Musyawarah Keagamaan
Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir | 03-Okt-2023
Musyawarah Keagamaan adalah forum pengambilan keputusan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tentang masalah-masalah sosial keagamaan. Ini sudah pernah diadakan pertama kali pada Kongres pertama di Cirebon (2017) dan Kongres kedua di Jepara (2022). Sebelum Musyawarah Keagamaan di Kongres, dalam rentang waktu pra-kongres, diadakan halaqah-halaqah keagamaan sebagai pengantarnya. Halaqah diadakan oleh komunitas, lembaga, atau kelompok individu yang beriman dan mengadopsi visi gerakan KUPI. Sebelum halaqah, kajian individu dipersiapkan terlebih dahulu untuk mendalami data, analisis, refleksi, dan argumentasi yang relevan.
Musyawarah Keagamaan KUPI diawali dari pertanyaan yang diajukan individu maupun lembaga tentang isu-isu sosial, terutama yang memiliki dampak besar terhadap perempuan. Isu ini dirumuskan terlebih dahulu permasalahannya, untuk mengenali segala aspek sosial, kultural, ekonomi, politik, hukum, bahkan medis dan lingkungan, terutama keburukan-keburukan yang menimpa perempuan, atau kebaikan yang diperolehnya. Data dan analisis yang relevan dari berbagai pihak yang telah melakukan kajian akan dijadikan bahan dan disertakan dalam kajian, pembahasan, dan perumusan. Kajian awal tentang permasalahan harus dilakukan dengan pendekatan interdisipliner, dengan memertimbangkan pengalaman perempuan, terutama pihak-pihak yang mengalami dampak dari permasalahan tersebut. Kajian teks-teks keagamaan, baik dari dua sumber utama, maupun dari sumber-sumber lain juga sudah dilakukan terlebih dahulu, atau dengan mencari dan menghadirkan kajian-kajian yang sudah tersedia. Hasil dari semua kajian awal ini dibawa dalam forum-forum halaqah maupun Musyawarah Keagamaan.
Dalam memproses semua tahapan ini, pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia memiliki empat karakteristik. Yaitu, partisipatoris (melibatkan pihak-pihak dari berbagai latar belakang), terbuka (dapat menerima pandangan dari berbagai pihak dan bisa dipertanggungjawabkan ke masyarakat luas), responsif (merespons persoalan-persoalan nyata yang terjadi di masyarakat dan mengandung aspek ketidakadilan akibat relasi sosial yang timpang), dan dialektik (diproses dengan cara mendialogkan antara teks dan konteks, antara prinsip universal dan kearifan lokal, dan antara kepentingan jangka panjang dan pendek).
Ketika semua tahapan kajian awal dan halaqah-halaqah diselenggarakan, Musyawarah Keagamaan dilakukan pada saat Kongres. Secara teknis, pertemuan Musyawarah ini dipimpin seorang ketua, didampingi wakil ketua dan sekretaris, serta mushahhih (yang mengevaluasi dan memberi catatan akhir). Hasil akhir keputusan Musyawarah ini ditulis dalam struktur perumusan yang diawali dengan judul dengan huruf kapital “HASIL MUSYAWARAH KEAGAMAAN KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA”, dengan nomor urut keputusan dan tema utama yang menjadi pembahasan. Adapun strukturnya terdiri dari poin-poin berikut ini:
Tashawwur (Deskripsi)
Tashawwur secara bahasa berarti deskripsi atau penggambaran. Ia adalah penjelasan tentang masalah atau persoalan yang akan difatwakan secara komprehensif. Deskripsi, atau tashawwur ini, berisi gambaran tentang fakta-fakta di lapangan dalam konteks sosial sebagai problem dari berbagai aspek, seperti bentuk, pola, data-data, dampak, suara korban, struktur budaya, hukum, maupun pemahaman agama tertentu yang melingkupi kehidupan masyarakat. Prinsip-prinsip dalam tashawwur adalah menggambarkan masalah sebagai problem, bukan analisis, ditulis dengan singkat, padat, dan jelas atau sederhana dan tajam. Penggambaran ini menjadi pintu masuk dalam memahami persoalan yang akan dimintakan fatwanya kepada Musyawarah Keagamaan KUPI.
