Al-Qur’an
Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir | 03-Okt-2023
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ia turun secara berangsur, selama 23 tahun, dalam dua periode Mekkah dan Madinah. Tidak secara langsung dalam satu kitab. Sering kali satu ayat, atau sejumlah ayat dalam al-Qur’an, turun kepada Nabi Muhammad SAW untuk merespons kasus tertentu atau menjawab pertanyaan tertentu. Tetapi tidak semua demikian. Pada masa Nabi SAW, al-Qur’an sudah ditulis oleh beberapa sahabat. Tetapi belum sistematis. Tidak juga tersusun dalam satu kitab sebagaimana kita kenal sekarang. Tulisan al-Qur’an, saat itu, tidak menjadi rujukan utama. Karena basisnya masih berupa hafalan Nabi SAW dan para Sahabat.
Hampir setiap tahun, yaitu di bulan Ramadlan, Nabi SAW mengulang hapalan di depan malaikat Jibril as, atau Jibril as di hadapan Nabi as, atau beberapa sahabat di hadapan Nabi SAW. Tulisan al-Qur’an yang berserakan itu, pada masa Abu Bakar ra, kemudian dikumpulkan dan disalin ke dalam lembaran berupa kulit yang telah disamak. Pengumpulan ini ditujukan untuk memastikan semua ayat dan surat al-Qur’an sudah tertulis dan memiliki salinan yang utuh, tidak terpencar dan berpisah-pisah. Salinan ini disebut mushhaf Hafshah bint Umar al-Khattab ra, karena disimpan, dijaga dan dipelihara oleh beliau.
Merujuk kepada mushhaf Hafshah ra ini, Khalifah ketiga Utsman bin Affan ra membuat salinan lagi sebanyak 6 naskah. Ada yang dismpan untuk dirinya, dan sisanya dikirim ke Mekkah, Madinah, Bashrah, Kufah, dan Syam. Salinan baru ini disebut sebagai mushhaf Utsman bin Affan ra, atau mushhaf al-Umm (Kitab Induk). Salinan inilah yang kemudian sampai kepada kita, generasi yang sudah akrab dengan percetakan. Namun, Mushaf Induk ini tidak memiliki titik maupun tanda baca, sehingga masih mungkin kata dan kalimat tertentu dibaca dengan dialek-dialek yang berbeda dari Suku Quraish yang memang diizinkan Nabi SAW. Oleh Abu Aswad ad-Duali (w. 90 H/708 M), al-Qur’an diberikan titik pada huruf dan harakat atau tanda baca, agar orang-orang yang bukan Arab tidak salah dalam membaca al-Qur’an. Saat ini, cetakan al-Qur’an sudah lengkap dengan nomor ayat dan surat, tanda berhenti, bahkan hiasan frame setiap halaman, dan warna-warni tertentu untuk memudahkan para pembaca dan penghafalnya.
Al-Qur’an sendiri menamakan dirinya sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia (QS. al-Baqarah (2):185; Âli ‘Imrân (3):4), terutama bagi mereka yang meyakininya, mau menjaga diri, dan melakukan kebaikan-kebaikan (QS. al-Baqarah (2):2; al-A’râf (7):52; an-Naml (27):2; Luqmân (31):3; Fushshilat (41):44). Melihat strategi turunnya yang gradual dan disesuaikan dengan konteks sosial, al-Qur’an tentu saja sedang berdialog dengan masyarakat pada saat itu, yang sudah memiliki keyakinan, tradisi, norma, dan aturan-aturan tertentu. Tidak semua dibatalkan dan tidak semua diadopsi.
Al-Qur’an merespons konteks sosial pada saat itu dan memprosesnya secara gradual untuk mentransformasikan masyarakat agar menjadi pribadi dan komunitas yang rahmatan lil ‘âlamîn dan berakhlak mulia. Mengeluarkan mereka dari kebiasaan-kebiasaan yang buruk, jahat, dan zalim, beralih kepada perilaku yang baik, bermartabat, adil, dan maslahat. Norma atau aturan yang ada pada saat itu, selama masih mengandung visi dan misi ini, dibiarkan atau bahkan ditetapkan. Namun, yang bertentangan, dibatalkan dan diganti. Ada yang segera saat itu juga, ada yang gradual mengikuti kesiapan masyarakat saat itu. Semua mengarah secara jelas, pada visi agung dan misi mulia tersebut, agar keimanan bisa tumbuh tanpa paksaan, semua manusia diperlakukan secara manusiawi, dan alam semesta terjaga secara seimbang dan bermanfaat.
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat yang mengandung lebih dari 6000 ayat. Surat dan ayat dalam Mushaf al-Qur’an tidak disusun secara tematik, tidak juga secara kronologis. Ia disusun begitu saja (tawqîfî) mengikuti apa yang disampaikan Nabi SAW dan disepakati para Sahabat pada saat itu. Karena itu, ia bukanlah seperti kitab yang runtut tentang keimanan, atau kitab hukum, bukan juga seperti buku sejarah, atau ilmu pengetahuan. Tidak juga seperti buku-buku ritual keagamaan. Yang lebih tepat, al-Qur’an adalah buku petunjuk (hudan) tentang itu semua. Dalam ungkapan guruku di Syria, Syekh Muhammad Habasy, ia adalah “nurun yahdy lâ qaydun ya’sar” (2021), atau cahaya yang memberi petunjuk jalan, bukan tali yang mengungkung dengan aturan.
Seseorang membaca bagian mana pun, akan selalu diajak dan dituntun untuk meyakini keesaan Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama. Secara umum, kandungan al-Qur’an bisa dibagi menjadi tiga hal. Pertama, berita mengenai Allah SWT, sifat-sifat-Nya, kehidupan di akhirat, hal-hal gaib, kisah dan karakter alam semesta, kisah-kisah umat terdahulu. Kedua, ibadah ritual relasi antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan Allah SWT, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Ketiga, hal-hal terkait relasi sosial antar manusia, baik dalam keluarga, maupun masyarakat yang kecil maupun besar. Begitu pun relasi manusia dengan alam semesta.
Untuk hal-hal berisi berita, al-Qur’an menuntut keimanan pada objek yang diberitakan, tetapi tanpa paksaan. Untuk hal-hal berisi ibadah ritual, al-Qur’an menuntut untuk dilaksanakan. Sementara untuk hal-hal terkait relasi sosial antar manusia dan dengan alam semesta, al-Qur’an memfokuskan pada etika dasar yang harus dirujuk dan dipertimbangkan. Etika-etika dasar itu misalnya adalah tidak menzalimi (‘adam adh-dhulm), tidak menipu (‘adam al-gharar), tidak menyakiti (‘adam adl-dlarar), tidak berspekulasi (‘adam al-maysîr), saling rela (tarâdhin), saling menolong (ta’âwun), saling berbuat baik (mu’âsyarah bi al-ma’rûf), saling bermusyawarah (tasyâwur), dan yang lain.
Jika isu pertama dan kedua tidak boleh berkurang atau bertambah, isu ketiga tentang relasi sosial tidak demikian. Bentuk, jenis, dan model dari relasi sosial ini bisa berbeda dari adat kebiasaan Arab pada saat itu yang diadopsi al-Qur’an, bisa berkembang sesuai tuntutan pengetahuan, dan bisa belajar dari berbagai peradaban yang lain. Selama ia terikat dengan batasan-batasan dari etika dasar tersebut. Ikatan dan batasan ini tentu saja untuk memastikan visi rahmatan lil ‘âlamîn dan akhlak mulia.
Ayat-ayat tentang perempuan adalah di antara yang paling kentara bagaimana gerakan transformasi budaya dilakukan secara gradual, tetapi arahnya jelas: memanusiakan perempuan, dan memperlakukan secara bermartabat dan berkeadilan. Ayat-ayat ini bertebaran di berbagai surat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an sangat kentara memberikan pemihakan kepada perempuan ketika konteks sosial saat itu masih sering merendahkan mereka, bahkan tidak menganggapnya sebagai manusia, melainkan barang yang memalukan (QS. an-Nahl (16):58-59). Al-Qur’an juga menegaskan nilai dasar yang memperhitungkan amal perbuatan perempuan, sama persis sebagaimana perhitungan terhadap laki-laki. Amal baik yang mereka lakukan, dalam penegasan al-Qur’an, akan mengantar mereka pada apresiasi di dunia dan surga di akhirat. Persis seperti apresiasi yang diberikan kepada laki-laki dengan amal baik mereka. Tanpa perbedaan sama sekali (QS. an-Nisâ’ (4):124).
Al-Qur’an juga memberi mereka hak mewarisi, yang awalnya justru menjadi barang warisan (QS. an-Nisâ’ (4):19). Ia juga dengan tegas melarang perdagangan seks perempuan, yang saat itu marak terjadi, sekalipun mereka berstatus budak. Apalagi jika berstatus merdeka, tentu pelarangan semakin tegas lagi (QS. an-Nûr (24):33). Nabi Muhammad SAW, yang meresapi semangat al-Qur’an, lalu melarang pemaksaan pernikahan terhadap perempuan, yang awalnya biasa dan begitu lumrah terjadi di kalangan masyarakat Arab. Perempuan, saat itu, dinikahkan tanpa pertanyaan persetujuan mereka sama sekali. Lalu perempuan akan hidup dalam pernikahan yang tidak diinginkannya. Nabi SAW membebaskan dan memberikan mereka pilihan dalam hal pernikahan (seperti pada kasus Khansa binti Khidam ra, lihat: Shahîh Bukhâri, hadits nomor 7031).
Al-Qur’an juga melarang para orang tua menghalangi perempuan yang sudah memilih secara suka rela calon suami mereka (QS. al-Baqarah (2):232). Al-Qur’an juga membatasi pernikahan poligami, baik dari sisi kwantitas maupun kwalitas. Kwantitas, yaitu hanya empat perempuan yang boleh dinikahi, dari sebelumnya yang tanpa batas sama sekali. Kwalitas, yaitu keharusan suami berlaku adil dalam poligmai. Bahkan al-Qur'an menegaskan monogami sebagai sesuatu yang ideal dari sisi kwalitas keadilan dan kebaikan dalam berkeluarga (QS. an-Nisâ’ (4):3), karena keadilan adalah sesuatu yang sulit dilakukan laki-laki (QS. an-Nisâ’ (4):129).
Bagi perempuan yang tidak menerima dipoligami, al-Qur’an memberi jalan cerai. Bahkan memotivasi mereka untuk tidak takut miskin, ketika bercerai dari poligami. Allah SWT bisa saja memberinya kekayaan dan kemandirian yang lebih dibanding yang didapatkan dari suaminya (QS. an-Nisâ’ (4):129-130). Ini suatu motivasi revolusioner, yang saat sekarang saja, zaman yang modern ini, masih sulit disuarakan. Lebih banyak orang sekarang masih meminta perempuan untuk menerima pernikahan poligami dan bersabar, bahkan dijanjikan surga. Anjuran yang justru bertentangan dengan semangat al-Qur’an.
Dalam isu-isu lain, dalam keluarga, seperti perceraian, kekerasan, dan konflik pasangan suami istri, al-Qur’an memberi jalan yang empatik dan simpatik kepada perempuan, agar diperlakukan secara bermartabat, adil, dan maslahat. Karena, biasanya, norma-norma budaya yang ada justru memberi kuasa penuh kepada laki-laki untuk memperlakukan secara semena-mena. Ketika laki-laki bisa mencerai perempuan berapa kalipun, seenaknya, bahkan menggantung sekalipun, tidak dijadikan istri dan tidak diceraikan, al-Qur’an membatasi cerai yang memungkinkan suami bisa balik lagi hanya dua kali. Itupun harus dengan cara baik.
Setelah itu, suami bisa rujuk kembali dengan syarat memperlakukan secara baik, atau kemudian melepas selamanya dengan cara baik juga. Setelah cerai ketiga, suami hanya mungkin balik rujuk, jika istri sudah berkeluarga dengan laki-laki lain dan bercerai. Jika tidak, suami haram menikahi mantan istrinya. Aturan ini, untuk menutup perilaku sewenang-wenang laki-laki, yang cerai-rujuk, cerai-rujuk, terus menerus untuk mempermainkan dan menyakiti perempuan (QS. al-Baqarah (2):228-230). Banyak lagi isu-isu pemihakan al-Qur’an pada kasu mahar, cerai, dan konflik pasutri dalam berbagai ayat-ayatnya.
Salah satu pemihakan yang juga kentara adalah, ketika al-Qur’an menyebut secara eksplisit kata perempuan, dalam hampir semua isu-isu utama ajaran Islam. Padahal, ayat-ayat yang umum sudah ada tentang itu. Tetapi al-Qur’an, karena sering dipersespsikan ayat umum itu hanya untuk laki-laki, karena memang struktur kalimatnya maskulin (mudzakkar), menurunkan banyak sekali ayat yang menegaskan perempuan sebagai subyek utuh yang disapa secara setara bersama laki-laki. Yang paling prinsipil adalah ayat at-Taubah (QS. 9: 71). Yaitu bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam Islam, mereka adalah para wali (awliyâ’), satu sama lain.
