Alimatul Qibtiyah
Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag. M.Si. MA, Ph.D atau sering disapa dengan Mbak Alim lahir di Ngawi pada tanggal 19 September 1971. Ia adalah guru besar di bidang Ilmu Kajian Gender, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini ia juga menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024.
Alim hadir dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017 sebagai peserta. Ia juga terlibat dalam pembahasan mengenai perempuan dan radikalisme dan perempuan dan kekerasan seksual. Selama ini Alim mengakses sumber dan rujukan, di antaranya tentang persoalan kesetaraan dan keadlian gender dan tentang ulama-ulama perempuan pada zaman Nabi, dari hasil KUPI sebagai inspirasi untuk ia sebarluaskan.
Riwayat Hidup
Alim adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai pegawai KUA dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Sejak kecil ia dibesarkan di lingkungan NU, kemudian pada usia 6 tahun dibesarkan oleh pamannya yang berlatar belakang Muhammadiyah dan sekarang menjabat sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Ngawi.
Rekomendasi nama Alim datang dari keinginan ayahnya yang semula ingin menamainya Alimatul Thibbiyah. Ia berharap kelak anaknya akan menjadi tabib (dokter) yang alim. Namun nama itu berubah menjadi Alimatul Qibtiyah. Alim berarti saintis, Qibtiyah adalah suku qoptik, suku Mesir yang terkenal dengan kecerdasannya. Meskipun tidak menjadi dokter, Alim menjadi professor yang alim.
Kondisi ekonomi yang sangat terbatas membuat Alim kesulitan dalam menempuh Pendidikan. Orang tua dan paman-bibinya awalnya hanya akan membiayainya sampai tingkat SMA saja. Oleh karena itu, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi, ia harus mencari biaya sendiri (survive). Ia berkuliah dengan uang sendiri dan sedikit bantuan dari orang tua dan paman bibinya dengan cara menjadi guru privat ngaji dan pelajaran sekolah. Sejak semester 3, ia mendapatkan beasiswa Supersemar hingga selesai. Dengan beasiswa ini ia tak perlu membayar SPP kuliah. Tetapi, ia hanya perlu membiayai kebutuhan kos dan kehidupan sehari-hari, serta kebutuhan untuk kegiatan-kegiatan organisasi.
Alim mendapatkan training keilmuan dari tradisi Barat dan social science, sekaligus juga mumpuni dalam bidang Islamic Studies karena ia lulusan dari sekolah berbasis agama, yaitu MI, MTsN, PGAN dan IAIN. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 1995, dan menempuh pendidikan S2 di Universitas Gajah Mada di bidang Psikologi tahun 2000 dan di University of Northern Iowa tahun 2005. Untuk tugas akhirnya di UGM, ia meneliti tentang bagaimana sikap tokoh agama di Yogyakarta dalam memahami isu gender. Ia meneliti 20 pondok pesantren dan tokoh-tokoh agama. Sebelum selesai penelitian dan sebagai dosen ia kemudian bergabung dengan PSW (Pusat Studi Wanita) UIN Sunan Kalijaga. Sementara untuk pendidikan doktoral ia selesaikan di Universitas Western Sydney tahun 2013.
Minat Alim pada isu kesetaraan gender dimulai pada tahun 1990an ketika ia mengikuti organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia) melalui diskusi-diskusi walaupun dengan pemahaman dan tindakan yang masih terbatas. Misalnya, memberikan simpati kepada perempuan yang sedang menstruasi. Alim yang tercatat sebagai anggota PII-Wati pernah juga mengikuti pertemuan di Cisarua, Bogor, mendiskusikan konsep kesetaraan gender. Di dalam pertemuan itu muncul kesepakatan bahwa mereka menerima konsep gender namun tidak dalam ranah ritual, termasuk mengenai imam shalat.
Satu peristiwa menyedihkan yang menimpa salah seorang kakaknya semakin meneguhkan tekad perjuangan Alim dalam gerakan kesetaraan gender. Alim memiliki 6 saudara perempuan dan 3 saudara laki-laki yang hampir semuanya berprofesi sebagai pekerja migran ke Brunei Darussalam dan ke Arab Saudi. Mereka pulang pergi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kakaknya saat itu ingin sekali kuliah, namun karena keterbatasan biaya akhirnya ia menikah dengan atlet sepak bola di kampung halamannya di daerah Ngawi. Sekitar tahun 2004, kakaknya ingin bekerja di Brunei Darussalam untuk menghidupi keluarga dan dua anaknya. Alim memberikan uang untuk tambahan biaya penyelesaian proses administrasi.
Namun, hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan bahwa kakaknya ternyata hamil sehingga menggagalkan keinginannya untuk bekerja di luar negeri. Ia merasa tertekan dan stress hingga mengakibatkan keguguran. Sayangnya, saat dilakukan pembersihan darah dan luka keguguran, ia tidak mendapatkan pelayanan dari bidan atau tenaga medis lainnya di rumah sakit. Akibatnya, ia mengalami infeksi bahkan komplikasi pada organ ginjal hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Mengenang peristiwa itu, Alim menuturkan bahwa perempuan sering menjadi tulang punggung keluarga yang memosisikan dirinya dalam keadaan yang rentang dan berisiko bahkan berdampak pada kematian, seperti yang dialami oleh kakaknya.
Refleksi atas peristiwa yang menimpa kakaknya itu meneguhkan minat penelitian Alim tentang Woman’s Studies. Pada tahun 2003-2005 ia mendapatkan beasiswa Fullbright untuk mengambil bidang Woman’s Studies di Amerika Serikat di Iowa, dengan topik tesis tentang pendidikan seksualitas dalam prespektif Islam. Sementara untuk penelitian disertasi, Alim mengkaji isu feminis dan gender dalam Islam yang sebagiannya menjadi buku Feminis Muslim di Indonesia.
Di tengah-tengah kesibukan, Alim juga menjadi reviewer beasiswa LPDP dan salah satu tim instruktur nasional bimbingan perkawinan yang dipimpin oleh Alisa Wahid di Kementerian Agama. Sebelum ia terpilih sebagai komisioner Komnas Perempuan, ia sempat “ragu” untuk mendaftar. Namun, kolega-koleganya mendorongnya untuk maju. Menjadi komisioner, bagi Alim, juga mendatangkan risiko baik secara ekonomi maupun keluarga. Ia perlu membuat kesepakatan dengan keluarga inti. Setelah menjabat selama 4 bulan, ia sempat diminta pulang oleh koleganya untuk mendaftar posisi sebagai wakil rektor, namun Alim tetap memilih bertugas di Komnas Perempuan.
Alim mendapatkan hasil kerja keras, ketekunan dan kedisiplinannya selama ini dengan pencapaiannya pada puncak prestasi akademik, yakni menjadi Guru Besar atau Profesor dan dikukuhkan pada tanggal 17 September 2020 dan SK Profesor pada tanggal 1 April 2020. Ia menyampaikan pidato bertajuk “Arah Gerakan Feminis Muslim Indonesia”. Dalam kajiannya itu, Alim mencoba mencari titik temu antara agamawan dan ide-ide feminis dan menjadikannya sebagai satu ramuan yang lengkap, kemudian diterima oleh kedua pihak. Ramuan itulah yang menjadi kekuatan Alim.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Di PSW Alim mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan isu gender. Ia bertemu dengan mentor seperti Ruhaini Dzuhayatin dan Ema Marhumah untuk mematangkan konsep-konsep gender. Sejak tahun 2000 ia diajak oleh Susilaningsih Kuntowijoyo untuk terlibat dalam Pimpinan Pusat Aisyiyah. Semenjak itulah Alim aktif di ‘Aisyiyah di Majelis Dikti, Majelis Tabligh, di LPPA (Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah), PP ‘Aisyiyah, dan sebagai anggota di Majelih Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang fokus terhadap isu perempuan dan anak.
Alim sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk berproses di Majelis Tarjih (MTT) dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia bertemu alim ulama dan cendekiawan baik dari tradisi Timur Tengah maupun dari Tradisi Barat. Sejak tahun 1995, banyak perempuan sudah mulai masuk di kepengurusan MTT Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Saat Ketua Umum 'Aisyiyah dijabat oleh Elyda Djasman, Profesor Chamamah menjadi anggota perempuan MTT. Pada periode 2015-2022 ada sekitar 6% anggota pimpinan Pusat 'Aisyiyah yang menjadi anggota pimpinan MTT.
Di Lembaga fatwa Muhammadiyah ini, Alim terlibat dalam tim tuntunan keluarga sakinah, fikih perlindungan anak, fikih difable, dan fikih amaliyah laki-laki dan perempuan perspektif Muhammadiyah. Sampai artikel ini ditulis, baru Tuntunan Keluarga Sakinah yang sudah disyahkan atau ditanfid oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sementara karya lainnya masih proses finalisasi. Alim juga sering diundang untuk pembahasan Tafsir at-Tanwir. Tak heran jika Panitia Seleksi Komnas Perempuan menyebutnya sebagai tokoh di balik putusan-putusan progresif Muhammadiyah.
Alim melihat KUPI dan ormas lainnya yang fokus pada isu perempuan dalam tataran konsep sudah luar biasa. Akan tetapi, mereka masih membutuhkan usaha yang lebih dalam mensosialisasikan konsep tersebut kepada masyarakat luas. Ia mencontohkan pengalaman ‘Aisyiyah. Konsep kesetaraan dan keadlian gender ‘Aisyiyah sudah sangat luar biasa bahkan dalam masalah yang untouchable dan unthinkable yaitu pembicaraan imam shalat perempuan bagi laki-laki. Yang menjadi persoalan adalah strategi komunikasi ke akar rumput yang tidak sesuai.
Menurut Alim, ke depannya eksistensi KUPI harus lebih dipertajam dan dimasifkan dengan cara menerjemahkan gagasan dan konsepnya dalam bentuk dan media yang mudah diakses dan handy sehingga lebih mudah sosialisasikan melalui media sosial, seperti Whatsapp grup. Menurut Alim, menyampaikan isu kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam harus mengetahui ayat dan hadistnya dan bagaimana mencari ramuan-ramuan semua isu untuk mempersatukan prinsip-prinsip feminis dan agama. Sehingga tidak ada kontradiksi antara menjadi seorang feminis dan religius. “To be a feminist and to be a religious person in the sametime, why not,” tuturnya.
Isu pendidikan seksualitas juga menjadi pembahasan Alim dalam penelitian tesisnya yang berjudul Pendidikan Seksualitas Dalam Prespektif Islam. Menurutnya, pendidikan seksualitas dapat dilihat dari level yang umum. Saat menjelaskan konsep thaharah, misalnya, guru atau orang tua dapat memberikan informasi yang benar tentang menstruasi dan keadaan menstruasi yang bukan karena sakit perut biasa. Berkaitan dengan kekerasan seksual yang kerap menimpa anak, maka anak perlu diajari tentang konsep sentuhan; sentuhan yang menyenangkan, sentuhan menyedihkan dan sentuhan yang membingungkan.
Sentuhan membingungkan adalah sekitar dada hingga kemaluan dan saat itu terjadi anak harus diajarkan prinsip no go tell. No berarti katakan tidak, go berrati pergi, dan tell berarti ceritakan kepada orang yang dipercaya. Sentuhan saat ini juga dapat diartikan sebagai rekaman (dunia digital), yaitu rekaman yang menyenangkan, menyedihkan, dan membingungkan atau rekaman yang saru. Sentuhan yang terkahir ini harus benar-benar menjadi perhatian mengingat saat ini di era digital angka kekerasan seksual di dunia siber meningkat dengan sangat tajam.
Menurut Alim tantangan sebagai akademisi yang membahas kajian gender adalah bagaimana tidak hanya speak up akan tetapi menerapkan kesetaraan gender di dalam keluarga. Tantangan berasal dari faktor budaya, penafsiran agama dan peraturan perundang-undangan yang belum komprehensif membahas persoalan-persoalan keadilan dan kesetaraan gender yang belum mengakomodir ide-ide feminis. Alim mencoba melakukan pendekatan-pendekatan melalui budaya egaliter, pemahaman agama yang moderat progresif, prespektif perlindungan terhadap hak perempuan, kesetaraan dan keadilan gender dalam peraturan-peraturan yang ada.
Bagi Alim kalangan milineal cukup progresif dalam menerima ide-ide kesetaraan dan keadilan gender. Milineal banyak memanfaatkan forum-forum dan pemikiran-pemikiran secara masif. Namun, Alim bekerja dan berdiskusi dengan segala umur termasuk millineal. Ia banyak menerima undangan untuk menjadi narasumber, misalnya pada tahun 2019, sejumlah 32 kali dalam satu tahun, tahun 2020 sebanyak 118 kali, dan pada tahun 2021 menjadi narasumber 105 kali dalam 6 bulan.
Filosofi hidup Alim adalah jika kita mempunyai telur maka mesti dierami supaya telur tersebut menetas, dambil terus dirawat dan diamati dengan segala kesabaran dan tidak boleh membedakan kualitas output. Dengan demikian, harapannya kita akan mendapatkan hasil dengan kualitas yang bagus. Kita mesti mengingat bahwa kehidupan ini dinamis. Oleh karena itu, kita perlu beradaptasi dan melakukan konstekstualisasi tanpa menghilangkan makna, prinsip tentang kebaikan, dan kemanusiaan. Ilmu tidak hanya sekadar wacana, melainkan menjadi living values dalam kehidupan sehari-hari.
Prestasi dan Penghargaan
Salah satu penghargaan yang diterima Alim adalah penghargaan sebagai dosen Mutu (berkualitas) tahun 2020 dari lembaga penjamin mutu. Ia juga menjadi pimpinan di Dekanat selama 6 tahun, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar di bidang Ilmu Kajian Gender, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 2020.
Karya-Karya
Alim memanfaatkan waktu di tengah kesibukannya untuk selalu menulis. Salah satu karyanya adalah Feminis Muslim di Indonesia. Bersama Pemuda Muhammadiyah Alim membentuk Akademisi Feminis Muslim sebagai sedekah keilmuan secara sistematis. Memanfaatkan pikiran dan waktu, Alim memasifkan upaya-upaya yang ada tanpa kendala-kendala organisasi atau afiliasi tertentu. Karya lainnya adalah tentang pendidikan seksualitas suami istri dalam Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual.
Penulis | : | Rusli Latief |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |