Poligami
Poligami dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Kata ini sering dipertukarkan dengan poligini yang secara khusus merujuk pada sistem pernikahan yang memungkinkan seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Poligini adalah bagian dari poligami akan tetapi kata tersebut tidak umum digunakan dan justru poligami-lah yang dalam pemakaiannya menggantikan istilah poligini.
Dari kisah Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad hingga Soekarno, dari kisah Puspo Wardoyo yang menerima polygamy award hingga Hafidzin si mentor poligami, poligami selalu menarik diperbincangkan. Poligami bahkan menjadi setting berbagai kisah, mulai dari novel, teater, hingga film dan sinetoran, seperti Berbagi Suami (film: 2006, sinetron: 2021). Dalam kongres KUPI pertama, tema ini juga tak lepas dari perbincangan meski tidak disebutkan secara eksplisit di antara 11 tema krusial mengenai perempuan dan kiprah perempuan.
Meski demikian, poligami sebenarnya banyak berkait, baik langsung maupun tidak, dengan sebelas tema yang diangkat KUPI pada kongresnya yang pertama tersebut. Apalagi, poligami dinilai sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang seringkali menggiring persoalan-persoalan turunan lain, seperti radikalisme agama, ketimpangan sosial, pilihan untuk menjadi tenaga migran, perceraian serta konflik sosial, dan lain sebagainya.
Sebelum munculnya UU perkawinan pada 1974, Soekarno pernah mengeluarkan Keputusan No. 19 Tahun 1952 tentang tunjangan ganda bagi PNS yang berpoligami, termasuk tunjangan pensiun. Selang dua dasawarsa setelahnya, poligami diatur secara formal dalam UU Perkawinan di antaranya pada pasal 3 ayat 2 yang berbunyi: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dua pasal selanjutnya juga mengatur poligami, yakni pasal 4 tentang alasan-alasan berpoligami dan pasal 5 tentang syarat-syarat detail melakukan poligami. Keluarnya UU ini dianggap dapat menurunkan angka poligami meski praktik poligami yang tidak terdaftar (dilakukan di bawah tangan) diyakini tetap terjadi di masyarakat.
Keberadaan UU perkawinan dan pasal-pasal khusus soal poligami tersebut kemudian diperkuat dengan PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 40-41 dan pasal 55 hingga 59 KHI (Kompilasi Hukum Islam). Pasal 40, misalnya, membahas kewajiban mengajukan pengajuan tertulis ke pengadilan, sementara Pasal 44 berisi larangan bagi pencatat perkawinan untuk melakukan tugas tanpa idzin dari dari pengadilan. Selain itu, jika pasal 55 KHI mendaftar syarat-syarat yang harus dipenuhi suami yang akan berpoligami, maka pasal 56 berisi prosedur mendaftarkan poligami ke pengadilan dan konsekuensi melanggar ketentuan tersebut, sementara pasal 59 terkait otoritas Pengadilan Agama mengidzinkan poligami.
Beberapa aturan tersebut menunjukkan bahwa persoalan poligami sudah lama menjadi concern pemerintah. Ini tentu disebabkan situasi di lapangan yang menuntut adanya payung hukum terhadap praktik tersebut serta potensi konflik dan benturan kepentingan di sekitarnya. Jika aturan tahun 1952 hanya memberi ketentuan bagi PNS (laki-laki) yang berpoligami dan aturan-aturan setelahnya tidak secara spesifik menyasar golongan tersebut, ini cukup jelas menunjukkan bahwa praktik poligami di Indonesia tidak hanya terjadi di kalangan abdi negara.
Lebih jauh, poligami di Indonesia seringkali diidentikkan dengan Islam. Ini sedikitnya disebabkan adanya ketentuan mengenai poligami dalam Al-Qur’an--dengan berbagai penafsiran--yang tercantum secara eksplisit. Selain itu, sosok panutan dalam Islam, Rasulullah Muhammad, diceritakan pernah menjalani pernikahan poligami setelah bermonogami dengan isteri pertamanya, Khadijah. Dalam konteks saat ini, beberapa tokoh Islam (kiai/penceramah/public figure lain) juga diketahui sebagai pelaku pernikahan poligami.
Karena itulah, poligami di Indonesia sudah banyak dibahas dalam beberapa penelitian. Beberapa di antaranya adalah buku Musdah Mulia yang berjudul Islam Menggugat Poligami. Di dalamnya Musdah menyimpulkan bahwa implikasi poligami adalah tekanan psikologis terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan, serta dampak sosial pada masyarakat. Selain itu, Nina Nurmila juga membahas poligami dalam bukunya yang bertajuk Women, Islam and Everyday Life; Renegotiating Polygamy in Indonesia. Nina sampai pada kesimpulan bahwa poligami bukanlah aturan agama apalagi nilai Islam, sebab ia adalah tradisi pra-Islam yang kemudian direspon oleh Islam dalam rangka menghindari ketidakadilan pada anak yatim. Karena itu, menurutnya, untuk menghindarkan ketidakadilan--satu hal yang secara common sense harus dijauhi--dalam poligami, Hukum Pernikahan di Indonesia harus melarang poligami.
