Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Tempat Perempuan Menemukan Rumah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Vasti Zahra Minerva | 1 Desember 2022

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Saya adalah bunglon. Seperti hewan aslinya yang bisa menyesuaikan diri pada tempat yang ia singgahi hingga bisa mengelabui musuh atau mangsanya, saya pun tak jauh berbeda. Saya sangat senangberkamuflase di tempat-tempat tertentu. Jadi jangan heran jika kamu tidak sengaja bertemu denganku di tempat yang berbeda, aku pasti memiliki penampilan serta pembawaan yang berbeda pula.

Versiku yang lebih bebas dan lebih percaya diri hanya bisa dilihat di suatu tempat yang aku anggap rumah sesungguhnya. Tempat ini berisi orang-orang yang aku percaya. Mereka adalah orang yang tak akan pernah menyakitiku dan memaksakan egonya. Menerima dan mencintai diriku apa adanya karena mereka tahu, setiap manusia itu memang berbeda.

Sebaliknya, versi diriku yang lebih tertutup dan membatasi diri hanya bisa dilihat dalam tempat yang secara definisi memang rumah, diisi oleh orang-orang yang sedarah, tapi sayangnya belum bisa menerima diriku apa adanya. Mereka masih jadi orang yang memaksakan apa yang mereka mau, apa yang mereka anggap benar.

Kategorisasi tempat ini memudahkanku berkamuflase. Kamuflase yang sengaja dilakukan sebagai satu-satunya cara bertahan hidup tanpa harus melalui banyak konflik berkepanjangan. Konflik yang timbul karena kesulitan dunia memahami perbedaan.

Sebagai bunglon, kamuflase sempat saya lakukan di hari pertama Konferensi Internasional Kongres Ulama Perempuan Indonesia II yang diselenggarakan di UIN Walisongo, Semarang. Jujur saja, kata Ulama Perempuan dalam kongres ini membuat nyaliku cukup ciut.

Dalam pikiranku ruang perjumpaan ini mungkin akan berisi tokoh-tokoh agama yang cukup menyiksa. Tokoh-tokoh yang dalam kehidupan melarang agama hanyalewat rasa takut dan perintahsaja. Pemikiran inilah yang membuatku memutuskan berkamuflase. Berbekal blazer batik dan rok panjang serta stoking hitam dan pasmina yang disampirkan di atas kepala, saya berangkat ke konferensi Internasional.

Ini semua kupakai karena aku takut terlihat berbeda dan dihakimi. Ini adalah caraku berkamuflase.

Tempat yang Tak Memusingkan Cara Perempuan Berbusana

Pukul 07:25 pagi, saya sudah tiba di auditorium UIN Walisongo Semarang. Tapi, langsung dilanda rasa cemas hebat. Rasanya, seperti sedang salah tempat. Sepanjang mata memandang area auditorium, yang terlihat hanya ratusan perempuan dengan jilbabnya. Entah itu jilbab syar'i atau jilbab khas anak muda yang ujungnya disampirkan di daerah leher mereka.

Aku lantas semakin mengeratkan pasminaku, berusaha menutupi rambut dan leherku. Tapi selang 20 menit, seorang perempuan berjilbab yang ternyata adalah panitia dari acara ini menghampiriku dan berkata.

“Mbak, enggak usah pake itu (pasmina). Di lepas aja enggak apa-apa, di sini enggak apa-apa kok.”

Ucapannya sontak bikin kaget dan lega bukan main. Apalagi tak beberapa lama dari kejadian ini, perempuan dari berbagai daerah bahkan luar Indonesia mulai berdatangan. Mereka datang dengan penampilan yang begitu beragam.

Ada yang memakai niqab , turban, pasmina yang hanya disampirkan di atas kepala tapi masih memperlihatkan rambut dan leher, dan ada pula yang tak memakai penutup kepala sama sekali. Hal yang bahkan cukup mengejutkan, tak sedikit narasumber utama di berbagai halaqah atau pertemuan tak berjilbab sama sekali. Salah satunya adalah Profesor Fatima Seedat.

Ia adalah kepala departemen Studi Feminis Afrika di Universitas Cape Town dan pendiri Shura Yabafazi, kelompok individu yang berkomitmen untuk mempromosikan kesetaraan substantif gender bagi perempuan.

Posisinya ini tentu membuatnya jadi tokoh penting, sehingga ia tak hanya menjadi narasumber penting dalam pleno utama, tetapi juga hadir sebagai narasumber bersama tokoh lainnya, seperti Nyai Badriyah Fayumi dan Ruby Kholifah.

Kehadiran Muslim seperti dirinya di KUPI adalah angin segar buatku pribadi, sekaligus membuatku merasa berada di rumah yang sudah lama aku dambakan sejak sekian lama. Aku lahir dan tumbuh besar di keluarga yangcukup agro. Sedari kecil aku sudah dibekali dengan berbagai ilmu agama.

Sedari TK aku sudah dimasukkan ke dalam Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Lalu, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), saya belajar di sekolah Islam yang jelas punya bobot pelajaran agama lebih banyak dari sekolah negeri dan mewajibkan setiap anak perempuan memakai jilbab.

Cara kedua orang tuaku mendidikku sedari kecil ini tentu tak terlepas dari harapan mereka bahwa mereka ingin anak perempuan menjadi perempuan solehah. Taat beragama sesuai dengan koridor-koridor yang mereka amini bersama. Dan jika saya melenceng dari koridor-koridor ini, mereka akan menceramahiku tujuh hari tujuh malam.

Berkata aku telah mengecewakan mereka karena telah beragama sesuka hatiku saja tanpa paham esensi dan segala kewajibannya. Padahal kalau saja mereka mau buka mata, tafsir soal batasan aurat saja misalnya ternyata tak pernah tunggal. Para ulama memahamibatas-batasan auratdengan ketentuan yang berbeda-beda.

Kiai Husein Muhammad bahkan pada tahun 2020 saat membahas bukunya Jilbab & Aurat di Wamimma TV, kanal YouTube milik KH Buya Syakur Yasin mengatakan bahkan tak ada satu pun ayat Al-Quran yang mencantumkan kata aurat. Sebaliknya perlu dipahami secara lebih detail bahwa kata dalam Al-Qur'an bukan aurat, tapi zina (perhiasan).

Karena itu, berada di ruang perjumpaan besar para ulama perempuan dengan ribuan peserta bahkan para santrinya membuatku ingin menangis sejadi-jadinya. Saya tak pernah diterima seawal ini hebatnya oleh banyak orang di sebuah perhelatan serius berlatar agama.

Selama empat hari perhelatannya, KUPI jadi tempat aman buatku. Tempat ini menawarkan kehangatan yang tak pernah saya dapatkan di rumahku sendiri. Caraku memaknai agama dihargai secara setara tanpa penghakiman sama sekali. Aku bahkan sempat bertemu seorang ibu dengan jilbab dan gamis panjang dalam diskusi kelompok fokus yang memujiku cantik dan rambut keritingku yang berwarna rose gold .

Penghargaan terhadap pilihanku ini tentu memberikan hasil yang konkret. Setiap pertemuan dan perbincangan antar manusia di perhelatan ini selalu dipicu rasa hormat dan cinta kasih. Bukan melawan oleh egoisme, penghakiman, dan kebencian.

Sehingga, tidak heran, daripada sibuk membahas bagaimana cara berjilbab yang benar, di sini semua orang lebih fokus berkomunikasi soal substansi. Fokus membicarakan hal yang lebih penting seperti pemenuhan hak-hak perempuan. Perempuan yang disebut Nyai Nur Rofiah sebagai makhluk yang memiliki intelektual dan spiritual yang memiliki derajat yang sama di mata Allah SWT.

Pengalaman dan Pengetahuan Perempuan Jadi Landasan Utama

Tak hanya berhasil membuatku menemukan rumah baru. KUPI bisa dibilang sangat berjasa dalam mengembalikan kembali rasa percaya pada agamaku sendiri yang mulai luntur. Buat seseorang yang tumbuh besar di lingkungan sekolah Islam dengan keluarga yang cukup lega, tentu satu-satunya sumber agama yang saya dapatkan adalah dari ulama laki-laki.

Semua ilmu fiqh yang saya pelajari semua bersumber pada ulama laki-laki. Bahkan untuk hal-hal mendasar yang hanya dialami perempuan seperti haid, nifas, dan melahirkan. Ulama perempuan tak pernah mendapat tempat sama sekali dalam kajian-kajian keagamaan di sekolah atau luar sekolah.

Bahkan ustadzah yang di dalamnya budeku sendiri—atau guru agama perempuanku—selalu menyampaikan dakwahnya lewat narasi-narasi laki-laki ulama-laki. Mereka selalu mengacu pada ilmu fiqh, tafsir Al-Quran, dan hadits dari ulama laki-laki.

Tidak mengherankan kemudian, ilmu agama yang saya pelajari pun hampir selalu bias gender atau tak punya keberpihakan pada perempuan. Misalnya saja, bagaimana sunat atau khitan perempuan masih sering dilakukan karenadianggap sebagai sunnah walau dalam prosesnya menimbulkan trauma pada perempuan atau membahayakan kesehatan reproduksi mereka.

Begitu pula dengan kasus pengganti yang mengakibatkan Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Perempuan jadi satu-satunya pihak yang harus berkorban. Mereka dinikahkan dengan pelaku dan harus melanjutkan kehamilannya karena aborsi secara umum dipandang sebagai tindakan yang dilarang agama.

Hal ini tentu buatku jadi bertanya-tanya tentang agamaku sendiri. Apakah benar agama Islam itu rahmatan lil alamin ? Apakah benar agama Islam memosisikan perempuan sebagai manusia mulia? Kalau memang iya, tapi kenapa semakin lama semakin akuminasi melihat agama ini justru mendiskriminasi perempuan. Kerap kali membahayakan nyawa dan kesehatan jiwa mereka.

Di sinilah kemudian KUPI hadir. Dalam perhelatannya, ada lima isu utama yang berusaha dibahasa. Tiga di antara lainnya sangat berhubungan dengan penangkapan dan peminggiran perempuan, yaitu perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP).

Isu yang begitu khas dialami oleh perempuan inilah yang dikuliti melalui tiga pendekatan KUPI, mubadalah (kesalingan), ma'ruf (kebaikan/kebajikan), dan pendekatan keadilan hakiki perempuan. Pendekatan ketiga tentu menghadirkan diskusi dan sikap keagamaan yang lebih adil gender. Pengalaman dan pengetahuan perempuan yang telah lama dikubur di dalam paradigma keilmuan Islam diangkat kembali dan justru dijadikan landasan utama.

Setiap perempuan didorong untuk lebih aktif bersuara mengemukakan pengalaman, opini, dan pengetahuan mereka yang tentu berbeda satu sama lain. Mereka dianggap setara dan layak didengarkan pendapat, pengalaman, serta pengetahuannya. Pada akhirnya hal ini berdampak pada peleburan batas status sosial. Tak lain karena semua orang yang hadir dianggap sebagai pejuang kemanusiaan yang meyakini agama hadir dalam nafas keadilan.

Hal ini terlihat sekali dalam berbagai halaqah yang saya hadiri. Begitu pun saat pra musyawarah dan musyawarah keagamaan. Dalam pra musyawarah dan musyawarah keagamaan perlindungan perempuan dari bahaya P2GP yang saya hadiri misalnya, para narasumber yang terdiri dari para Nyai dan komisioner Komnas Perempuan tidak mendominasi ruang diskusi. Sebaliknya, hampir 90 persen waktu digunakan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan peserta yang didominasi perempuan.  

Di sana saya mendengar langsung bagaimana para penyintas dari praktik P2GP dengan berani berbagi pengalaman mereka. Trauma dan kegundahan mereka menyeruak begitu kuat dalam musyawarah itu, memantik berbagai peserta yang terdiri dari akademisi dan perempuan di gerakan akar rumput juga tak sabar berbagi pengetahuan dan pendapat mereka.

Inilah yang kemudian jadi bekal berharga bagi para Nyai dan Kiai dalam merumuskan lima fatwa. Fatwa yang pada akhirnya bersifat membebaskan karena punya keberpihakan yang kuat pada perempuan dan tak meliyankan mereka lagi. Fatwa yang juga akhirnya juga dibarengi dengan rekomendasi aksi, bukan hanya sebatas kata-kata di atas kertas yang tak punya daya untuk menciptakan perubahan bagi perempuan.


Sumber: https://magdalene.co/story/refleksi-KUPI-II/