Mubadalah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Mubadalah adalah kata bahasa Arab: mubādalah (مبادلة). Berasal dari akar suku kata “b-d-l” (ب - د - ل), yang berarti mengganti, mengubah, dan menukar. Akar kata ini digunakan al-Qur’an 44 kali dalam berbagai bentuk kata dengan makna seputar itu. Sementara kata mubadalah sendiri merupakan bentuk kesalingan (mufā’alah) dan kerjasama antar dua pihak (musyārakah) untuk makna tersebut, yang berarti saling mengganti, saling mengubah, atau saling menukar satu sama lain.

Baik kamus klasik, seperti Lisān al-‘Arab karya Ibn Manzhur (w. 711/1311), maupun kamus modern, seperti al-Muʻjam al-Wasīth, mengartikan kata mubādalah untuk tukar menukar yang bersifat timbal balik antara dua pihak. Dalam kedua kamus ini, kata “bādala-mubādalatan” digunakan dalam ungkapan ketika seseorang mengambil sesuatu dari orang lain dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain. Kata ini sering digunakan untuk aktivitas pertukaran, perdagangan, dan bisnis.

Dalam kamus modern lain, al-Mawrid, untuk Arab-Inggris, karya Dr. Rohi Baalbaki, kata mubādalah diartikan muqābalah bi al-mitsl. Atau menghadapkan sesuatu dengan padanannya. Kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris ke dalam beberapa makna: reciprocity, reciprocation, repayment, requital, paying back, returning in kind or degree. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kesalingan” (terjemahan dari mubādalah dan reciprocity) digunakan untuk hal-hal “yang menunjukkan makna timbal balik”.

Dari makna-makna ini, istilah mubadalah dalam buku ini akan dikembangkan untuk sebuah perspektif dan pemahaman dalam sebuah relasi tertentu antara dua pihak, yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerjasama, kesalingan, timbal-balik, dan prinsip resiprokal. Baik relasi antara manusia secara umum, negara dan rakyat, majikan dan buruh, orang tua dan anak, guru dan murid, mayoritas dan minoritas. Namun dalam buku ini relasi yang dimaksud lebih difokuskan pada relasi laki-laki dan perempuan di ruang domestik maupun publik.

Dus, mubadalah dalam buku ini adalah sebuah terminologi tentang relasi antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada cara pandang dan sikap untuk saling menghormati satu sama lain, karena keduanya adalah manusia yang bermartabat, saling kerjasama dan tolong menolong. Ia merupakan alternatif dari cara pandang dan sikap sebuah relasi, dimana yang satu merasa lebih baik dan lebih utama, yang kemudian membuka segala bentuk penguasaan dan kekerasan. Mubadalah adalah alternatif dari relasi  yang bersifat hegemonik ke relasi berkarakter partnership.

Prinsip dan Nilai Mubadalah

Visi Islam dan kerasulan Nabi Muhmmad Saw adalah menebar kasih sayang ke seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamiin, QS. Al-Anbiya, 21: 107). Visi ini tentu saja bersifat timbal-balik. Karena seseorang yang menyayangi juga perlu untuk disayangi. Begitupun orang yang disayangi memiliki tanggung-jawab untuk juga menyayangi. Karena itu, Nabi Saw mengaitkan keimanan dengan perilaku sayang kepada orang lain sebagaimana sayang kepada diri sendiri (Sahih Bukhari, no. Hadits: 13). Janji surga, dalam hadits lain, juga akan lebih mudah ditebus dengan sikap saling mencintai dan menyayangi satu sama lain (Mustadrak al-Hakim, no. Hadits: 7310).

Visi dasar ini dikuatkan dengan misi dasar penyempurnaan akhlak manusia dalam kerasulan Nabi Muhammad Saw (Sunan al-Baihaqi, no. Hadits: 20781). Akhlak adalah segala sikap baik terhadap diri dan orang lain. Menghormati, menolong, melapangkan jalan kebaikan, menghadirkan sebanyak mungkin manfaat dan tidak menyakiti diri maupun orang lain. Dalam berbagai teks hadits, segala perilaku  baik ini  bersifat resiprokal dan kesalingan. Artinya, saling menghadirkan kebaikan dan saling menghindarkan keburukan. Kesalingan ini merupakan bentuk dari kecintaan seseorang kepada orang lain, sebagaimana cintanya pada diri sendiri (Musnad Ahmad no. 14083; 22558 dan 22560).

Dalam Islam, visi dan misi ini masuk secara inheren dalam ajaran fundamental tauhid. Secara bahasa, tauhid bermakna mengesakan Allah Swt. Kalimat “lā ilāha illallāh” yang sering diucapkan setiap muslim adalah proklamasi tentang keesaan Allah Swt, sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak. Memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal, pertama pengakuan akan keesaan Allah Swt dan kedua pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya.

Tiada tuhan selain Allah Swt, berarti tidak ada perantara antara hamba dengan Tuhannya, dan bahwa sesama manusia tidak boleh yang satu menjadi tuhan terhadap yang lain. Raja bukan tuhan bagi rakyatnya, majikan bukan tuhan bagi buruhnya, juga suami bukan tuhan bagi istrinya. Dus, tauhid memiliki dimensi vertikal, hubungan penghambaan hanya kepada Allah Swt (hablun minallah); dan dimensi horizontal memandang setara dan suadara sesama manusia (hablun minannas).

Seseorang yang hanya menuhankan Allah Swt dan hanya menghamba kepada-Nya secara vertikal, tentu saja tidak menghamba kepada orang lain atau memperhamba sesama manusia secara horizontal. Melainkan memandang sederajat terhadap siapapun, dan lalu bekerjasama, saling tolong menolong dan bahu membahu dalam membangun kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan adil. Demikianlah tauhid sosial horizontal.

Ketauhidan sosial horizontal ini pada gilirannya juga mengantarkan pada prinsip keadilan, sehingga tidak boleh ada orang yang diposisikan secara timpang dan atau menjadi korban sistem sosial yang hegemonik dan dominatif. Dalam berbagai ayat al-Qur’an, keadilan ditegaskan sebagai ajaran pokok Islam dalam berbagai kehidupan (QS. Al-Nisa, 4: 58 dan 135; al-Anʻām, 6: 152; Hud, 11: 85; al-Nahl, 16: 90; al-Hadid, 57: 25; dan al-Mumtahanah, 60: 8). Tauhid sosial-horizontal ini juga meniscayakan prinsip penghormatan kemanusiaan dan kasih sayang antar sesama. Penghormatan kemanusiaan dan kasih sayang juga ditegaskan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya (QS. Al-Isra, 17: 70; al-Anbiya, 21: 107; dan Ali Imran, 3: 159).

Perspektif kesalingan dalam relasi dua pihak, dengan demikian, mengakar pada tauhid sosial yang menegaskan kesetaraan, keadilan, kasih sayang, dan penghormatan kemanusiaan. Dengan perspektif ini, dua pihak dalam sebuah relasi diharuskan untuk bersikap ramah dan memanusiakan, tidak mendiskreditkan, tidak menganggap rendah, dan tidak menghegemoni, serta tidak melakukan kekerasan dan segala bentuk kezaliman.

Perspektif ini juga berdasar pada pengakuan kesucian hidup dan harta yang dideklarasikan Nabi Saw pada saat haji perpisahan 14 abad yang lalu (Sahih Muslim, no. hadits: 3009). Tentu saja, kesucian hidup dan harta hanya mungkin bisa dijaga jika satu sama lain saling menghormati hak hidup masing-masing. Jika seseorang ingin dipenuhi kebutuhannya, maka ia harus berpikir orang lain juga membutuhkan hal demikian. Sekalipun cara pemenuhan dan bentuk kebutuhannya pasti tidaklah sama.

