Tauhid
Kata ‘tauhid’ merupakan bentuk mashdar dari wahhada yuwahhidu (وَحَّد يُوَحّد), yang berarti ‘menjadikan sesuatu itu satu’ atau ‘meyakininya satu’. Secara terminologis, tauhid adalah mengesakan Allah Swt, meyakini bahwa Allah itu satu, percaya tiada tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya sesembahan yang benar. Kebalikan dari tauhid adalah syirik yakni menyekutukan Allah Swt dengan yang lain dalam zat, sifat, perbuatan atau ibadah.
Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang membahas tentang konsep tauhid. Tetapi, dari sekian ayat yang berbicara soal ajaran tauhid, tidak dijumpai ayat yang secara langsung menyebut kata `tauhid`. Al-qur’an hanya memuat kata yang memiliki makna sepadan dengan arti tauhid, yakni kata aḥad (أحد) yang disebut sebanyak 53 kali, waḥid (واحد) diulang sebanyak 30 kali), dan kata waḥdah (وحده) yang dapat dijumpai sebanyak 6 kali. Selain ayat-ayat dengan kata kunci tersebut masih banyak ayat yang menegaskan ketauhidan kepada Allah.
Al-Quran diturunkan agar manusia bertauhid kepada Allah, tidak boleh ada sekutu bagi-Nya. Menurut para ahli tafsir seperti al-Razi, Ibnu ‘Asyur dan lainnya, ajaran ketauhidan ini merupakan salah satu dari maqashid atau tujuan diturunkannya al-Qur’an bahkan sebagai prinsip ajaran Islam yang dideklarasikan sejak fase Mekah awal. Artinya, sejak pertama kali Al-Qur’an diturunkan prinsip ketauhidan telah ditegaskan. Bahkan sebagian surah secara khusus menegaskan prinsip ini, seperti surah al-Ikhlas dan al-Kafirun.
Tidak hanya sebagai ajaran pokok dalam Islam, tauhid juga menjadi misi utama para rasul dalam dakwah mereka. Dalam beberapa ayat telah ditegaskan seperti QS. Al-Nahl [16]: 36:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat agar menyerukan: "Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut".”
Pesan yang sama juga dijumpai di beberapa ayat lain seperti QS. Al-Anbiya’ [21]: 25; Al-Zukhruf [43]: 45. Menurut Ibnu ‘Asyur, ajaran al-Quran menegaskan kembali atau membenarkan ajaran-ajaran rasul sebelumnya terutama tauhid.
Imam al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan: (1) tauhid al-munafiqin, yakni mereka yang bertauhid secara lisan namun hatinya lalai atau mengingkarinya; (2) tauhid al-‘awam, yaitu mereka yang mengucapkan tauhid yang sejalan dengan keyakinan dalam hatinya; (3) tauhid al-muqarrabin, yakni orang-orang yang melihat keesaan Allah dengan cahaya kebenaran dan memandang segala sesuai berasal dari yang Maha Satu; dan (4) tauhid al-shiddiqin, yaitu mereka yang tidak melihat apapun kecuali Satu dan larut di dalamnya sehingga ia tidak melihat eksistensi dirinya dan makhluk lain kecuali sebagai wujud Allah semata.
Tauhid tidak melulu urusan manusia dengan Tuhan-Nya (hablun min Allah), tetapi tauhid harus “dihidupkan “dalam ranah hubungan antar manusia (hablun min an-nas). Nilai-nilai ketauhidan harus diakutualisasikan secara seimbang dalam kehidupan nyata, baik dalam dimensi spritual maupun dalam ranah sosial agar wajah tauhid tidak kering dan gersang.
Ajaran tauhid menjadi basis al-musawah atau kesetaraan antar sesama manusia. Basis ini meneguhkan bahwa derajat manusia adalah setara dihadapan Allah, tanpa memandang atribut apapun baik jenis kelamin maupun status sosial lainnya. Ajaran ini telah melahirkan pemahaman bahwa seorang hamba hanya layak penghambakan diri pada Allah sekaligus tidak patut membeda-bedakan atau memperlakukan rendah terhadap manusia lainnya.
Menurut Muhammad Abduh, tauhid mengajarkan manusia hanya menghambakan diri hanya kepada Allah semata, bukan penghambaan terhadap yang lain, setiap hamba memiliki hak kemerdekaan yang sama dengan lainnya, tidak ada yang mendominasi maupun didominasi, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, perbedaan hanya terletak pada amal kebaikan masing-masing, kelebihan hanya dinilai dari keunggulan akal dan ma’rifahnya kepada Allah.
Bagi Nur Rofiah, tauhid mampu menghindarkan dan menjauhkan manusia dari ketundukan dan pengabdian mutlak pada selain Allah. Karena itu, tidak sepatutnya seorang manusia menuhankan manusia lainnya. Tiada satupun di muka bumi ini yang layak untuk dipertuhankan dan disembah termasuk pemimpin, suami, istri, orang tua anak, harta dan berbagai urusan duniawi lainnya. Karena yang Tuhan hanyalah Allah Swt, maka tauhid menegaskan bahwa perempuan adalah hamba-Nya dan manusia seutuhnya sebagaimana laki-laki, sehingga mereka juga harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak diperhambakan siapapun kepada siapapun.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan, bagi pengampu Ngaji KGI ini, tidak boleh menjadi alasan untuk melemahkan, melainkan harus dipandang sebagai kekuatan bersama dalam menjalani misi hidup. Karenanya, tauhid mempunyai cara pandang yang bertentangan dengan sistem patriarki. Baik terkait status, kedudukan, peran, dan nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan.
Ada lima hal perubahan cara pandang yang dikukuhkan tauhid dalam Islam:
- Pertama, perempuan tidak diciptakan dari laki-laki. Asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu secara “ruhani” diciptakan dari diri yang satu atau nafsin wāhidah (QS. an-Nisa, 4: 1), dan secara jasmani sama-sama diciptakan dari bahan serta proses yang sama (QS. Al-Mu’minun, 23: 12-14).
- Kedua, laki-laki bukanlah makhluk primer, sedangkan perempuan juga bukan makhluk sekunder. Keduanya primer, sebab mengemban amanah sebagai khalīfah fil ardl atas seluruh makhluk Allah Swt. lainnya. Keduanya juga sama-sama sekunder di hadapan Allah Swt., karena mengemban status sebagai hamba-Nya.
- Ketiga, perempuan tidak mengabdikan hidup untuk kemaslahatan laki-laki. Keduanya mengabdikan hidup pada Allah Swt., demi kemaslahatan hamba-Nya.
- Keempat, perempuan tidak tunduk mutlak untuk melaksanakan perintah laki-laki. Keduanya mesti kerja sama melaksanakan perintah Allah Swt. mewujudkan kemaslahatan bersama.
- Kelima, kualitas laki-laki dan perempuan sebagai manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketakwaan yang ditandai oleh seberapa jauh hidup memberi manfaat pada kemanusiaan.
Penulis: Istianah Ghazali
Editor: Faqihuddin Abdul Kodir
Daftar Pustaka
- Faqihuddin Abdul Kodir,, Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: IRCISOD, 2019).
- Al-Ghazali Abu Hamid, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.
- Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, 2007
- Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, Dar al-Syuruq, 1994
- Ibnu ‘Asyur, Muhammad Thahir, al-Tahrir wa al-Tanwir. Tunis: al-Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984
- Al-Razi, Fakhr al-Din, Mafatih al-Ghayb, Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1420 H, 28/69.