Term of Reference Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)

“Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan”

Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Cirebon

25-27 APRIL 2017 M (28-30 RAJAB 1438 H)

Latar Belakang Pemikiran

Sejarah Islam mencatat bahwa ulama perempuan telah menjadi bagian dari setiap perkembangan peradaban Islam. Secara teologis, hal ini berawal dari sikap Nabi SAW yang menghormati perempuan dan memberi jalan kebebasan bagi mereka (Abu Shuqqa, 1999). Tetapi, tradisi keulaman perempuan di dunia Islam, termasuk Indonesia, tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana sikap Nabi SAW menghormati perempuan melainkan oleh konteks geo-politik, budaya dan proses asimilasi Islam dengan budaya lokal. Islam Nusantara, adalah Islam yang dalam kehidupan sosial budayanya terbuka kepada peranan perempuan untuk beraktivitas di ruang publik. Di masa lampau dalam budaya kehidupan bertani dan berdagang, nyaris tidak terjadi pemisahan ruang bagi mereka, dan ini jelas berbeda dengan tradisi di Arab atau negara-negara berpenduduk Muslim lain atau di negara berasas Islam seperti Pakistan, Bangladesh dan beberapa negara Sub –Sahara di Afrika.

Kehidupan sosial yang terbuka ini juga memberi inspirasi yang berbeda dalam cara para ulama memberi ruang kepada perempuan. Ulama penafsir klasik corak tekstualis memberi batasan ketat sebagaimana terbaca dari sumber- sumber bacaan atau konteks lokalitas dunia Arab di masa lampau. Sementara ulama yang lahir di dunia Islam di luar dunia Arab seperti Spanyol, Bagdad, Turki, Iran, India, negara-negara Asia Tengah, atau yang melakukan perantauan ke kota-kota di mana warganya lebih majemuk dan tercerahkan, melahirkan pandangan-pandangan yang memberi ruang lebih kondusif dalam melahirkan ulama-ulama perempuan.

Sebagian besar dunia Islam pernah mengalami masa kejayaan, dan menyumbang dunia peradaban. Dalam era itu perempuan juga menikmati peran sosial dan politiknya yang luas. Mereka dibenarkan secara hukum untuk memimpin, bahkan di Aceh telah melahirkan dua sultanah mencakup dua abad. Mengiringi keruntuhan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, negara-negara Muslim di seluruh dunia memasuki masa kolonial yang meninggalkan penderitaan budaya yang tidak kecil. Salah satu mekanisme psikologis dalam menghadapi jajahan Barat itu adalah menguatnya tradisi fiqh klasik yang memberi batas sangat ketat kepada ruang gerak perempuan dan mengukuhkan subordinasi perempuan atas nama perlindungan.

Namun begitu, dalam konteks Islam Indonesia, keberadaan ulama perempuan Indonesia di sepanjang zaman merupakan ciri sekaligus pembeda paling nyata dari wajah Islam Indonesia dibandingkan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya (Andree Feillard, 1990). Kehadiran perempuan berperan penting dalam dua kelembagaan yang juga menjadi ciri khas sekaligus memastikan Islam Indonesia berakar pada tradisi pengorganisasian: adanya organisasi sipil seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang membentuk dan dibentuk oleh jaringan ulama, serta kiprah penting mereka di dunia pendidikan yang mandiri dari pengaruh negara yaitu pesantren. Dan ini berlangsung sejak masa kolonial hingga di era reformasi dengan gambaran pasang surut dinamika hubungan mereka dengan negara.

Namun sebegitu jauh, penggambaran atau narasi penelitian tentang kiprah ulama perempuan dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia teramat kecil. Ini jelas akibat metode dan studi sejarah itu sendiri yang bias gender. Kehadiran dan peran penting ulama perempuan jarang sekali ditulis secara seimbang dan tepat. Dalam kajian yang sangat komprehensif dan dianggap master peace tentang sejarah gerakan modernis Islam di Indonesia (Deliar Noer, 1988) sekalipun, peran ulama perempuan tidak tergambarkan secara utuh. Penggambaran tentang peranan perempuan secara umum hanya dikaitkan dalam organisasi sayap seperti Aisyiyah dan Muslimat. Dua nama yang disebutkan sebagai tokoh hanya Nyi Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) yang kemudian dikenal sebagai pendiri Aisyiyah, dan Rahman El-Yunusiyah tokoh pendidikan Diniyah Putri Padang Panjang.

