang). Ia juga merupakan anggota pendiri Asia Pacific Women’s Alliance on Peace and Security (APWAPS) sejak 2014 hingga sekarang.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Kamala Candrakirana merupakan Sosiolog yang tidak memiliki latar belakang pesantren. Namun mulai terlibat dalam gerakan Islam progresif dengan komunitas santri-santri saat akhir masa Reformasi, yaitu melalui P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). P3M adalah suatu organisasi yang bekerja dengan mendorong demokrasi dan keadilan lewat pesantren. Saat itu P3M memiliki program tentang kesehatan reproduksi yang dikepalai oleh Lies Marcoes, dan Nana diminta untuk mendukung program ini. Melalui program P3M, ia bertemu dengan aktivis pesantren yang concern dengan hak reproduksi perempuan di kalangan pesantren. Program ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Rahima. Ia merupakan salah satu jajaran pendirinya. Ia juga diminta untuk menjadi pengurus yayasan Fahmina di Cirebon, yang kerja-kerjanya juga berbasis pesantren.
Suatu ketika, Nana bertemu dengan Zainah Anwar yang merupakan pendiri Sister in Islam (SIS) yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Malaysia. Zainah merasa advokasinya di Malaysia sudah buntu sehingga membutuhkan forum atau konstituensi internasional sebagai basis lintas Negara. Untuk mengakomodasi hal tersebut, Zainah mengundang rekan-rekannya dari berbagai Negara, termasuk Nana yang menghasilkan pendirian Musawah sebagai a Global Movement for Equality and Justice in the Muslim Family tahun 2009. Nana tercatat sebagai salah satu pendiri Musawah dan mengajak beberapa tokoh kunci dari Indonesia untuk menjadi bagian dari gerakan Musawah dan mengikutsertakan mereka saat launching Musawah di Kuala Lumpur.
Ketika terjadi kerusuhan tahun 1998, ia menjadi peneliti tentang desa di Nusa Tenggara Timur untuk memahami institusi-institusi lokal di tingkat desa. Saat itu ia memiliki jaringan dengan organisasi LSM perempuan seperti Kalyanamitra dan Solidaritas Perempuan. Melalui jaringan tersebut, ia dan rekan-rekannya mendampingi korban kekerasan dan membangun gerakan bersama Saparinah Sadli dan beberapa senior untuk bertemu Presiden Habibie. Melalui pertemuan tersebut, maka lahirlah Komnas Perempuan dengan Saparinah Sadli sebagai ketua dan Nana sebagai sekjen.
Saat bekerja di Komnas Perempuan, Nana mengumpulkan para tokoh kunci yang terlibat dalam launching dan gerakan Musawah untuk menindaklanjuti gerakan Musawah. Para tokoh ini berasal dari kalangan organisasi keagamaan seperti Fatayat dan Aisiyah, dan juga LSM seperti LBH Apik. Dalam pertemuan itu, mereka menginisiasi forum di Indonesia untuk memperjuangkan hal-hal yang sudah mereka tangkap dan sedang terjadi di tingkat global melalui Musawah. Maka dibentuklah Alimat untuk mengakomodasi hal tersebut.
Keterlibatan Nana di dalam Rahima, Fahmina dan Alimat semakin menguatkan keberakarannya dalam gerakan progresif. Pada masa kepengurusannya di Rahima, Rahima secara konsisten berkeliling selama 10 tahun melakukan penguatan ulama perempuan di komunitas, terutama di Jawa. Tidak cukup dengan itu, Rahima bersama Fahmina dan Alimat menginisiasi forum pertemuan para ulama perempuan dalam sebuah kongres agar jaringan mereka semakin kuat dan luas. Maka tercetuslah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon, tahun 2017.