Artinya, laki-laki adalah wali perempuan, begitupun perempuan adalah wali laki-laki. Dengan seluruh makna wali yang ada: pelindung, penopang, pendukung, penangung-jawab, dan juga pemimpin. Baik laki-laki maupun perempuan, lalu dalam ayat ini diseru untuk berbuat amar ma’ruf, nahi munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya. Juga hijrah dan jihad, yang sering dianggap sebagai wilayah laki-laki. Sekalipun sudah ada ayat umum tentang hijrah dan jihad ini (QS. al-Baqarah (2):218), al-Qur’an masih perlu menurunkan ayat yang menyapa dan menyebut perempuan secara eksplisti (QS. Âli ‘Imrân (3):195).
Masih banyak lagi ayat-ayat yang secara eksplisit menyebut perempuan dalam al-Qur’an. Soal iman, amal, dan pahalanya di akhirat, laki-laki dan perempuan disapa dan diapresiasi secara setara (QS. at-Taubah (9):71; Âli ‘Imrân (3):195; an-Nisâ’ (4):124; an-Nahl (16):97; al-Mu’min (40):40; al-Ahzâb (33):35; al-Hadîd (57):12). Sebaliknya, amal buruk mereka juga, akan dibalas setimpal (QS. al-Mu’min (40):40). Laki-laki maupun perempuan, yang mencuri atau berzina, sama-sama harus dihukum tanpa diskriminasi (QS. al-Mâ’idah (5):39 dan an-Nûr (24):2-3).
Mereka, baik laki-laki maupun perempuan, harus patuh kepada keputusan Allah SWT dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW (QS. al-Ahzâb (33):36). Mereka keduanya tidak boleh dijadikan obyek fitnah dan tidak boleh juga disakiti (QS. al-Ahzâb (33):58 dan al-Burûj (85):10). Mereka, satu sama lain, diminta menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan diri (QS. an-Nûr (24):31). Jika melakukan kesalahan, baik laki-laki maupun perempuan, mereka didorong untuk bertaubat dan meminta maaf, serta kembali ke jalan Allah SWT (QS. al-Ahzâb (33):73, Muhammad, 47: 19, dan Nûh (71):28).
Dalam ayat-ayat ini semua, al-Qur’an secara jelas (qathi’iy) menyebut laki-laki dan perempuan dalam pesan-pesannya. Dalam struktur Bahasa Arab yang membedakan laki-laki dari perempuan, dan lebih banyak menggunakan struktur bahasa maskulin (mudzakkar), memasukan perempuan secara eksplisit adalah penting. Pendekatan baru yang digagas al-Qur’an ini, karena menyebutkan kedua jenis kelamin secara eksplisit, bisa dikategorikan sebagai pendekatan tashrīh dan tanshīsh. Atau bisa disebut sebagai pendekatan eksplisit gender. Ayat-ayat yang menyebutkan kedua jenis kelamin secara eksplisit (tashrīh) cukup banyak. Hal ini bisa menjadi dasar argumentasi tentang kesederajatan laki-laki dan perempuan di satu sisi, dan tentang pentingnya penegasan dua jenis kelamin dalam pernyataan-pernyataan publik, terutama jika pernyataan netral justru akan menegasikan perempuan.
Demikianlah visi rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlaq karimah dijalankan al-Qur’an melalui ayat-ayat yang diturunkanya, terkait isu-isu relasi laki-laki dan perempuan, pada masa Nabi Muhammad SAW. Visi dan misi ini harus terus digaungkan sepanjang masa, dan menjadi pondasi segala rumusan keputusan-keputusan hukum yang harus muncul pada berbagai konteks yang berbeda, terutama konteks kontemporer kita saat ini, di mana para perempuan terus mengalami kekerasan dan ketidak-adilan, yang diantaranya dilestarikan dengan alasan penafsiran teologis tertentu. Sehingga, manusia, terutama perempuan benar-benar terbebaskan dari segala bentuk ketidak-adilan, dan memperoleh kerahmatan yang utuh dan kemaslahatan yang nyata, sesuai dengan visi Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan misinya terkait akhlaq karimah.