Fitnah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir | 03-Okt-2023

Dalam narasi keagamaan, tepatnya hukum fiqh Islam, kita seringkali mendengar ungkapan “takut fitnah” atau “khawatir fitnah”. Sekalipun kata ini netral, dan fitnah bisa datang darimana saja, tetapi lebih sering digunakan untuk membatasi perempuan. Perempuan keluar bekerja misalnya, dibolehkan dengan syarat aman dari “fitnah”. Perempuan dilarang menempati pos-pos pekerjaan tertentu, biasanya dilatari alasan “khawatir fitnah”. Begitupun perempuan belajar jauh ke kota lain, atau ke  luar negeri. Jika ada yang melarang, pertimbangannya adalah “takut fitnah”.

“Fitnah” di sini artinya pesona, atau potensi seseorang yang bisa menggiurkan dan menggoda orang lain. Seseorang disebut “fatin” dalam Bahasa Arab, ketika ia penuh dengan sesuatu yang bisa mempesona orang lain, terutama karena kemolekan tubuhnya. Sayangnya, potensi pesona dilekatkan kepada hampir semua perempuan, yang membuatnya ia terhambat untuk bisa memperoleh manfaat kehidupan publik, apalagi sampai bisa aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan politik.

Kata “fitnah” ini bisa bermakna lain dari dua sisi  yang berbeda. Dari sisi perempuan, fitnah ini dimakani sebagai pesona darinya kepada orang lain. Sementara dari sisi laki-laki-laki yang terpesona oleh perempuan, fitnah dimaknai sebagai ujian, atau cobaan, sejauhmana ia bisa tetap teguh tanpa terjerumus melakukan dosa, salah dan keburukan, di antaranya melakukan zina, atau pelecehan dan pemaksaan kepada perempuan.

Narasi perempuan adalah fitnah atau penuh pesona pernah diungkapkan Nabi Muhammad Saw. Ungkapan ini disampaikan kepada para laki-laki agar waspada dalam menjalani kehidupan dengan teguh dan penuh kebaikan. Sayangnya, lalu lebih banyak digunakan untuk menghambat dan melarang perempuan, dibanding menuntut laki-laki untuk menjaga diri, tanpa mengungkung dan melarang perempuan. Jika teks hadits ini dimaknai secara mubadalah, maka kehidupan perempuan tidak menjadi terkekang di satu sisi, tetapi juga relasi sosial menjadi saling menghormati, menghargai, menjaga diri, dan saling mendukung satu sama lain. Relasi seperti ini tidak hanya selaras dengan visi dan misi Islam, tetapi makna fitnah sendiri menjadi lebih sesuai dengan tuntutan ayat-ayat al-Qur’an.

Teks hadits yang dimaksud adalah:


عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رضى الله عنهما عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ  (صحيح البخاري).


Dari Usamah bin Zaid ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Tidak aku tinggalkan setelahku suatu ujian (fitnah) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan”. (Sahih Bukhari, Kitab an-Nikah, no. 5152).



Teks ini secara literal menyapa laki-laki dan meminta mereka untuk waspada, teguh, dan menjaga diri dari kemungkinan terjerumus pada pesona perempuan. Permintaan untuk teguh, waspada, dan menjaga diri tentu saja berlaku juga kepada perempuan, dari kemungkinan terjerumus pada pesona laki-laki. Di sinilah makna mubadalah yang bisa dimunculkan dari teks ini.

Pesona, atau fitnah perempuan hanya contoh salah satu saja. Bisa jadi  yang terberat bagi banyak laki-laki, tetapi tidak semua laki-laki. Karena ada saja dari mereka yang mungkin justru lebih terpesona oleh godaan-godaan lain, seperti kekuasaan, harta, atau ambisi-ambisi sosial. Poinya, bukan apa pesona yang terbesar dalam hidup, tetapi bagaimana kita bisa istiqomah dalam menghadapi ujian pesona ini. Apapun bentuknya dan dari manapun datangnya.

Jika subyek yang kita sapa adalah perempuan, maka obyek pesona atau ujiannya bisa berubah. Bisa laki-laki yang dikejar dan diinginkannya. Bisa juga yang lain: harta, kekuasaan, ambisi sosial, harga diri, atau apapun yang mungkin mempesona dan menjerumuskannya dari pribadi yang lurus, baik, benar, teguh, dan istiqomah. Poinya sama, bukan apa dan siapa pesonanya. Tetapi, bagaimana seseorang bisa melewati tantangan pesona ini dengan tetap menjadi pribadi  yang berman, baik, dan memberi manfaat sebanyak mungkin kepada orang lain.

Di sini, sangat jelas tafsir mubadalah memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek yang sama dalam konsepsi fitnah. Dimana kedua-duanya bisa menjadi pelaku dan pada saat yang sama bisa menjadi korban. Untuk tafsir ini, yang pertama harus dilakukan adalah meletakkan pemaknaan teks hadits ini pada arus utama ajaran Islam bahwa kehidupan ini, seluruhnya, adalah ujian dan pesona (fitnah) untuk meningkatkan kebaikan dan menjaga diri dari keburukan (QS. Al-Mulk, 67: 1-2). Segenap kehidupan ini artinya mencakup laki-laki dan perempuan.

Langkah kedua adalah menangkap pesan moral dari teks hadits tersebut di atas, yaitu menjaga diri dari kemungkinan terjerumus pada fitnah atau pesona. Dalam teks tersebut yang diajak bicara jelas adalah laki-laki, sehingga yang disebutkan adalah fitnah perempuan bagi mereka.

Lalu, terakhir, langkah ketiga adalah membalik: bahwa pesona juga bisa ditimbulkan oleh laki-laki kepada perempuan, sehingga perempuan juga diminta waspada dan menjaga diri. Artinya, teks ini berbicara persoalan yang sesungguhnya timbal-balik mengenai pentingnya menjaga diri dari kemungkinan terjerumus akibat pesona orang lain. Dengan pemaknaan mubadalah ini, teks hadits tentang fitnah perempuan, tidak dimaksudkan untuk memberikan label fitnah, atau kodrat ‘penggoda’ terhadap perempuan.

Dalam kehidupan nyata, sebagaimana laki-laki terpesona oleh perempuan, juga perempuan oleh laki-laki. Realitas juga menyuguhkan pesona yang timbal balik antara laki-laki dan perempuan. Kata “fitnah” sendiri dalam bahasa al-Qur’an adalah kata yang juga memiliki makna timbal balik.  Fitnah secara umum berarti ujian dan cobaan, yang dalam beberapa ungkapan al-Qur’an bisa berada dalam relasi timbal balik antara dua pihak, atau dua hal.

Misalnya, bahwa kebaikan dan keburukan keduanya adalah fitnah bagi orang-orang beriman (QS. Al-Anbiya, 21: 35); rasul dan kaumnya juga bisa menjadi fitnah satu kepada yang lain (QS. Ad-Dukhan, 44: 17-18 dan Al-Maidah, 5: 49); orang beriman dan orang yang tidak beriman, satu sama lain juga bisa menjadi fitnah (QS. Al-Mumtahanah, 60: 5 dan Al-Buruj, 85: 10); dan beberapa ayat secara jelas dan tegas bahwa masing-masing individu, satu sama lain bisa menjadi fitnah.


وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ


“Dan demikianlah, telah kami jadikan fitnah, sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain”. (QS. Al-An’am, 6: 53).


وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا


“....dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai fitnah bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar. Sesungguhnya Tuhanmu itu Maha Melihat”. (al-Furqan, 25: 20).



Dengan cara pandang al-Qur’an yang relasional ini, jika kita gunakan untuk memaknai teks hadits tentang fitnah perempuan di atas, maka substansi fitnah tidak hanya melekat pada tubuh perem­puan bagi laki-laki. Tetapi juga melekat pada tubuh atau diri laki-laki bagi perempu­an. Dalam hal ini, ungkapan istilah ‘fitnah’ dalam al-Qur’an lebih proporsional bila dibanding­kan dengan teks hadis bahwa perempuan adalah fitnah yang paling memba­ha­yakan. Dus, teks hadits fitnah perempuan harus dimaknai secara mubadalah, agar sejalan dengan makna fitnah dalam spirit ayat-ayat al-Qur’an tersebut.

Baik laki-laki maupun perempuan, ke­duanya sama-sama memiliki potensi pesona (fitnah) dan pada saat yang sama memiliki potensi maslahah. Stig­ma fitnah yang  hanya dilabelkan pada perempuan saja adalah salah dan tidak sesuai dengan ungkapan ‘fitnah’ dalam al-Qur’an yang bersifat resiprokal.

