Khotimatul Husna

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Khotimatul Husna
Khotimatul Husna.jpeg
Tempat, Tgl. LahirBojonegoro, 27 Maret 1976
Aktivitas Utama
  • Ketua PW Fatayat NU DIY (2017-2022)
  • Anggota Dewan Pengasuh Ponpes Bumi Cendekia Jogjakarta (2019-sekarang)
  • Penyuluh Agama Islam non-PNS KUA kec. Banguntapan (2016-sekarang)
Karya Utama
  • Buku "Pedoman Membangun Toleransi" (Pustaka Pesantren, 2010)

Khotimatul Husna, atau biasa dipanggil Mbak Khotim, lahir di Bojonegoro, 27 Maret tahun 1976. Khotim saat ini menjadi Ketua Fatayat Wilayah NU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masa bakti 2017-2022. Ia tercatat sebagai Anggota Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta mulai 2019 dan sebagai penyuluh agama KUA yang rutin memberikan ceramah agama di beberapa majelis taklim dampingan, salah satunya Majlis Ta'lim Nurul Ulum dan Nurul Huda yang ada di lingkungannya. Khotim juga menjadi salah satu pengasuh rubrik Tanya Jawab pada Swara Rahima mulai 2020 hingga sekarang.

Dalam perayaan KUPI bulan April 2017, Khotim terlibat aktif sejak persiapan maupun dalam pelaksanaan kongres. Sebelum kongres, ia terlibat dalam acara-acara halaqah yang membahas identifikasi ulama perempuan dan bagaimana teks agama maupun sejarah mencatat tentang ulama. Khotim juga terlibat dalam pembahasan terkait metodologi yang akan digunakan dalam musyawarah keagamaan KUPI; apakah akan menggunakan istilah fatwa, musyawarah keagamaan, dan isu apa yang akan dibahas. Ketika pelaksanaan musyawarah keagamaan KUPI, Khotim terlibat dalam pembahasan terkait isu perkawinan anak. Ia bertugas sebagai tim perumus bersama dengan ulama perempuan yang lain. Selain itu, ia juga terlibat dalam memobilisasi peserta untuk mengikuti musyawarah keagamaan.

Riwayat Hidup

Khotim lahir dari keluarga yang sudah menerapkan relasi yang “cair” dalam peran gender antara laki-laki dan perempuan. Kala itu karena ayahnya menderita sakit, sang ibu seringkali berperan sebagai kepala keluarga. Selain itu, ia juga bertekad bahwa anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan yang tinggi. Oleh karena itu, ia turut bekerja mencari nafkah, meskipun sering menjadi gunjingan masyarakat lantaran apakah itu dibenarkan secara agama.

Meski hanya lulus Sekolah Dasar, sang ibu mempunyai semangat belajar yang tinggi. Ia bahkan menginisiasi pendirian pesantren dan membangun sekolah mulai SD hingga Aliyah. Hal ini karena keyakinannya bahwa orang baik itu ia yang banyak memberikan manfaat. Lembaga pendidikan yang ia bangun juga mempunyai tujuan kuat untuk mengubah tradisi masyarakat yang tidak baik, seperti kebiasaan main perempuan, narkoba, minum, maling atau yang disebut dengan “molimo” (madan, madat, minum, maling). Dan, setelah anak-anak di kampung mau mengaji dan sekolah, perlahan kebiasaan molimo itu pun menghilang.

Khotim menyelesaikan Pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah (MIM) Kapas, kemudian melanjutkan ke jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Pondok Pesantren aT-Tanwir Bojonegoro. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas syariah IAIN sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia pernah nyantri di Pondok Pesantren Langitan Widang dan Pondok Pesantren Al-Hikmah, Singgahan, Tuban. Ia juga pernah mengikuti Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Rahima tahun 2012-2014, dan mengikuti Short Course Leadership Development for Islamic Women Leaders di Deakin University, Australia. (2017).

Saat menjadi mahasiswa, Khotim aktif sebagai Wakil Ketua PMII Rayon Fak Syariah, dan Pengurus Cabang PMII Yogyakarta. Di kampus, Khotim pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Kordiska UIN Sunan Kalijaga. Wakil Sekretaris PW IPPNU DIY, Sekretaris PC Fatayat NU Kota Jogja (2010-2014), dan Pengurus Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Nahdhatul Ulama Yogyakarta (2018-sekarang).