Pasang surut keterlibatan perempuan atau ulama perempuan dalam gerakan Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keadaan budaya, situasi gerakan politik dan bagaimana hubungan-hubungan jaringan ulama Nusantara dengan dunia luar. Lahirnya ulama perempuan di Sumatera Barat seperti Rahmah El Yunusiah adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan adat yang membatasi akses pendidikan anak perempuan bukan dari golongan bangsawan. Rahmah El Yunusiah kemudian mengambil jalan pendidikan kelas (bukan ala surau) bagi kaum perempuan corak moderen sebagai pengaruh dari model pendidikan di Mesir. Perkembangan situasi perempuan Muslim di Minang cukup berbeda dengan situasi di Jawa. Baru pada tahun 1920 beberapa perempuan putri kyai diperkenankan untuk ikut “nyantri” di pondok, meskipun di kota-kota seperti di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Aisyiyah, telah merintis pendidikan kaum perempuan “Sopo Tresno” di tahun 1917 (Kunto Wijoyo, 1992).

Namun begitu, perlakukan diskriminatif tidak dengan sendirinya terkikis dengan terlibatnya perempuan di lembaga pendidikan. Dilihat dari kurikulumnya terdapat perlakuan bias gender dalam pelaksanaan pendidikan di pesantren. Ilmu alat (bahasa) yang menjadi basis keulaman ternyata lebih ditekankan bagi santri lelaki (Andree Feilard, 1999). Padahal, perempuan jelas membutuhkan ilmu bahasa untuk menulis kitab kuning sebagaimana kyai lelaki. Dan nyatanya kitab yang ditulis oleh perempuan, meski terbatas, lebih ramah kepada tubuh perempuan (van Bruinessen, 1994). Dimasa pergerakan, organisasi perempuan Islam mengalami pasang surut. Persaingan antara kaum nasionalis kiri dan agama memicu organisasi perempuan Islam turut untuk mempersoalkan hal-hal yang menjadi persoalan penting bagi kalangan feminis di dunia internasional di era kolonial seperti isu trafficking, perkawinan anak, dan poligami (Marcoes, 1992).

Sudah sangat jelas, dunia pendidikan merupakan sarana paling penting dalam menciptakan ulama perempuan. Didirikannya perguruan tinggi Islam yang terbuka bagi perempuan mempercepat proses pembentukan itu, meskipun istilah ulama juga terkait dengan pengakuan dan legitimasi sosial politik bukan hanya keilmuan. Tahun 1956, terobosan telah dibuat oleh Kyai Wahid Hasyim yang membuka kesempatan bagi santri putri untuk masuk ke Fakultas Syariah. Konsekwensi logis dari itu perempuan dapat menjadi hakim agama sesuatu yang terlarang bagi perempuan di dunia Islam lain. Menjadi hakim agama menuntut kemampuan ilmu agama menyerupai ulama untuk melahirkan dalam keputusannya. (Abdurrahman Wahid, dalam Marcoes, 1992).

Di era Orde Baru ulama perempuan semakin sulit untuk mandiri karena mereka sulit melepaskan dari dari kooptasi negara. Ulama perempuan diakui karena peran politiknya dan dukungannya kepada pemerintah. Mereka menjadi pelaksana program program pembangunan seperti program KB dan kesehatan atau pendidikan (Marcoes, 1992, Hafidz, 1992). Namun di era ini juga terjadi konfergensi yang menghubungkan kalangan aktivis perempuan Islam berbasis pesantren dengan aktivis perempuan yang mengusung ideologi keadilan bagi perempuan dari kelompok non-religius basis atau sekuler. Ini merupakan perkembangan penting yang tak ditemukan di negara lain dalam melahirkan ulama perempuan (Wajdi, 2010, Eka Sri Mulyani 2004).

Penelitian Migunani (2017) tentang Aksi Kolektif Perempuan yang diinisiasi atau didorong oleh mitra program MAMPU memperlihatkan bahwa di tingkat komunitas saat ini ada tiga kelompok kepemimpinan perempuan yang bekerja di akar rumput. Mereka adalah Aksi Kolektif Perempuan (AKP) yang didampingi LSM/CSO, pimpinan majelis taklim/ibu nyai/ulama perempuan lokal dan PKK. Pimpinan majelis taklim yang juga berperan sebagai ulama lokal pada dasarnya memberi di tingkat komunitas. Mereka memiliki keunggulan karena keterikatannya yang intens dengan perempuan di akar rumput. Namun pengajarannya jarang atau bahkan tidak untuk menumbuhkan kesadaran kritis tentang hak-hak perempuan, dan itu berbeda dengan kepemimpinan AKP lokal yang mengalami proses pendidikan kritis dari LSM perempuan sehingga mereka mengenal gagasan-gagasan kesetaraan dan keadilan gender. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan pada kenyatannya tak memiliki kemampuan pengorganisasian. Padahal pengorganisasian dapat membantu perempuan membuka akses pada keputusan-keputusan di tingkat desa.

Paska reformasi, sejumlah kemajuan perempuan terjadi. Pengakuan akan praktik kekerasan perempuan melahirkan kelembagaan seperti Komnas Perempuan dan peraturan perundang-undangan. Peran ulama perempuan berpengaruh besar dalam lahirnya pembaharuan-pembaharuan dalam melihat persoalan perempuan dengan perspektif kritis keagamaan. Namun dilain pihak, kaum perempuan menghadapi persoalan lain terkait peran mereka di ruang publik mereka. Hal ini disebabkan menguatnya pandangan-pandangan sosial keagamaan yang makin konservatif mengiringi otonomi daerah dan perkembangan dunia/global. Secara sangat nyata perubahan ini mempertontonkan kemunduran dari capaian-capain di masa lampau terkait ruang gerak dan ruang publik perempuan.

Misalnya, muncul diskursus-diskursus yang memperten-tangkan dikotomi antara agama dan negara, kesalehan individual dan kesalehan sosial, lokal dan global yang pada praktiknya menyebabkan ketegangan dalam kehidupan sehari- hari. Perempuan menjadi kelompok paling rentan menghadapi kekerasan dan ketidakadilan. Aturan daerah yang berlomba-lomba dalam menekankan simbol- simbol kesalehan sosial dengan cara membatasi ruang gerak dan ruang publik perempuan sebagai ikon-nya. Dalam konteks itu lahir aturan-aturan tentang cara perempuan berpakaian, aturan jam malam, kriminalisasi korban kekerasan seksual baik di ranah publik maupun domestik, tes keperawanan dan sejenisnya. Dalam waktu yang bersamaan muncul kekerasan atas nama agama yang menyasar perempuan miskin, kelompok etnis minoritas, kelompok dengan pilihan ekspresi individu, kelompok agama dan aliran kepercayaan dan lain-lain. Situasi buruk ini terus menerus melahirkan ketegangan dan secara nyata praktik diskriminasi berlapis pada perempuan diberbagai kelompok dan lapisan sosial.

Menyadari bahwa situasi serupa itu pada dasarnya tak sejalan dengan prinsip agama yang rahmatan lil alamin, kita memerlukan upaya strategis yang meniscayakan lahirnya pemikiran dan aksi yang mendalam dan bersifat cross- cutting (saling beririsan) agar mampu memperluas ruang-ruang gerak bagi perempuan. Kita membutuhkan lahirnya peran profetik keulamaan perempuan yang sensitif dalam membaca situasi kekinian dan memiliki tanggung-jawab sosial dalam menghapuskan segala bentuk ketidak adilan dan kekerasan berbasis prasangka gender dengan mengokohkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.

Dalam kerangka itu, segala upaya kultural dan struktural diperlukan untuk menegaskan kembali kerja-kerja sosial keulamaan untuk hak-hak perempuan, nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, sekaligus dalam rangka pengakuan kembali keberadaan dan fungsi ulama perempuan dalam kancah sosial Indonesia dan dunia. Atas dasar itu diselenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres ini diselenggarakan untuk melegitimasi dan mengafirmasi kerja- kerja perempuan-perempuan ulama di Indonesia, terutama mereka yang sudah memiliki kesadaran keberpihakan untuk keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Kongres ini akan melibatkan para perempuan pemimpin pondok pesantren, pengasuh dan pengelola majlis taklim, ustadzah, muballighah, dai’iyah, aktivis, pakar, pemerhati, dan akademisi yang peduli pada isu keislaman dan keadilan gender dari seluruh penjuru Indonesia untuk belajar bersama, berkenalan, bertukar pengetahuan dan pengalaman terkait kiprah keulamaan perempuan.