Dari sini, perspektif mubadalah meniscayakan kesetaraan dan keadilan dalam berelasi sosial, dan mendorong hadirnya kerjasama yang partisipatif, adil, dan memberi manfaat kepada semua pihak tanpa diskriminasi.  Perspektif ini memastikan hadirnya prinsip-prinsip ta‘āwun (saling menolong), tahābub (saling mencintai), tasyāwur (saling memberi pendapat), tarādhin (saling rela), dan ta’āshur bil ma’rūf (saling memperlakukan secara baik) dalam setiap relasi sosial.

Dus, perspektif mubadalah merupakan cara-pandang dan nilai tentang kesalingan, tolong-menolong, dan kerjasama yang harus dibangun setiap individu bersama individu-individu lain dalam sebuah komunitas kecil maupun besar, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang lebih luas.

Relasi Mubadalah Perempuan dan Laki-laki

Biasanya, pembicaraan Mubadalah sering memberi perhatian lebih kepada relasi antara laki-laki dan perempuan, karena relasi ini seringkali didefinisikan secara sepihak, tanpa kesadaran kesalingan antara mereka berdua. Mulai dari cara pandang kita terhadap eksistensi perempuan sebagai manusia yang bermartabat, dan setara dengan laki-laki, baik sebagai individu warga negara, maupun sebagai bagian dari sebuah keluarga.

Pondasi paling utama dari relasi kesalingan ini adalah ayat at-Taubah (9: 71), bahwa laki-laki dan perempuan, satu sama lain, diminta untuk menjadi wali, yang diartikan ulama dengan makna pelindung, penolong, dan penanggung jawab. Artinya, relasi antara mereka adalah saling menolong, melindungi, dan bekerjasama. Cara pandang, bahwa laki-laki dan perempuan, satu sama lain sebagai wali adalah penting sekali, untuk mengawali relasi kesalingan.

Cara pandang ini kemudian mengarah pada keniscayaan relasi antara keduanya yang berbasis kemitraan, kesalingan, dan kerjasama, di ruang domestik maupun publik. Dengan cara pandang ini, ruang publik tidak seharusnya hanya dibangun oleh dan hanya nyaman untuk laki-laki. Pada saat yang sama, ruang domestik pun tidak hanya dibebankan kepada atau dikuasi oleh perempuan. Partisipasi di publik dan domestik harus dibuka secara luas kepada laki-laki dan perempuan secara adil, sekalipun bisa jadi dengan cara, model dan pilihan yang berbeda-beda.

Dalam situasi yang masih timpang dan diskriminatif terhadap perempuan, perspektif kesalingan bisa saja menuntut agar ruang publik dibuka lebih lebar lagi bagi perempuan, dan laki-laki didorong untuk berpartisipasi lebih aktif lagi dalam ranah domestik. Ini untuk memastikan penghormatan kemanusiaan yang utuh, bagi laki-laki dan perempuan, benar-benar nyata hadir dalam dua ranah tersebut.

Tentu saja ketika perempuan diberi kesempatan lebih di ranah publik, atau bahkan didorong untuk itu, maka struktur sosial juga harus mendukung dan mengapresiasi. Fasilitas-fasilitas umum juga harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan, ketika mereka berada di ruang publik. Sebagaimana juga ranah domestik, atau rumah, juga harus nyaman untuk laki-laki. Intinya, baik ranah domestik maupun publik, di samping menjadi tanggung-jawab bersama, juga harus nyaman, serta memberi manfaat yang maksimal bagi kehidupan perempuan dan laki-laki.  

Perspektif mubadalah merupakan antitesa dari sistem sosial yang bernama patriarkhi, yaitu sistem yang menjadikan laki-laki sebagai superior dan perempuan inferior. Dalam sistim patriarkhi ini, jati diri perempuan lebih rendah dari laki-laki. Untuk bisa diakui di mata agama dan masyarakat, kiprah perempuan juga harus melewati laki-laki. Dalam keyakinan tauhid sosial yang horizontal, relasi antara laki-laki dan perempuan adalah setara, dan mengacu pada nilai-nilai kerjasama dan kesalingan, bukan superioritas dan dominasi. Patriarkhi yang berporos pada laki-laki telah menciptakan relasi yang timpang dan tidak setara.

Sesungguhnya patriarkhi bukanlah soal laki-laki, tetapi lebih merupakan pemusatan eksistensi, berpikir, mengetahui, dan bertindak pada satu poros semata dan menafikan yang lain. Padahal dunia dan kehidupan ini dihuni laki-laki dan  perempuan. Dalam patriarkhi, laki-laki lebih diutamakan dari perempuan, dan kehidupan publik sebagai dunia laki-laki dianggap lebih utama daripada kehidupan domestik yang diasumsikan sebagai dunia perempuan.

Kondisi sebaliknya juga menyalahi prinsip dan perspektif mubadalah. Yaitu, jika pemusatan itu terjadi pada eksistensi perempuan semata, dimana seluruh kehidupan perempuan diutamakan dan dinomor-satukan. Lalu, seluruh kehidupan laki-laki dilupakan, dipinggirkan, atau bahkan dijadikan biang kesalahan dan keburukan bagi kehidupan. Tidak demikian.

Perspektif mubadalah mendorong perubahan dari patriarkhi ke resiprositi, bukan ke matriarkhi. Dari dominasi salah satu jenis kelamin kepada yang lain menjadi persekutuan dan partnership antar keduanya. Dari hegemoni ke kesalingan, dan dari kompetisi negatif ke kerjasama yang sportif. Nilai-nilai transformatif dari mubadalah ini menjadi pondasi dasar dalam relasi sosial antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah domestik maupun publik.

Untuk memenuhi visi mubadalah di atas, tentu saja harus dibuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk berpartisipasi di ranah publik. Dalam visi mubadalah, ruang publik tidak boleh hanya terbuka bagi laki-laki semata. Lebih dari itu, kontribusi perempuan dalam ranah publik juga harus diakui dan diapresiasi. Begitupun hal yang sama untuk ranah domestik, yang biasanya diidentikkan dengan perempuan, juga harus terbuka bagi laki-laki. Kerja-kerja mereka di ranah ini juga seyogyanya diapresiasi. Dengan cara pandang ini,  baik publik maupun domestik, menjadi arena bersama bagi perempuan dan laki-laki dalam mewujudkan segala kebaikan hidup, untuk keduanya, secara resiprokal, berbasis kesederajatan, kemitraan, saling tolong menolong, dan kerjasama.

Definisi perspektif mubadalah, dalam konteks relasi laki-laki adalah perempuan, jika diperlukan adalah sebagai berikut:

“Prinsip Islam mengenai kesalingan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peran-peran mereka di ranah domestik dan publik, berdasar pada kesederajatan manusia antara mereka, keadilan serta kemaslahatan bagi keduanya, sehingga yang satu tidak menghegemoni atas yang lain, melainkan bekerjasama dan saling tolong-menolong”.

Dengan prinsip Islam yang mubadalah ini, sebagaimana laki-laki ingin diakui keberadaanya, dihormati pilihan-pilihanya, didengar suaranya, dan dipenuhi segala keinginanya, maka pun demikian sejatinya dengan perempuan. Perspektif kesalingan ini akan membuahkan cara pandang yang memanusiakan laki-laki dan perempuan yang kemudian mengarah pada relasi yang setara dan timbal balik untuk kebaikan hidup antara laki-laki dan perempuan.

Jika relasi sudah setara, dilandasi dengan sikap saling percaya satu sama lain, maka besar kemungkinan kerjasama akan terjadi dan segala bentuk kekerasan juga akan lebih mudah dihentikan. Jalan menuju keadilan, pada gilirannya, juga bisa lebih lempang. Dus, prinsip kesalingan atau mubadalah meniscayakan sekaligus mencakup semua nilai-nilai kesetaraan, kemanusiaan, dan keadilan. Dan ketiga nilai ini, sebagaimana ditegaskan para ulama klasik, adalah pondasi dari kebahagiaan hidup di dunia dan kelak di akhirat nanti.

