Kupipedia Media Kekinian Ulama Perempuan

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Info Artikel

Sumber Original : Fahmina
Penulis : Dewi Laily Purnamasari
Tanggal Terbit : 27 Desember 2021
Artikel Lengkap : Kupipedia Media Kekinian Ulama Perempuan

Kupipedia adalah ensiklopedia digital yang memuat seluruh dokumen, informasi, dan pengetahuan tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang akan terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan data itu sendiri.

Ada laman entri yang menarik dalam Kupipedia, yaitu informasi tentang Ulama Perempuan, walaupun ternyata di dalamnya ada juga nama laki-laki. Tokoh adalah entri tentang individu yang terlibat dalam gerakan kolektif keulamaan perempuan di Indonesia yang terdiri dari tiga kelompok:

  • Pertama, kelompok yang memiliki basis keilmuan Islam dan atau aktivisme keislaman, baik sebagai pengasuh pesantren, akademisi, ustadz/ustadzah, muballigh/muballighah, pengurus utama organisasi keislaman, atau pengasuh utama majlis ta’lim.
  • Kedua, kelompok yang bergerak langsung dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan dan anak, yang menggunakan secara strategis dan berkelanjutan sumber-sumber rujukan karya ulama perempuan.
  • Ketiga, kelompok yang memiliki basis keilmuan sosial dalam isu-isu keadilan gender, baik sebagai akademisi, penulis, dan atau aktivis sosial, serta aktif berkontribusi pada gerakan keulamaan perempuan.

Tampilan informasi tokoh Ulama Perempuan Badriyah Fayumi

Badriyah perempuan kelahiran Pati 5 Agustus 1971, sejak kecil Badriyah hidup dengan kultur agama yang kuat, ayah dan ibunya merupakan pengasuh pondok pesantren Raudhatul Ulum dan juga tempat Badriyah menimba ilmu agama dan bersosialisasi nilai-nilai pesantren. Sewaktu kecil belajar dasar-dasar agama kepada ayah dan ibunya, sedangkan pendidikan formalnya ditempuh di sekolah dasar negeri dan Muallimat serta pernah menjadi ketua OSIS Putri serta mendirikan majalah Ukhuwwah. Kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta (UIN Jakarta) jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin dengan lulusan terbaik tahun 1995. Kemudian melanjutkan kembali ke Al-Azhar, Cairo, Mesir (lulus tahun 1998) dan kembali  tanah air menjadi dosen Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir.

Bagi Badriyah menyuarakan kekerasan seksual adalah untuk membuktikan fakta-fakta dilapangan dan menyuarakan pandangan Islam yang selama ini tidak banyak dipahami sendiri oleh umat Islam dan isu nasional. Rancangan UU Penghapusan seksual menjadi waca publik dengan pemikiran-pemikiran KUPI mempunyai ruang untuk didengar baik yang setuju maupun tidak setuju proses ini menjadi edukasi publik, kesadaran publik dan menjadi peluang.

Dalam memantau perkembangan RUU PKS KUPI mempunyai tujuan dan maksud dengan di sahkannya RUU PKS dan menjadi undang-undang bukan menjadi tujuan akhir namun tujuan akhirnya adalah membangun masyarakat yang adil dan beradab, masyarakat bebas kekerasan seksual, menghargai manusia dengan memanuasiakan manusia dengan martabat yang terhormat dan bermartabat dan tidak dinodai kekerasan seksual.

Kekerasan seksual adalah kesalahan besar untuk dihindari dan dijauhi oleh muslim, masyarakat pada umumnya dan bagi muslim bahwa agama melarang itu. Menghindari pandangan yang sebalikanya seperti, konservatisme agama dan salah paham. Pandangan KUPI merupakan prespektif KUPI sendiri yang berlandasarkan al-Qur’an, Hadist, konstitusi Negara, ahwal ulama dan pengalaman perempuan dalam proses istidlal harus memiliki banyak ilmu untuk meramu hingga sesuai dengan visi misi KUPI mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, kehidupan berahlak mulia dan bertauhid berimpelemtasi kemanusiaan. Sebenarnya sudah clear jika ada masyarakat yang belum paham sekalipun namun menjadi tantangan bagi KUPI sendiri, bagi Badriyah tidak khawatir dengan tantangan tersebut karena KUPI sudah memiliki jati diri dipertanggung jawabkan secara ilmiah, secara sosiologis, kultural dan dipertanggungjawabkan secara agama baik di dunia dan akhirat.

Husein Muhammad sebagai ulama yang memperhatikan permasalahan perempuan.

Dr. (Hc) KH. Husein Muhammad atau yang akrab disapa Buya Husein adalah salah satu tokoh yang aktif mengampanyekan pesan-pesan kesetaraan gender dalam Islam. Ia lahir di Cirebon pada tanggal 9 Mei 1953, putera pasangan Kiai Muhammad Asyarofuddin dan Ibu Nyai Ummu Salma Syatori.