Melalui perhelatan ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia dirancang menjadi forum pertemuan para perempuan ulama dan ulama perempuan yang menghasilkan tawaran solusi bagi problem-problem aktual terkait keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Tujuan KUPI

Ada empat tujuan besar dari Kongres ini:

  1. Mengakui dan mengukuhkan keberadaan dan peran ulama perempuan dalam kesejarahan Islam dan bangsa Indonesia;
  2. Membuka ruang pejumpaan para ulama perempuan tanah air dan dunia untuk berbagi pengalaman tentang kerja-kerja pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial dalam rangka membumikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan;
  3. Membangun pengetahuan bersama tentang keulamaan perempuan dan kontribusinya bagi kemajuan perempuan dan peradaban umat manusia;
  4. Merumuskan sikap dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam rahmatan lil aalamiin.

Keluaran KUPI

Dengan empat tujuan di atas, Kongres juga inging menghasilkan tiga hal:

  1. Ikrar Keulamaan Perempuan Indonesia
  2. Pandangan dan sikap keagamaan tentang isu perempuan kontemporer perspektif Islam dalam konteks kebangsaan di Indonesia dan kemanusiaan global dunia, termasuk metodologi musyawarah keagamaan.
  3. Rekomendasi KUPI dalam menjawab masalah kekerasan seksual, pernikahan anak, perusakan alam dalam konteks ketidak-adilan sosial, migrasi, radikalisme, ketimpangan pembangunan, konflik dan krisis kemanusiaan.

Untuk tujuan dan keluaran Kongres ini, Cirebon dipilih karena faktor sosio- historis keislaman dan kebangsaan yang sangat relevan. Ia memiliki tradisi keislaman yang kuat dengan berbagai pesantren tradisional yang ada. Memiliki kehidupan kebangsaan yang ramah terhadap berbagai perbedaan. Lebih dari itu semua, Pesantren Kebon Jambu yang berada di Cirebon, adalah representasi yang paling monumental dan kokoh dari kepemimpinan seorang perempuan dalam institusi pendidikan keislaman. Pesantren ini dipimpin oleh Ibu Nyai Hj. Masriyah Amva, yang menyerap tradisi keislaman dan menggeluti khidmah keumatan untuk pemberdayaan perempuan dan keadilan relasi laki-laki dan perempuan.

Waktu dan Tempat

Kongres Ulama Perempuan Indonesia akan dilaksanakan pada:

Hari dan Tanggal :      Selasa-Kamis, 25-27 April 2017 (28-30 Rajab 1438 H)

Tempat                :      Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin

                                Cirebon Jawa Barat.

Tema KUPI

Tema besar Kongres Ulama Perempuan ini adalah “Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan”. Tema umum ini diturunkan dalam sebelas sub-tema berikut ini:

  1. Historiografi Ulama Perempuan di Indonesia;
  2. Respon Pesantren terhadap Keulamaan Perempuan;
  3. Tantangan dan Peluang Pendidikan keulamaan perempuan di Indonesia;
  4. Metodologi istidlal hukum-hukum untuk isu-isu kontemporer dalam perspektif perempuan;
  5. Penghentian kekerasan seksual dalam perspektif ulama perempuan;
  6. Perlindungan     anak     dari     pernikahan     dalam    perspektif     ulama perempuan;
  7. Perlindungan buruh migran dalam perspektif ulama perempuan;
  8. Pembangunan berkeadilan melalui penguatan desa dalam perspektif ulama perempuan;
  9. Penguatan perempuan dari ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan dalam perspektif ulama perempuan;
  10. Peran      perempuan      dalam      menghadapi      radikalisme      agama, meneguhkan nilai kebangsaan dan mewujudkan perdamaian dunia;
  11. Peran, tantangan dan strategi ulama perempuan dalam menjawab krisis dan konflik kemanusiaan.

Kegiatan KUPI

Untuk menerjemahkan tujuan dan tema KUPI tersebut di atas, di bawah ini adalah agenda kegiatan yang sebagianya telah dilaksanakan:

Kegiatan Pra-Kongres.

Kegiatan-kegiatan pra-kongres dilakukan sebagai pemetaan isu, penyerapan aspirasi, dan persiapan substansi Kongres. Ada tiga jenis kegiatan; (1) lomba penulisan profil ulama perempuan untuk mengangkat profil ualam perempuan nusantara; (2) workshop ulama perempuan di tiga kawasan Indonesa; Yogyakarta untuk Bagian Tengah, Padang untuk Bagian Barat, dan Makassar untuk Bagian Timur; (3) Halaqah Nasional tentang Keulamaan perempuan (Konsep, Metodologi, dan Rumusan Pandangan Keagamaan). Kegiatan Workshop pra-kongres dilakukan untuk mendiskusikan dan menyerap realitas kehidupan (lived realities) yang berkembang di masyarakat, yang kemudian dibawa ke Kongres. Kegiatan Halaqah pra-kongres dilakukan untuk merumuskan metode istidlaal hukum terhadap isu-isu yang berkembang di workshop. Hasil dari Workshop dan Halaqah ini akan dibawa sebagai bahan dasar yang dipertemukan dengan bahan-bahan lain yang juga akan dimatangkan dalam diskusi paralel di Kongres (terkait realitas perempuan, kerangka hukum nasional, dan instrumen internasional) untuk diputuskan sebagai Hasil Musyawarah Keagamaan KUPI.

Seminar Internasional tentang Ulama Perempuan (25 April 2017).

Seminar ini akan menghadirkan beberapa narasumber dari Indonesia dan beberapa negara, yaitu Pakistan, Afghanistan, Malaysia, Saudi Arabia, Kenya dan Nigeria. Kegiatan akan dihadiri para peserta dari berbagai negara dengan jumlah 300 orang. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai pembelajaran dari berbagai negara Islam lain mengenai isu-isu keislaman, hak-hak perempuan, persoalan kekerasan, radikalisme, dan perdamaian dunia. Kegiatan ini secara khusus diperuntukkan bagi ulama perempuan, para aktivis pemberdayaan perempuan, akademisi, pakar, peneliti, dan khalayak umum yang memiliki perhatian pada isu-isu keislaman dan perempuan di tingkat dunia. Kegiatan ini akan dilaksanakan sebagai bentuk kerjasama antara KUPI, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan AMAN Indonesia. Kegiatan ini bertempat di kampus IAIN Syekh Nurjati, Jl. By Pass Kota Cirebon. Output dari seminar ini adalah poin-poin pembelajaran dari dunia muslim mengenai ulama perempuan, keadilan gender, dan perdamaian dunia. Poin-poin ini diharapkan bisa memberi inspirasi bagi proses-proses diskusi, musyawarah keagamaan, dan rumusan rekomendasi KUPI.

Seminar Nasional tentang Ulama Perempuan.

Di sesi pagi hari Kedua (26 April 2017), mulai 08.30-12.00 akan diadakan diskusi panel tentang sejarah, peran, tantangan, dan strategi ulama perempuan dalam menjawab isu-isu kontemporer di Indonesia. Diskusi ini akan melihat keulamaan perempuan dari empat dimensi; kesejarahan Indonesia, metodologi istidlal Musyawarah Keagamaan, strategi peran dakwah ulama perempuan, dan tantangan eksistensinya dalam konteks sosial Indonesia. Kegiatan pleno ini diikuti seluruh peserta dan pengamat Kongres yang berjumlah lebih dari 700 orang. Kegiatan bertujuan untuk memberikan overview dan kerangka berpikir tentang eksistensi keulamaan perempuan dalam empat dimensi tersebut. Kegiatan ini berpusat di lokasi Kongres, Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin. Output dari diskusi panel ini adalah poin-poin mengenai eksistensi keulamaan perempuan Indonesia dalam empat dimensi (sejarah, metodologi istidlal, strategi dakwah, dan tantangan sosial) sebagai bahan rumusan Musyawarah Keagamaan dan Rekomendasi Kongres.

Diskusi Paralel.

Di sesi siang hari Kedua (26 April 2017) akan diadakan rangkaian diskusi paralel yang mendialogkan sembilan tema Kongres. Yaitu (1) Pendidikan Keulamaan Perempuan; (2) Respon Pesantren terhadap Ulama Perempuan; (3) Kekerasan seksual; (4); Pernikahan Anak; (5) Pembangunan Berkeadilan dari Desa; (6) Perlindungan Buruh Migran; (7) Ketimpangan Sosial dan Kerusakan Lingkungan; (8) Radikalisme Agama; dan (9) Krisis dan Konflik Kemanusiaan. Tema-tema ini akan didiskusikan dalam tiga kerangka; pengalaman realitas kehidupan perempuan (lived realities), kerangka hukum nasional dan instrumen internasional, dan perspektif keislaman. Diskusi paralel ini, masing-masing, akan mendalami wacana dan pengalaman ulama perempuan dalam kerja-kerja yang lebih spesifik pada isu-isu terkait dan dalam konteks Indonesia kontemporer. Seluruh peserta akan berbagi sesuai pilihan/perhatian mereka pada isu-isu tersebut. Latar belakang peserta diharapkan bisa merepresentasikan tiga kerangka diskusi (realitas perempuan, hukum, dan keislaman) di setiap tema. Sejak pendaftaran, peserta diharapkan sudah memilih tema diskusi dan panitia akan mendistribusikan komposisi peserta sesuai latarbelakang dan kapasitas ruangan. Output dari diskusi paralel ini adalah dokumen analisis yang lebih mendalam terkait sepuluh tema tersebut sebagai bahan Musyawarah Keagamaan dan rumusan Sidang Rekomendasi Kongres. Semua diskusi ini bertempat di Lokasi Kongres Pesantren Kebon Jambu.

Diskusi dan Launcing Karya Keulamaan Perempuan.

Diskusi dan launching karya-karya keulamaan perempuan, baik berupa buka, film, media website, dan yang lain, akan diselenggarakan pada sesi Pagi hari ketiga (27 April 2017). Kegiatan ini berbentuk panel untuk semua peserta Kongres, sebagai ajang presentasi, legitimasi, dan promosi karya-karya terkait keulaman perempuan. Dalam ajang promosi ini, para peserta yang memiliki bahan-bahan atau karya-karya yang perlu disebarkan juga bisa disampaikan di hadapan para peserta. Diharapkan, hasil karya ini bisa menginspirasi para peserta untuk membuat hal serupa atau setidaknya mendesimenasikan ke komunitasnya masing-masing. Kegiatan ini, di samping untuk peserta Kongres, juga terbuka untuk umum.

Musyawarah Keagamaan Ulama Perempuan.

Pada saat bersamaan, sesi Pagi hari ketiga (27 April 2017) juga diadakan Musyawarah. Kegiatan ini diperuntukan bagi para pakar keislaman bersama nara sumber dari dua aspek; realitas kehidupuan perempuan dan instrumen hukum. Panitia akan mendaftar para peserta yang akan terlibat pada Musyawarah Keagamaan ini sejak hari pertama Kongres. Musyawarah ini akan memutuskan Sikap dan pandangan keagamaan mengenai isu-isu perempuan kontemporer, terutama kekerasan, pernikahan anak, dan ketimpangan sosial dan kelestarian lingkungan. Musyawarah Keagamaan ini akan didasarkan pada metodologi istidlal yang menjadi perspektif ulama perempuan. Sidang ini akan merujuk pada draft hasil Halaqah Musyawara Keagamaan dan poin-poin dari seluruh kegiatan Kongres sebelumnya. Sidang ini merupakan puncak dari analisis dan pembahasan isu-isu terkait, yang sebelumnya sudah digali baik pada kegiatan-kegiatan komunitas, kegiatan pra-kongres, maupun kegiatan proses kongres. Hasil dari Musyawarah ini akan dibacakan pada acara penutupan Kongres dan sebagai output utama Kongres.

Sidang Rekomendasi.

Pada saat bersamaan juga, sesi Pagi hari ketiga (27 April 2017) akan diadakan sidang perumusan rekomendasi Kongres. Rekomendasi akan berupa nilai-nilai dasar yang menjadi panduan umum bagi ulama perempuan dalam mengelola, menghadapi, dan menjawab isu-isu keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Isu-isu dari sepuluh tema Kongres, yang tidak bisa dibahas dalam Musyawarah Keagamaan, karena keterbatasn waktu, akan dirumuskan poin-poin dasar yang bisa menjadi panduan umum. Rekomendasi lebih dikhususkan pada ulama perempuan dan para aktivis pemberdayaan perempuan. Tidak menutup kemungkinan rekomendasi juga akan ditujukan pada para pihak terkait, seperti organisasi keagmaan, organisasi masyarakat, pemerintah baik eksekutif maupun legislatif.

Pentas Seni dan Budaya.

Pada sesi malam hari, tanggal 25 (Selasa) dan 26 (Rabu) malam hari, dan sesi penutupan tanggal 27 Mei siang hari, akan diselenggarakan pentas-pentas seni dan budaya yang terbuka untuk umum. Di arena Kongres akan disediakan panggung yang akan terbuka bagi para peserta untuk menampilkan kreatifitas mereka. Disamping akan diisi oleh para santri dari Pesantren Babakan.

Kegiatan Sosial.

Layanan bakti sosial, untuk pengobatan gratis, test papsmear dan IVA, sunatan masal bagi anak lelaki, dan donor darah. Kegiatan ini akan diadakan sebelum Kongres. Pada saat Kongres berlangsung, pengobatan gratis tetap berlangsung, dan juga akan dibuka konseling bagi para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.

Peserta KUPI

Ada tiga kategori partisipan yang akan menghadiri Kongres ini, yaitu:

A.  Peserta, yaitu mereka yang diterima sebagai peserta dan bersedia mengikuti Kongres secara penuh waktu, dari awal pembukaan hingga akhir penutupan. Peserta ini berjumlah 500 orang dari berbagai pelosok tanah air, terdiri dari:

  1. Perempuan pemimpin/pengasuh/guru pesantren, pengajar lembaga pendidikan dan perguruan tinggi Islam, pemimpin organisasi keislaman, pengasuh/pengelola majlis ta’lim, ustadzah, muballighah, dan da’iyah
  2. Perempuan aktivis pemberdayaan
  3. Pakar, akademisi, peneliti dan pemerhati isu-isu keislaman dan perempuan
  4. Panitia, fasilitator, dan relawan

B.  Pengamat, yaitu mereka yang diterima sebagai pengamat dan pemerhati proses Kongres, baik dari dalam maupun luar negeri. Pengamat tidak diperkenankan untuk ikut bersuara dalam forum-forum resmi Kongres. Para pengamat ini tidak diwajibkan untuk mengikuti Kongres secara penuh waktu.

C.  Wartawan Media, yaitu jurnalis yang meliput proses dan memberitakan hasil Kongres. Mereka harus mendaftar dan diterima oleh Panitia untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme di lingkungan Kongres.

Selain ketiga kategori di atas, pada saat pembukaan dan penutupan Kongres, Panitia akan mengundang tamu-tamu kehormatan dan membuka kepada masyarakat luas untuk ikut menghadiri dan mendukung kegiatan Kongres ini.

Penyelenggara

Kongres Ulama Perempuan Indonesia ini diselenggarakan oleh tiga lembaga, yaitu Fahmina, Rahima dan Alimat, dengan kerjasama berbagai lembaga dan instansi lain, baik yang non-pemerintah maupun pemerintah.

PANITIA DAN PENANGGUNG JAWAB

Panitia lengkap terlampir, sementara penanggung-jawab dan panitia inti adalah sebagai berikut:

  1. Dra. Nyai. Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA (Ketua Komite Pengarah). HP: 0811948812, WA: 087887000145, dan email: [[1]]
  2. AD. Eridani (Ketua Umum Komite Pelaksana). HP dan WA: 081218521215, email: [67@yahoo.com|danur_67@yahoo.com.]
  3. Ninik Rahayu (Sekretaris Umum Komite Pelaksana). HP dan WA: 081380280350 dan email: [[2]]
  4. Faqihuddin Abdul Kodir (Wakil Ketua Pelaksana untuk Seluruh Kegiatan Saat Kongres). HP dan WA: 08112430234, email: [[3]]
  5. Nyai Hj. Masriyah Amva (Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon). HP. 081313170000.

PENUTUP

Demikian TOR ini dibuat sebagai acuan untuk para pihak. Hal-hal lain yang belum dibahas dalam dokumen ini bisa ditanyakan kepada panitia.