Tradisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Tradisi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun-temurun (dr nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat. Sementara dalam pandangan pakar, misal Funk dan Wagnalls, tradisi adalah pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktik dan lain-lain yang dipahami sebagai pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun termasuk cara penyampaian doktrin dan praktek tersebut.[1]

Hassan Hanafi, salah seorang pemikir modern dari Mesir menyebut bahwa tradisi lahir dari dan dipengaruhi masyarakat, kemudian masyarakat muncul dan dipengaruhi kebiasaan. Tradisi pada mulanya adalah musabbab namun akhirnya menjadi konklusi dan premis, isi, bentuk, efek pengaruh dan mempengaruhi.[2]

Dalam kajian keislaman, tradisi dikenal dengan istilah urf. Urf menjadi salah satu sumber hukum Islam (al-Mashadir al-Tasyri’). Sebagaimana diketahui bersama bahwa sumber hukum Islam ada dua. Pertama, sumber yang disepakati posisinya (al-Muttafaq alaiha), seperti al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak dan Kiyas. kedua, sumber yang diperselisihkan posisinya (al-Mukhtalaf fiha) seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf dan lain-lain.

Urf secara bahasa bermakna “yang disepakati” “dianggap baik” sementara secara istilah ia sering diartikan dengan sesuatu yang disepakati oleh manusia dan terus berlangsung atasnya dalam dikerjakan.[3]

Di samping urf, ada term lain yang senada yaitu adat. Antara urf dan adat tak ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Pandangan ini diwakili oleh ulama seperti al-Nasafi, Ibnu Abidin, Ibnu Nujaim dan lain-lain.[4]

Ulama lain menyebut bahwa antara urf dan adat memiliki perbedaan. Menurut mereka urf lebih umum daripada adat. Setiap urf pasti adat tidak semua adat disebut urf. Urf mencakup yang sifatnya ucapan verbal dan berupa perbudatan sementara adat hanya untuk yang sifatnya pekerjaan. Ulama dalam kelompok ini diwakili oleh Ibnu Himam dan al-Badzdawi.[5]

Kelompok ketiga menyebut bahwa lebih umum adat ketimbang urf. Setiap ada sudah pasti urf tidak semua urf bisa disebut adat. Menurut mereka adat mencakup kepada yang sumbernya bersifat akal ataupun sifatnya naluri kemanusiaan. Ulama dalam bagian ini diwakili oleh Ibnu Amir, Syaikh Ahmad Fahmi dan lain sebagainya.[6]

Hanya saja menurut Wahbah, dalam konteks pembahasan sumber hukum Islam dalam ushul fikih ketiga pendapat itu tidak memiliki perbedaan signifikan sama sekali. Beda halnya jika konteksnya adalah dalam hukum positif. Maka dari itu, Wahbah lebih memilih pendapat pertama: bahwa urf dan adat adalah bentuk sinonim.

Pembagian Urf

Urf dibagi menjadi beberapa hal tergantung dalam sudut apa ia dipandang.[7]

Secara objek bahasan, urf dibagi menjadi dua yaitu:

  1. Urf lafdz adalah urf yang sudah masyhur di antara manusia menggunakan lafadz tertentu yang awalnya memiliki makna umum kemudian menjadi makna khusus, seperti lafadz walad yang diartikan anak laki-laki.
  2. Urf amal adalah kebiasaan manusia yang berupa perbuatan yang sifatnya tradisi seperti jual beli Muathah dan lain sebagainya.

Secara ruang lingkupnya, urf dibagi menjadi dua, yaitu:

1.      Urf Am, yaitu tradisi yang terjadi di banyak lokasi atau semua lokasi dalam sebuah daerah di atas perbedaan waktu dan lokasi manusia.

2.      Urf Khas, yaitu tradisi yang terjadi di daerah tertentu dan ruang dan waktu tertentu.

Secara diterima atau ditolaknya oleh syariat, urf dibagi menjadi dua:

1.      Urf sahih, yaitu tradisi yang dikerjakan oleh manusia tanpa berseberangan dengan ajaran-ajaran syariat. Ia tak menghalalkan yang haram dan tak mengharamkan yang halal.

2.      Urf fasid. Yaitu tradisi yang dilakukan oleh manusia akan tetapi ia menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Syarat Urf bisa dijadikan dasar kegamaan.

Urf tidak secara otomatis bisa dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Ulama ushul fikih menyebut bahwa syarat-syarat urf adalah:

1.       Berlaku umum atau dominan pengamalannya di antara manusia. Jika tidak demikian maka tak bisa dipertimbangkan.

2.      Urf ada terlebih dahulu sebelum kejadian yang hendak dihukumi terjadi, bukan sebaliknya.

3.      Urf tidak berseberangan dengan bunyi tekstual atau penegasan dari dua orang yang bertransaksi.

4.      Urf tidak boleh bertabrakan dengan bunyi-bunyi syariat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah atau juga tidak menyalahi prinsip-prinsip utama dalam syariat.

Kenapa urf bisa dijadikan hujjah atau argumen keagamaan dalam menetapkan hukum Islam? Sebab dalam al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak, Kias dan nalar rasio  dijelaskan bahwa urf bisa dijadikan acuan dalam menetapkan hukum Islam (mashadir al-Tasyri).

Argumen dalam al-Qur’an misalnya, firman Allah Swt:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

           “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Qs. Al-A’raf [7]: 199)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan untuk mengikuti urf, yang maknanya dalam ayat di atas adalah perkara yang dianggap baik yang diketahui bersama.

Sementara argumen dalam al-Sunnah adalah sabda nabi:

مَا رَآهُ الْمُسلمُونَ حسنا فَهُوَ عِنْد الله حسن، وَمَا رَآهُ الْمُسلمُونَ قبيحاً فَهُوَ عِنْد الله قَبِيح      

“Apa yang dilihat orang muslim baik maka menurut Allah Swt. itu baik dan adapun yang menurut manusia buruk maka menurut Allah itu juga buruk”.

Ijmak hadir juga sebagai pondasi kehujjahan urf. Al-Syatibi menyebut ulama bersepakat (ijmak) bahwa syariat datang untuk menjaga kemaslahatan manusia. Jika demikian maka wajib mempertimbangkan tradisi mereka karena tradisi banyak mengantarkan kepada kemaslahatan.

Terakhir, secara kiyas atau ma’qul, ulama melakukan penelitian atas teks-teks syariat lalu mereka menemukan bahwa dalam beberapa kondisi, syariat mengakui eksistensi urf atau tradisi yang ada sebelum Islam datang. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan terus dijaga eksistensinya sementara yang tak perlu dipertimbangkan maka dihapuskan keberadaanya.[8]

Menarik apa yang disampaikan Ibnu al-Himam bahwa urf posisinya bisa sebagai ijmak bilamana tidak nash yang menegaskan atas sebuah hukum.[9]

Oleh: Ahmad Husain Fahasbu

  1. Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2001), halaman 11.
  2. Hassan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi (Yogyakarta: Serikat, 2003), halaman 2.
  3. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013) juz 2, Halaman 104
  4. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013) juz 2, Halaman 105.
  5. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013) juz 2, Halaman 106.
  6. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013) juz 2, Halaman 106.  
  7. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013) juz 2, Halaman 107.
  8. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013) juz 2, Halaman 112.
  9. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013) juz 2, Halaman 113.