Unsur dalam tashawwur yang bisa dipertimbangkan adalah sesuai dengan kebutuhan. Bisa mulai dari definisi tentang suatu masalah, fakta-fakta, hasil penelitian, temuan sains, data-data lembaga otoritatif, bentuk masalah, dampak negatif, norma hukum nasional dan internasional baik yang menjadi masalah, maupun menjadi landasan, dan pemahaman keagamaan tertentu yang melanggengkan masalah, serta norma-norma budaya yang hidup dalam masyarakat. Tashawwur ini diakhiri dengan kalimat pertanyaan yang memerlukan jawaban pandangan dari ulama perempuan. Kalimat pertanyaan bisa lebih dari satu, tergantung kebutuhan yang muncul dari masyarakat.
Pada kasus fatwa pertama, tentang kekerasan seksual, ada tiga pertanyaan yang semuanya berkaitan dengan aspek hukum Islam. Pada kasus fatwa yang kedua, tentang pernikahan anak, tiga pertanyaan juga, tetapi hanya satu yang terkait aspek hukum Islam. Dua pertanyaan yang lain mengenai pihak-pihak yang harus bertanggung-jawab dalam melindungi anak dari pernikahan. Begitu pun pada kasus fatwa ketiga, tentang perusakan alam: ada pertanyaan tentang aspek hukum, tentang tafsir dan peran agama, serta tentang tanggung-jawab negara atas persoalan ini.
Adillah (Dasar Rujukan)
Adillah adalah bentuk plural dari dalîl, yang berarti petunjuk. Yang dimaksud adillah di sini adalah teks-teks yang menjadi dasar rujukan dalam pengambilan keputusan pandangan keagamaan. Teks-teks dasar ini terdiri dari empat sumber, yaitu:
- Nash al-Qur’ân, perujukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagai dasar hukum suatu persoalan harus terkait dengan persoalan, ditulis teks Arabnya, diterjemahkan dan dijelaskan keterkaitannya agar mudah dipahami. Ayat-ayat al-Qur’an harus dikumpulkan terlebih dahulu dan disusun secara tematik. Setiap ayat diberi titel yang mengarah pada keterkaitan dengan masalah dan jawabannya, kemudian disebutkan teks Arab secara lengkap, serta terjemahannya. Terjemahan harus diusahakan dari individu atau lembaga otoritatif, seperti terbitan Kementerian Agama.
- Nash al-Hadîts, perujukan terhadap teks-teks Hadits sebagai dasar hukum suatu persoalan harus terkait dengan persoalan, ditulis teks Arabnya jika menjadi dasar utama, diterjemahkan dan dijelaskan keterkaitannya agar mudah dipahami. Penjelasan keterkaitan ditulis sebagai titel sebelum teks Arab dan terjemahan. Penerjemahan teks-teks Hadits bisa dilakukan sendiri oleh anggota Musyawarah Keagamaan.
- Aqwâlul ‘Ulamâ`, artinya pandangan-pandangan ulama yang relevan, baik dari ulama klasik maupun kontemporer. Ia harus relevan, sebaiknya dikutip aslinya, diterjemahkan jika berbahasa asing, dan dijelaskan keterkaitannya dengan persoalan yang dibahas. Sama seperti nash al-Qur’ân dan Hadîts, titel ditulis terlebih dahulu yang mengarah pada keterkaitan konten Aqwâlul ‘Ulamâ`, lalu teks dan atau terjemahanya langsung, dengan menyebut rujukanya secara akurat.
- Konstitusi Negara Republik Indonesia dan produk perundang-undangan yang berlaku. Pasal dan ayat-ayat dari Konstitusi dan Undang-undang harus disebutkan dan dikutip secara lengkap isinya.
Istidlâl (Analisis)
Istidlâl secara bahasa berarti mencari petunjuk (dalîl) atau menganalisis petunjuk-petunjuk (adillah). Yang dimaksud istidlâl di sini adalah proses analisis dengan cara menggunakan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Aqwâlul ‘Ulamâ`, dan Konstitusi untuk melihat persoalan yang difatwakan. Analisis ini didasarkan pada dua sumber utama: al-Qur’an dan Hadits, dengan mempertimbangkan Aqwâlul ‘Ulamâ` dan Konstitusi Negara RI. Pertimbangan dilakukan untuk merumuskan maslahat dan mafsadat dalam keputusan pandangan atau sikap keagamaan yang akan diambil. Istidlâl dapat juga menggunakan kaidah-kaidah ushûliyyah dan fiqhiyyah, maqâshid asy-syarî’ah, prinsip-prinsip universal Islam seperti kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kesalingan, kebaikan, kemaslahatan, kebangsaan, dan kesemestaan.
Untuk itu, istidlâl harus menggunakan pendekatan makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki yang telah dijelaskan pada bab paradigma KUPI. Ketiga pendekatan ini digunakan untuk memunculkan kerangka dan logika yang utuh, kohesif, dan korelatif dengan sembilan nilai KUPI, sehingga bisa mengarah pada jawaban yang selaras dengan visi rahmatan lil ‘âlamîn dan akhlâq karîmah yang menjadi paradigma KUPI. Masing-masing pertanyaan yang diajukan dalam tashawwur bisa diberikan rumusan istidlâl secara terpisah, jika hal demikian bisa membuat analisis lebih kuat dan argumentatif.
Sikap dan Pandangan Keagamaan
Keputusan atau hasil dari deskripsi (tashawwur), dalil (adillah), dan analisis (istidlâl) adalah sikap dan pandangan keagamaan, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam deskripsi. Keputusan ini diungkapkan dalam kalimat yang jelas dan terarah. Uraian-uraian dari kalimat itu yang lebih elaboratif, atau alasan-alasan yang relevan, jika dianggap perlu, juga bisa disampaikan dalam bentuk poin-poin di bawahnya.
Rekomendasi
Rekomendasi ini berisi pernyataan-pernyataan yang ditujukan kepada para pihak, baik kepada individu, masyarakat, korporasi, maupun institusi (negara dan swasta), sebagai tindak lanjut dari hasil keputusan pandangan keagamaan yang telah ditetapkan. Tazkiyah (rekomendasi), atau lebih tepatnya tawshiyah, ditujukan kepada individu, keluarga, lembaga, baik milik swasta maupun milik pemerintah, kelompok, organisasi, dan umat agama, organisasi masyarakat (Ormas) dan masyarakat, korporasi, dan negara, yang kurang lebih berisi hal-hal sebagai berikut:
- Individu untuk mengambil sikap dan tindakan yang kongkret atas ketidakadilan dalam masalah yang difatwakan, baik terkait dengan relasi antar manusia, maupun antara manusia dengan alam atas dasar keimanan pada Allah Yang Maha Esa;
- Keluarga untuk menciptakan iklim keluarga yang kondusif bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan hakiki bagi perempuan dan laki-laki, membangun tradisi saling menghormati, menghargai dan kerjasama antara perempuan dan laki-laki sejak dini, dan menghindari sikap eksploitatif yang bisa menjadi sebab sekaligus dampak dari persoalan yang diputuskan;
- Lembaga milik swasta maupun pemerintah untuk mengedukasi dan tidak melakukan eksploitasi secara perorangan, maupun kelembagaan. Juga menindaklanjuti jika relevan dengan fungsi lembaga tersebut;
- Kelompok agama (tokoh, lembaga, dan masyarakat agama) untuk membangun pemahaman dan tradisi keagamaan yang mempunyai daya dorong untuk mewujudkan kemaslahatan, dan daya tahan dari dampak buruknya, serta daya dorong mengatasi mafsadat terkait dengan persoalan yang diputuskan;
- Organisasi kemasyarakatan dan masyarakat untuk peka terhadap tradisi dan budaya yang melahirkan ketimpangan sosial, dan berupaya menafsir ulangnya dengan cara pandang yang adil sambil berupaya mewujudkan tradisi atau budaya baru yang lebih menjamin keadilan hakiki bagi seluruh kelompok lemah atau dilemahkan, khususnya perempuan, termasuk adil pada alam;
- Korporasi untuk mempertimbangkan kondisi khusus perempuan karena organ, fungsi, dan masa reproduksinya dalam membangun budaya kerja yang adil, memastikan tindakannya tidak menghalalkan segala cara dengan mengabaikan dampak mafsadat pada tatanan kehidupan individu, keluarga, sosial, maupun negara, dan menghindari cara-cara berbisnis yang mengeksploitasi manusia maupun alam;
- Negara untuk menerapkan kebijakan yang telah ada dan mempunyai daya dorong untuk mengatasi masalah, membatalkan kebijakan yang telah terbukti menjadi bagian dari masalah, serta membuat kebijakan baru yang dipandang penting demi mengatasi masalah dengan seadil-adilnya. Atau bisa jadi dengan menegakkan aturan-aturan yang telah ada (law enforcement).
Marâji’ (Referensi)
Marâji’ adalah bentuk plural dari kata marja’ yang berarti rujukan atau referensi. Ia berisi daftar sumber-sumber pustaka yang menjadi rujukan, baik yang disebut dalam tashawwur, adillah, istidlâl, dan hasil berupa sikap dan pandangan keagamaan yang diputuskan. Marâji’ ditulis dalam bentuk daftar sebagaimana tata cara penulisan daftar pustaka dalam penulisan ilmiah.
Mulhaqat (Lampiran)
Mulhaqat di sini yang dimaksud adalah lampiran-lampiran. Lampiran adalah segala sesuatu yang menjadi penopang pada pembahasan. Lampiran-lampiran, atau mulhaqât, berisi kutipan-kutipan langsung dari sumber-sumber yang belum dimuat di dalam tashawwur, adillah, istidlâl, maupun hasil sikap dan pandangan keagamaan. Baik kutipan ayat al-Qur’an, teks-teks Hadits, teks Aqwâl ‘Ulamâ`, dan pasal-pasal atau ayat-ayat Konstitusi Negara RI serta perundang-undangan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan struktur perumusan pandangan keagamaan seperti di atas, KUPI bermaksud menegaskan beberapa karakteristik berikut ini:
- Argumentatif: pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia dapat dipertanggungjawabkan baik secara nash agama maupun secara faktual;
- Kontekstual: pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia berlandaskan pada konteks umum maupun khusus nash-nash agama maupun realitas di mana persoalan yang difatwakan muncul;
- Implementatif: pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia bisa diterapkan dalam kehidupan nyata;
- Solutif: pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia memberikan jalan keluar atas persoalan-persoalan masyarakat;
- Dinamis: pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan kemaslahatan;
- Moderat: pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia mencerminkan cara pandang keislaman yang moderat (wasathiyah) yang dianut Bangsa Indonesia secara umum.
Tentu saja, karena telah menjadi dokumen publik, hasil Musyawarah Keagamaan ini bisa digunakan pihak mana pun, sebagai rujukan keagamaan dalam upaya pemberdayaan, penguatan dan pemenuhan hak korban atas keadilan dan pemulihan, serta rehabilitasi pelaku agar berubah menjadi positif dan suportif. Secara khusus, hasil Musyawarah KUPI ini memang merupakan jawaban keagamaan atas keresahan dan pertanyaan masyarakat tentang berbagai persoalan, terutama yang berdampak buruk pada perempuan, anak-anak, kaum dlu’afâ’ dan mustadl’afîn, serta lingkungan alam sekitar.
Semua kerja-kerja ijtihad Musyawarah Keagamaan ini merupakan upaya KUPI untuk ikut serta membangun tradisi pemikiran keislaman yang mengintegrasikan perspektif kesetaraan, keadilan, dan kesalingan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Ia juga menjadi bagian dari upaya KUPI dalam pembaruan hukum dan perubahan kebijakan yang menjamin kemanusiaan yang adil dan beradab serta kelestarian alam semesta. Lebih dari itu, KUPI ingin ikut memberikan kontribusi kepada kehidupan berbangsa dan bernegara, serta peradaban dunia tentang kesadaran keadilan hakiki terhadap perempuan. Amin.