Selain buku-buku yang secara serius membidik poligami, bahasan soal poligami banyak muncul dalam book chapters hingga ulasan-ulasan ringan sederhana namun bernas di berbagai media. Dalam sebuah tulisan berjudul “Membaca Ulang Ayat Poligami,” Buya Husein mengemukakan konteks turunnya ayat berupa kondisi di Jazirah Arab ketika itu di mana anak yatim perempuan banyak diasuh oleh para wali yang tidak amanah mengelola harta si yatim bahkan berniat menikahinya tanpa membayar mahar atau dengan mahar yang tidak wajar. Karenanya, menurut beliau, poligami bukanlah tujuan utama dari turunnya ayat tersebut, sebab ia merupakan alternatif yang ditawarkan kepada si pegasuh harta anak yatim untuk menikahi perempuan lain saja dan di situlah disebutkan jumlah maksimal hingga 4 orang.
Senada dengan itu, dalam beberapa kesempatan Ngaji KGI, Nur Rofi’ah sering mengemukakan bahwa aturan soal poligami sebenarnya sangatlah revolusioner. Islam membatasi jumlah istri di angka 4, sementara sebelumnya, perempuan Arab bisa dinikahi dalam jumlah berapapun tanpa prosedur dan ketentuan yang memanusiakan perempuan, semisal mahar, larangan menikahi perempuan sedarah, dan seterusya. Faqih Abdul Kodir, di sisi lain, sering mengulas poligami dalam artikel-artikel pendeknya di situs mubadalah, mulai dari soal runtuhnya narasi yang mendukung poligami, alternatif bercerai bagi perempuan yang menolak dimadu, dan sebagainya. Sementara itu, Umdatul Choirot, pengasuh PP. Assaidiyah II Bahrul Ulum, mengatakan poligami sebagai bagian dari su’u al-adab karena mengabaikan perasaan perempuan, anak-anak serta janji suci pernikahan untuk setia pada satu sama lain.
Bahasan soal poligami, di sisi lain, tidak hanya datang dari kaum feminis atau mereka yang concern pada isu-isu ketimpangan gender dan karenanya menolak poligami, tetapi juga pihak lain yang melihat poligami dari sudut pandang berbeda. Belum lama ini, misalnya, sebuah disertasi perihal makna spiritual poligami bagi kiai di Madura berhasil dipertahankan di hadapan sidang peguji. Berdasarkan data-data di lapangan, Abdul Mukti Tabrani, penulis disertasi tersebut, melihat poligami sebagai simbol kematangan, kepemimpinan, dan ketokohan seorang kiai baik dalam otoritas agama dan sosial.
Ia bahkan mengutip pandangan yang dipercaya sebagian masyarakat setempat perihal kiai Madura yang semakin disegani dan berwibawa dalam lingkungan pesantren maupun masyarakat secara luas manakala berpoligami. Di luar itu, tulis Mukti, beberapa motif melatarbelakangi poligami (sebagian) kiai di Madura, yakni menjaga ketersambungan garis keturunan, memperoleh keturunan dalam jumlah besar, rezeki berlimpah, panjang umur, hingga bertambahnnya ketundukan kepada Allah. Sampai di sini, poligami bahkan disebut sebagai salah satu perwujudan dari ibadah mahdhah atau laku spiritual.
Sebagai antitesis dari sikap resisten terhadap poligami , karya-karya kedua tersebut umumnya berasal dari studi lapangan yang memotret praktik poligami di tengah masyarakat tertentu. Bedanya dengan yang pertama, karya-karya tersebut umumnya mengandalkan data, khususnya wawancara, dan sudut pandang yang digunakan, dari perspektif laki-laki pelaku poligami, sementara yang pertama menggunakan perspektif perempuan sebagai istri yang dimadu. Meski begitu, ada juga sedikit karya yang memilih judul provokatif, semisal Indahnya Poligami: Pengalaman Keluarga Sakinah Puspo Wardoyo, Poligami: Kiat Sukses Beristri Banyak dan Zaujatun Wahidah la Takfi.
Hingga hari ini, poligami tetap dan sepertinya masih akan selalu menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Implikaisnya terhadap berbagai aspek kehidupan, mulai dari sosial, budaya, politik, ekonomi, demografi, bahkan psikologi sudah banyak diteliti dari berbagai lokus dan sudut pandang. Meski demikian, kasus-kasus poligami seperti selalu menemukan momentumnya baik dalam momen-momen yang relevan, seperti Idul Qurban yang berlatar kehidupan poligami Nabi Ibrahim, hingga momentum yang tampak random, semisal Idul Fitri, Maulid Nabi, dan lain sebagainya. Sayangnya, popularitas poligami dalam tataran wacana tidak berimbang dengan kajian ulang terhadap kontekstualisasi baik ketika ayat tersebut diturunkan maupun ketika harus digunakan. Ayat poligami (potongan dalam Surat Al-Nisa’ 3) seringkali dipotong secara sengaja demi dijadikan alat legitimasi praktik poligami dengan mengabaikan ayat-ayat lain yang relevan dan berhubungan ataupun data yang bisa dijadikan pembanding antara kondisi demografis dan sosial-budaya saat ini dengan situasi di Jazirah Arab 14 abad yang lalu.
Oleh: Masyithah Mardhatillah