Metode Interpretasi Mubadalah

Substansi dari perspektif mubadalah adalah soal kemitraan dan kerjasama dalam membangun sebuah relasi sosial, baik di rumah tangga maupun dalam kehidupan publik yang lebih luas. Sekalipun hal ini sangat kentara dalam teks-teks Islam, tetapi terkadang ia tidak terlihat secara eksplisit dalam banyak kasus kehidupan nyata. Dalam buku ini, khusus untuk isu relasi laki-laki dan perempuan, ditawarkan sebuah metode pemaknaan untuk mempertegas prinsip kemitraan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam semua ayat, hadits, dan juga teks-teks hukum yang lain. Metode ini bekerja untuk memperjelas posisi perempuan dan laki-laki sebagai subyek yang disapa oleh teks-teks sumber dalam Islam.

Dus, sebagai perspektif, mubadalah bisa menyasar segala bentuk relasi sosial. Tetapi, sebagai sebuah metode pemaknaan teks dan realitas, saat ini, dalam buku ini, ia baru ditawarkan untuk relasi gender, antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah publik maupun domestik. Untuk relasi sosial lain, masih perlu kerja-kerja pemikiran lebih lanjut, yang bisa saja dilakukan oleh mereka yang lebih mengerti dan mendalami pengalaman dan pengetahuan terkait.

Premis dari metode mubadalah ini adalah bahwa wahyu Islam itu turun untuk laki-laki dan perempuan. Kita tahu, ketika lima ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw, dari surat al-‘Alaq, orang yang pertama kali disampaikan adalah Khadijah ra, istri beliau, yang langsung beriman, meneguhkan, bahkan menyerahkan seluruh jiwa dan hartanya untuk kepentingan dakwah Islam  yang diterima Nabi Saw.

Karena wahyu al-Qur’an turun untuk laki-laki dan perempuan, maka teks-teksnya juga menyapa mereka berdua. Hukum-hukumnyapun datang untuk memberikan kemaslahatan bagi mereka keduanya, bukan salah satunya, baik untuk kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, jika ada teks atau putusan hukum yang baru eksplisit untuk kepentingan salah satu jenis kelamin, laki-laki misalnya, maka harus dikeluarkan makna implisit untuk kemaslahatan perempuan. Begitupun jika baru eksplisit untuk perempuan, maka ia baru implisit untuk laki-laki, yang harus dieksplisitkan maknanya.

Kerja metode mubadalah adalah bagaimana mengungkap pesan utama dari suatu teks, baik yang berbentuk umum tapi bias salah satu jenis kelamin, atau yang khusus laki-laki (mudzakkar) dimana perempuan tidak disapa, maupun khusus perempuan (mu’annats) dan laki-laki belum disapasehingga pesan utama teks tersebut kemudian bisa diaplikasikan kepada dua jenis kelamin. Kedua jenis kelamin, kemudian, dengan metode mubadalah, disapa teks dan menjadi subyek pembicaraan yang setara di dalamnya.

Metode pemaknaan mubadalah ini didasarkan pada tiga premis dasar berikut ini:

  1. Bahwa Islam hadir untuk laki-laki dan perempuan, sehingga teks-teksnya juga harus menyasar keduanya;
  2. Bahwa prinsip relasi antara keduanya adalah kerjasama dan kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan;
  3. Bahwa teks-teks Islam terbuka untuk dimaknai ulang untuk memungkinkan kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap kerja-kerja interpretasi.

Berpijak pada tiga premis dasar ini, kerja metode pemaknaan mubadalah berproses untuk menemukan gagasan-gagasan utama dari setiap teks yang dibaca agar selalu selaras dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan berlaku bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.

Karena itu, salah satu tujuan dari metode mubadalah adalah menyatukan semua teks-teks Islam ke dalam kerangka besar paradigma Islam yang rahmatan lil ‘alamin, maslahat untuk semua orang, dan adil bagi semua orang. Laki-laki maupun perempuan. Kebaikan bagi laki-laki adalah juga kebaikan bagi perempuan. Keburukan yang harus ditolak dari perempuan, juga harus ditolak dari laki-laki. Begitu  juga isu kerahmatan, kemaslahatan, dan keadilan. Isu-isu ini, dalam kesadaran mubadalah, harus benar-benar diserap dari dan dirasakan oleh perempuan dan laki-laki.

Kaidah bahwa Islam itu sesuai dan cocok untuk kebutuhan zaman apapun dan di tempat manapun (al-Islāmu shalihun likulli zamānin wa makānin), harus juga berarti bahwa ia benar-benar sesuai dan memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan (al-Islāmu shālihun li talbiyat hājāt ar-rijāli wa mutathallabāt an-nisā). Kedua pihak dari mereka, bukan salah satunya. Begitupun rumusan tentang ‘hak-hak lima dasar dalam Islam’ (dharuriyat al-khams), atau biasa juga disebut sebagai ‘tujuan-tujuan pokok hukum Islam’ (maqāshid syari’ah) harus benar-benar menyerap dan memenuhi kebutuhan hidup yang nyata dialami laki-laki dan  perempuan.

Premis dasar di atas mengantarkan kita pada kerangka pembagian teks-teks Islam ke dalam tiga kelompok; teks yang memuat ajaran nilai yang fundamental (al-mabādi’); teks yang memuat ajaran prinsip tematikal (al-qawā’id); dan yang membicarakan ajaran dan norma yang bersifat implementatif dan operasional (al-juz’iyyāt).

Pembagian tige kelompok teks-teks ini penting dilakukan, sebelum memulai kerja interpretasi mubadalah. Karena metode interpretasi mubadalah sebagian besar bekerja di kelompok al-juz’iyyāt, dan kerja utamanya adalah memaknai teks-teks tersebut agar selaras dengan teks-teks al-qawā’id dan terutama teks-teks al-mabādi’.  

Ajaran nilai fundamental dalam Islam (al-mabādi’), misalnya, adalah keimanan yang menyapa semua orang tanpa kecuali, keutamaan pada ketakwaan setiap orang, balasan amal siapapun tanpa membedakan jenis kelamin, keadilan dan kemaslahatan untuk semua tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, penghormatan kemuliaan martabat kemanusiaan, bukan jenis kelamin. Juga, ajaran-ajaran umum seperti berbuat baik pada orang lain, bersyukur, saling menolong, dan bekerjsaama, yang berlaku untuk semua orang, tanpa membedakan jenis kelamin.

Sementara ajaran prinsip tematikal (al-qawā’id) adalah nilai dan norma yang terkait dengan isu tertentu, misalnya ekonomi, politik, atau pernikahan. Prinsip-prinsip yang bersifat parsial atau tematikal, misalnya yang menyangkut relasi suami istri, adalah ayat-ayat prinsip mengenai lima pilar rumah tangga. Yaitu, (1) komitmen pada ikatan janji yang kokoh sebagai amanah Allah Swt (mītsāqan ghalīzan, QS. An-Nisa, 4: 21); (2) prinsip berpasangan dan berkesalingan (zawāj, QS. Al-Baqarah, 2: 187 dan ar-Rum, 30: 21); (3) perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan (tarādhin, QS. Al-Baqarah, 2: 233); (4) saling memperlakukan dengan baik (mu’āsyarah ma’rūf, QS. An-Nisa, 4: 19); (5) dan kebiasaan saling berembuk bersama (musyāwarah, QS. Al-Baqarah, 2: 233).

Kelima pilar ini merupakan ajaran prinsip yang menjadi acuan perumusan produk-produk hukum, kesepakatan, kontrak dan perilaku dalam isu-isu pernikahan dan rumah tangga. Ia dikatakan al-Qawa’id, bukan al-Mabadi, karena bersifat tematikal terkait dengan persoalan pernikahan dan rumah tangga. Ia juga merupakan turunan dari nilai-nilai fundamental dalam al-mabādi’, yaitu ketauhidan, keadilan dan kemaslahatan.

Selain dari dua klasifikasi al-Mabadi dan al-Qawa’di di atas, adalah teks, ajaran, produk hukum dalam hal ‘relasi laki-laki dan perempuan’ yang masuk sebagai implementasi kasuistik dan kontekstual (al-juz’iyyāt) dari prinsip-prinsip tersebut. Peran-peran yang harus dilakukan laki-laki (suami) dan perempuan (istri), di ranah domestik maupun publik, adalah masuk dalam kategori ajaran implementatif, kasuistik, dan kontekstual (al-juz’iyyāt), yang harus selalu dipastikan selaras dengan nilai dan prinsip Islam, baik al-mabādi’ maupun al-qawā’id.

Secara sederhana, untuk kerja identifikasi, isu-isu sosial dan marital yang sudah menyebutkan jenis kelamin tertentu, biasanya, bisa digolongkan ke dalam isu-isu juz’iyyaāt yang bisa dimaknai ulang agar selaras dengan prinsip-prinsip yang mabādi’ maupun yang qawā’id. Misalnya isu tentang pesona perempuan bagi laki-laki, kepemimpinan politik perempuan, nilai kesaksian perempuan yang setengah dari laki-laki, hak suami untuk menikah lebih dari seorang perempuan, haknya untuk memukul ketika istri nusyuz, kewajibannya untuk menafkahi istri, kewajiban istri untuk mentaati dan melayani segala kebutuhan suami, dan isu-isu praktikal yang lain.

Metode kerja interpretasi mubadalah, pada tataran ini, adalah memastikan keselarasan teks-teks al-juz’iyyāt dengan pesan utama dari nilai dan prinsip al-mabādi’ maupun al-qawā’id. Kerja metode mubadalah, karena itu, meyakini keutuhan bangunan utama ajaran Islam yang didasarkan pada pondasi yang prinsip tersebut. Ajaran Islam, seperti ditegaskan al-Qur’an, adalah kokoh, utuh, dan menyatu satu sama lain (QS. An-Nisa, 4: 82). Tehnisnya, teks-teks tentang prinsip harus memayungi teks tentang isu yang parsial.

Jadi, sebelum melakukan kerja interpretasi mubadalah, yang harus dilakukan terlebih dahulu identifikasi karakter teks; apakah masuk kategori al-mabādi’, al-qawā’id, atau al-juz’iyyāt. Kerja-kerja interpretasi metode mubadalah dilakukan pada teks-teks al-juz’iyyat agar merepresentasi prinsip tematikal (al-qawā’id) dan prinsip fundamental (al-mabādi). Teks-teks yang parsial, juga tidak bisa secara langsung, menerima pemaknaan mubadalah, jika belum ditemukan di dalamnya “makna” yang selaras dengan prinsip tematikal maupun fundamental.

Cara Kerja dan Contoh Metode Mubadalah

Untuk memudahkan cara kerja metode pemaknaan mubadalah, ada tiga langkah yang perlu dilalui. Langkah-langkah ini bersifat kronologis. Tetapi bisa saja melompat jika karakter teks yang sedang ditafsirkan menghendaki demikian.

Langkah Pertama, yaitu menemukan dan menegaskan prinsip-prinsip ajaran Islam dari teks-teks yang bersifat universal sebagai sebagai pondasi pemaknaan. Baik prinsip yang bersifat umum melampaui seluruh tema-tema (mabādi’), maupun yang bersifat khusus untuk tema tertentu (qawā’id). Prinsip-prinsip  ini menjadi landasan inspirasi pemaknaan seluruh rangkaian proses metode mubadalah.

Seperti setelah ditegaskan, sesuatu dikatakan prinsip adalah ajaran yang melampaui perbedaan jenis kelamin. Misalnya, ajaran mengenai keimanan yang menjadi pondasi setiap amal, bahwa amal kebaikan akan dibalas pahala dan kebaikan tanpa melihat jenis kelamin, tentang keadilan yang harus ditegakkan, tentang kemaslahatan dan kerahmatan yang harus ditebarkan. Bahwa kerja keras, bersabar, bersyukur, ikhlas, dan tawakkal adalah baik dan diapresiasi Islam.

Ayat-ayat prinsip ini, baik yang mabādi’ maupun yang qawā’id, harus selalu menjadi kesadaran awal sebelum praktek interpretasi ayat-ayat lain yang bersifat parsial dilakukan. Kandungan dan pesan utama dari teks-teks prinsip tersebut harus dipastikan masuk menjadi pondasi dalam proses pemaknaan teks-teks yang parsial (juz’iyyāt).

Untuk ayat-ayat yang bersifat prinsip, kita hanya berhenti pada langkah pertama saja, yaitu menemukan gagasan-gagasan prinsip dalam teks yang menjadi basis keseimbangan, kesalingan, dan keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Tinggal diperlukan penegasan-penegasan saja mengenai ke-subyek-an laki-laki dan perempuan. Artinya, teks-teks prinsip bisa langsung ke langkah ketiga, di-mubadalah-kan dengan menengaskannya menyapa laki-laki dan perempuan.

Langkah Kedua, yaitu menemukan gagasan utama yang terekam dalam teks-teks al-juz’iyyat yang akan kita interpretasikan. Dalam hal ini, teks-teks relasional yang sudah menyebutkan peran laki-laki dan perempuan, kebanyakan merupakan sesuatu yang bersifat implementatif, praktis, parsial, dan hadir sebagai sebuah contoh pada ruang dan waktu tertentu bagi prinsip-prinsip Islam. Karena teks relasional bersifat parsial-implementatif, maka perlu ditemukan makna atau gagasan utama yang bisa kohesif dan korelatif dengan prinsip-prinsip yang ditegaskan ayat-ayat yang sudah ditemukan melalui langkah pertama.

Langkah kedua ini, secara sederhana bisa dilakukan dengan menghilangkan subyek dan obyek yang ada dalam teks. Lalu predikat dalam teks menjadi makna atau gagasan yang akan kita mubadalahkan antara dua jenis kelamin. Jika ingin lebih dalam, langkah ini bisa dilakukan dengan bantuan metode-metode yang sudah ada dalam Ushul Fiqh, seperti analogi hukum (qiyās), pencarian kebaikan (istihsān), pencarian kebaikan (istishlāh), atau metode-metode pencarian dan penggalian makna suatu lafal (dalālāt al-alfāzh). Atau lebih dalam lagi dengan teori dan metode ‘tujuan-tujuan hukum Islam’ (maqāshid syarī’ah). Metode-metode ini digunakan untuk menemukan makna yang terkandung di dalam teks, lalu mengaitkannya dengan semangat prinsip-prinsip dari langkah pertama.

Makna yang lahir dari proses langkah kedua ini, atau gagasan dan pesan dari teks parsial inilah, yang nanti akan dibawa pada proses pemaknaan yang bersifat mubādalah, timbal-balik, atau kesalingan. Jika teks ini sudah diperlakukan secara taghlib dan mengandung mubadalah oleh para ulama klasik, maka yang diperlukan adalah sebuah penegasan saja, terkait pentingnya kesalingan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Tetapi jika belum, atau masih samar-samar, terutama untuk teks-teks perempuan maka diperlukan langkah ketiga.

Langkah Ketiga, menurunkan gagasan yang ditemukan dari teks (yang lahir dari proses langkah kedua) kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan dalam teks. Dengan demikian, teks tersebut tidak berhenti pada satu jenis kelamin semata, tetapi juga mencakup jenis kelamin lain. Dengan demikian, metode mubadalah ini menegaskan bahwa teks untuk laki-laki adalah juga untuk perempuan dan teks untuk perempuan adalah juga untuk laki-laki, selama kita telah menemukan makna atau gagasan utama dari teks tersebut yang bisa mengaitkan dan berlaku untuk keduanya. Makna utama ini harus selalu dikaitkan dengan  prinsip-prinsip dasar yang ada pada teks-teks yang ditemukan melalui langkah pertama.

Untuk memudahkan penjelasan, di bawah ini contoh bagaimana langkah-langkah metode tersebut dijalankan pada ayat ke-14 dari Surat Ali Imran.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

“(Hati) manusia telah dihiasi (dengan) kecintaan pada sesuatu yang diinginkanya, yaitu perempuan, anak cucu, emas dan perak yang berlimpah, kuda (tunggangan) yang bagus, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah semua perhiasan di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang terbaik”. (Ali Imran, 3: 14).

