Fatwa

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Fatwa adalah pandangan hukum Islam yang dikeluarkan individu atau lembaga yang dianggap memiliki otoritas mengenai hal ini. Fatwa lahir biasanya diawali dari pertanyaan atas apa yang dialami seseorang. Jika yang mengajukan pertanyaan perempuan, maka berarti fatwa yang dikeluarkan didasarkan pada pengalaman mereka. Pertanyaannya: sejauhmana seseorang atau lembaga memahami pengalaman perempuan, sehingga jawaban yang dikeluarkan benar-benar relevan?

Bagi KUPI, berfatwa adalah bagian dari beragama yang menjadi hak penuh laki-laki dan perempuan secara setara. Perempuan, sebagai manusia, adalah sama dengan laki-laki: memiliki akal budi, tubuh, dan jiwa, pengetahuan dan pengalaman, yang layak dan otoritatif bagi kerja-kerja fatwa. Berfatwa adalah bagian dari beragama. Beragama adalah sesuatu yang khas dari manusia. Di satu sisi, beragama itu bersumber dari sesuatu yang transenden dan metafisik. Namun, di sisi lain, ia berpijak pada, merujuk, atau menjawab hal-hal profan dalam realitas kehidupan sebagaimana kita ber-Islam dalam kehidupan kita sehari-hari.

Di satu sisi, keislaman kita bersumber pada al-Qur’an dan Hadits melalui tradisi keilmuan yang telah terbentuk selama ini. Akan tetapi,  kita hanya bisa memahami dan mempraktikkannya saja. Di sisi lain, ketika kita berada pada pijakan realitas kehidupan yang kita alami, terutama ketika menjawab persoalan-persoalan yang kita hadapi, atau hadir bersama orang-orang yang bertanya dan memerlukan jawaban kita tentang apa yang mereka hadapi, maka di sinilah dinamika fatwa terjadi antara ulama dalam relasi dengan umatnya yang bertanya, maupun interaksinya dengan teks-teks sumber Islam.

Dalam proses beragama inilah para perempuan berdialog dengan ulama-ulama mereka yang tergabung dalam jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Yaitu para perempuan yang mengalami kekerasan, kezaliman, dan ketidakadilan hidup, baik dalam relasi marital dan familial di dalam rumah tangga, maupun relasi sosial di dalam ranah publik.

Selama ini, mereka tidak menemukan jawaban yang diharapkan dari narasi-narasi keagamaan mainstream, atau dari tokoh-tokoh agama yang mereka temui. Alih-alih mendapat perlindungan dan dukungan, serta didengar kegalauan yang dirasakan, para perempuan malah justru dianggap faktor penyebab dari semua keburukan yang terjadi dalam kehidupan, baik dalam rumah tangga maupun publik luas.

Dalam narasi keagamaan mainstream ini, misalnya, perempuan dianggap memiliki potensi pesona (fitnah) yang menggoda dan mengganggu stabilitas moral publik yang mayoritas berisi laki-laki. Karena potensi fitnah inilah, dalam logika beragama sementara ini, mengapa semua keburukan itu terjadi. Lalu, fatwa yang dikeluarkan seringnya adalah agar para perempuan mengurangi potensi fitnah tersebut dengan banyak berada di dalam rumah. Jika pun harus keluar di ruang publik, hanya dibolehkan jika benar-benar tidak menebarkan pesona fitnah kepada publik laki-laki.

Faktor penentu ada atau tidaknya pesona perempuan ini dan dampak buruknya pada masyarakat adalah standar kehidupan laki-laki. Perempuan menjadi objek hukum, pihak yang diputuskan hukumnya. Atas dasar standar laki-laki, bolehkah atau halal haramkah, seorang perempuan keluar rumah, belajar, bekerja, bepergian, atau sekedar bersenang-senang? Standarnya adalah sejauh mana keberadaan mereka memesona dan mengganggu laki-laki. Lalu, fatwa yang keluar adalah halal atau haram aktivitas perempuan berdasarkan standar tersebut. Atau batasan-batasan yang harus diikuti perempuan, juga atas dasar standar laki-laki tersebut.

Begitu pun ketika para perempuan difatwakan untuk berada di dalam rumah. Haram berada di ranah publik, atau setidaknya tidak disarankan secara agama. Lalu, pekerjaan yang dianjurkan di dalam rumah, selama ini, adalah semua hal yang mengarah pada layanan untuk suami dan anggota keluarga. Sedikit saja salah dalam hal ini, mereka akan dicap sebagai orang yang tidak shâlihah. Sama sekali tidak layak menghuni surga. Bahkan, tidak sedikit ancaman-ancaman neraka dan laknat malaikat diarahkan kepada mereka. Hak-hak mereka di dalam rumah tidak dimunculkan secara cukup dan seimbang dalam narasi keagamaan.

Dengan narasi keagamaan semacam ini, tidak sedikit tokoh agama yang kemudian tidak sadar dengan fakta-fakta kekerasan, ketidakadilan, dan kezaliman yang secara nyata dialami para perempuan. Realitas dan pengalaman para perempuan ini menjadi absen dalam banyak rumusan fatwa yang dikeluarkan, terutama nasihat-nasihat keagamaan yang sehari-hari disampaikan para ulama, ustadz dan tokoh-tokoh agama. Alih-alih memberi dukungan, menguatkan, dan memberdayakan, kebanyakan dari mereka hanya memberi batasan-batasan sosial, dengan mengharamkan berbagai hal kepada para perempuan.

Batasan-batasan ini, bisa jadi maksudnya melindungi, tetapi mereka tidak sadar, atau tidak mau tahu, bahwa faktanya justru mengurangi akses manfaat hidup dari perempuan, melemahkan posisi dan kapasitas mereka, bahkan merendahkan martabat kemanusiaan mereka. Dengan batasan-batasan ini, para perempuan semakin lemah, terpuruk, dan sulit menghindar dari kekerasan yang dialaminya selama ini. Ketika perempuan diminta berada di rumah, demi perlindungan mereka, misalnya, faktanya justru rumah menjadi tempat yang tidak aman bagi banyak perempuan. Ditinggal tanpa nafkah, mengalami berbagai kekerasan fisik dan psikis, pelecehan seksual, bahkan perkosaan oleh laki-laki kerabat terdekat sendiri.

Dalam pemikiran keagamaan yang mainstream, yang berpijak pada paradigma fitnah perempuan tersebut, yang akan disalahkan pada kasus-kasus kekerasan domestik pun adalah juga perempuan. Yang disalahkan adalah pakaian perempuan, perilakunya, atau layanannya kepada suami dan kerabat yang dianggap tidak maksimal. Dalam narasi seperti ini, perempuan tidak pernah menjadi subyek yang dilihat sebagai manusia utuh yang berhak hidup bermartabat, berkeadilan, dan terutama tanpa kekerasan. Mereka tidak menjadi subyek yang didengar pengalaman hidup mereka, lalu dilibatkan dalam merumuskan apa yang disebut sebagai baik dan maslahat dalam narasi keagamaan, atau yang disebut sebagai fatwa.

Para perempuan yang mengalami hal demikian banyak sekali. Mereka tidak menemukan jawaban dari para tokoh agama yang menggunakan narasi mainstream selama ini. Akhirnya, mereka datang bertanya kepada para ulama perempuan yang kemudian tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Tentu saja, para ulama KUPI ini telah melalui dinamika yang cukup intensif bersama para perempuan tersebut, jauh sebelum Kongres yang berlangsung di Pesantren Kebon Jambu pada April 2017. Bahkan, secara historis bisa ditarik sejak awal 1990-an, ketika kegundahan mereka itu baru mulai disuarakan dan didiskusikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Secara kelembagaan, pola ini dilanjutkan pada Kongres KUPI yang kedua di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara pada Nopember 2022. Dan, akan dilanjutkan terus pada kongres-kongres berikutnya.

Namun, Kongres di Pesantren Cirebon ini menjadi momentum pengakuan yang utuh terhadap para perempuan yang bertanya dan sekaligus para ulama mereka. Baik pengakuan secara spiritual, intelektual, kultural, dan sekaligus sosial. Di Kongres ini, para perempuan yang mengalami kekerasan dan meminta fatwa dianggap sebagai subyek dan diajak bersama terlibat dalam merumuskan narasi fatwa keagamaan. Pengalaman hidup mereka diakui sebagai salah satu sumber pengetahuan yang otoritatif untuk rumusan narasi ini. Begitu pun ulama KUPI, bersama para perempuan tersebut, otoritas mereka diakui dan pengetahuan mereka dijadikan arah keimanan, pengetahuan, dan kerja-kerja gerakan individu-individu yang hadir dalam Kongres ini. 

Karena itu, ciri khas Kongres yang pertama di Cirebon dan kedua di Jepara ini adalah kegiatan berfatwa secara kolektif yang disebut sebagai Musyawarah Keagamaan. Kegiatan berfatwa ini mempertemukan para perempuan dan para ulama mereka, untuk merumuskan fatwa keagamaan. Sekalipun, banyak juga kegiatan lain yang bersifat spiritual, sosial, maupun intelektual. Musyawarah Keagamaan KUPI Cirebon ini telah memutuskan pandangan dan sikap keagamaan terkait tiga hal. Yaitu pengharaman kekerasan seksual, kewajiban perlindungan anak dari pernikahan, dan pengharaman perusakan lingkungan. Di samping fatwa keagamaan yang dihasilkan, Musyawarah ini juga mengeluarkan rekomendasi kepada para pihak yang dianggap ikut bertanggung-jawab dan mampu menyelesaikan dampak dari pembiaran ketiga isu sosial tersebut, dalam kehidupan beragama dan berbangsa.