Khotim menikah dengan Irpan Muttaqin dan telah dikaruniai tiga orang puteri, yaitu Ratu Sheba Sofie Ahimsa, Queen Aisha Permata Ahimsa, dan Malika Kimya Mutia Ahimsa. Khotim tinggal di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Khotim pertama kali mengenal isu gender sejak aktif di PMII sekitar tahun 1996. Bagi Khotim, belajar gender menguatkan dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh ibunya tidak bertentangan dengan agama. Di kampus, Khotim tak hanya tekun kuliah, tetapi juga aktif berorganisasi. Setidaknya ada dua organisasi yang ditekuninya, LDK (Lembaga Dakwah Kampus) Kordiska dan PMII. Di Kordiska, Khotim aktif hingga pernah menduduki posisi Wakil Ketua. Ia juga rajin menulis di majalah Fakultas ‘Advokasia’ dan leaflets PMII yang dibentuk Perempuan Rayon Fakultas Syariah, LEPPAS, Lembaga Perempuan Peduli Keadilan dan Kesetaraan. “Leaflets-nya terbit setiap bulan. Kebanyakan isinya mengkritik kebijakan di Fakultas,” jelasnya.

Tahun 2000 setelah selesai kuliah, Khotim bekerja sebagai Editor di sebuah penerbitan di Yogyakarta. Setelah menikah, tahun 2003, Khotim pindah ke Malang mengikuti tugas sang suami. Waktu itu Khotim sempat menulis dua buku berjudul ‘Etika Berbisnis ala Nabi’ dan ‘Toleransi Beragama’. Selain itu, ia menulis opini terkait isu perempuan di berbagai media, seperti KOMPAS, Jawa Pos, rubrik Swara Kompas, Koran Tempo, dan Seputar Indonesia. Selama tiga tahun di Malang, Khotim juga bekerja sebagai editor ‘jarak jauh’-nya LKiS. Khotim juga sempat membentuk pengajian anak-anak untuk membentengi gerakan fundamentalisme. Pengajian itu kemudian berkembang menjadi pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, dan aktif hingga sekarang meskipun Khotim sudah kembali ke Yogyakarta sejak 2008.

Di Bantul, tempat tinggalnya sekarang, Khotim dan suami kembali mengorganisasi kelompok remaja di lingkungannya yang mulai terpapar narkoba dan gemar trek-trekan motor, bahkan sampai ada seorang pelajar SMP yang meninggal dunia. Ia dan suaminya juga membuka taman baca di rumahnya, bernama ‘Kandank Ilmu’. Awalnya ada sekitar 50 remaja yang terdaftar, namun yang aktif hanya 30 orang. Mereka boleh mengakses buku-buku yang ada. Untuk menghilangkan rasa jenuh, mereka diajak dalam forum diskusi ‘review buku’ sebulan sekali. Setiap remaja bergantian berbagi tentang buku yang dibaca. Khotim kemudian menginisiasi berdirinya PAUD Flamboyan setiap senin-kamis dengan hanya membayar Rp. 1000 setiap kali datang dan disimpan di ‘Kotak Senyum.’ Dana itu dibagi dua, Rp. 500 untuk snack (tradisional) siswa, dan sisanya untuk administrasi. Bersama ibu-ibu di Kepanjen, Khotim menginisiasi majelis taklim, yaitu majelis taklim Nurul Huda dan Nurul Ulum.

Jiwa kepemimpinan Khotim kian kuat setelah belajar di Rahima pada tahun 2013 melalui program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP). Pendidikan tersebut membuatnya semakin percaya diri mengisi pengajian ataupun diskusi di PMII yang sebelumnya sering ia tolak. Baginya, Rahima sangat menghargai kearifan pesantren dengan mengedepankan pesan-pesan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang menjadi rahmat dan tanpa kekerasan. Selain itu, ia juga terispirasi oleh sosok ibunya yang berhasil mematahkan semua keraguan, bahkan perjuangannya kemudian menuai banyak dukungan.

Berbagai aktivitas dan pengabdian Khotim di masyarakat selalu didukung oleh suami dan anak-anak secara penuh. Jika tidak ada kesibukan lain, sang suami siap mengantarnya ke mana pun ia akan berdakwah. Ketiga anaknya tidak ada yang protes karena ia sudah menanamkan pemahaman bahwa hidup bukan hanya untuk keluarga namun juga untuk masyarakat. Sebagaimana pesan sang ibu yang meminta perjuangannya tidak terhenti pada dirinya, namun harus terus dilanjutkan oleh anak-cucunya nanti. Oleh karena itu, anak-anaknya yang baru pulang dari pesantren mulai mengorganisasi dan memberikan pengajaran bagi anak-anak sebaya di kampungnya.

Khotim mengakui bahwa tantangan terberat dalam mengurus organisasi itu adalah memastikan soliditas seluruh tim. Mengingat organisasi keagamaan bersifat sukarela tidak seperti organisasi profesional, sehingga membutuhkan kepemimpinan untuk merangkul. Mereka yang biasa bekerja profesional dapat berkhidmat dengan memanfaatkan kedudukan dan jaringan di lembaga. Semua orang harus dirangkul dan dihargai dengan potensinya masing-masing, meski tidak aktif secara fisik namun tetap dapat bermanfaat dalam peran-peran lainnya, seperti menjadi nara sumber. Pemimpin hadir memberikan dukungan atas setiap inisiatif dari berbagai kemampuan kader. Begitupun pengalamannya di Fatayat NU, ibarat sebuah puzzle yang saling melengkapi untuk menjadi kesatuan yang utuh.