Menurut Nana, setelah 11 tahun di Komnas Perempuan membuatnya berada dalam posisi untuk harus memikirkan strategi makro untuk pendampingan nasional. Dia merasa yakin bahwa peran dari institusi-institusi sosial keagamaan sangat penting dalam strategi makro tersebut. Tidak mungkin mengatasi persoalan terhadap kekerasan terhadap perempuan tanpa peran kunci dari para pemikir dan institusi-institusi keagamaan. Sebagai sosiolog, ia yakin bahwa peran masyarakat dan institusi sosial baik dalam bidang keagamaan maupun bidang yang lain sangat berpengaruh besar untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
“Jika kita percaya bahwa pemenuhan hak-hak perempuan sebagai HAM hanya bisa tercapai jika perempuan sendiri memperjuangkannya, maka di komunitas keagamaan kita harus mendukung perempuan di komunitas keagamaan ini,” kata Nana. Baginya, ketika masyarakat bertanya siapa pemimpin yang memainkan peran kepemimpinan dalam skala kecil di keluarga atau di desa, maka ulama perempuan adalah wujud kepemimpinan untuk konteks di Indonesia. Namun berbeda konteks jika di Negara lain misalnya di Pakistan, tidak ada konsep ulama perempuan.
Konsep ulama perempuan masih menjadi hal yang baru bagi sebagian masyarakat dan komunitas, baik di Indonesian hingga global. Menurut Nana, isu dasar ulama perempuan adalah kepemimpinan perempuan. Di dalam lingkungan keagamaan, kepemimpinan perempuan salah satu wujudnya adalah dengan adanya ulama perempuan. Nana banyak mempelajari kepemimpinan perempuan di dalam komunitas keagamaan. Dia menemukan bahwa terdapat banyak hierarki di dalamnya yang dipengaruhi oleh sistem patriarki yang sangat kuat.
Menurut Nana, untuk memahami posisi ulama perempuan dalam hierarki kekuasaan yang hidup dalam institusi-institusi keagamaan, maka perlu memahami dinamika sosial di dalam komunitas, mengetahui sejarah ormas-ormas dan memahami dinamika politik di dalam organisasi, termasuk perempuannya. Adanya Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 yang diselenggarakan di Yogyakarta adalah bagian dari sejarah kepemimpinan perempuan di Indonesia. Dalam kongres tersebut, perempuan-perempuan dari berbagai organisasi keagamaan hadir dan memainkan peran kunci di dalamnya. Dalam perspektif Nana, kongres tersebut adalah agenda politik.
Nana mengatakan bahwa KUPI pada 2017 bukanlah event tapi merupakan platform untuk membangun gerakan sehingga KUPI dapat terus hidup di Indonesia. Salah satu agenda KUPI adalah untuk menguatkan otoritas ulama perempuan agar dapat menjadi sesuatu dapat dipantau terutama bagi Nana yang merupakan penggerak KUPI. KUPI mengasilkan banyak hal termasuk adanya tiga fatwa yaitu tentang kekerasan, perkawinan anak dan pengrusakan alam. KUPI ikut mengawal dalam isu kawin anak yang berujung pada keputusan dalam menaikkan batas usia menikah bagi perempuan. Kemudian saat persoalan ini diangkat di CEDAW dan sebagainya, Kementrian Pemberdayaan Perempuan merujuk pada fatwa KUPI. Fatwa-fatwa KUPI telah digunakan sebagai rujukan policy making oleh institusi Negara yang merupakan suatu bentuk pengakuan terhadap otoritas ulama perempuan. Perkembangan-perkembangan ini sangat penting untuk dicatat, terutama untuk menyelenggarakan KUPI kedua agar menyesuaikan kebutuhan masyarakat dalam momentum terkini.
Indonesia termasuk Negara yang progresif dalam mengusung konsep ulama perempuan. Berdasarkan pengalaman Nana, ketika dia berbagi tentang dinamika ulama perempuan di Indonesia dalam komunitas internasional, banyak yang mengatakan bahwa ulama perempuan di Indonesia adalah “pengecualian” dan tidak mungkin terjadi di komunitas muslim di Negara lain. Nana merespon mereka dengan mengatakan bahwa Indonesia lewat KUPI dan kerja-kerja progresif dari gerakan menunjukkan “what is possible within Islam”.
Memang diakui bahwa konteks ulama perempuan di Indonesia berbeda dengan Negara lainnya karena memiliki sejarah dan dinamikan yang berbeda. Hal tegas yang disampaikan Nana pada komunitas muslim internasional bahwa ulama perempuan di Negara lain bukannya tidak mungkin untuk ada. KUPI menunjukkan kepada mereka bahwa ulama perempuan dan KUPI mungkin dilakukan, meski memiliki masalah dan tantangan. Harapan KUPI adalah mengajak komunitas nasional dan global untuk mempelajari KUPI dan menjadi sumber inspirasi, tanpa harus mendikte mereka untuk melakukan hal yang sama dengan membuat kongres ulama perempuan di Negara mereka seperti KUPI.
Sekali lagi Nana menegaskan bahwa KUPI merupakan Gerakan hasil dari 10 tahun kerja keras di komunitas yaitu kerja-kerja Rahima, Fahmina dan Alimat yang saling mendukung. Rahima berperan dalam memprioritaskan ulama perempuan dengan strategi pendidikan yang dilakukan selama 10 tahun. Kemudian Fahmina berperan dalam membangun konsep keagamaan dan otoritas untuk menciptakan narasi dan cara pandang ulama perempuan. Kemudian basis pengetahuan dan konsep ini dikuatkan oleh Alimat. Alimat lahir dari misi advokasi dengan tokoh-tokoh perempuan pemimpin di tingkat nasional (ormas muslim) yang berpengalaman untuk masuk ke dalam ruang-ruang pengambilan keputusan di internal organisasi maupun institusi-institusi Negara. Rahima, Fahiman, dan Alimat merupakan ranah dan peran gerakan yang berbeda-beda yang bermuara menjadi satu yaitu KUPI.
Lahirnya KUPI sebagai gerakan tidak luput dari tantangan. Bagi Nana, tanntangan ini sekaligus merupakan kekuatan bagi KUPI, yaitu gerakan KUPI dikerjakan dengan energi kerja sukarela. Sebagian masyarakat dan komunitas masih memperlakukan KUPI sebagai organisasi, tapi Nana menegaskan bahwa KUPI adalah gerakan, bukan organisasi. KUPI tidak memiliki entitas terlembaga seperti organisasi. Kerelawanan yang dilakukan oleh penggerak dan pendukung KUPI adalah kekuatan yang juga menjadi tantangan karena semua pihak yang terlibat sambil mengerjakan hal lainnya juga. Sehingga semua pihak harus bisa merawat energi bersama dalam KUPI.
Tantangan lainnya adalah mencari cara untuk bisa terus menerus dapat menangkap relevansi dan urgensi isu dan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat terutama perempuan. Menurutnya, karena KUPI bukan organisasi, yang penting adalah proses-proses diskusi pra kongres untuk menemukan konsensus dan menangkap hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat, bangsa dan peradaban.
“Kepemimpinan perempuan yang diwujudkan dalam KUPI bukan hanya untuk perempuan, tapi untuk kemanusiaan secara umum dan untuk kebangsaan di Indonesia juga,” kata Nana. Menurutnya, KUPI harus bisa menangkap urgensi sehingga nanti pada saat kongres kedua, KUPI bisa menghasilkan fatwa-fatwa baru yang dapat menjawab kebutuhan. KUPI butuh memastikan legitimasi dan kredibilitas fatwa-fatwanya karena fatwa bukanlah hukum yang mengikat namun memiliki otoritas untuk menggerakkan orang-orang yang merasa yakin dengan fatwa-fatwa tersebut dan membutuhkan fatwa itu karena menjawab persoalan dalam kehidupan mereka. Dia mengatakan bahwa otoritas ulama perempuan tidak hanya penting untuk diakui oleh DPR dan pemerintah, namun lebih penting lagi diakui oleh masyarakat.
Tantangan KUPI di masa pandemi seperti sekarang adalah keterbatasan akses untuk mengelanggarakan diskusi dan pertemuan yang sebelumnya dilakukan secara langsung, sekarang harus melalui ruang virtual. Dalam ketidakpastian pandemi, KUPI menjadi kesulitan untuk memprediksi apakah pada November 2022 sudah memungkinkan untuk tatap muka melakukan kongres kedua, atau pilihan lainnya adalah melakukan kongres dengan kombinasi luring dan daring dengan maksimal.
Selain itu, tantangan lain yang perlu perhatian oleh KUPI adalah kekuatan-kekuatan yang akan melemahkan KUPI, sehingga perlu membuat aliansi-aliansi agar gerakan KUPI bisa terus bertahan. Pertarungan yang sangat besar yang dihadapi KUPI dan komunitas Muslim merupakan pertarungan di level peradaban, bukan hanya di level suatu Negara dengan Negara lain. KUPI harus paham bisa terus menerus sigap dan menemukan cara survival dan untuk mendapatkan kemenangan-kemenangan yang berarti.
Menurut Nana, KUPI memiliki peluang sekaligus tantangan dari masyarakat yang hadir karena ekspektasi mereka terhadap KUPI cukup tinggi. KUPI dianggap “mencengangkan” oleh komunitas internasional dan global. Bagi mereka, KUPI adalah sesuatu yang tak terbayangkan dan tak terpikirkan di dalam situasi maraknya pertarungan dan konflik di dalam komunitas Muslim sedunia. Progres KUPI yang pertama maupun selanjutnya sudah ditunggu sebagai salah satu sumber harapan di dalam kehidupan dunia muslim yang lebih baik. Cerita KUPI diharapkan bisa memberikan kekuatan, keteguhan dan harapan bagi komunitas muslim global dalam akar rumput. Hal ini merupakan peluang dan tanggung jawab yang cukup besar bagi KUPI terutama bagi komunitas muslim global.
Banyak hal yang penting dan menarik yang terjadi terutama pasca kongres KUPI 2017, salah satunya terkait perjuangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. KUPI memilih untuk bersuara dalam menghadapi serangan-serangan yang menggunakan narasi keagamaan untuk menggagalkan upaya pengesahan RUU PKS. Dalam proses itu, KUPI diundang oleh DPR dan pihak-pihak lainnya, merupakan proses menguatnya pengakuan terhadap otoritas ulama perempuan.
Karya-karya
Nana memiliki karya-karya berupa makalah, presentasi, laporan dan publikasi terpilih yang diterbitkan dalam nasional dan internasional. Beberapa tema besar yang dikuasainya adalah Tentang Sumber Daya Gerakan Sosial, Tentang Hak-hak Perempuan dan Hak Asasi Manusia dan Tentang Keadilan Sosial, Demokrasi dan Bangsa. Berikut di antara karya-karyanya:
- “Mind the Gap: Resourcing Rights-based Social Justice in an Unequal Indonesia,” Filantropi untuk Keadilan dan Perdamaian Sosial, blog (27 Februari 2020)
- “Kepemimpinan Perempuan Indonesia: Kuasa, Kedaulatan dan Daya Transformasi,” keynote speech, Galeri Cemara, Jakarta (21 Agustus 2019)
- “Occupying the Ordinary: Human Rights in the Remaking of Everyday Life,” keynote pidato untuk Southeast Asian Human Rights Network (SEAHRN), Konferensi Internasional Kelima di Manila (17 Oktober 2018)
- “Arrests of women’s rights advocates put Saudi Arabia on the wrong side of history,” bersama Zainah Anwar, openDemocracy (3 Agustus 2018)
- “Refleksi tentang Keadilan Sosial: Aspirasi Tanpa Akhir,” PRISMA, Volume 39, Edisi 3 (2020)
- “Menghadapi Badai Perubahan dengan Etika Perawatan (Ethics of Care),” Konperensi Sinodal Gereja, Masyarakat dan Agama-agama, Jakarta (22 Januari 2019)
- “Indonesia Reconstructed – Navigating a Nation Divided”, keynote speech pada acara Simposium Future Indonesia, Berlin (18 September 2018)
- “Yudhoyono’s Politics and the harmful implications for gender equality in Indonesia”, dengan Melani Budianta dan Andy Yentriyani, dalam Aspinall, Mietzner and Tomsa, eds., The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation. Singapura: Institut Studi Asia Tenggara (2014)
- “Poverty, Inequality and Gender-based Discrimination: A Role for Human Rights and the Law,” Konferensi Tahunan Asosiasi Pengacara Internasional, Tokyo, Jepang (20 Oktober 2014)
Daftar Bacaan Lanjutan
“KUPI: Ruang Perjumpaan yang Tulus dan Majemuk”, dalam Tim KUPI (Ed.), Buku KUPI: Proyeksi Masa Depan Ulama Perempuan Indonesia; Kumpulan Tuisan Refleksi (KUPI 2017).
Penulis | : | Wanda Roxanne |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |