Hadits

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir | 03-Okt-2023

Hadits seringkali didefinisikan sebagai ucapan (qawlun), perbuatan (fi’lun), dan ketetapan (taqrirun) Nabi Muhammad SAW yang disahkan para ulama melalui penelitian sanad (jalur periwayatan) dan matan (isi kandungan). Hadits perkatan dan perbuatan adalah dinyatan dan dilakukan langsung oleh Nabi Saw. Sementara hadits ketetapan adalah yang dinyatakan dan dilakukan para Sahabat pada masa Nabi Saw, dengan asumsi disetujui, karena itu dianggap ketetapan dari Nabi Muhammad Saw.

Di samping pernyataan dan perbuatan Nabi Saw, kisah-kisah Sahabat yang berupa ketetapan Nabi Saw sangat banyak ditemukan dalam kitab-kitab kumpulan Hadits. Sekalipun cikal bakal penulisan Hadis sudah dimulai kecil-kecilan pada masa Nabi SAW dan para sahabat, tetapi momentum umat Islam merujuk pada kitab hadits yang valid dan otoritatif terjadi pada abad ketiga hijriah. Yaitu saat muncul Kitab Shahîh Bukhâri (w. 256/870). Sebelumnya, Kitab al-Muwaththa’ Imam Malik (w. 179/792) tidak sempat mendapat penerimaan publik yang masif sebagai Kitab hadits yang valid dan otoritatif. Begitu pun Mushannaf Abdurrazzaq (w. 211/826), Mushannaf Ibn Abi Syaibah (w. 235/849), dan Musnad Ahmad (w. 241 H/855).

Shahîh Bukhâri bukan kitab hadits yang pertama, bukan juga yang terakhir. Setidaknya ada enam kitab Hadits yang dianggap otoritatif (al-kutub as-sittah), ada juga yang menambahnya menjadi sembilan (al-kutub at-tis’ah). Tidak seperti al-Qur’an, kitab-kitab Hadits rujukan seperti yang tergabung dalam al-kutub as-sittah tersusun secara sistematis dan tematik, disesuaikan dengan runut ajaran Islam, terutama hukum-hukum fiqh. Susunan ini dilakukan oleh masing-masing penyusun kitab tersebut. Yang dimaksud al-kutub as-sittah adalah Shahîh Bukhâri, Shahîh Muslim (w. 261/875), Sunan Turmudzi (w. 279/892), Sunan Abû Dâwud (w. 275/889), Sunan Ibn Mâjah (w. 273/887), dan Sunan Nasâ’i (w. 303/915).

Tetapi jika merujuk pada kitab-kitab hadits, misalnya Shahîh Bukhâri sebagai kitab yang diakui paling valid, justru mengandung berbagai kisah tentang para sahabat dalam pergaulan mereka dengan Nabi SAW. Kitab-kitab hadits yang lain juga serupa, mengandung banyak kisah tentang para sahabat. Kisah-kisah para sahabat ini mungkin bisa dikategorikan sebagai hadîts taqrîrî, dalam terminologi ilmu hadits. Yaitu hal-hal yang diucapkan atau dilakukan para sahabat pada masa Nabi SAW, dan tidak ada pelarangan baginda terhadap apa yang mereka lakukan. Jika fokusnya hanya pada Nabi Muhammad SAW, maka konsepsi hadits mungkin bisa dikatakan hanya tentang laki-laki. Tetapi dengan melihat definisi dari hadits taqrîrî ini, sesungguhnya konsepsi hadits, dalam Islam, adalah juga tentang kehidupan para sahabat perempuan.

Ini adalah pendekatan praktis dalam mengkonsepsi makna hadits, dengan merujuk pada kitab-kitab hadits langsung, terutama Shahîh Bukhâri dan Shahîh Muslim. Dengan pendekatan ini, perempuan terlibat sebagai subyek dalam konsepsi hadits sebagai sebagai sumber pengetahuan dan ajaran. Pendekatan ini sesungguhnya telah dilakukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab-kitab Shahîh mereka, tetapi tidak terlalu kentara. Beberapa ulama berikutnya, terutama pada masa kontemporer melakukannya lebih eksplisit.

Seperti Syekh al-Qannuji (w. 1307 H/1890 M) dalam koleksinya “Husn al-Uswah bimâ Tsabata min Allâhi wa Rasûlihi fî an-Niswah”, Fathimah Umar Nasef dalam “Huqûq al-Mar’ah wa Wâjibâtuhâ fi Daw’i al-Kitâb wa as-Sunnah” (1989), dan lebih jelas lagi dalam karya magnum opus Abu Syuqqah (w. 1995) yaitu “Tahrîr al-Mar’ah fi ‘Asr ar-Risâlah: Dirâsah ‘an al-Mar’ah Jâmi’ah li Nushûsh al-Qur’ân wa Shâhihay al-Bukhâri wa Musim” (1990). Abu Syuqqah sendiri telah menetapkan semua pengalaman perempuan Sahabat pada masa Nabi SAW, dengan tegas dan jelas, sebagai hadits-hadits praktikal (al-ahādīts al-‘amaliyah al-tathbīqiyyah) dalam semua isu kehidupan, tertuma terkait relasi antara laki-laki dan perempuan.

Ini pernyataan yang cukup radikal yang bisa memberikan otoritas pada praktik-praktik yang dilakukan para Sahabat perempuan pada masa Nabi SAW. Pernyataan dan perbuatan para Sahabat perempuan, seperti Khadijah ra, Aishah ra, Umm Haram ra, Nusaibah bt Ka’b ra, Umm Salamah ra, Asma bt Abi Bakr ra, dan yang lain dianggap sebagai contoh dari petunjuk praktis kenabian. Melalui pernyataan dan pengalaman mereka, Abu Syuqqah menyusun kembali tema-tema Hadits menjadi lebih tegas dan jelas dalam mendeskripsikan ragam kehidupan dan aktivitas perempuan pada masa kenabian.

Ada banyak tema tentang karakter, kondisi, dan aktivitas perempuan pada masa itu, di dalam rumah tangga dan di ruang-ruang publik. Ada tema tentang kepintaran perempuan, keikhlasan, ketekunan, keikutsertaan dalam hijrah dan jihad, belajar, bekerja, mengelola rumah tangga, dan bahkan menafkahi keluarga. Semua pengalaman perempuan pada masa Nabi SAW, jika dieksplorasi lebih lanjut bisa menjadi fiqh tersendiri yang lebih menyuarakan jati diri dan karakter perempuan. Bagi yang ingin mengetahui teks-teks hadits, dengan tema-tema ini bisa membaca kitab “Tahrîr al-Mar’ah fî Ashr ar-Risâlah” karya Syekh Abd al-Halim Muhammad Abu Syuqqah (1925-1995). Tema-tema dalam kitab ini merujuk pada 2.697 teks hadits, yang 78%-nya adalah dari Sahih Bukhari dan Muslim. Sisanya, dari Kitab Sunan yang Empat (8%), dan kitab-kitab hadits yang lain (14%).

Dengan pendekatan ini, jika dikembangkan, kita bisa memiliki berbagai kesimpulan-kesimpulan hukum, ajaran, dan akhlak, yang diambil dari pengalaman para perempuan pada masa Nabi SAW. Mereka yang terlibat aktif dalam dakwah sejak awal kenabian, yang ikut hijrah dan jihad, bekerja dan berjuang, melamar dan menawarkan diri pada laki-laki, bertanya, mengadu, memprotes, bahkan datang berkelompok yang untuk masa sekarang bisa dianggap sebagai demonstrasi. Begitupun pengalaman-pengalaman mereka bekerja di dalam rumah, dilamar dan dinikahi, diajak bicara dan diajak terlibat dalam pembicaraan isu-isu keluarga dan juga publik, serta banyak lagi isu-isu lain yang bisa disimpulkan dari pengalaman-pengalaman perempuan masa Nabi SAW yang terekam dalam kitab-kitab hadits.

Pendekatan praktis di atas lebih menjanjikan untuk membuahkan penguatan posisi perempuan sebagai subyek dalam proses perujukan dan pemaknaan sumber-sumber pengetahuan Islam. Selama ini, kajian hadits oleh berbagai kalangan termasuk dalam hal isu-isu gender, lebih banyak difokuskan pada ujian validasi jalur periwayatan orang-orang yang bertanggung-jawab atas munculnya redaksi teks Hadits. Kajian ini biasa disebut dengan kritik sanad Hadits, atau takhrîj wa naqd al-hadîts. Kajian periwayatan sudah hampir sulit dilakukan generasi sekarang, karena hampir semua persoalan sudah dikaji, kecuali jika kriteria penerimaan bisa didiskusikan ulang.

Misalnya dengan mengintrodusir syarat anti-kekerasan, bahwa pelaku kekerasan terhadap istri karena merupakan kezaliman, dianggap gugur dari periwayatan. Dalam kajian kritik sanad, beberapa syarat yang diintrodusir sebagai penyebab gugurnya hak periwayatan diantaranya adalah tidak paham fiqh, melakukan kebohongan sekalipun kepada binatang, dan melanggar norma-norma sosial (murû’ah), seperti tidak menutup kepala. Jika kita menerima ilmu kritik sanad sebagaimana adanya, taken for granted, maka yang tersisa adalah penyisiran teks-teks Hadits yang berkembang di masyarakat dengan kaca mata ilmu Hadits, diantaranya dengan metode takhrîj.

Istilah takhrîj secara literal bahasa berarti ‘mengeluarkan’ sesuatu. Istilah ini digunakan pada konteks kajian Hadits untuk segala upaya pertanggung-jawaban ilmiah terhadap keberadaan suatu teks Hadits dengan merujukannya pada perawi atau sumber-sumber kitab awal yang mengeluarkan teks tersebut. Dalam tradisi ilmu Hadits, seseorang tidak berhak secara ilmiah mengungkapkan atau menulis “Bahwa Nabi SAW berkata: sesuatu” tanpa menyebutkan siapa perawi penanggung-jawab, atau apa kitab rujukan Hadits yang dipakai.

Metode takhrîj ini digunakan untuk mengetahui apa sumber kitab Hadits yang menyebutkan suatu teks tertentu, dan kemudian akan mudah dikenali apakah ia termasuk teks yang diterima (maqbûl), atau ditolak (mardûd) di kalangan ulama Hadits. Yang maqbûl bisa masuk kategori sehat (shahîh) dan baik (hasan), sementara yang mardûd bisa masuk kategori lemah (dla’îf) dan palsu (maudhû’). Jika suatu teks, yang dianggap Hadits Nabi SAW, tetapi tidak bisa dirujukkan pada perawi penanggung-jawab, dan tidak ditemukan di kitab Hadits rujukan, maka ia akan dianggap teks yang tidak berdasar (lâ ashla lahu).

Sebagaimana dicatat dalam sejarah, dinamika penulisan dan pengumpulan teks-teks Hadits mengalami fluktuasi yang sangat signifikan. Berawal dari pengetatan yang sangat ekstrim, pelonggaran, pengetatan kembali, dan pelonggaran kembali sampai pada gelombang abad ketiga dan keempat Hijriyah yang memasukkan teks-teks yang lemah, bahkan di abad-abad berikutnya muncul lebih banyak lagi teks-teks Hadits, yang sekalipun tidak berdasar (lâ ashla lahu), tetapi dipakai dan dirujuk dalam ruang-ruang pembelajaran keagamaan. Upaya verifikasi dan validasi yang dilakukan ulama Hadits telah dilakukan secara ketat, tetapi animo masyarakat Muslim untuk selalu merujuk pada tradisi Nabi SAW membuat persoalan perujukan masih mengalami problem besar. Teks-teks Hadits terkait isu relasi gender, atau lebih khusus isu-isu perempuan, termasuk di antara yang tidak terkendali, karena banyak memuat teks-teks lemah, dipalsukan, bahkan yang tidak berdasar.

Kondisi demikian yang banyak memicu semangat intelektual ulama-ulama terkemuka pada masa sekarang untuk mengkritisi teks-teks Hadits yang tersebar di kalangan masyarakat muslim, terkait isu-isu perempuan, padahal setelah diverifikasi (takhrîj) tidak ditemukan sebagai teks Hadits. Hamim Ilyas, seorang pakar Hadits dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, termasuk orang yang menyerukan perlunya metode takhrij terhadap teks-teks Hadits yang tersebar di berbagai literatur keislaman mengenai isu-isu perempuan.[1]

Dalam banyak kasus, teks-teks Hadits yang dirujuk berbagai literatur mengenai sifat, hak, dan kewajiban perempuan dalam Islam, tanpa disebutkan sanad dan periwayat yang menghimpunya dalam kitab Hadits. Metode takhrîj dalam hal ini, diperlukan untuk menelusuri, menemukan, dan merujukkan –jika ada- sanad dan atau sumber kitab awal suatu teks Hadits yang dijadikan dalil. Dengan pengetahuan sanad, mata rantai, dan sumber kitab Hadits awal dari suatu teks, maka penilaian terhadap status teks tersebut akan mudah dilakukan.

Semangat demikian bisa ditemukan diberbagai karya ulama kontemporer yang mengusung ide-ide reformasi Islam. Di antaranya di buku karya Syekh Muhammad al-Ghazali (1917-1996) Qadlâyâ al-Mar’ah bayn at-Taqâlîd ar-Râkidah wa al-Wâfidah (Isu-isu Perempuan antara Tradisi Lama dan Budaya Baru).[2] Begitu juga dalam karyanya yang lain “as-Sunnah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts” (Sunnah antara Ulama Fiqh dan Ulama Hadits). Di Indonesia, KH. Husein Muhammad telah mempelopori penggunaan metode takhrîj untuk memverifikasi beberapa teks Hadits terkait isu-isu perempuan dalam Kitab Syarh ‘Uqûd al-Lujjayn karya Syekh Nawawi Banten (w. 1314 H/1897M).[3]

Pendekatan ini memang penting untuk menghadapi teks-teks hadits lemah, atau bahkan palsu yang beredar luas di masyarakat. Tetapi untuk teks-teks hadits yang sahih, terutama dari Sahih Bukhari dan Muslim, pendekatan kritik sanad sudah tidak diperlukan lagi, karena menyangkut sejarah masa lalu, yang sudah ditulis secara berlimpah oleh banyak ulama. Kita harus fokus pada apa yang telah diawali oleh Syekh Abu Syuqqah, yaitu mengompilasi ulang dan menyusun ulang dalam tema-tema yang lebih memunculkan perempuan sebagai subyek. Dengan memanfaatkan teks-teks Hadits yang telah dibukukan di dalam dua Kitab Hadits paling kredibel, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, Abu Syuqqah menyusun ulang teks-teks tersebut ke dalam tema-tema yang lebih jelas dan tegas dalam pemihakan mengenai pembebasan perempuan masa kenabian.

Teks-teks Hadits yang sama dari sumber-sumber utama yang sahih seperti Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, tetapi berbeda penempatan dan penyusunan, serta pengungkapan tema-tema bernuansa kontemporer. Dengan buku kumpulan Hadis seperti ini, yang tersusun dalam tema-tema baru, pembaca dikenalkan potret-potret perempuan pada masa Nabi Muhammad SAW yang aktif, mandiri, kuat, dan berkiprah dalam segala aspek sosial, politik dan ekonomi. Begitupun para laki-laki, terutama Nabi SAW sendiri yang terlibat dalam kerja-kerja domestik, sesuatu yang di mata banyak pihak, dianggap sebagai wilayah perempuan.

Dibanding aspek sanad Hadits, aspek penyusunan tema ini masih sangat terbuka lebar, dan belum banyak dikerjakan ulama, intelektual, maupun para pendamping komunitas agama dalam mengadvokasi hak-hak perempuan, atau tepatnya keadilan gender. Dalam konteks legitimasi kultural, aspek ini terlihat lebih mudah diterima dan bisa bekerja secara lebih baik dalam mengintrodusir kesadaran keadilan gender di kalangan komunitas agama, seperti masyarakat pesantren, para pelajar sekolah-sekolah agama dan mahasiswa perguruan tinggi Islam. Aku sendiri telah mengikuti arah gerakan ini, dengan mengumpulkan 60 teks hadits sahih terkait hak-hak perempan dalam Islam dalam kitab kecil yang diberi nama “Kitâb as-Sittin al-‘Adliyah fî Huqûq al-Mar’ah al-Muslimah” (2010). Kitab ini kemudian diterjemahkan dan diberi penjelasan dalam bahasa Indonesia, yang sudah terbit empat kali. Terakhir, oleh Diva Press Yogyakarta dengan judul “60 Hadits Sahih Khusus tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam Dilengkapi dengan Penafsiranya” (2019).

Selain aspek validasi jalur periwayatan dan penyusunan ulang tema-tema Hadits, yang tersisa adalah pemaknaan ulang atas teks-teks tersebut. Di sini, sebagaimana sudah dikenalkan pada perhelatan KUPI pertama di Kebon Jambu, metode mubadalah menjadi relevan untuk melakukan kerja-kerja pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks Hadits. Metode Mubadalah secara umum adalah teknik menggali makna dari suatu teks yang paling mungkin bisa ditemukan, sehingga bisa menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek setara. Keduanya sama-sama melakukan dan menerima kebaikan yang dimaksud makna teks tersebut, serta meninggalkan dan harus terhidar dari keburukan yang tidak diinginkannya. Makna yang dikeluarkan dari teks adalah makna yang integral dengan visi rahmatan lil ‘alamin dan akhlaq karimah.

Misalnya teks hadits yang meminta laki-laki berbuat baik pada istrinya, juga sesungguhnya meminta perempuan untuk berbuat baik pada suaminya (Musnad Ahmad, hadits nomor  10247). Karena makna inti dari hadits adalah berbuat baik, dan ia menyapa laki-laki maupun perempuan. Begitupun hadits yang melarang perempuan mudah minta cerai tanpa alasan kepada suami, juga melarang laki-laki mudah menceraikan istrinya tanpa alasan (Sunan Ibn Mâjah, hadits nomor 2133). Karena makna inti dari teks adalah larangan memutus ikatan pernikahan tanpa alasan. Teks-teks hadits lain juga harus dimakani dengan metode mubadalah untuk menemukan makna dan ajaran yang selarang dengan visi rahmatan lil ‘alamin dan akhlaq karimah.


Daftar Referensi:

  1. Hamim Ilyas, “Takhrîj dan Studi Hadis (Paradigma dan Pendekatan)”, disampaikan dalam Diskusi Bulanan “Hadis-hadis Misoginis”, diselenggarakan PSW IAIN Sunan Kalijaga, 29 Februari 2000. Dikutip dari Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis, dalam Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah (editor), (Yogyakarta: PSW IAIN dan Jakarta: the Ford Fondation, 2003), halaman xxx-xxxi.
  2. Buku ini telah diterjemahkan Heri Purnomo dengan judul “Dilema Wanita di Era Modern: Wanita di Persimpangan Islam dan Tradisi,” (Jakarta: Mustaqim, 2003). Lihat Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2007), halaman 296.
  3. Husein Muhammad,  Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), halaman 172-183.