Kongres Ulama Perempuan Indonesia: Islam dan Feminisme dalam Satu Tarikan Napas

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Permata Adinda | 26/01/2023

Peserta Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II berdiskusi tentang peran ulama perempuan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di ormas dan lembaga pendidikan keagamaan. (Project M/Gevi Noviyanti)

I – Anjani (17 tahun)

Bangku-bangku dan meja ruang kelas itu dipinggirkan ke belakang. Para santriwati dari tim paduan suara Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari mengantre giliran didandani. Beberapa santri sudah memakai kostum tradisional daerah-daerah Indonesia.

“Senyum dulu,” si penata rias berkata kepada Anjani. Wajah Anjani dibubuhkan perona pipi merah muda terang.

Anjani, yang dikenal senang berceloteh, lebih banyak diam sore itu. Ia akan tampil menyanyi dalam acara pembukaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II. Anjani menjadi penyanyi utama dan memerankan Ratu Kalinyamat, putri Raja Demak Sultan Trenggono (1521-1546).

Di Jepara, ada tiga figur perempuan yang diabadikan jadi monumen ikonik kabupaten itu. Bernama “Monumen Trijuang Jepara”, ketiga perempuan itu Ratu Shima (611-695 M), Ratu Kalinyamat (1520-1579), dan RA Kartini (1879-1904).

Kentalnya pengaruh tiga pemimpin perempuan itu jadi salah satu alasan KUPI II digelar di daerah ini. Ketiganya berperan memperjuangkan kemaslahatan masyarakat; Kartini dengan perjuangannya dalam emansipasi perempuan, Ratu Kalinyamat dengan semangat anti-kolonialismenya, dan Ratu Shima dengan kepemimpinan yang tidak pandang bulu.

Anjani agak grogi dengan lakon nama besar yang mesti disandangnya. Lebih-lebih mengetahui penampilan tarinya bersama teman-teman disaksikan lebih dari 1.000 orang, termasuk pimpinan pondok pesantrennya dan beberapa pejabat pemerintahan.

Anjani kini kelas 3 Madarash Aliyah Ponpes Hasyim Asy’ari. Selama proses persiapan KUPI, pondok pesantren dan kegiatan sekolah diliburkan. Para santri pulang ke rumah. Tetapi, santri-santri yang jadi pengurus ponpes tetap tinggal. Mendapatkan tugas sebagai panitia acara. Ada yang mengurus bagian konsumsi dan kebersihan, ada juga di bagian penerima tamu.

Brtkupi2-132(1).jpg


KUPI II kedatangan 1.600-an peserta, termasuk tamu internasional dari 20 perwakilan negara. Kedatangan ulama perempuan, aktivis, jurnalis, dan perwakilan pemerintah dari berbagai wilayah Indonesia itu memantik rasa penasaran Anjani, santriwati di pengujung masa sekolah menengah atas.

Anjani aktif di kegiatan ekstrakurikuler rebana dan paduan suara sejak di Madrasah Tsnawiyah, pendidikan setara sekolah menengah pertama itu. Di kegiatan itu, ia  mengasah kemampuan bernyanyi, menari, dan bermain alat musik. Tahun depan, Anjani perlu menentukan arah hidupnya: melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah atau lanjut mondok di pesantren.

“Nanti selesai MA mau lanjut kuliah?”

“Nggak tahu. Belum sampai situ,” jawabnya, malu-malu.

“Kalau menikah?”

“Nggak! Nggak mau.” Ia menjawab tegas.

Giliran Anjani penasaran dengan riwayat sekolah Gevi Noviyanti, seorang fotografer.

“Seru nggak kuliah musik, Mbak?”

Gevi menjawab dengan mengisahkan diri sebagai lulusan etnomusikologi di perguruan tinggi di Yogyakarta.

Anjani memegang erat wejangan Nyai Hindun Anisah, pengasuh Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri, untuk menggapai cita-cita setinggi mungkin sebelum menikah. Nyai Hindun, yang biasa dipanggil “Bunda” di ponpes itu, bagi Anjani adalah sosok inspiratif. Jika besar nanti, kata Anjani, ia ingin menjadi perempuan seperti Bunda.

Selain menjadi pengasuh ponpes, Nyai Hindun adalah staf ahli Menteri Ketenagakerjaan. Tetapi, Anjani belum paham pekerjaan Bunda persis sampai ke situ. Ia hanya tahu Bunda sosok pekerja keras, terlihat dari aktivitas Bunda yang sering bolak-balik Jepara-Jakarta. Lebih sibuk dari Ayah, panggilan para santri untuk Kiai Nuruddin Amin, suami Nyai Hindun, yang lebih sering berada di ponoes dan mengurus tugas domestik.

“Perempuan nggak harus kerja di dapur,” begitu pesan Nyai Hindun kepada para santriwati yang tertanam dalam benaknya.

Brtkupi2-132(3).jpg


II – Iva Misbah (34 tahun)

Belajar tentang ilmu gender, bagi Iva Misbah, adalah “proses menakutkan”.

Sore itu Iva baru selesai mengikuti salah satu kegiatan halaqah bertajuk “Peran Ulama Perempuan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Ormas dan Lembaga Pendidikan Keagamaan”.

Ia menghampiri Ernawati, seorang narasumber dari diskusi tersebut. Ernawati adalah pengasuh Ponpes Nurulhuda, Cibojong, Garut, yang menyusun panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pondok pesantrennya. Iva meminta kontak Ernawati dan mengajaknya berbincang lebih lanjut mengenai pengalamannya menyusun SOP tersebut.

Iva bukan panitia ataupun pembicara di KUPI II. Ia hadir sebagai peserta. Tetapi, perkenalannya dengan gagasan Islam yang adil gender pasca-KUPI I membuatnya bersemangat untuk hadir secara langsung di KUPI II.

Butuh waktu hampir 10 tahun bagi Iva untuk percaya bahwa gerakan feminisme dan ajaran Islam tidaklah bertolak belakang. Sebagai seorang santri, kesadaran itu perlahan membuatnya dapat berdamai dengan identitas dirinya; sebagai perempuan dan muslim.

Tumbuh besar di pondok pesantren, Iva masih merujuk dirinya “anak santri” meski telah lama lulus sekolah dari pondok pesantrennya. Tetapi, Iva menyadari pondok pesantren kerap melanggengkan relasi kuasa yang berpotensi membuat pimpinan pesantren bertindak sewenang-wenang, termasuk kepada anak santrinya.

Iva merasakan ini dari pengalaman pribadinya mondok di sebuah ponpes di Sumenep, Jawa Timur, pada 2000. Saat itu usianya 13 tahun. Di ponpes itu dulu, ada relasi hierarkis yang meminggirkan santri-santri perempuan. Ada kepercayaan, atas nama Islam, posisi perempuan tidak setara dengan laki-laki.

Selama menjadi santri, Iva tidak mengenal berolahraga. Anak perempuan dilarang menggerakkan tubuhnya, sebab kegiatan fisik dianggap tidak mencerminkan “nilai-nilai keputrian” dan tubuh perempuan dianggap aurat. Pelajaran olahraga bagi santri perempuan terbatas pada pelajaran teori di dalam kelas.

“Bayangkan. Di usia produktif anak-anak bertumbuh,” cerita Iva. “Itu, kan, membuat perempuan terpinggirkan sekali dengan akses kesehatan.”

Sehari-hari, Iva harus memakai pakaian tebal berlapis. “Tanpa kami dijelaskan kenapa kami harus melakukan itu. Kami harus pakai kaos dalam. Tidak boleh tidak. Harus pakai rok dalam. Dalaman yang panjang. Khawatir bajunya transparan.”

Alhasil, Iva tumbuh besar dengan nilai-nilai yang membuatnya mengobjektifikasi tubuhnya sebagai perempuan. Juga membuatnya merasa perempuan tidak patut berpendidikan dan menggapai cita-cita setinggi mungkin. Posisi perempuan di rumah. Mengurus anak dan dapur. Perempuan juga pantas dipoligami.

Semua itu, disebut oleh guru-gurunya dulu di ponpes, adalah “kodrat perempuan”. Ayatnya tertulis jelas dalam Alquran, seperti ayat tentang kebolehan suami memukul istri hingga melakukan poligami.

Lantas, saat Iva terpapar kajian gender saat melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada, ia merasakan kegalauan besar.

“Namanya santri, ketika belajar soal gender…” Iva mencoba menjelaskan pengalamannya, “aku bersepakat dengan gagasannya. Sesuatu yang aku sangat relate. Tapi, di belakangnya, banyak ‘tapi’-nya.”

Ia memberikan beberapa contoh kegamangan dalam kepalanya.

“Aku sebagai perempuan ingin punya posisi setara dengan laki-laki. Tapi… kata agama, perempuan itu makmum.”

“Kalau nanti suamiku poligami, bagaimana? Kan, itu ada ayatnya.”

Iva melanjutkan, “Jadi ketika belajar gender, aku nggak pernah merasa kegelisahanku terjawab.”

Lalu, usai perhelatan KUPI I, Iva mengenali pencetus-pencetus KUPI seperti Badriyah Fayumi, Faqihuddin Abdul Kodir, Husein Muhammad, Nur Rofiah, dan pemikiran-pemikiran mereka. Dari mereka, ia berkenalan dengan feminisme Islam.

“Barulah di situ aku merasa gagasan feminisme dan Islam berada dalam satu tarikan napas.”

Brtkupi2-132(4).jpg


III – Nur Rofiah (51 tahun)

“Bagaimana jika sikap adil gender membuat kita dicap sebagai liberal?”

Nur Rofiah sedang menjadi penanggap dalam sesi diskusi saat seorang peserta bertanya kepadanya.

Sesi itu salah satu forum diskusi konferensi internasional KUPI II, dengan peserta dari berbagai negara seperti dari Afghanistan, Afrika Selatan, Iran, Malaysia, dan lainnya.

Ia menjawab dengan contoh kasus: “Dalam hal perkawinan, di berbagai belahan dunia dulu, masyarakat menganggap istri itu harta suami. Lalu Islam bilang [suami dan istri] adalah pasangan. Apa nggak liberal itu?”

Nur Rofiah meneruskan, “Kalau mau adil gender dianggap liberal, ya… adil itu harus. Jadi risiko itu harus diambil. Semua rasul itu, kan, melawan mainstream.”

Beberapa minggu setelah KUPI II berlangsung, saya mewawancarai Nur Rofiah, menanyakan pendapatnya tentang sebuah meme yang sering beredar di Twitter. Ini meme-nya:

Meme itu kerap dipakai untuk melegitimasi praktik diskriminatif terhadap kelompok rentan, seperti pemaksaan pemakaian hijab kepada perempuan hingga persekusi kepada kelompok-kelompok minoritas lain, contohnya seperti ini, ini, dan ini.

Nur Rofiah mengernyitkan dahi. Ia menjawab bahwa pernyataan itu menampik kemampuan manusia untuk berpikir kritis. Alquran turun secara bertahap untuk berdialog dengan konteks situasi masyarakat pada saat itu, terangnya.

Praktik mengambil dan merujuk sebuah ayat tanpa memahami konteks dan tujuan utama, kata Nur Rofiah, berpotensi melahirkan diskriminasi dan kekerasan kepada kelompok rentan atas nama agama.

Dalam al-Qur’an, kata Nur Rofiah, ada ayat yang mengandung pesan poligami tapi juga pesan monogami. Bahkan di ayat yang sama, yaitu Qs. An-Nisa/4:3. Begitu pun ada ayat tentang bagian waris perempuan setengah dari laki-laki, tapi ada juga bagian waris laki-laki sama dengan perempuan. Bahkan di ayat yang sama, yaitu Qs. An-Nisa/4:11.

“Alquran itu petunjuk untuk mewujudkan kemaslahatan, mencegah keburukan, dan melawan kezaliman. Kalau seseorang melakukan sebuah tindakan demi menerapkan apa yang tertulis dalam Alquran, meskipun dampaknya berbeda karena adanya perubahan konteks sosial, berarti Alquran sudah menjadi tujuan, bukan petunjuk lagi,” jelas Nur Rofiah. “Kalau sebuah sarana diperlakukan sebagai tujuan, ya memang jadinya berantakan.”

Nur Rofiah menjadi salah satu pengurus di dua dari tiga lembaga penggagas terselenggaranya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Ia mendapatkan gelar doktor dalam bidang Ilmu Tafsir Alquran dari Universitas Ankara, Turki. Kini, Nur Rofiah adalah dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diperbantukan (DPK) di Pascasarjana Perguruan Tinggil Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta.

Sesuai bidangnya, ia menggagas konsep perspektif Keadilan Hakiki Perempuan, yakni keadilan yang mengintegrerasikan pengalaman kemanusiaan perempuan, yang menjadi salah satu pendekatan utama KUPI dalam memahami ajaran Islam..

Selain pengajar, Nur Rofiah aktif menginisiasi dan mengisi Ngaji Keadilan Gender Islam (Ngaji KGI) yang berlangsung rutin sejak 2019.

Pemahaman soal gender tak serta-merta tertanam dalam dirinya. Menyadari betapa lama dan kuatnya budaya patriarki dalam sejarah kehidupan manusia hingga kini, ia meyakini bahwa setiap orang sesungguhnya lahir sebagai anak kandung sistem patriarki. Namun, “Kita bisa, bahkan harus, mejadi anak kandung sistem patriarki yang durhaka agar mampu adil pada laki-laki sekaligus perempuan,” ujarnya.

Sikap “durhaka” Nur Rofiah mulai muncul saat memasuki perguruan tinggi. Khususnya ketika ditunjuk sebagai Ketua Korps PMII Puteri (KOPRI) Rayon Fakultas Ushuluddin. Menurutnya, keberadaan organisasi sayap perempuan ini justru meminggirkan perempuan secara struktural.

“Misalnya, kalau ada undangan acara keputerian, dikasihnya ke kami. Kalau undangan umum, dikasih ke organisasi induk. Begitupun dalam sidang-sidang komisi di pertemuan-pertemuan besar organisasi. Kader puteri berkumpul hanya di Komisi Keputerian sehingga jarang sekali yang ikut komisi-komisi lainnya.”

Di akhir periode kepengurusan, usulannya untuk membubarkan KOPRI agar kader puteri bisa aktif secara penuh di organisasi induk disetujui oleh forum. Namun, ia mengaku jika sekarang ia berfikir tentang pentingnya organisasi sayap perempuan asal fokus pada pengarusutamaan perempuan di lembaga induk maupun skala yang lebih luas lagi, baik sebagai isu, pengalaman, perspektif, maupun sebagai aktor perubahan.

Nur Rofiah menjadi santri Pondok Puteri Yayasan Khoiriyah Hasyim Seblak, Jombang, selama enam tahun. Selama nyantri, pondok itu dipimpin oleh sosok Ibu Nyai tunggal, yaitu ibu Nyai Jamilah Ma’shum, putri Mbah Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari. Menurutnya, beliau adalah sosok perempuan kuat pertama yang dijumpainya karena beliau mengurus pondok mulai dari menjadi imam salat hingga masalah pembangunan pondok. Begitupun dibandingkan santri putra, jumlah santri putri justru jauh lebih banyak sehingga mendominasi banyak kegiatan.

Kedua orangtuanya meninggal saat Nur Rofiah masih sekolah dasar. Ibunya meninggal saat ia kelas 2 SD; bapaknya saat ia kelas 6 SD. Ibunya adalah aktivis muslimat di luar rumah; sementara ayahnya adalah kiai yang biasa mengisi ceramah keliling desa.

Ketika ayahnya meninggal, Nur Rofiah dan enam kakaknya mendapatkan warisan rumah dan tanah. Sebagai anak bungsu dan perempuan, Nur Rofiah mendapati perlakuan adil dari kakak-kakaknya. Mereka sengaja membagi rumah di dekat jalan raya kepadanya dan kakak perempuannya; sementara lima saudara laki-lakinya bersepakat mendapatkan bagian peninggalan lain seperti rumah yang letaknya lebih di dalam kampung dan beberapa sawah.

Pengalamannya saat kuliah dan pertemuannya dengan buku-buku menuntunnya belajar ilmu gender. Nur Rofiah sadar bahwa tidak semua perempuan menikmati privilese mengasah kemampuan berpikiran kritis di ruang yang aman sebagaimana ia dapatkan selama nyantri dan kuliah. Kegelisahannya saat menyadari bias gender dalam tafsir tersalurkan melalui diskusi-diskusi beragam mata kuliah di jurusan Tafsir Hadis tempatnya menempuh kuliah strata satu.

Ruang aman untuk merefleksikan pemahaman Islam yang bias gender pada saat ini adalah KUPI karena di sini berkumpul laki-laki dan perempuan yang secara kolektif mempunyai kapasitas keulamaan dan berpegang teguh pada perspektif perempuan. Mereka meyakini Islam dari Allah pasti adil pada perempuan, tapi juga menyadari tafsir atasnya yang dilakukan oleh manusia sangat mungkin tidak adil dan melemahkan perempuan.

“KUPI memandang perempuan sebagai manusia utuh dan subjek penuh, termasuk dalam sistem pengetahuan keislaman. Karenanya, pengalaman kemanusiaan perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki, baik secara biologis seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui untuk tidak semakin sakit dan secara sosial, baik dalam bentuk stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan, untuk tidak terjadi sama sekali, sangat dipertimbangkan dalam merumuskan kemaslahatan Islam. Inilah yang disebut dengan Keadilan Hakiki Perempuan.”

Perempuan juga terlibat dalam keseluruhan proses lahirnya sebuah sikap dan pandangan keagamaan KUPI. Bandingkan dengan forum-forum keagamaan lain yang kerap mendudukkan perempuan sebagai objek pengetahuan dan menafikan pengalaman biologis dan sosial kemanusiaan khas perempuan di atas.

KUPI I berlangsung di Pesantren Kebon Jambu al-Islami, Cirebon, pada 25-27 April 2017. Kongres ini menghasilkan tiga fatwa atau sikap keagamaan, yaitu penghapusan kekerasan seksual, pencegahan pernikahan usia anak, dan pencegahan kerusakan alam.

Rekomendasi KUPI saat itu tentang perkawinan anak adalah menaikkan batas usia minimal perempuan untuk menikah menjadi 18 tahun, yang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan 16 tahun. Dua tahun kemudian, pada 2019, DPR mengesahkan revisi UU Perkawinan yang menyepakati usia minimum pernikahan bagi perempuan maupun laki-laki menjadi 19 tahun.

Terkait rekomendasi KUPI I tentang penghapusan kekerasan seksual, KUPI mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sekaligus membantah kabar-kabar miring yang menghambat RUU ini untuk disahkan. Pada 2022, DPR mengesahkan RUU ini menjadi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Badriyah Fayumi, ketua panitia pengarah KUPI I, menyebutkan KUPI termasuk jaringan agama terdepan yang mendukung pengesahan RUU TPKS.

“KUPI ada di garda terdepan ketika UU ini kental sekali penolakannya dari perspektif agama. Dalam pembahasan RUU TPKS, KUPI diundang memberikan masukan oleh hampir semua fraksi DPR dan Kantor Staf Presiden, dan masukan itu mempengaruhi para pengambil kebijakan sehingga UU TPKS disahkan,” ujar Badriyah dalam konferensi pers pembukaan KUPI II pada November 2022.

Brtkupi2-132(5).jpg

IV – KUPI dan Pengalaman Perempuan

Buku Metodologi Fatwa KUPI yang memaparkan pokok-pokok pikiran musyawarah keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia mengawali tulisannya dengan cerita Nabi Muhammad SAW mendengarkan keluh kesah perempuan, juga menolong perempuan tersebut untuk menyelesaikan masalahnya.

Salah satunya kisah perempuan yang meminta bercerai dengan suaminya. Bernama Habibah bint Sahl, istri Tsabit bin Qays ra, si perempuan mengekspresikan keinginannya kepada Nabi Muhammad.

Meski suaminya sahabat nabi dan tokoh panutan pada zamannya, Rasulullah tak mempertanyakan alasan si perempuan ingin bercerai. Habibah dengan apa adanya menjelaskan bahwa ia tak merasa ada yang salah dengan suaminya. Ia juga tidak disakiti. Ia hanya bilang, “Aku tidak sanggup hidup bersamanya.”

“Sekalipun akhlaknya baik dan ibadahnya bagus, tapi aku tidak sanggup serumah dengannya. Khawatir malah aku berperangai buruk kepadanya.”

Secara apa adanya pula, Rasulullah membantu menyampaikan keinginan Habibah kepada suaminya dan menyarankan mereka bercerai.

Dalam keberjalanan ilmu agama Islam arus utama, mengeluarkan fatwa atau sikap keagamaan yang didasarkan pada kebutuhan dan pengalaman perempuan tidak umum terjadi, kata Nur Rofiah.

Ia pernah menulis bahwa proses penafsiran Alquran selama ini masih didominasi oleh ulama laki-laki, yang implikasinya masih dominan mempertimbangkan pengetahuan berdasarkan pengalaman laki-laki.

“Artinya, kemaslahan Islam yang diturunkan dari ayat-ayat Alquran pada umumnya baru kemaslahat Alquran dalam perspektif laki-laki dan untuk laki-laki,” terangnya.

Rekomendasi-rekomendasi dalam KUPI II setelah proses musyawarah di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari selama 24-26 November 2022 merespons persoalan itu.

Misalnya, salah satu perhatian utama KUPI II adalah praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan atas nama agama, seperti larangan bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk melakukan aborsi, pemaksaan pemakaian jilbab bagi perempuan, praktik pemaksaan perkawinan, perkawinan anak, hingga pelukaan genitalia perempuan.

Dalam menyorot isu-isu yang menjadi perhatian utama ini, KUPI secara tegas menyorot pemerintah atau negara sebagai yang paling bertanggung jawab mengurai dan menyelesaikan persoalan-persoalan ini.

Dalam mengeluarkan sikap atau fatwa, KUPI berpegang pada pendekatan yang mengakui dan mengedepankan pengalaman perempuan.

Buku Metodologi Fatwa KUPI yang penulisnya adalah Faqihuddin Abdul Kodir itu mengutip salah satunya amina wadud, teolog Islam kelahiran Maryland, Amerika Serikat. (amina wadud sengaja menuliskan namanya dengan huruf kecil menyesuaikan bahasa Arab yang tidak mengenal huruf kapital.)

amina wadud, yang pernah menetap di Yogyakarta dan mengajar di UIN Sunan Kalijaga, menerbitkan buku Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective pada 1994. Buku ini mengurai dan menafsirkan ulang teks-teks Alquran dengan perspektif gender, menggugat praktik penafsiran yang selama ini didominasi laki-laki dan berakhir memproduksi tafsir yang bias gender. Pada 2022, amina, yang mengidentifikasi diri sebagai non-biner, meluncurkan inisiatif global bernama Queer Islamic Studies and Theology.

Buku Metodologi Fatwa KUPI mengutip amina wadud untuk menjelaskan pendekatan mubadalah, yaitu salah satu pendekatan untuk menafsirkan teks Alquran dan hadis.

Mubadalah berarti menempatkan setiap manusia sebagai subjek setara, baik perempuan maupun laki-laki. Ketika seorang muslim membaca la ilaha ilallah (tiada Tuhan selain Allah), pada saat yang sama ia sedang menyatakan kesetaraan manusia. Tidak ada yang boleh menjadi tuhan terhadap yang lain, seperti raja bukanlah tuhan bagi rakyatnya, majikan bukan tuhan bagi buruhnya, begitu pula suami bukan tuhan bagi istri.

Patriarki yang memposisikan laki-laki superior, pada gilirannya, adalah budaya yang menyalahi nilai kesetaraan sesama manusia dan keimanan kepada Tuhan. Sebab, “Sistem sosial apapun yang menjadikan salah satu ras, jenis kelamin, atau golongan sebagai superior dan yang lain sebagai inferior adalah menyalahi tauhid,” jelas Faqih, penulis buku.

Pendekatan-pendekatan utama lain yang jadi pegangan bagi metodologi fatwa KUPI adalah makruf, yaitu kebaikan untuk sesama masyarakat. Implikasinya, untuk dapat menciptakan sistem sosial yang memberdayakan perempuan, maka pengalaman perempuan mesti diperhitungkan. Dan, keadilan hakiki, yang berarti mengamini bahwa perempuan punya pengalaman berbeda yang patut dihargai, baik pengalaman sosial maupun yang bersifat biologis.

Sebagai contoh, Surat an-Nisa [4] ayat 19 mengharuskan suami untuk memperlakukan istri dengan baik. Dengan pendekatan mubadalah dan makruf, surat ini ditafsirkan tidak hanya menyapa laki-laki, tapi juga perempuan untuk setiap orang saling memperlakukan satu sama lain dalam pernikahan dengan baik.

Faqih menjelaskan ini bahwa “pertama, Islam hadir dengan seluruh teks dan ajaran-ajarannya untuk laki-laki dan perempuan. Sehingga, suatu teks, yang bisa jadi karena konteks tertentu baru menyapa laki-laki, ia sesungguhnya juga menyapa perempuan. Dalam tafsir mubadalah, harus ada upaya untuk menemukan makna primer yang bisa berlaku bagi laki-laki dan perempuan.”

Pendekatan mubadalah, makruh, dan keadilan hakiki ini bertopang pada rahmatan lil ‘alamin (rahmat Allah SWT kepada semesta) dan komitmen berakhlak mulia kepada sesama dan semesta.

Maka, Kongres Ulama Perempuan Indonesia tidak menentukan sikap dengan merujuk kepada sebuah ayat tertentu di Alquran atau hadis, melainkan menyikapinya secara holistik.

Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Metodologi Fatwa KUPI juga mengekspresikan kritiknya terhadap praktik keagamaan yang mengecilkan suara dan peran perempuan. “Dengan alasan suara perempuan itu aurat, banyak pihak enggan mendengar apa yang dirasakan, dialami, dan dibutuhkan perempuan.”

Secara lengkap, KUPI II menghasilkan 5 sikap keagamaan dan 8 rekomendasi yang detailnya dapat dibaca di sini.

Epilog – Belajar Kritis adalah Hal Menakutkan

Sebagai seorang santri, Iva Misbah punya rasa hormat besar kepada kiai dan nyai di pondok pesantren yang dulu mengasuhnya. Ikatan yang terbentuk antara guru di pesantren dengan para santri, bagi Iva, adalah hal yang “tidak terbahasakan”.

Ikatan itu berbeda antara anak dan orangtua, bahkan kerap lebih kuat, sebab santri lebih banyak menghabiskan waktu di pondok pesantren. Bagi Iva yang setelah lulus dari pondok pesantren lanjut berkuliah, ikatan itu berbeda juga antara dosen dan mahasiswa.

“Kita nggak punya kosakata untuk menjelaskan relasi antara santri ke nyai atau kai. Saya nggak tahu bagaimana membahasakannya.”

Tetapi, sebagai santri yang menghormati kai dan nyainya, Iva juga menyadari relasi hierarkis seperti di pondok pesantrennya dulu mesti dirombak. Posisi guru kai atau nyai yang begitu tinggi berpotensi menyuburkan budaya patriarki itu sendiri yang berlandaskan hierarki.

Situasi itu tidak membantu dalam berpikir kritis, apalagi memaknai ayat-ayat Alquran dengan perspektif perempuan. Tafsir kitab kerap jadi sumber yang melanggengkan paham bias dan tidak adil gender. Maka, mempertanyakan ulang apa yang telah ditanamkan kepadanya selama ini terasa seperti “menantang Tuhan”.

“Saya jadi harus mempertanyakan banyak hal, termasuk lembaga tempat saya belajar dulu,” ujar Iva.

Pada 2022, Iva menyusun draf “Deklarasi Pesantren Anti-kekerasan Seksual”. Mendorong seharusnya pondok pesantren melakukan sesuatu untuk menghapus kasus kekerasan seksual. Tetapi, berkaca dari kasus kekerasan seksual terhadap 13 santri perempuan di sebuah pondok pesantren Bandung dan kasus-kasus lain saat itu, pondok pesantren justru kerap melarikan diri dari tanggung jawab dengan menyebut pelaku sebagai “oknum”.

Iva percaya bahwa penting bagi para ponpes menunjukkan komitmen menghadirkan ruang aman bagi seluruh warga pesantren dengan menyuarakan sikap dan posisi mereka, juga kesiapan melakukan evaluasi terkait budaya dan pola relasi dalam pondok pesantren.

“Harapannya, pesantren mengakui bahwa kekerasan seksual itu nyata; bahwa itu realitas, bukan mengingkari. Dan bagaimana langkah pesantren agar menciptakan ruang aman,” terangnya.

Tetapi, ia telah menghadapi resistensi besar di kampung halamannya di Sumenep. Iva menyadari ada proses panjang untuk sampai ke sana, yang mesti dimulai dengan ada kesadaran kolektif untuk memanusiakan perempuan.

Draf yang disusunnya itu kemudian justru dipakai kawan Iva, pengasuh pondok pesantren di Mojokerto, untuk menghadirkan pendidikan adil gender di tempatnya.

Di KUPI II, Iva menemukan pucuk harapan saat bertemu Ernawati, pengasuh Ponpes Nurulhuda dari Garut yang sedang memfinalisasi penyusunan SOP anti-kekerasan seksual.

Letak Ponpes Nurulhuda, kata Ernawati, ada di “pelosok” dengan kapasitas terbatas. “Awalnya, saya mengira karena pondok kami kecil, tidak akan ada kasus kekerasan seksual,” cerita Ernawati.

Pondok pesantrennya mengadakan workshop pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kepada para santri yang menjadi pengurus pondok dan ketua kamar, sebutannya “kobong”. Dalam sesi itu, ada sejumlah santri yang menceritakan pengalaman-pengalaman mereka. Dari situ Ernawati menyadari kekerasan seksual terjadi di pondok pesantrennya.

“Ada yang ketika tidur alat vital mereka dipegang [oleh sesama santri]. Kalau sedang mandi, ada yang mengintip. Ada juga yang pelakunya dari luar—begal payudara.”

Kemunculan berita-berita kasus kekerasan seksual di sejumlah ponpes juga jadi pemicu untuk mendorong terbentuknya panduan tersebut. Sejumlah kasus sedang jadi sorotan saat itu seperti kasus kekerasan seksual oleh Bechi di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang. Kasus Bechi mulai terkuak sejak 2017 tapi ia baru diadili pada 2022. Berdasarkan data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2021, jumlah laporan kasus kekerasan seksual di pondok pesantren menempati urutan kedua tertinggi setelah perguruan tinggi.

“Tujuan SOP ini intinya untuk menciptakan rasa aman, nyaman, menyenangkan, juga menghindarkan warga pesantren dari unsur tindak kekerasan seksual, baik sebagai pelaku atau korban,” terang Ernawati.

Kehadiran Iva di KUPI II, bertemu dengan orang-orang dengan semangat yang sama, menumbuhkan kembali optimismenya. Sebagai santri perempuan yang aktif di Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama Sumenep, lalu ikut dalam kegiatan Ngaji KGI oleh Nur Rofiah, perhelatan KUPI II bagai angin segar baginya.

Dalam merumuskan fatwa atau sikap keagamaan, ia merasa pengalamannya dipertimbangkan dan dianggap berharga. Ia mendapatkan banyak jejaring baru dari berbagai wilayah di Indonesia.

Tetapi, Iva juga menyadari kongres ini masih ada kekurangan. Baru-baru ini, Ketua Umum PBNU Yahya Staquf menyatakan dalam pidatonya, “Jangan ikut-ikutan feminisme.”

Menurut Iva, pernyataan ini jadi kontraproduktif ketika banyak dari penggagas KUPI adalah bagian dari NU, bahkan pengurus PBNU. “Apakah beliau anti dengan istilah feminisme? Aku nggak tahu. Kalau beliau mengeluarkan pernyataan di atas sebagai kritik atas KUPI, maka KUPI punya pekerjaan ke dalam.”

“Buatku sendiri sebagai pengurus Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama Sumenep, kan, jadi bingung, ya. Jangan ikut-ikutan feminisme itu bagaimana, sih? Dasar pemikiran Lembaga Kemaslahatan Keluarga itu, kan, dibangun dengan pondasi-pondasi feminisme Islam.”

Kini, Iva mengupayakan agar pondok pesantrennya dulu di Sumenep setidak-tidaknya bisa mulai mengimplementasikan perspektif gender dalam proses belajarnya. Ia melakukannya melalui ikatan alumni yang baru terbentuk di antara alumni-alumni pondok pesantrennya.

“Aku mencoba untuk masuk ke pesantrenku membawa gagasan kemanusiaan perempuan, sebagai modal bagi mereka dapat melindungi diri agar tidak jadi korban kekerasan seksual, korban KDRT, ataupun korban pemaksaan pernikahan,” ujar Iva.

Di ponselnya, Iva masih menyimpan dokumen “Deklarasi Pesantren Tolak Perundungan dan Kekerasan Seksual” yang sempat ia tawarkan kepada pondok-pondok pesantren untuk diimplementasikan.

DEKLARASI PESANTREN TOLAK PERUNDUNGAN DAN KEKERASAN SEKSUAL

  1. Siap mencegah terjadinya perundungan dan kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren dengan memasukkan materi pendidikan seksual dalam pengajaran di pondok pesantren.
  2. Siap mencegah terjadinya perundungan dan kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren dengan mengaplikasikan perspektif kemanusiaan hakiki dalam kehidupan sehari-hari di pondok pesantren.
  3. Siap mengawal kasus perundungan dan kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren dengan mengaplikasikan Maqashidus Syariah sebagai kerangka kehidupan dalam pengasuhan pesantren agar kemaslahatan manusia terwujud.
  4. Siap menangani kasus perundungan dan kekerasan seksual membentuk Satuan Tugas (Satgas) anti-perundungan dan kekerasan seksual.
  5. Siap melindungi korban perundungan dan korban kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren agar korban bisa merasa aman dan nyaman kembali.

Editor: Fahri Salam

Revisi: Redaksi merivisi 12 paragraf pada bagian narasi Nur Rofiah sesuai saran narasumber demi akurasi dan ketepatan pada 10 Februari 2023.


Sumber: https://projectmultatuli.org/kongres-ulama-perempuan-indonesia-islam-dan-feminisme-dalam-satu-tarikan-napas/