Oleh karena itu, anjuran-anjuran keagamaan yang didasarkan pada ‘fitnah’ perempuan harus dipahami substansi persoalannya dan konteks so­sial­nya. Yaitu mengenai anjuran untuk waspada terhadap potensi buruk seseorang dan sesuatu. Potensi ini ada di setiap orang dan di segala sesuatu. Bentuknya bisa berbeda-beda di setiap tempat dan waktu. Harta, misalnya, adalah fitnah kehidupan yang harus diwaspadai agar kita tidak tergelincir pada tindakan-tindakan yang justru dosa, salah dan buruk (madharrah). Fitnah di sini berarti ujian, cobaan, dan juga bisa menggoda dan menggiurkan. Alih-alih mendatangkan kebaikan, harta bisa saja membawa keburukan. Hal yang sama juga dengan jabatan, status sosial, popularitas, anak, keluarga, bahkan illmu pengetahuan. Fitnah harta bukan berarti harta itu buruk. Fitnah anak, keluarga, jabatan, dan yang lain juga demikian. Titik pembicaraanya adalah kewaspadaan kita yang harus ditingkatkan, bukan potensi fitnah dari hal-hal tersebut.

Dalam makna inilah, teks hadits “fitnah perempuan” yang disebut di atas harus dimaknai secara proporsional dan mubadalah. Teks hadits ini mengajak para laki-laki untuk waspada dari kemungkinan potensi fitnah perempuan. Bukan untuk menyudutkan dan mendeskriminasi perempuan, karena mereka memiliki fitnah. Apalagi mengkerangkeng mereka dalam aturan-aturan yang menyulitkan. Inilah makna utama dari teks hadits ini. Makna inipun, lalu kemudian bisa di-mubadalah-kan. Sehingga, ketika subyeknya adalah perempuan yang diajak bicara teks, maka yang menjadi fitnah adalah bisa saja laki-laki.

Artinya, teks ini juga menganjurkan perempuan untuk waspada dari potensi fitnah laki-laki yang bisa menguji dan menggoda mereka. Titik pembicaraanya bukan pada fitnah laki-laki, tetapi pada anjuran kewaspadaan perempuan dari godaan mereka. Dus, fitnah perempuan bukan sedang membangun keburukan perempuan. Sebagaimana fitnah laki-laki bukan sedang menegaskan kebejatan laki-laki. Tetapi tentang pentingnya kewaspadaan masing-masing, satu sama lain, agar tidak saling tergoda pada tindakan-tindakan nista, salah, dan buruk.

Dengan demikian, ayat dan hadits fitnah perempuan sama sekali tidak bisa dijadikan dasar untuk merendahkan dan mendeskreditkan mereka. Tidak bisa juga untuk memuliakan laki-laki dan melecehkan perempuan. Potensi fitnah pada diri perempuan, yang disebut ayat dan hadits, tidak membuat mereka lebih rendah dari laki-laki karena dua alasan fundamental. Pertama, karena prinsip meritokasi Islam dimana kemulian didasarkan pada keimanan dan amal perbuatan. Sebuah potensi yang ada pada seseorang, jika tidak dibarengi tindakan nyata, maka tidak memiliki nilai apapun. Perempuan dan laki-laki, keduanya, memiliki potensi ini, seperti akal budi, di satu sisi,, untuk menempa diri menjadi manusia yang beriman, berakhlak luhur, dan memberi manfaat sebanyak mungkin dalam kehidupan. Di sisi lain, juga ada potensi fitnah, yang bisa saja digunakan untuk menjerumuskan orang lain.

Kedua, bahwa potensi fitnah itu juga ada pada laki-laki yang tentu saja tidak membuat mereka lebih jahat dari perempuan. Jika kita  beriman dengan dua pondasi ini, segala cara pandang diskriminatif terhadap perempuan, dengan basis asumsi fitnah, seyogyannya, segera dihentikan. Gantinya, kita perlu menumbuhkan cara pandang positif terhadap kemanusiaan perempuan, sebagaimana juga kepada laki-laki. Cara pandang positif ini menjadi modal untuk memperbesar basis kesalingan dan kerjasama dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, di ranah keluarga maupun sosial. Kita juga, menjadi tidak perlu menghambat partitisipasi aktif perempun di ranah publik secara sewenang-wenang, dengan alasan mereka adalah fitnah. Tidak perlu sama sekali. Wallahu a’lam.