Ayahandanya, Kiai Asyrofuddin adalah pengasuh salah satu pesantren di Cirebon, Pesantren Dar al-Tauhid.

Ia kemudian berkelana ke Jawa Timur, tepatnya di daerah Kediri. Ia masuk pesantren yang memiliki tradisi akademik bagus, Pesantren Lirboyo Kediri. Di pesantren ini ia belajar selama tiga tahun, tepatnya dari tahun 1969 sampai 1973.

Setelah dari Lirboyo, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an di Jakarta hingga selesai tahun 1980. Tugas akhirnya bertajuk, “Pidani Mati Menurut Hukum Islam”. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, sebagai bentuk penghormatan kepada salah satu gurunya, ia melanjutkan pendidikan ke al-Azhar Mesir. Di tempat ini, ia bisa kuliah di kampus keislaman tertua di dunia dan juga bisa mengaji kepada ulama-ulama besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan keagamaan.

Pada tahun 1983 ia kembali ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangan leluhurnya: mengasuh Pesantren Dar al-Tauhid. Di samping aktif sebagai kiai pesantren, ia juga memiliki jiwa pergerakan. Sehingga pada tahun 2001, ia mendirikan beberapa lembaga swadaya untuk perempuan, seperti Puan Amal Hayati, Rahima, Fahmina Institute, dan Alimat.

Pada tahun 2001 bersama Ibu Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dan beberapa koleganya ia membuat forum Kajian Kitab Kuning di Jakarta, membahas kitab Uqud al-Lujain dan memberi komentar atas kitab itu dengan judul, “Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujain”.

Buya Husein menegaskan bahwa perempuan bukan hanya sekadar tubuh yang bisa dieksploitasi. Ia adalah ruh, jiwa manusia. Ia juga menolak budaya patriarki terhadap perempuan. Islam yang mengusung ajaran tauhid, yang bermakna pengesaan dengan makna secara luas adalah menolak upaya-upaya penghambaan kepada selain Allah. Pemilik otoritas yang Absolut adalah Allah SWT, bukan yang lainnya.

Pendek kata, spirit tauhid adalah pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi, dan penindasan manusia atas segala dasar apa pun. Gagasan teologis ini, tulis Buya Husein, hendak menempatan manusia secara terhormat. Perempuan sebagai manusia adalah bebas, mandiri, dan dalam posisi yang adil. Keadilan dalam konteks ini tidak bebicara tubuh, tetapi soal nilai, subtansi, dan kualitas.

Poin lain dari pemikiran Buya Husein yang banyak memberi kemanfaatan bagi perempuan adalah pemikirannya tentang pendidikan bagi perempuan, kesehatan reproduksi, program keluarga berencana, dan larangan melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Buya Husein memberi catatan. Menurutnya, kekerasan dalam bentuk apa pun apalagi diatasnamakan relasi laki-laki dan perempuan adalah tidak dibenarkan. Sebab di samping berbahaya secara psikis juga ada beberapa dasar normatif lain yang menentangnya. Misalnya dalam sebuah hadits, nabi pernah bersabda:

ما اكرم النساء الا كريم وم اهانهن الا لئيم

“Tidak disebut laki-laki mulia kecuali mereka yang memuliakan perempuan. Dan tidak menghinakan mereka kecuali laki-laki hina”.

Secara lebih tegas, nabi juga bersabda:

خيركم خيركم لاهله وأنا خيركم لأهلي

“Sebaik-baiknya kalian adalah mereka yang baik kepada keluarganya dan aku adalah paling baiknya laki-laki kepada istrinya”.

Buya Husein mendapat amanah untuk menjadi ketua dewan penasihat KUPI yang anggotanya adalah beberapa tokoh seperti K.H. Mustofa Bisri, Ibu Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Prof. Dr. Nasaruddin Umar.

Konsep Kunci Tentang Keadilan Hakiki

Ada hal menarik dan menurutku patut dipelajari yaitu tentang keadilan hakiki terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam Kupipedia kita dapat membuka laman tentang konsep kunci.

Menurut Kang Faqih, salah satu prinsip Islam yang menjadi dasar utama adalah ajaran tauhid (mengesakan Allah Swt). Dengan prinsip ini, KUPI menenegaskan bahwa sikap dan pandangan keagamaan yang dihasilkan harus menjiwai keimanan bahwa “Tuhan itu hanya Allah Swt semata” dan menolak segala bentuk eskploitasi pada manusia dan alam atas  nama apapun. Selanjutnya, akar tauhid ini meniscayakan kesetaraan antar manusia, terutama laki-laki dan perempuan. Relasi antar mereka juga harus didasarkan pada prinsip kesalingan satu sama yang bermuara pada kemitraan dan kerjasama, bukan dominasi dan hegemoni yang berujung pada kekerasan dan penindasan.

Salah satu tindakan penistaan atas kemanusiaan yang mendapat perhatian cukup besar pada masa Rasul Muhammad Saw adalah penistaan terhadap perempuan. Masyarakat Arab Jahiliyah menganut sistem Patriarki (al-abawi)  yang sangat kuat. Sistem ini menempatkan lelaki sebagai pemegang otoritas utama, sentral, dan kadang tunggal. Sementara perempuan dipinggirkan, diperlakukan tidak penting, bahkandianggap tidak ada.

Masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu meragukan bahwa perempuan adalah manusia, bisa beribadah, mendapat pahala, masuk surga, dan ruhnya kekal sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban sebagaimana laki-laki. Keraguan ini dijawab tegas oleh al-Qur’an bahwa perempuan adalah manusia (QS. al-Hujurat, 49: 13), bisa beribadah dan memperoleh pahala (QS. an-Nahl, 16: 97), bisa masuk surga (QS.  an-Nisa, 4: 124), dan memiliki ruh kekal yang dimintai pertanggungajwaban oleh Allah Swt. (QS. al-An’am, 6: 94).

Dalam sistem patriarki (al-abawi), kemanusiaan perempuan wajib mendapatkan penegasan atas dasar iman. Pertama, perempuan bukanlah hamba laki-laki sebab keduanya sama-sama hanya hamba Allah (QS. adz-Dzariyat, 51: 56); dan perempuan tidak berada di bawah laki-laki untuk selalu diperintah sebab keduanya sama-sama pemimpin (khalifah) di muka bumi (QS. al-Ahzab, 33:72) dan saling menjadi penjaga (auliya’) atas lainnya sehingga harus kerjasama (QS. at-Taubah, 9: 71). Kedua, perempuan tidak berasal dari laki-laki seakan jadi makhluk kelas dua, sebab keduanya Allah ciptakan dari bahan dan proses yang sama(QS. al-Mu’minun, 23: 12-14). Ketiga, bukan jenis kelamin melainkan ketaqwaan yang menjadi ukuran kemuliaanmanusia di sisi Allah (QS. al-Hujurat, 49: 13).

Perbedaan mendasar Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan dari perspektif lainnya bertumpu dari cara pandang dan penyikapan terhadap perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, dan fakta ketimpangan kuasa dalam relasi perempuan dan laki-laki. Dalam sistem patriarki (al-abawi), kekhususan organ, fungsi, dan masa reproduksi perempuan -yang membuat mereka haid, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui- dijadikan alasan untuk merendahkan perempuan sehingga berakibat pada  perlakuan tidak adil dan peminggiran perempuan secara menyejarah. Ketidakadilan yang dialami perempuan semata-mata karena keperempuanannya ini muncul dalam lima bentuk, yaitu peminggiran atau marjinalisasi, penomorduaan atau subordinasi, cap buruk, pembebanan secara berlebihan, maupun kekerasan verbal, fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan wujud lainnya.

Islam memandang bahwa organ, fungsi, dan masa reproduksi perempuan adalah sesuatu yang mulia sehingga perlu diapresiasi, dan bahwa ketidakadilan bagi perempuan semata-mata karena keperempuanannya adalah zalim. Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan menegaskan bahwa kondisi khas perempuan perlu mendapatkan perhatian khusus dalam memahami Nash Agama maupun Realitas Kehidupan. Tanpa perhatian khusus pada kekhasan perempuan ini, maka ajaran agama mempunyai potensi besar dijadikan legitimasi untuk justru menyalahkan perempuan korban atas ketidakadilan yang dialaminya dan mengakibatkan perempuan jadi korban untuk kesekian kalinya.

Karya Kang Faqih yang juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah kitab Sittina al’adliyah. Ini adalah kitab tentang 60 hadits yang membahas soal hak-hak perempuan dalam Islam sebagaimana dinarasikan dalam hadits-hadits itu. Saat ini terjemahan itu telah menjadi aplikasi android “Qiraah Mubadalah: 60 hadits Nabi tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam”, yang dapat diunduh melalui platform Google Play Store. Dengan cara itu tanpa koneksi internet siapa pun bisa belajar lebih mendalam tentang Mubadalah.

Sementara untuk karya berbahasa Indonesia, lahir buku utama dari referensi perspektif mubadalah, yakni “Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Keadilan Gender dalam Islam” (IRCISOD, 2019). Selain itu buku “60 Hadits Sahih tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam: Teks dan Penjelasannya” (Diva Press, 2019), “Sunnah Monogami: Mengaji al-Qur’an dan Hadits” (Umah Sinau Mubadalah, 2020), dan buku lainnya sebagai karya bersama dengan para kolega jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia KUPI). Dan yang terbaru adalah buku “Perempuan Bukan Sumber Fitnah: Mengaji Ulang Hadits dengan Metode Mubadalah” (Afkaruna, 2021) dan telah dikaji di berbagai forum online hingga saat ini.