Badriyah Fayumi
Badriyah Fayumi lahir di Pati, pada tanggal 5 Agustus 1971. Ia adalah pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadits. Saat ini ia juga menjadi Wasekjen Majelis Ulama Indonesia Pusat Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga.
Interaksi pertama Badriyah dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dimulai dengan menjadi bagian dari anggota Rahima pada saat Farha Ciciek menjadi direktur. Badriyah menjadi penulis Suara Rahima dan menjadi narasumber di beberapa kegiatan Rahima tentang ulama perempuan. Pada tahun 2000, Badriyah bersama Alai Najib terlibat dalam penelitian dan penulisan di PPIM UIN tentang ulama perempuan. Mereka meneliti dan menulis tentang perempuan dalam literatur hadits. Saat itu belum terpikirkan mengenai KUPI, namun istilah “ulama perempuan” sudah mulai digaungkan, diperjuangkan, dan dipergunakan dalam program kaderisasi ulama perempuan Rahima.
Rahima memiliki program Pengkaderan Ulama Perempuan di mana Badriyah juga terlibat sebagai fasilitator di dalam beberapa tadarrusnya. Ia juga menjadi anggota dewan Rahima. Pada tahun 2015 kepemimpinan Rahiman dipegang oleh Eridani. Ia meminta Badriyah untuk menjadi narasumber dalam satu acara workshop, bersama dengan narasumber yang lain. Ide pelaksanaan KUPI dari Rahima bermula saat workshop tersebut, selain adanya kesepakatan untuk bekerja sama dengan Alimat dan Fahmina.
Sebagai ketua panitia pengarah KUPI tahun 2017, Badriyah terlibat secara penuh dari diskusi awal tentang KUPI, proses persiapan, pelaksanaan, bahkan pasca KUPI. Menurutnya, KUPI lahir dari proses yang panjang, dengan ide dan visi yang terus bergulir. Meskipun bukan organisasi struktural, melainkan institusionalisasi komunitas dan jaringan, KUPI menjadi kekuatan kultural. Aktivitas dan kerja keulamaan disampaikan untuk menyerukan dan memperjuangkan Islam wasthiyah dengan tagline mendamaikan, mencerdaskan, dan mensejahterakan umat.
Riwayat Hidup
Sejak kecil Badriyah hidup dengan kultur agama yang kuat. Ayah dan ibunya merupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Ulum dan juga tempat Badriyah menimba ilmu agama dan mempraktikkan nilai-nilai pesantren. Ia belajar mengenai dasar-dasar agama kepada ayah dan ibunya, sementara pendidikan formalnya ditempuh di Sekolah Dasar Negeri dan Muallimat. Semasa sekolah, ia pernah menjadi ketua OSIS Puteri serta mendirikan majalah Ukhuwwah.
Badriyah lalu melanjutkan pendidikan tingginya di Institute Agama Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin, dan meneruskan ke Al-Azhar, Cairo, Mesir, lulus tahun 1998. Setamatnya dari Mesir, Badriyah kembali ke tanah air dan sempat menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga pernah menjadi staff Ibu Negara pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman wahid.
Mendirikan pesantren merupakan cita-cita lama Badriyah yang bermula dari kegelisahan hidup. Ia merasa selama ini hanya menikmati sebuah kebijakan, melakukan penelitian dan mengajar di kampus, serta advokasi kebijakan, sehingga ia ingin juga terlibat dan hidup bermanfaat secara langsung dan menyentuh masyarakat di akar rumput. Sejak awal kuliah hingga menikah, Badriyah tinggal di kontrakan kecil, kemudian melanjutkan studi ke Mesir hingga berlabuh di Pondok Gede.
Ia membangun rumah mulai tahun 2000an dengan konsep rumah yang minimalis namun bisa bermanfaat bagi pendidikan masyarakat di sekitarnya. Ia menyediakan dua ruangan: pertama untuk kursus komputer secara gratis dibantu oleh volunteer juniornya, dan kedua untuk ruang tamu yang dimanfaatkan untuk pengajian ibu-ibu satu minggu sekali dan pengajian anak-anak setiap sore hari.
Dengan tekad dan pendirian yang kuat untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan, Badriyah membeli sebidang tanah di samping rumahnya. Di atasnya ia membangun tempat yang ia namani dengan Mahasina li ad-Dakwah wa at-Tarbiyah untuk menjadi amal usaha, berbisnis, kursus komputer, dan travel. Bangunan itu tercatat di Kemenkumham berdiri pada tahun 2005, dan saat itu ia sudah duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Bangunan di lantai dua menjadi tempat penitipan anak-anak. Ada juga yang memasrahkan ke Badriyah karena menjadi korban KDRT dan broken home. Semua yang menetap dapat tinggal secara gratis, tanpa biaya apa pun. Kecuali untuk kebutuhan sekolah, mereka masih dibiayai oleh orangtua. Gedung pertama berdiri pada tahun 2008, sambil melakukan pembebasan tanah depan dan samping secara bertahap dengan ukuran yang cukup untuk membangun gedung kedua. Pada tahun 2016, gedung Pesantren Mahasina li Ad-Dakwah wa at-Tarbiyah berdiri untuk asrama pesantren dan pendidikan formal yang dibangun dengan konsep terintegrasi.
Di sela-sela kesibukkan mengasuh pesantren, Badriyah masih memperhatikan kehidupan masyarakat dan umat. Ia berharap, Pesantren Mahasina bisa menjadi rumah besar bagi umat dan masyarakat. Karena pemikiran awalnya adalah mendirikan pesantren, Badriyah kemudian mengganti nama pesantren menjadi Mahasina Darul al-Qur’an wa al-Hadits agar sesuai dengan visi dan misinya yang jelas. Bersama suaminya yang juga alumni Tafsir Hadits, Pesantren Mahasina mempunyai program unggulan, yaitu tahsin wa tahfizh al-Qur’an, hifdzu wa al-fahmu al-hadits, dan tafaquh fi al-din. Program tersebut dilaksanakan secara integratif untuk menghasilkan lulusan yang akan menjadi kader ulama dan pemimpin, berakhlak qur’ani, dan berwawasan kebangsaan.
Selain sebagai pengasuh pesantren atau khadimatul ma’had, saat ini Badriyah menjabat sebagai Wasekjen Majelis Ulama Indonesia Pusat Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, Dewan Pengurus KUPI, anggota pengurus Alimat, wakil ketua alumni Ushuluddin, aktif dalam Majelis Istiqlal Mudzakarah berkaitan Bahtsul Masail, dewan pakar Kaukus Parlemen Perempuan Indonesia, Filantropi BWI, dan dewan pakar Masyarakat Ekonomi Islam. Tujuan hidup Badriyah adalah melakukan kerja-kerja kebaikan untuk masyarakat dan fokus untuk mengasuh Pesantren Mahasina Darul al-Qur’an wa al-Hadits, mendedikasikan diri bagi para calon ulama dan pemimpin bangsa.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Saat duduk di DPR, Badriyah selalu memperjuangkan persamaan, keadilan, kesetaraan gender, pendidikan agama, dan pesantren. Oleh karena itu, ia memilih masuk ke komisi VIII. Badriyah bercerita tentang istilah “komisi mata air” dan “komisi air mata”. Komisi mata air adalah komisi yang menaungi migas, perdagangan, dan pertanian. Sementara Badriyah yang saat itu duduk di Komisi VIII, merupakan “komisi air mata” yang bermitra dengan Kementerian Perempuan dan Anak, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Lembaga-lembaga dan isu yang ditangani dianggap sebagai “buangan”. Akan tetapi, bagi Badriyah amanah ini merupakan momentum baginya untuk menyuarakan suara perempuan, ketidakadilan gender, persamaan, dan kesetaraan di institusi tertinggi Negara untuk diperjuangkan baik dari aspek legislasi, budgeting, hingga pengawasan.
Salah satu persoalan yang dibahas Komisi VIII adalah mengenai aturan dan anggaran untuk pondok pesantren yang dinilai kurang berpihak dan adil jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan yang berada di bawah Kemendikbud. Anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama melalui APBN (vertikal) masih sangat minim dan terbatas, berbeda dengan Kemendikbud yang mendapatkan kucuran anggaran dari otonomi daerah sehingga mempunyai tiga sumber, yaitu APBN, APBD, dan pendanaan kabupaten. Pada tahun 2005, Badriyah bekerja hingga pukul satu malam di gedung DPR, mengusulkan agar tahfizh, tafaquh fi al-Din dapat dimasukkan ke dalam penerima bantuan sistem BOS (Biaya Operasional Sekolah). Usulan tersebut akhirnya diamandemenkan. Contoh lain yang menjadi perhatian Badriyah adalah petugas haji. Rata-rata petugas haji adalah laki-laki, kemudian ia mengusulkan agar perempuan dapat masuk dan menjadi petugas haji sebagai bentuk keadilan dan kesetaraan.
Pada tahun 2009, ia tidak lagi mencalonkan diri sebagai anggota dewan karena situasi politik yang tidak memungkinkan. Bagi Badriyah, di mana pun kita berada maka dedikasi itu tetap ada.
Badriyah ikut menyuarakan kasus-kasus kekerasan seksual untuk membuktikan fakta-fakta di lapangan dan menyuarakan pandangan Islam yang selama ini tidak banyak dipahami oleh masyarakat. Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk dibuka agar menjadi wacana publik dan mendapatkan ruang untuk didengar, baik oleh yang setuju maupun tidak setuju. Proses ini dapat menjadi upaya untuk mengedukasi publik dan membangun kesadaran publik sehingga dapat menjadi peluang. Menurut Badriyah, tujuan dari pengawalan RUU PKS ini bukan sebatas pada pengesahan RUU PKS agar menjadi undang-undang, melainkan juga untuk mencapai tujuan akhir, yaitu membangun masyarakat yang adil dan beradab, bebas dari kekerasan seksual, dan menghargai manusia dengan memanuasiakan manusia secara terhormat dan bermartabat.
Kekerasan seksual adalah persoalan besar bagi kehidupan Muslim dan masyarakat pada umumnya, dan agama melarang hal tersebut. Pandangan KUPI merupakan prespektif KUPI sendiri yang berlandasarkan pada Al-Qur’an, Hadits, konstitusi Negara, ahwal ulama dan pengalaman perempuan dalam proses istidlal. Dengan jelasnya metodologi KUPI ini, Badriyah tidak merasa khawatir menghadapi tanggapan masyarakat yang tidak menerima gagasan dan fatwa KUPI. Karena menurutnya, KUPI sudah memiliki jati diri dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sosiologis, dan kultural, serta secara agama, baik di dunia dan akhirat.
Bagi Badriyah, kita bisa berpendapat menyampaikan argumentasi apa pun namun harus bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dalam kerangka keilmuan Islam, serta sesuai fakta dan data. Ketika menemukan sebuah perbedaan, ia akan mempelajari pemikirannya dan melakukan dialektika pemikiran, misalnya, berkaitan dengan isu gender dan keislaman.
Badriyah pernah menjadi redaktur ahli Majalah Noor dari tahun 2003 sampai 2018. Melalui tulisan-tulisannya di majalah Noor, ia menyuarakan pengalaman dan suara perempuan, Islam wasathiyah, keindonesiaa, dan kearifan lokal untuk dikonsumsi masyarakat urban dan kelas menengah ke atas. Ia menulis konten tentang gaya hidup yang popular dan simpel dengan nilai dan prinsip yang sama seperti yang diusung oleh KUPI. Badriyah juga pernah menjadi narasumber tetap di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) kerja sama dengan Fakultas Ushuluddin dan Asia Fondation, meluncurkan buku Halaqah Islam Membincang Perempuan, HAM, dan Demokrasi.
Prestasi dan Penghargaan
Badriyah pernah meraih prestasi sebagai sarjana terbaik, Fakultas Ushuluddin UIN Syaruf Hidayatullah Jakarta tahun 1995, dan penghargaan dari Kementerian Agama sebagai tokoh pesantren peduli perempuan dan anak.
Karya-Karya
Badriyah banyak melahirkan karya tulis, baik dalam bentuk artikel maupun buku. Di antaranya, ia menulis buku Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM, dan Demokrasi (2004). Badriyah mengangkat isu mengenai partisipasi kaum perempuan Indonesia agar turut serta bersama laki-laki memperjuangkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Kaum perempuan harus segera naik ke pentas publik membawa gagasan orisinil mereka.
Penulis | : | Tsani Itsna Ariyanti |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |