DKUP: Perbedaan revisi
(←Membuat halaman berisi 'Fahmina Institute sebagai bagian dari gerakan yang mengakui, menerima, mengukuhkan, keulamaan perempuan, dan meyakini konsep keadilan hakiki bagi perempuan yang memaka...') |
(Tidak ada perbedaan)
|
Revisi terkini pada 4 Oktober 2023 03.14
Fahmina Institute sebagai bagian dari gerakan yang mengakui, menerima, mengukuhkan, keulamaan perempuan, dan meyakini konsep keadilan hakiki bagi perempuan yang memakai perspektif kesalingan dalam relasi gender, merasa penting untuk terus melakukan pengkaderan bagi ulama perempuan. pengkaderan ini ingin mengajak para partisipannya bisa membaca Islam dengan perspektif perempuan dan pada saat yang sama mengenalkan keadilan gender dengan perspektif bacaan Islam.
Pengkaderan yang diselenggarakan oleh fahmina adalah melalui Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) dan Kursus Islam dan Gender yang bertujuan untuk merekrut kader ulama dalam menyebarluaskan pemahaman keislaman yang berwawasan kebangsaan dan kemanusiaan, menjiwai Islam Nusantara yang wasathiyah. Dalam perkembangannya program ini terus mengadaptasi dan menyesuaikan kebutuhan tanpa mengubah esensi program untuk mencetak ulama perempuan. Bermula sejak Tahun 2003 dengan nama Dawrah Fiqh Perempuan sampai pada tahun 2006 berubah menjadi Dawrah Kader Ulama Pesantren. Baru pada tahun 2018 DKUP kepanjangannya diganti menjadi Dawrah Kader Ulama perempuan setelah gelaran Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama (KUPI I) yang diselenggarakan di pondok pesantren Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin pada tahun 2017.
Hal ini untuk menegaskan bahwa ulama perempuan sebagai identitas tidak hanya dilihat dari biologis tapi juga ideologis, yaitu orang-orang yang berilmu mendalam baik itu laki-laki maupun perempuan, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegrasi) berkepribadian mulia (Akhlakul Karimah), menegakan keadilan, memberikan kemaslahatan kepada semesta sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemausiaan yang adil dan beradab. Pun demikian DKUP ini pesertanya tidak hanya perempuan tetapi laki-laki ikut serta..
Pada masa pandemi yaitu tahun 2021-2022 Fahmina melakukan pengkaderan DKUP sebanyak 5 angkatan meliputi dua kategori Dawrah Kader Ulama Muda dan Dawrah Kader Ulama Pengasuh yang mengikuti terdiri dari para pengasuh pesantren, pengurus organisasi, majelis Taklim, dan pengasuh muda pesantren sebanyak 125 Kader dari Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sebelumnya mereka telah mengikuti seleksi kriteria seperti peserta merupakan pemimpin pesantren atau komunitas, menguasai kitab kuning, memiliki komitmen untuk bersedia mengikuti rangkaian DKUP, memiliki kegelisahan pada persoalan sosial utamanya persoalan perempuan dan keberagaman serta mendapatkan rekomendasi dari Pesantren, komunitas atau organisasi yang ada di Jawa barat dan Jawa tengah. antara lain Fatayat NU Kabupaten Cirebon, Mubadalah.id, Ma’had Aly dan PP. Kebon Jambu Babakan Ciwaringin, Pesantren KHAS Kempek, ISIF, Mahmuda, Majelis Ta’lim al-Kaysi, JP3M, Pesantren Darul Falah Besongo, PW Fatayat NU Jawa Tengah, Madrasah Damai, dan PSGA IAIN Kudus..
Pelaksanaan DKUP di masa pandemi dilaksanakan dengan 2 model pertemuan, yaitu pertemuan secara virtual dan secara langsung. Pertemuan DKUP secara virtual tentu berbeda dengan pertemuan langsung. Pertemuan virtual dilaksanakan lebih lama selama 5 hari, tetapi waktunya terbatas hanya 3-4 jam setiap harinya dengan 1 materi yang difasilitasi oleh 1 narasumber dan 1 fasilitator, untuk memastikan peserta fokus mengikuti pelatihan secara daring peserta diminta untuk menuliskan refleksi selama mengikuti pelatihan setiap harinya yang langsung dipublikasikan melalui Media Sosial, bisa melalui FB, IG, atau Tiktok.
Sedangkan pertemuan langsung dengan menjalankan protokol kesehatan dengan ketat yang dilaksanakan selama 3 kali dengan waktu yang berjarak sekitar 2-3 bulan, setiap pertemuan dilaksanakan selama 3 hari yang didampingi oleh fasilitator dan para narasumber.
Materi yang disampaikan dalam Dawrah Kader ulama perempuan (DKUP) tahun 2021-2022 yaitu konsep dasar gender bentuk-bentuk ketidakadilan gender, pelembagaan dan pembakuan gender, sensitivitas gender, gerakan feminisme gender sebagai perspektif, analisis sosial feminis, instrumen Hukum Nasional, Studi Tafsir Al-Qur’an Perspektif Keadilan gender, Studi Hadis Perspektif keadilan gender, Studi Fiqh dan hukum Islam Indonesia. Mereka juga dikasih materi lanjutan untuk memperdalam metode Penafsiran teks Teks Al-Qur’an, Hadis, dan fiqh dengan praktek langsung menafsirkan Teks Al-Qur’an dan Hadist.
Untuk materi pendalaman Metode Penafsiran Teks, Para peserta diminta untuk menafsirkan serta memaknai yang berbeda atau sebaliknya. Misalnya tentang perempuan sebagai tiang negara diubah menjadi laki-laki sebagai tiang negara dan seterusnya, seperti kriteria suami shalih dalam Islam, suami adalah konco wingking, taat pada istri adalah syar’i, izin istri yang memberkahi, ayah adalah sekolah pertama, ridha Allah SWT ada pada ridha istri dalam bentuk Narasi untuk kampanye.
Mereka juga diberi skill penguatan penulisan populer dan literasi media sosial. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas ulama perempuan terlibat aktif menyebarkan gagasan dan narasi Islam dan rahmatan lil ‘alamin yang berperspektif perempuan di media Sosial.
Selain itu para kader ulama juga didorong mengikuti Diskusi-Diskusi Tematik baik yang diselenggarakan oleh fahmina atau lembaga lain, selain untuk memperkuat kapasitasnya, mereka juga didorong menjadi narasumber. mereka dipertemukan dengan jaringan ulama perempuan melalui Konsolidasi Ulama Perempuan untuk mengembangkan jejaring dengan mempertemukan narasumber dan ulama perempuan lain yang terlibat dalam DKUP dengan interest isu yang sama dan memiliki concern di gerakan.
Karena sebuah gerakan akan mandul apabila dilakukan secara individu. Oleh karenanya sinergitas dan kolaborasi dengan jaringan yang terbentuk melalui DKUP menjadi penting. Peluang-peluang pengembangan diri sangat terbuka lebar di forum DKUP, terutama dalam hal penajaman analisis sosial.
Fahmina juga mendorong ulama perempuan terlibat dalam pembuatan fatwa KUPI yang sebelumnya telah diperkuat melalui kursus metodologi fatwa. Kursus metodologi ini bertujuan untuk memampukan dan memperkuat ulama perempuan dalam menggunakan metodologi musyawarah keagamaan KUPI yang berperspektif keadilan gender untuk menjawab isu-isu kontemporer di masyarakat yang membutuhkan jawaban melalui musyawarah keagamaan.
Penguatan ini penting bagi ulama perempuan agar mereka terlibat dalam merumuskan fatwa sebagai pengakuan otoritas pengetahuan secara utuh terhadap perempuan, baik pengakuan spiritual, intelektual, kultural sekaligus sosial, dan metodologi fatwa yang digunakan ulama perempuan ini menjadikan pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan dalam pengambilan keputusan fatwa.
Materi yang disampaikan dalam Kursus metodologi adalah paradigma dan pendekatan KUPI, posisi perempuan dalam fatwa keagamaan, konstruksi hukum Indonesia yang dijadikan rujukan dalam pengambilan fatwa, struktur perumusan musyawarah keagamaan, dan praktik merumuskan fatwa.
Refleksi Peserta DKUP
Pelaksanaan Dawrah Kader Ulama Perempuan yang diselenggarakan oleh fahmina memiliki kesan sendiri bagi para pesertanya terutama dalam memperkuat pengetahuan dan mempertajam analisis gender, terutama dari perspektif agamanya, seperti yang disampaikan oleh Farida Ulfi bahwa dengan bergabung DKUP, menjadikan cara pandangnya berbeda dari sebelumnya, terlebih bisa berdiskusi secara langsung dengan tokoh KUPI, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, Pak Marzuqi Wahid, dan KH. Husein Muhammad.
Farida Ulfi bisa merasakan dan melihat dengan jelas bagaimana bangunan pemikiran yang selama ini diproduksi oleh para tokoh ini, sebagai contoh tentang ayat misoginis. Sebenarnya telah lama dia mendengar di forum KGI (Keadilan Gender Islam) yang diasuh oleh Bu Nyai Dr. Nur Rofi’ah bil Uzm tentang konsep tauhid. Menurutnya konsep tauhid sangat penting sekali untuk memperkuat diskursus dalam hal gender.
Di forum DKUP inilah terjadi reformulasi besar-besaran dengan cara pandang Farida Ulfi melalui konsep tauhid di atas tadi. Menurutnya sudah seharusnya tidak ada satu ayat dan satu hadits pun yang misoginis. Jika masih menganggap ada ayat atau hadits misoginis, artinya masih menganggap Allah tidak Maha Adil, dan Nabi Muhammad bukan pula mengemban misi keadilan, karena masih mendiskreditkan salah satu jenis kelamin, yakni perempuan.
Farida Ulfi juga merasakan ada peningkatan pada dirinya setelah mengikuti DKUP. Ia merasa konsep dan metodologi yang didapatkannya dari DKUP menjadi bekal untuk melakukan interpretasi terhadap teks-teks Islam dalam ruang akademik terhadap mahasiswa yang dibimbingnya, termasuk di jenjang Pascasarjana, di mana ia mengampu mata kuliah Studi Hadits. Dalam mata kuliah ini, materi pembahasannya tidak lagi tentang teori Ulumul Hadits, akan tetapi lebih kepada meneliti matan hadits dengan berbagai perspektif, yang di dalamnya mencakup kritik sanad dan kritik matan.
Begitupun Siti Rofiah menyampaikan kesannya dalam pelaksanaan DKUP ini, menurutnya hadirnya forum DKUP ini menjadi media untuk bertemu sumber pengetahuan. Hal ini sesuai dengan tradisi pesantren yang selama ini ia pegang, bahwa apapun yang didapatkan dari proses belajar, harus bisa dilacak sampai pada sumber dan sanad. Inilah yang menjadi titik tekan pandangannya. Ia juga mengaku banyak mendapatkan hal baru, baik dalam hal pengetahuan ataupun cara berpikir.
Misalnya seperti melakukan praktek metode mubadalah dalam melihat isi ayat Al-Qur’an dan hadits secara langsung. Peserta diajak menggunakan metode mubadalah secara langsung dengan membuka kitab tafsir dan fiqih, kemudian membaca dalil yang ada dengan metode mubadalah. Bagaimanapun membaca dari buku saja tidak membuatnya memahami secara mendalam, sedangkan interaksi secara langsung dengan penggagas metode Mubadalah untuk mempermudah pemahamannya.
Vevi alvi juga mengatakan bahwa Mengikuti pelatihan DKUP merupakan titik lanjut untuk memperkokoh bangunan pondasi pengetahuan yang baru digelutinya. Bertemu dengan banyak peserta dari berbagai komunitas dan organisasi besar yang sama-sama bergerak di isu perempuan dan pemberdayaan, membuatnya semakin optimis untuk istiqomah dalam jalan gerakan ini.
Berkumpulnya perempuan muda, para Bu Nyai, Ning Pesantren, dan semua pihak dengan kegelisahan di ruang aman yang sama, menjadi kekuatan dan inspirasi baginya untuk tidak takut lagi melangkah. Sepanjang pelatihan ini, para peserta dibekali dengan beragam perspektif Islam yang adil gender, metodologi, pengetahuan keislaman yang cukup menjawab kegelisahannya. [] (Roziqoh/ZA)