Pada konteks pembicaraan kita, yang didiskusikan adalah pernyataan relasional bahwa “manusia itu tercipta untuk mencintai perhiasan dunia berupa perempuan”. Ayat ini secara literal menempatkan “manusia”, yang biasanya, secara umum, diartikan laki-laki, tercipta secara natural mencintai perempuan. Laki-laki sebagai subyek yang mencintai dan perempuan sebagai obyek yang dicintai.

Dalam ungkapan lain, biasanya, perempuan dianggap sebagai “perhiasan dunia” yang mewarnai dan menghiasi dunia laki-laki. Turunan berikutnya, perempuan dipersepsikan sebagai sumber pesona bagi laki-laki, yang bisa menggoda, dan menggiurkan sehingga laki-laki harus selalu waspada terhadap mereka. Karena itu, ayat ini memberi peringatan, bahwa apa yang ada sisi Allah Swt lebih kekal dari semua pesona (seperti pesona perempuan) yang menggiurkan itu.

Pertanyaannya, apakah perempuan bisa menjadi subyek yang disapa pernyataan dalam ayat tersebut mengenai kewaspadaan pada godaan dunia? Realitasnya perempuan tidak hanya menggoda, tetapi juga digoda oleh dunia (diantaranya laki-laki) sehingga mereka juga bisa tergelincir dari jalan kebenaran. Karena premisnya al-Qur’an itu menyapa perempuan dan turun untuk perempuan, tentu saja jawaban pertanyaan tersebut adalah bisa, sehingga perempuan secara mubadalah bisa pula menjadi subyek yang diajak bicara oleh ayat tersebut di atas dan menjadi orang yang diminta waspada dari kemungkinan tergoda perhiasan dunia, yang sebagianya bisa berupa pesona (fitnah) laki-laki.

Pemaknaan mubadalah terhadap ayat tersebut di atas melalui langkah-langkah berikut ini:

Pertama, kita merujuk pada berbagai ayat mengenai keimanan yang sama antara laki-laki dan perempuan, anjuran untuk berbuat baik, dan untuk waspada tergelincir pada perbuatan yang buruk. Ini adalah prinsip ajaran Islam. Tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun perempuan. Prinsip ini bersifat umum dan universal. Di dalam al-Qur’an, banyak ayat al-Qur’an yang meminta manusia (laki-laki dan perempuan) untuk bertakwa kepada Allah Swt, dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ayat yang meminta mereka untuk waspada dari berbagai godaan yang bisa memalingkan dari jalan kebenaran.

Salah satu ayat yang eksplisit menyebut laki-laki dan perempuan adalah surat at-Taubah (9: 71), yang meminta keduanya untuk saling mengingatkan satu sama lain agar tetap berbuat baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Ayat-ayat ini menjadi pondasi dari  pemaknaan ayat Ali Imran (3: 14) di atas, yakni laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi subyek dari perintah, larangan, dan peringatan Allah Swt. Ayat-ayat ini, pada penjelasan berikutnya tentang skema teks mubadalah, disebut sebagai ayat-ayat yang manthūq, atau eskplisit mubadalah.

Sementara prinsip-prinsip yang berbicara secara khusus (qawā’id) mengenai potensi pesona antara laki-laki dan perempuan adalah ayat-ayat an-Nur (24: 30-31) juga bisa menjadi pondasi pemaknaan, dimana ada permintaan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan dan menjaga diri, juga kepada perempuan untuk menjaga diri dan menundukkan pandangan. Ayat-ayat lain tentang pesona (fitnah) kehidupan juga bisa menjadi pondasi pemaknaan (Seperti ayat 6: 53, 63: 9, dan 67: 2).

Kedua, sesuai dengan prinsip yang ditemukan pada langkah pertama, maka gagasan utama yang bisa digali dari ayat Ali Imran (3: 14) adalah memberi peringatan kepada manusia agar waspada terhadap pesona kehidupan dunia, tidak tergiur dan lalu menyimpang dari jalan Allah Swt. Kehidupan dunia itu memang memesona, menyenangkan, dan bisa menggiurkan. Karena itu, Allah Swt mengingatkan bahwa yang lebih baik adalah pahala yang dijanjikan-Nya dan yang  berada di sisi-Nya, yaitu dengan tetap memegang kebenaran ajaran-ajaran-Nya. Ayat ini tidak sedang menyatakan bahwa perempuan, harta benda, anak-anak, emas perak adalah perhiasan dunia. Ini benar. Tetapi ini hanyalah contoh belaka. Gagasan utamanya adalah kewaspadaan dari pesona perhiasan dunia ini. Pesan dari gagasan ini tentu saja berlaku untuk semua orang, tidak khusus laki-laki semata.

Gagasan dalam proses langkah kedua ini lahir dengan melibatkan berbagai ayat-ayat yang terkait. Tetapi jika menggunakan langkah yang sederhana, bisa dilakukan dengan menghilangkan subyek dan obyek yang diambil makna dalam predikat ayat tersebut. Karena subyek-obyek biasanya bersifat kontekstual dan teknikal, sementara pesan dan makna utama ada pada predikat kalimat. Subyek yang disapa ayat ini adalah laki-laki yang diminta tidak tergoda oleh perempuan. Di sini, perempuan menjadi obyek yang dibicarakan ayat. Jika subyek dan obyek dihilangkan, maka ayat ini tentang kewaspadaan seseorang dari ketergodaan terhadap pesona orang lain. Makna dan gagasan ini, yang selaras dengan pesan-pesan prinsip yang ditemukan pada langkah pertama, yang kemudian dibawa pada proses langkah ketiga.

Ketiga, berdasar pada kedua langkah di atas, jika secara literal (lafzhiyyah) gagasan kewaspadaaan ditujukan pada laki-laki dari perempuan, maka secara resiprokal (mubādalah) gagasan yang sama juga ditujukan kepada perempuan untuk waspada dari laki-laki, dan juga dari godaan perhiasan dunia yang lain. Jadi, baik perempuan maupun laki-laki adalah sumber pesona. Satu kepada yang lain. Ini di satu sisi. Di sisi yang lain, keduanya, satu sama lain diminta untuk tidak saling menebar pesona dan diminta untuk waspada dari kemungkinan pesona pihak lain.

Pesan teks ini, tentang kewaspadaan dari pesona jenis kelamin lain, sesungguhnya sudah terekam dalam surat an-Nur (24: 30-31). Yaitu, untuk saling menjaga pandangan masing-masing, agar tidak mudah terpesona padayang lain, dan tidak menebar pesona kepada yang lain. Tentu saja, gagasan lebih luasnya adalah untuk menjaga diri dari segala kemungkinan tergiur pada godaan kehidupan, apapun bentuknya. Sehingga tidak tergelincir dari jalan kebaikan karena pesona-pesona kehidupan (fitnah) dunia. Bisa kedudukan, harta, keluarga, anak-anak, atau nafsu seks. Jadi, tidak melulu pesona tubuh perempuan di mata laki-laki.

Jadi, dengan langkah pertama kita menemukan prinsip nilai yang menjadi pondasi interpretasi, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan adalah subyek perintah keimanan dan larangan tergelincir pada godaan. Dengan langkah kedua, kita menemukan gagasan utama dari teks (3: 14) bahwa ia membicarakan pentingnya kewaspadaan pada perhiasan dunia yang bisa menggiurkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan langkah ketiga, kita menegaskan bahwa pernyataan “perempuan sebagai perhiasan dunia bagi laki-laki” hanyalah contoh literal dari teks yang ditujukan kepada laki-laki. Ini makna eskplisit-literal. Dengan metode mubadalah, karena teks itu juga harus ditujukan kepada perempuan, maka maknanya menjadi: “laki-laki adalah (salah satu) perhiasan dunia bagi perempuan”. Yang ini adalah makna implisit-resiprokal, atau mubadalah.

Kita juga bisa langsung mengambil makna yang lebih inklusif dan resiprokal dari kandungan ayat tersebut (3: 14). Yaitu, bahwa ayat itu berbicara mengenai nafsu seks seseorang, baik laki-laki dan perempuan, yang bisa menimpa dan menggelincirkannya dari kebenaran dan kebaikan. Nafsu seks adalah bagian dari hiasan dunia yang ada pada semua orang, tanpa sekat jenis kelamin, sekalipun bisa jadi orang tertentu memiliki lebih banyak nafsu dari yang lain. Tetapi makna yang dikeluarkan dari dalam teks tersebut adalah sesuatu yang bersift inklusif dan bisa resiprokal. Tidak hanya tentang “nafsu dan cinta pada perempuan” dari seorang laki-laki, tetapi juga bisa “nafsu dan cinta pada laki-laki” dari seorang perempuan. Melalui makna inklusif ini, perempuan disapa oleh ayat sebagaimana laki-laki.

Dengan metode interpretasi mubadalah seperti di atas, pada gilirannya: menjadi tidak beralasan sama sekali untuk menyatakan bahwa “perempuan adalah sumber persoalan bagi laki-laki” dan berhenti tanpa penjelasan lebih lanjut yang lebih resiprokal. Apalagi lalu diturunkan aturan-aturan untuk mengontrol perempuan agar pesona mereka tidak menyebar ke publik laki-laki. Karena, secara resiprokal, sumber pesona itu juga ada pada laki-laki, sebagaimana ia ada pada perempuan. Bahkan, ada pada masing-masing orang, dan ada pada segala macam kehidupan itu sendiri, sebagaimana dicatat al-Qur’an juga. Fokus ayat dan teks-teks terkait, sesungguhnya, bukan pada seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber pesona, tetapi kepada semua orang tanpa kecuali agar tidak mudah tergoda dan tergelincir pada pesona siapapun dan apapun.

Dus, adalah menjadi tidak resiprokal kalau kita hanya menyalahkan perempuan dan mengontrol mereka, dengan alasan mereka memiliki pesona (fitnah), sementara membiarkan laki-laki beraktifitas secara bebas, padahal mereka juga memiliki hal yang sama. Jika pesona itu ada pada keduanya, maka yang adil adalah meminta keduanya untuk saling menjaga diri, dari pesona masing-masing. Jika laki-laki diberi kesempatan untuk aktif di publik sekalipun menyimpan (bahkan berpotensi menebar) pesona, perempuanpun seharusnya tidak dilarang dengan alasan pesona mereka. Karena gagasan utama ajaran adalah bukan mencari siapa yang paling bersalah, paling bertanggung-jawab, dan paling banyak dikontrol, karena dianggap memiliki pesona, tetapi masing-masing harus saling menjaga, saling waspada, dan memastikan keburukan dari pesona itu tidak terjadi dari siapapun kepada siapapun. Arena publik, dengan demikian, bisa tetap nyaman, untuk kedua belah pihak. Laki-laki dan perempuan.

Contoh lain adalah mengenai teks-teks yang menyasar secara langsung kepada perempuan. Atau perempuan sebagai subyek dalam teks-teks relasi pasangan suami-istri. Misalnya hadits yang menyatakan bahwa: “perempuan” atau istri yang tidak pandai berterimakasih pada kebaikan suami akan menghuni neraka (Hadits Bukhari no. 305); “perempuan” yang tidak melayani kebutuhan biologis suami akan dilaknat malaikat (Hadits Bukhari no. 5248); dan “perempuan” yang meminta cerai tanpa alasan yang mendasar akan diharamkan dari surga (Hadits Abu Dawud no. 2228).

Pertanyaan mubādalah-nya: bagaimana dengan “laki-laki” yang tidak berterimakasih pada kebaikan istri; tidak melayani kebutuhan biologisnya; dan atau menceraikan istrinya seenaknya saja? Apakah laki-laki juga masuk dalam cakupan teks-teks tersebut yang secara lafal untuk perempuan? Apakah hanya perempuan saja diminta untuk mendatangkan kebaikan kepada suami dan menjaga hubungan agar tetap langgeng? Apakah laki-laki tidak menjadi bagian yang diminta oleh Islam untuk memelihara hubungan suami istri agar tetap kuat, tangguh, memberi kebaikan, dan menyenangkan?

Pada langkah pertama dari metode pemaknaan mubadalah, kita harus merujuk kembali kepada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyatakan prinsip-prissip Islam (mabādi’); bahwa laki-laki dan perempuan itu diminta Islam untuk beriman, berbuat baik, bersyukur, melayani orang, dan menjaga keutuhan rumah tangga. Laki-laki dan perempuan. Begitupun prinsip-prinsip relasi pasutri (qawā’id) yang lima pilar itu. Yaitu bahwa suami dan istri itu adalah bermitra dan berpasangan; keduanya harus menjaga ikatan pernikahan secara kokoh, saling berbuat baik satu sama lain, saling berembug, dan saling mengupayakan kerelaan dan kenyamanan pasangan.

Prinsip-prinsip ini menjadi pondasi pemaknaan pada proses langkah kedua dan ketiga. Pada langkah kedua, jika kita menggunakan cara yang sederhana, dengan menghilangkan subyek dan obyek, maka gagasan utama dari hadits pertama adalah mengenai orang yang tidak berterimakasih pada pasangan; hadits kedua mengenai orang yang tidak melayani kebutuhan seks pasangan; dan hadits ketiga mengenai orang yang mudah meminta/menjatuhkan talak. Pada langkah ketiga, gagasan-gagasan ini diberlakukan pada laki-laki, yang tidak berterimakasih pada istrinya (hadits pertama); yang tidak mau melayani kebutuhan istrinya (hadits kedua); dan  yang mudah menjatuhkan talak tanpa alasan yang mendasar (hadits ketiga). Teks-teks hadits tersebut di atas, dengan demikian, tidak hanya menyasar perempuan, tetapi juga laki-laki.

Dus, secara substansial, perspektif dan metode mubadalah menegaskan bahwa hubungan antara suami istri harus dipelihara oleh keduanya. Karena itu, gagasan utama dari teks-teks di atas adalah justru tentang: berterimakasih pada kebaikan, pentingnya melayani kebutuhan biologis pasangan, buruknya perceraian tanpa alasan mendasar. Gagasan-gagasan ini ditemukan dalam langkah kedua, setelah kita meyakini adanya prinsip relasi yang setara, adil, dan kerjasama antara suami dan istri dalam langkah pertama. Metode sederhana menemukan gagasan pada langkah ini adalah dengan menghilangkan subyek-obyek, dan fokus pada predikat kalimat. Predikat ini adalah makna dan gagasan dalam teks. Sehingga, pada langkah ketiga, suami juga dituntut oleh teks yang sama: untuk berterimakasih pada kebaikan istri, dan bisa diancam neraka jika tidak melakukannya (pemaknaan mubadalah dari Hadits Bukhari no. 305); untuk melayani kebutuhan biologis istri jika diminta (pemaknaan mubadalah dari Hadits Bukhari no. 5248); juga dilarang menjatuhkan cerai tanpa alasan yang mendasar (pemaknaan mubadalah dari Hadits Abu Dawud no. 2228).

Mungkin terminologi mubadalah bisa diganti apa saja, selama premis dan cara kerjanya sama dengan deskripsi di atas. Karena metode mubadalah ini, saat ini, sangat diperlukan untuk memaknai ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks Hadits relasional yang menjadi kegelisahan banyak perempuan. Begitupun banyak laki-laki yang sudah melek tentang pentingnya keseimbangan hidup dalam relasi gender. Yaitu ketika perempuan tidak menjadi subyek pada teks-teks tertentu, atau laki-laki tidak menjadi subyek pada teks-teks tertentu yang lain. Karena kita tidak lagi hidup di masa dimana kita bisa meminta al-Qur’an untuk turun seperti yang dilakukan para Sahabat perempuan. Tetapi kita semua yakin, bahwa al-Qur’an dan Hadits, secara substansial, pesan-pesannya ditujukan kepada laki-laki dan perempuan.

Kita memerlukan metode mubadalah, karena kita dituntut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan kegelisahan-kegelisahan kita dengan merujuk pada teks-teks sumber. Terutama, ketika teks-teks itu secara literal justru tidak atau belum menjawab. Fungsi mubadalah dalam hal ini, sama persis dengan metode qiyās, istihsān, dan istishlāh, dalam menggali dan menemukan makna, di luar yang literal dalam teks, untuk menjawab kegelisahan yang terus muncul dalam aras realitas. Penggalian melalui penelusuran pada gagasan-gagasan besar Islam yang terekam dalam teks-teks dasarnya, al-Qur’an dan Hadits, dengan mempertimbangkan diskursus tafsir dan ushul fiqh. Di sini, yang berbeda, gagasan interpretasi resiprokal lahir untuk menjawab kebuntuan pembacaan konvensional selama ini yang hanya mendasarkan pada pengalaman dunia laki-laki dan melupakan dunia perempuan.

Konklusi

Terminologi mubadalah ditawarkan sebagai gagasan mengenai perspektif relasi kemitraan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. Secara terminologi, ia bisa digunakan lebih luas lagi untuk kemitraan segala jenis relasi antara dua pihak, antara individu, atau antara komunitas dan masyarakat. Baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Termasuk relasi kerjasama dan kesalingan antara generasi sekarang dengan yang akan datang, misalnya dalam bentuk komitmen kelestarian lingkungan dan alam. Bahwa apa yang diterima generasi saat ini dari alam, hasil komitmen generasi sebelum mereka, harus disalingkan dengan komitmen memberi untuk kelestarian alam, yang manfaatnya akan diterima generasi berikutnya. Diharapkan akan muncul karya-karya, selain buku ini, mengenai relasi mubadalah yang lebih luas ini.

Selain itu, terminologi mubadalah juga digunakan sebagai metode pemaknaan teks-teks agama agar selaras dengan perspektif kemitraan tersebut, antara laki-laki dan perempuan. Metode ini bekerja dengan cara menggali makna yang bisa diterapkan kepada mereka berdua dari teks tersebut. Jika suatu teks baru menyapa salah satu jenis kelamin, maka perlu digali maknanya yang menyapa keduanya. Metode ini ditawarkan untuk memastikan agar perspektif mubadalah, atau kesalingan, benar-benar hadir dalam setiap pemaknaan teks-teks otoritatif, baik dalam hal keagamaan, undang-undang, kebijakan, maupun norma-norma sosial.

Perspektif mubadalah ini berawal dari cara pandang yang memanusiakan laki-laki dan perempuan. Sebuah cara pandang yang kemudian mengarah pada relasi yang setara dan timbal balik untuk kebaikan hidup antara laki-laki dan perempuan. Di kedua ranah, publik dan domestik. Di ranah domestik, mubadalah menegaskan pentingnya relasi yang saling melayani, menguatkan, dan membahagiakan antara suami dan istri, serta orang tua dan anak. Kerja-kerja rumah tangga dan mengurus anak menjadi tanggung jawab bersama. Kebahagiaan juga menjadi hak bersama. Logika mubadalah menegaskan bahwa segala tindakan yang akan menghadirkan kebaikan dalam rumah tangga, atau menghindarkan keburukan darinya, adalah menjadi tanggung-jawab bersama suami dan istri, atau ayah dan ibu, serta seluruh anggota keluarga.

Di ruang publik, perspektif mubadalah meniscayakan adanya kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai warga negara di mata hukum. Sehingga, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, agar bisa saling mengisi, memperkuat, dan membangun kehidupan sosial yang baik bagi segenap masyarakat. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga harus diberi kesempatan yang luas untuk bisa berkontribusi di ruang publik dan mengambil mafaat darinya. Pada saat yang sama, laki-laki juga harus didorong untuk berkontribusi di ruang domestik dan menikmati keintiman dengan keluarga terutama anak-anak. Tentu saja, tanpa mengesampingkan kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan yang khas antara laki-laki dan perempuan. Bahkan ada perbedaan di antara individu-individu, terutama yang memiliki kebutuhan khusus.

Prinsip kesalingan atau mubadalah mencakup semua nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan. Dan kedua nilai ini yang akan menjadi pondasi bagi tujuan-tujuan kemaslahatan, kerahmatan, dan keadilan. Pada akhirnya, sebagaimana ditegaskan para ulama klasik, kerahmatan dan kemaslahatan adalah bentuk dari kebahagiaan hidup yang digagas dan diperjuankan Islam. Baik untuk kehidupan di dunia dan kelak di akhirat nanti.

Substansi dan konten dari perspektif mubadalah, karena itu, tentu saja bukan hal baru. Ia justru merupakan norma yang fundamental dalam Islam, yang dibawa dan ditegaskan al-Qur'an sejak awal. Karena itu, kerja-kerja mubadalah untuk pemihakan perempuan ini, sesungguhnya adalah kerja-kerja keislaman dalam memihak dan memberdayakan yang lemah (mustadh’afīn), bagian dari penyempurnaan akhlak mulia yang digariskan Nabi Saw, dan implementasi dari risalah atau visi kerahmatan Islam untuk seluruh alam. Pemihakan ini penting untuk menegakkan norma kemitraan dan kerjasama, bukan penguasaan dan hegemoni.

Untuk pemihakan ini, kita perlu menegaskan kesedarajatan martabat kemanusiaan perempuan dan laki-laki di hadapan Allah Swt secara primordial. Keduanya adalah hamba-hamba Allah Swt, yang memperoleh mandat kekhalifahan di muka bumi, untuk memakmurkan dan menghadirkan segala kebaikan hidup. Pemihakan ini juga menegaskan bahwa keimanan Islam tidak mentolerir segala jenis pandangan dan tindakan yang merendahkan eksistensi perempuan.

Dengan demikian, seksualitas tubuh perempuan, sebagaimana juga laki-laki, tidak untuk dinistakan dan disalahkan. Tetapi justru disyukuri dan dirayakan. Sebagai bagian dari karunia dan nikmat Allah Swt. Bahkan dalam sebuah teks hadits, menjadi bagian dari tiga hal, selain shalat dan parfum, yang dicintai Nabi Saw (Sunan an-Nasa’i, no. hadits: 3957). Merendahkan eksistensi perempuan adalah sama sekali bukan ajaran Islam dan bukan teladan Nabi Muhammad Saw.

Kita juga perlu menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan, keduanya, adalah manusia yang memiliki potensi akal budi yang sama, yang dipanggil oleh Islam secara setara untuk menjadi orang-orang yang beriman, yang satu sama lain diminta untuk bermitra (awliya) dalam segala kerja-kerja yang mendorong kebaikan (amar ma’ruf) dan menghalau keburukan (nahy munkar), baik urusan domestik maupun publik (QS. At-Taubah, 9: 71). Yang satu tidak boleh merasa lebih baik dan lebih tinggi dari yang lain, hanya karena jenis kelamin. Karena, dalam Islam, keimanan dan ketakwaan-lah yang menjadi ukuran. Bukan jenis kelamin. Keimanan, perilaku, dan tindakan yang membuat seseorang akan diapresiasi Islam dan dapat pahala di akhirat. Karena itu, sebagaimana deklarasi al-Qur’an, siapapun yang beriman dan beramal shalih, baik laki-laki mauapun perempuan, akan memperoleh kehidupan yang baik dan sejahtera, di dunia dan di akhirat (QS. An-Nisa, 4: 12; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40).

Untuk itu, ayat-ayat dan hadits-hadits yang menegaskan relasi yang baik (mu’āsyarah bil ma’rūf) antara laki-laki dan perempuan harus ditempatkan sebagai teks-teks yang fakultatif dan universal (kulliyah). Ia menjadi pondasi bagi teks-teks yang bersifat kontekstual, partikular, tehnikal, dan operasional (juz’iyah tafshiliyah). Selanjutnya, semua pemaknaan kita mengenai isu-isu pernikahan, keluarga dan rumah tangga dalam hukum keluarga Islam, atau fiqh munakahat (seperti khitbah, akad, wali, walimah, nafakah, jima’, hadhanah, talaq, dll.) sudah seharusnya dikaitkan dengan norma mu’āsyarah bil ma’rūf secara mubadalah.

Norma mu’āsyarah bil ma’rūf secara mubadalah antara suami dan istri adalah etika puncak dan ruh bagi seluruh ajaran dan aturan Islam dalam isu pernikahan, keluarga, dan rumah tangga. Ia juga menjadi bentuk aktual dari konsep kemaslahatan dalam teori hukum Islam untuk isu keluarga. Perspektif kesalingan dalam norma mu’āsyarah bil ma’rūf, dengan memastikan perempuan dan laki-laki memperoleh kebaikan, juga harus dijadikan indikator dari pencapaian “lima tujuan hukum Islam” (maqāshid asy-syarī’ah al-khomsah) dalam isu rumah tangga.

Konsep perlindungan jiwa (hifzh an-nafs) misalnya, harus memastikan pemenuhan hak hidup dan peningkatan kualitas hidup laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Begitupun empat konsep maqāshid yang lain, perlindungan agama dan ibadah (hifzh ad-dīn), akal pemikiran dan pengetahuan (hifzh al-‘aql), keturunan dan hak-hak reproduksi (hifzh an-nasl), dan harta serta kepemilikan (hifzh al-māl), harus dipastikan mencakup perempuan dan laki-laki sebagai implementasi dari perspektif mubadalah dalam norma mu’āsyarah bil ma’rūf.

Menikah dan berkeluarga seyogyanya tidak menjadi penghambat, bagi siapapun, terutama perempuan, untuk mengembangkan potensinya masing-masing sebagai manusia secara maksimal. Sebaliknya, menikah adalah persatuan dua insan, dimana satu sama lain saling melengkapi, menopang, dan menolong, untuk terus menerus meningkatkan kualitas hidup kedua belah pihak, khususnya mengenai lima prinsip dasar yang ditegaskan ulama-ulama hukum Islam; jiwa dan kehidupan (nafs), beragama dan ibadah (dīn), pemikiran dan pengetahuan (‘aql), keluarga dan kehormatan (nasl), dan ekonomi atau kekayaan (māl).

Perspektif mubadalah meniscayakan adanya rumusan metode pemaknaan teks untuk menemukan pesan utama yang bisa diaplikasikan bagi perempuan dan laki-laki sebagai subyek hukum yang sama dan setara. Metode mubadalah hadir untuk mengatasi keterbatasan literal teks yang seringkali hanya menyasar perempuan saja, atau laki-laki saja, padahal pesannya sesungguhnya bersifat umum dan mencakup  keduanya. Dengan metode ini, kita harus memastikan bahwa teks-teks mengenai prinsip-prinsip dasar dan norma-norma umum menyapa laki-laki dan perempuan, baik sebagai anggota keluarga (suami, istri, anak, orang tua, atau saudara), maupun sebagai anggota masyarakat. Sementara teks-teks yang bersifat parsial dan kontekstual harus digali terlebih dahulu makna substansialnya yang bisa di-mubadalah-kan.

Setiap teks pada dasarnya bisa di-mubadalah-kan, atau dijadikan sebagai sesuatu yang menyasar laki-laki dan perempuan. Terutama, jika bisa ditemukan makna yang prinsip dari teks tersebut. Tetapi metode ini juga memungkinkan adanya eksepsi-eksepsi (mustatsnayāt). Untuk hal-hal bersifat biologis, misalnya, tidak menerima mubadalah. Seperti soal menstruasi, kehamilan, dan menyusui. Hal-hal yang menyangkut akidah dan berita juga tidak menerima kerja-kerja mubadalah. Kecuali jika dimaknai mengenai hikmah di balik isu-isu akidah, berita, dan hal-hal biologis tersebut.

Perspektif mubadalah juga bisa dikembangkan untuk memaknai teks-teks lain yang memiliki otoritas dalam kehidupan nyata, seperti undang-undang, norma-norma budaya, dan adat istiadat. Bahkan bisa juga digunakan untuk memahami data dan fakta realitas kehidupan. Terutama yang menyangkut pengalaman nyata perempuan dalam relasi mereka dengan laki-laki. Tiga langkah kerja metode mubadalah yang telah dijelaskan, bisa digunakan untuk memaknai teks-teks dalam undang-undang. Karena secara prinsip, semestinya setiap produk undang-undang akan meletakkan laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang sama dan setara di mata hukum. Sehingga, jika terjadi teks yang khusus untuk jenis kelamin tertentu, bisa ditarik pada makna yang menjadi umum, yang bisa diaplikasikan pada kedua jenis kelamin.

Pada norma dan produk budaya, misalnya ungkapan “konco wingking” bagi perempuan atau istri, sesungguhnya bisa dimaknai agar ia juga berlaku bagi laki-laki atau suami. Sebagaimana diketahui, “konco wingking” adalah bahasa Jawa yang artinya ‘teman belakang’. Artinya, seorang perempuan atau istri diharapkan menjadi teman belakang bagi laki-laki atau suaminya. Teman belakang adalah teman di dalam rumah yang menyenangkan, menghibur, dan melayani. Hal yang sama juga  berlaku bagi laki-laki, agar menjadi teman bagi istrinya di rumah, yang juga menyenangkan, menghibur, dan melayani. Karena suami dan istri, satu sama lain adalah mitra dan partner untuk mewujudkan kehidupan bahagia secara bersama.

Ini dalam konteks relasi domestik. Dalam kehidupuan publik, laki-laki dan perempuan, satu sama lain juga perlu menjadi teman (konco) yang bermitra dan bekerjasama untuk mewujudkan segala kebaikan di dunia. Bukan untuk saling menjatuhkan, menghegemoni, atau mengeksploitasi tubuh san sisi-sisi seksual. Ruang publik adalah ruang ekspresi kebaikan, sehingga setiap orang harus didorong berpartisipasi dan sekaligus menerima manfaat darinya. Hal ini akan lebih mudah jika satu sama lain menjadi konco yang saling tolong menolong.

Skema dan jenis-jenis teks dalam proses mubadalah, yang terdiri dari yang eksplisit dan yang implisit, juga bisa dikembangkan menjadi strategi kultural dalam menebar keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam proses ini, pertama kali kita harus menemukan pondasi dari norma yang ada dalam masyarakat, yang eksplisit dan mendorong keadilan. Norma yang eksplisit ini dijadikan pondasi dan inspirasi bagi pemaknaan pernyataan-pernyatan normatif lain yang masih implisit bahkan bisa jadi kontradiktif.

Karena itu, dalam kerja-kerja transformasi kebudayaan, strategi mubadalah tidak memfokuskan pada dekonstruksi dan kritik pondasi kultural. Tetapi lebih pada konstruksi melalui hal-hal yang suportif dari norma dan tradisi yang berlaku. Lalu mubadalah fokus pada kerja-kerja pemaknaan lebih lanjut, melalui pondasi yang suportif itu, demi kehidupan yang lebih adil dan relasi yang lebih mutualistik. Interpretasi mubadalah, baik pada teks agama, tradisi, hukum, dan budaya didasarkan pada kepercayaan, harapan, dan kerjasama, dari berbagai potensi norma kemanusiaan yang ada.

Tentu saja, masih banyak diperlukan lagi riset-riset akademik yang lebih dalam mengenai gagasan dan konsep mubadalah ini. Terutama perspektif mubadalah dalam tradisi klasik Islam, atau mengenai relasi sosial lain selain gender, teks-teks lain selain al-Qur’an dan Hadits, atau untuk mempertegas kerja relasi teks dan realitas. Konsep mubadalah sebagai kaidah hukum dan strategi dakwah juga perlu penggalian lebih dalam. Begitupun mengenai eksepsi-eksepsi dari qirā’ah mubādalah. Semoga semua celah ini bisa dilanjutkan oleh para penulis selanjutnya. Amin.


Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir

Editor: Faqihuddin Abdul Kodir

Reviewer: Faqihuddin Abdul Kodir