Pasca KUPI, Khotim gencar mensosialisasikan hasil KUPI dan mengintegrasikannya dalam setiap kegiatannya. Di Fatayat, hasil KUPI menjadi bagian program kerja. Misalnya, rekomendasi tentang kekerasan seksual masuk dalam agenda Fatayat untuk advokasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan. Langkah yang ditempuh dimulai dengan gerakan penyadaran kader Fatayat di seluruh Provinsi DIY, diawali dengan diskusi rutin dan seminar menghadirkan para ahli dari Yogyakarta maupun KUPI. Isu kekerasan seksual juga masuk ke pesantren setelah adanya pengaduan ke LP3A Fatayat. Kemudian Fatayat memberikan pendampingan terhadap korban dan melakukan rujukan dengan lembaga pengada layanan yang ada di Yogyakarta seperti Rifka Annisa.

Selain isu kekerasan seksual, Khotim juga mensosialisasikan fatwa KUPI lainnya tentang pentingnya menjaga lingkungan dan pencegahan perkawinan anak. Isu kesehatan reproduksi menjadi pintu masuk untuk mencegah kawin anak dan kekerasan seksual serta stunting. Fatayat NU DIY bekerjasama dengan LKK NU melakukan pelatihan keluarga Sakinah untuk mencegah perkawinan anak, serta bersama Rahima membuat deklarasi cegah kawin anak bersama para KUA di Gunungkidul dan Kulon Progo. Merespon maraknya dispensasi perkawinan terlebih saat pandemi, Khotim berencana melakukan pelatihan fasilitator cegah kawin anak melalui penyuluh agama dan keluarga muda (dibawah 5 tahun). Hal ini berangkat dari keprihatinan terhadap fakta bahwa perspektif penyuluh agama masih bias dan cenderung menyalahkan korban, terutama ketika mereka mendapat tugas mengisi bimbingan perkawinan di KUA.

Isu lingkungan menjadi perhatian khusus pada masa pandemi. “Jihad Pangan” sebagai judul program Fatayat untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan mengkonsumsi makanan sehat. Program tersebut dilakukan dengan cara membagi-bagikan bibit kepada masyarakat dengan slogan “menanam pohon menuai berkah”. Kegiatan ini didukung oleh banyak pihak karena terbukti menolong ekonomi keluarga terutama di masa pandemi, dengan menanam sayuran maupun budidaya lele di pekarangan. Selain itu, program lingkungan yang digagas PW Fatayat NU DIY telah mengajarkan anak-anak santri untuk membuat pembalut dari kain yang ramah lingkungan dan pemberian vitamin.

Isu lain yang menjadi perhatian Khotim adalah radikalisme agama yang juga dibahas di dalam KUPI dan menjadi persoalan di DIY. Fatayat NU DIY bekerjasama dengan NGO dan kampus melakukan serangkaian kegiatan untuk mencegah paham ekstrimisme berkekerasan masuk ke kampus dan masyarakat. Fatayat membuat event pentas seni untuk perdamaian dengan melibatkan berbagai komunitas seni di Yogyakarta, dengan tujuan merangkul kearifan lokal sebagai sesuatu yang diakui oleh agama. Di akhir acara ada deklarasi damai yang disuarakan oleh perwakilan yang hadir dari berbagai latar belakang dalam acara tersebut. Selain itu, Fordaf Fatayat NU DIY menyebarkan flyer siap mengisi pengajian-pengajian untuk mengkonter paham dan gerakan kelompok radikal yang merusak tatanan budaya dalam upaya menciptakan keharmonisan dalam keberagaman di Yogyakarta.

Kegiatan lain pasca KUPI yang dilakukan Khotim melalui Fatayat adalah lomba membuat video dan profil ulama perempuan di DIY tahun 2020. Terakhir, ia membuat whatsapp group untuk pengasuhan anak dimulai sejak awal pandemi hinggi kini. Peserta grup adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang secara aktif mendiskusikan tentang parenting juga kesehatan reproduksi anak.

Karya-Karya

Berikut di antara tulisan yang ditulis oleh Khotim:

  1. Pedoman Membangun Toleransi (Pustaka Pesantren, 2010)
  2. Sukses Berbisnis Ala Nabi (Pustaka Pesantren, 2010)
  3. Cara Nabi Mengikis Terorisme (Pustaka Pesantren, 2016)
  4. “Perempuan Berparfum, Dosakah?” Mubadalah, 2016


Daftar Bacaan Lanjutan

Ismah, Nor. “Destabilizing Male Domination, Building Community Based Authority among Indonesian Female Ulama”, Asian Studies Review, 40:4, 527-544, 2016.


Penulis : Pera Shopariyanti
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir