KUPI adalah singkatan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Sebagai kegiatan, Kongres ini dilaksanakan pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon. Kongres yang pertama kali di Indonesia ini hadir sebagai penegasan eksistensi ulama perempuan Indonesia dan perluasan peran dan kiprahnya di masyarakat. KUPI menjadi media sosial dan kultural bagi para ulama perempuan Indonesia untuk membangun pengetahuan, saling belajar dan berbagi pengalaman, sekaligus meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.

KUPI telah menjadi ruang perjumpaan antarulama perempuan dari beragam latar lembaga pendidikan dan organisasi, sekaligus ruang perjumpaan antara ulama perempuan dengan para aktivis pemberdayaan perempuan, korban ketidakadilan, pakar, praktisi, representasi lembaga negara, dan pejabat pemerintahan. Ruang perjumpaan itu meliputi fisik (sebagian besar peserta bertemu teman lama di KUPI), visi, pemikiran, jejak perjuangan, serta pengalaman para peserta yang beragam tetapi sangat terlihat jelas benang merahnya. Karena itu, setelah Kongres diselenggarakan, KUPI menjadi gerakan  yang menghimpun individu dan lembaga-lembaga yang memiliki perhatian pada relasi keadilan laki-laki dan perempuan, Islam yang moderat, dan perdamaian dunia.

Sifat dan Karakteristik KUPI

Sifat dan karakteristik KUPI adalah non-partisan, inklusif, partisipatoris, serta lintas organisasi, latar belakang, dan generasi. Dengan karakteristik ini KUPI telah menjadikan ruang perjumpaan yang terjadi, pada saat Kongres di Cirebon, benar-benar menjadi ruang bersama yang hasilnya kemudian juga menjadi milik bersama. Dalam keseluruhan proses dan rangkaian kegiatan  KUPI, dapat dinyatakan bahwa gerak langkah KUPI merupakan konvergensi dari gerakan intelektual, kultural, sosial, dan spiritual sekaligus. Serangkaian kegiatan pra-Kongres hingga acara-acara pada saat Kongres dan cara kerja penyelenggara menunjukkan adanya konvergensi tersebut. Kegiatan-kegiatan pra-Kongres meliputi lomba penulisan profil ulama perempuan, workshop pra-Kongres di tiga kawasan Indonesia (di Yogyakarta pada Oktober 2016;  Padang pada November 2016;  dan Makassar pada Februari 2017), serta halaqah pra-Kongres yang membahas materi-materi KUPI dan metodologi musyawarah keagamaan (2-6 April 2017 di Jakarta).

Pada hari pertama perhelatan KUPI, tanggal 25 April 2017, pagi hingga sore hari, bertempat di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, diselenggarakan Seminar Internasional Ulama Perempuan dengan menghadirkan narasumber dari 7 negara muslim dan peserta nasional dan internasional lebih dari 250 orang. Melebihi kapasitas tempat yang tersedia. Seluruh acara ini mempertemukan pengetahuan keagamaan ulama perempuan dengan fakta, data, dan pengalaman lapangan aktivis (pendamping, organizer, pengada layanan) serta pengalaman hidup korban ketidakadilan. Dalam semua kegiatan tersebut pertemuan dan dialektika teks dengan konteks dan realitas juga terjadi.

Di hari yang sama, 25 April 2017, dari pagi hingga sore hari, sebelum acara pembukaan malam hari, bertempat di Pesantren Kebon Jambu, diadakan khataman al-Qur’an, sosialisasi kesehatan reproduksi khususnya mengenai test papsmear dan IVA, dan silaturahim ulama perempuan. Sehari sebelum Kongres, 24 April, diadakan kegiatan khitanan masal untuk masyarakat sekitar Pesantren. Selama tiga hari Kongres berlangsung, 25-27 April, juga disediakan pemeriksaan test papsmear dan pelayanan kesehatan. Saat KUPI berlangung, dukungan besar keluarga besar Pesantren se-Babakan dan masyarakat sekitar sangat kentara. Di antaranya, pesantren-pesantren di Babakan menjadi tempat penginapan sebagian peserta dan pengamat. Serta doa-doa dan dzikir yang terus dipanjatkan oleh komunitas pesantren selama Kongres berlangsung. Semua ini menunjukkan bahwa KUPI adalah kegiatan yang menyelaraskan gerakan intelektual dengan kerja-kerja sosial, aktivitas kultural, dan spiritual yang mengakar dan membumi dengan nilai-nilai kearifan lokal. Konvergensi gerakan intelektual, sosial, kultural, dan spiritual juga tampak dalam rangkaian acara KUPI, mulai dari pembukaan, seminar nasional, diskusi paralel 9 tema, musyawarah keagamaan, launching buku, malam kultural, hingga penutupan.

KUPI merupakan perwujudan dari cita-cita bersama ketiga lembaga penyelenggara yang mimpi dan kerja-kerja perintisannya sudah dimulai sejak 15 tahun sebelumnya. KUPI menjadi titik kulminasi antara (bukan puncak) dari cita-cita individu dan komunitas untuk memperteguh keulamaan perempuan, baik eksistensi maupun perannya bagi Islam, Indonesia, dan kemanusiaan. Kesamaan cita-cita dan nilai-nilai yang diyakini lembaga-lembaga tersebut telah bermetamorfosis menjadi karakter kolektif yang terus menjiwai dan memayungi seluruh proses penyelenggaraan KUPI. Kejuangan, keikhlasan, kesukarelawanan, kesetaraan, kegotongroyongan, kebersamaan, dan keterbukaan begitu nyata adanya dalam  seluruh proses penyelenggaraan KUPI.

Semakin mendekati Kongres karakter kolektif itu semakin kuat dan lekat. Begitu juga kesalingan (mubadalah/resiprokal) yang menjadi metode penafsiran teks-teks agama yang dipilih KUPI, terimplementasikan secara konkret dalam kerja-kerja kepanitiaan; saling memberi jalan, saling mendukung, saling mengisi, saling memahami, saling menguatkan, saling mengapresiasi, saling menerima, saling mengendalikan diri, serta saling berlapang dada. Yang tidak pernah terjadi adalah saling sikut, saling telikung, saling potong, atau saling berebut panggung. Bahkan saling menyalahkan pun tidak pernah terjadi, meskipun kesalahan benar-benar terjadi. Karakter kolektif yang berangkat dari kesadaran dan kesabaran yang selalu dijaga bersama-sama oleh jiwa-jiwa yang dipersatukan Allah dalam kesamaan mimpi dan cita-cita inilah yang menjiwai KUPI.

KUPI memang baru pertama kali diselenggarakan. Meski demikian, KUPI tidak membuat sesuatu yang sama sekali “baru”. Sebab, perempuan ulama dan ulama perempuan di Indonesia adalah sebuah entitas yang nyata adanya, serta nyata dedikasi dan kontribusinya dalam sejarah Islam dan sejarah nasional Indonesia. Sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, zaman penjajahan, zaman pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, hingga zaman kemerdekaan sampai sekarang, peran ulama perempuan sebagaimana ulama laki-laki sangat nyata dan signifikan, namun sangat minim pengakuan dan tidak banyak ditulis dalam historiografi kita. KUPI hadir untuk mengkonfirmasi, mengafirmasi, mengapresiasi, dan mengkonsolidasikan khidmah-khidmah pengabdian ulama perempuan yang sudah ada dan nyata di Indonesia itu sebagai bagian tak terpisahkan dari kekuatan Islam dan bangsa Indonesia dalam membangun umat, bangsa, dan kemanusiaan.

Historisitas KUPI, urgensi peneguhan keulamaan perempuan dalam rangka peneguhan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan pada masa kini dan mendatang inilah tampaknya yang menjadi sebab penting mengapa KUPI menarik minat ulama perempuan dari beragam latar belakang untuk mendaftarkan diri menjadi peserta. Selain minat para pemerhati dan peneliti, baik dalam maupun luar negeri. Inisiatif aktif dan semangat keswadayaan para ulama perempuan yang telah memiliki kiprah nyata untuk menjadi peserta telah menjadikan KUPI memiliki legitimasi yang mengakar ke dalam. Legitimasi berikutnya adalah peran aktif dan kontribusi yang bermakna dari peserta KUPI dalam setiap forum perjumpaan pengetahuan dan pengalaman. Mulai dari seminar internasional, dialog nasional, diskusi paralel, hingga musyawarah keagamaan, para ulama perempuan bersama para aktivis, pakar, dan akademisi dari beragam disiplin ilmu membahas berbagai tema yang terkait dengan keulamaan perempuan serta problematika kontemporer yang dihadapi umat, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Peran aktif dan kontributif ini terjadi karena tema-tema yang dibahas memberikan perspektif baru tentang keulamaan perempuan, mulai dari eksistensi, peran, tantangan, strategi dakwah, hingga metodologi studi Islam yang penting dipergunakan dalam menyikapi beragam masalah di lapangan.

Curah pendapat, sharing pengalaman, dan perdebatan produktif yang bernas di antara sesama peserta terjadi karena seluruh tema yang diangkat berangkat dari pertanyaan dan kegelisahan kolektif yang dirasakan dan dihadapi oleh para ulama perempuan di lapangan. Secara khusus, isu eksistensi ulama perempuan dan tiga isu utama dalam Musyawarah Keagamaan, yakni pernikahan anak, kekerasan seksual, dan perusakan alam, telah dibahas sebelumnya dalam bahtsul masa’il pra-Kongres. Proses pemilihan dan perumusan masalah sejak awal dilakukan secara partisipatoris. Demikian juga pembahasannya di arena Kongres yang dilakukan secara partisipatoris menjadikan isu-isu yang diangkat KUPI memiliki legitimasi yang kuat.

Selanjutnya, perspektif keadilan hakiki dan mubadalah (kesalingan) yang diterima dan digunakan peserta KUPI sebagai perspektif dalam setiap pembahasan dan perumusan, terutama dalam diskusi paralel dan musyawarah keagamaan, juga menjadi legitimasi ilmiah tersendiri atas keberadaan ulama perempuan. Apa yang dihasilkan KUPI, berupa ikrar keulamaan perempuan, rekomendasi umum dan hasil musyawarah keagamaan, adalah wujud dari implementasi perspektif mubadalah dan keadilan hakiki ini.

Selain legitimasi internal dari proses dan partisipasi kontributif peserta, patut disyukuri penyelenggaraan KUPI dan hasilnya memperoleh legitimasi eksternal yang signifikan. Kesediaan para tokoh nasional untuk menjadi dewan penasihat KUPI, termasuk Imam Besar Masjid Istiqlal, serta pernyataan dukungan Wapres RI dan dari para pemimpin Ormas-ormas Islam terbesar (NU, Muhammadiyah, MUI), para tokoh agama dan masyarakat, serta dukungan dan kehadiran tokoh-tokoh, para pejabat negara tingkat nasional (Menteri Agama RI, dan Wakil Ketua DPD RI), tingkat provinsi hingga kabupaten menjadi penanda bahwa penyelenggaraan KUPI memperoleh penerimaan yang luas, tak terkecuali dari para ulama dan pemimpin laki-laki. Kehadiran para pengamat, ulama perempuan, dan pembicara dari 11 negara, juga apresiasi khusus dari Presiden Afghanistan kepada KUPI menjadi indikator bahwa KUPI diakui secara internasional. Legitimasi sosial KUPI yang lain tampak dari liputan dan pemberitaan media nasional, internasional dan lokal yang massif dan berkesinambungan.

Respons negara yang positif dan konkret dalam waktu cepat, khususnya mengenai usulan perubahan batas usia minimal menikah bagi perempuan menjadi 18 tahun dan pendirian Ma’had Aly untuk mengkader ulama perempuan, yang dimulai dari pernyataan Menteri Agama RI pada acara penutupan KUPI menunjukkan bahwa rekomendasi dan hasil musyawarah keagamaan KUPI berpengaruh kuat dan legitimated. Inisiatif tindak lanjut KUPI oleh peserta yang sambung-menyambung di berbagai wilayah sesaat setelah KUPI berakhir juga patut dinyatakan sebagai legitimasi nyata atas keberadaan KUPI, perspektif, metodologi studi Islam,  dan rumusan hasilnya. Semua ini patut disyukuri, dirawat, dan dikawal bersama, karena proses dan hasil KUPI adalah milik bersama ulama perempuan dan bangsa Indonesia.

Pada akhirnya, harus dinyatakan bahwa atas berkat rahmat dan pertolongan Allah SWT serta dedikasi tulus ikhlas dan kerjasama yang sinergis lahir dan batin dari seluruh panitia dan stakeholders, sehingga KUPI dapat terselenggara dengan baik sesuai dengan tujuannya. Dengan tanpa menutup mata dari berbagai kekurangan, tujuan dan output KUPI alhamdulillaah tercapai, yakni membangun pengetahuan bersama tentang keulamaan perempuan; memfasilitasi ruang perjumpaan para ulama perempuan Tanah Air dan dunia; ulama perempuan bersama praktisi pemberdayaan perempuan melakukan kajian kritis dan menemukan solusi atas berbagai masalah; serta mengukuhkan peran-peran taktis dan strategis ulama perempuan dalam menjalankan dakwah bil hal yang bertumpu pada konsep pemberdayaan perempuan dan penguatan hak-hak perempuan dalam Islam.

Peserta KUPI

KUPI sebagai Kongres di Cirebon telah diikuti oleh 519 peserta terdaftar yang seluruhnya dari Indonesia dan 131 pengamat dari Indonesia dan mancanegara. Dari Indonesia, hadir para ulama perempuan dan sahabat ulama perempuan dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Dari mancanegara hadir ulama perempuan dan aktivis sebagai pengamat dari 13 negara: Afghanistan, Bangladesh, Malaysia, Saudi Arabia, Pakistan, Nigeria, Kenya, Singapura, Thailand, Filipina, Australia, Amerika, dan Belanda. Jumlah 649 (peserta dan pengamat) ini tidak meliputi tamu dan narasumber yang hadir pada forum-forum terbuka, seperti seminar internasiional, seminar nasional, diskusi paralel, pembukaan dan penutupuan acara. Jika menghitung kursi yang tersedia, ada lebih dari 1500 orang yang hadir, terutama pada saat acara pembukaan dan begitupun acara penutupan.

Para peserta KUPI datang dari berbagai daerah di Indonesia, dari ujung Timur dan Barat Indonesia. Tercatat 19 orang peserta datang dari Banten, 1 orang dari Bengkulu, 49 orang dari Yogyakarta, 106 orang dari  DKI, 5 orang dari Jambi,  113 orang dari Jawa Barat, 57 orang dari Jawa Tengah, 75 orang dari Jawa Timur, 4 orang dari Kalimantan Barat, 8 orang dari Kalimantan Selatan, 1 orang dari Kalimantan Tenggara, 1 orang dari Kalimantan Timur, 2 orang dari Kepulauan Riau, 16 orang dari Lampung, 15 orang dar Nanggroe Aceh Darussalam, 3 orang dari Nusa Tenggara Barat, 1 orang Nusa Tenggara Timur, 5 orang dari Papua, 2 orang dari Papua Barat, 2 orang dari Riau, 10 orang dari Sulawesi Selatan, 3 orang dari Sulawesi Tenggara, 3 orang dari Sulawesti Utara, 13 orang dari Sumatra Barat, 1 orang dari Sumatra Selatan, dan 5 orang dari Sumatra Utara.

Dari jumlah total peserta KUPI, sekitar 90 % adalah mereka yang datang dari atau bekerja di pusat-pusat Islam. Seperti pesantren, perguruan tinggi Islam, majlis ta’lim, lembaga dakwah dan pendidikan Islam, dan ormas-ormas keislaman. Baik sebagai pengasuh, pimpinan, ustadzah, dosen, peneliti, pendidik, muballighah, daiyah, dan penulis. Sebagian besar dari mereka adalah sekaligus juga bekerja sebagai pendamping masyarakat, tepatnya sebagai aktivis pemberdayaan perempuan di komunitas mereka masing-masing. Peserta yang 10 % adalah para aktivis, akademisi, dan jurnalis yang tidak datang dari latar belakang sosio-pendidikan keislaman. Selama ini mereka semua, satu sama lain, sekalipun dari latar belakang dan kelompok yang berbeda-beda, telah bekerja bersama, langsung maupun tidak langsung, dalam mewujudkan keadilan relasi laki-laki dan perempuan.

Penyelengara KUPI

KUPI sebagai kegiatan Kongres yang pertama adalah digagas dan diselenggarakan oleh 3 lembaga yang sevisi dan telah lama bermitra dan bersinergi, yakni Rahima, Alimat, dan Fahmina. Rahima, pusat pendidikan dan informasi tentang Islam dan hak-hak reproduksi perempuan, adalah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam perspektif Islam. Rahima yang resmi didirikan di Jakarta pada 5 Agustus 2000 ini hadir untuk merespons kebutuhan informasi mengenai gender dan Islam. Pada awalnya, Rahima berfokus pada pendidikan kritis dan penyebaran informasi tentang hak-hak perempuan di lingkungan pesantren. Kemudian karena tuntutan kebutuhan masyarakat, Rahima memperluas jangkauannya pada berbagai kelompok di luar pesantren, seperti madrasah, guru di sekolah agama, guru agama Islam di sekolah umum, majlis taklim, organisasi perempuan muslim, organisasi kemahasiswaan, dan LSM. Salah satu program penting Rahima adalah Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) yang sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Alimat adalah gerakan pemikiran dan aksi masyarakat Indonesia yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga dengan perspektif Islam. Alimat didirikan pada 12 Mei 2009 di Jakarta oleh sejumlah aktivis, baik sebagai individu maupun berasal dari organisasi yang memiliki kepedulian dan keprihatinan terhadap perempuan dalam tatanan keluarga, seperti Komnas Perempuan, Fatayat NU, Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah,  Lakpesdam NU, Pekka, KPI, PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, PSG STAIN Pekalongan, dan Universitas Pancasila, Rahima, Fahmina, dan GPPBM. Dalam ikhtiar mewujudkan visi dan tujuannya, Alimat berjejaring dengan gerakan perempuan muslim dunia, yakni Musawah yang di dalamnya bergabung para aktivis dari sekitar 40 negara. Bersama Pekka, sudah sekitar lima tahun, Alimat melakukan berbagai pertemuan, lokakarya dan pelatihan dengan para ulama komunitas se-Indonesia mengenai hukum keluarga yang berkeadilan.

Sementara Fahmina adalah institusi dan gerakan yang melakukan ikhtiar-ikhtiar transformatif untuk mengubah kehidupan umat manusia secara berkelanjutan ke arah relasi sosial yang berkeadilan, bermartabat, humanis, demokratis, dan pluralis, berbasis tradisi kritis pesantren dan kearifan lokal, baik pada tataran struktural maupun kultural. Gerakan ini berawal dari pergumulan intelektual anak-anak muda pesantren karena kegundahan telah bergesernya peran sosial profetis pesantren. Sejak didirikan pada November 1999 di Arjawinangun Cirebon dan kemudian berkiprah secara masif pada 2001, Fahmina mengusung kajian kontekstualisasi kitab kuning, kajian keislaman kontemporer, dan pendampingan masyarakat. Sambutan luar biasa dari generasi muda dan kyai-kyai sepuh setempat mengantarkan Fahmina pada tahun 2003 resmi menjadi Yayasan Fahmina yang membawahi Fahmina-institute, dan pada tahun 2007 mendirikan pendidikan tinggi Islam bernama Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Salah satu program penting Fahmina adalah Dawrah (pelatihan) Islam dan Gender yang menghadirkan para aktivis, ulama, dan para pemangku kebijakan. Program ini telah dilakukan sejak tahun 2003 di berbagai daerah Indonesia, bahkan di mancanegara, terutama Filipina, Malaysia, dan Thailand.

Ketiga lembaga penggagas dan penyelenggara ini kemudian memilih Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, yang dipimpin seorang ulama perempuan, Nyai Hj. Masriyah Amva sebagai tempat penyelenggaraan KUPI. Pesantren Kebon Jambu adalah pilihan yang tepat, karena menjadi simbol keulamaan perempuan, telah lama menjadi mitra lembaga-lembaga penyelenggara, dan siap mengerahkan segenap sumberdaya yang dimilikinya untuk kesuksesan KUPI. Lebih dari itu, para ulama dan santri pesantren-pesantren se-Babakan Ciwaringin, berbagai individu dan lembaga, di level daerah maupun nasional, baik swasta maupun pemerintah, termasuk dari TNI, juga mendukung dan berkontribusi aktif dalam penyelenggaraan KUPI ini.

Dalam proses dan pelaksanaan, beberapa lembaga terlibat sebagai pendukung acara-acara spesifik, seperti Kementerian Agama RI, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, AMAN Indonesia, Pekka, Migrant Care, STID al-Biruni, Forum Pengada Layanan, Komnas Perempuan, Rumah Kitab, dan LBH APIK. Lebih khusus, AMAN Indonesia telah berkontribusi menghadirkan kolega dari mancanegara. Beberapa individu juga ikut berjasa memberikan sumbangan secara khusus, seperti Bapak Wakil Presiden RI, H. Jusuf Kalla, Bapak Brigjend TNI Dudung Abdurrahman, Ibu GKR Hemas, Ibu Netty Heryawan, dan Ibu Nihayatul Wafiroh. Lembaga dan instansi tertentu, seperti BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, Pusat Kesehatan Umum (PKU) Muhammadiyah Cirebon, dan Puskesmas Palimanan Cirebon juga telah ambil bagian penting. Beberapa lembaga donor negara-negara mitra Indonesia juga berkontribusi, baik melalui lembaga-lembaga tersebut di atas maupun langsung kepada narasumber dan peserta. Dukungan khusus secara sukarela juga diberikan tim kreatif Jaringan Gusdurian dan tim media dari Setara Institute yang bekerja sangat profesional.

Kegiatan-kegiatan KUPI

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bukan hanya kegiatan pada tanggal 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu Ciwaringain Cirebon semata. Akan tetapi, ia merupakan rangkaian dari berbagai kegiatan yang saling melengkapi satu sama lain yang dilakukan sejak pertengahan 2016. Kesuksesan tiga hari penyelenggaran Kongres di Pesantren ini tidak terlepas dari berbagai kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya. Di antaranya adalah kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, lomba menulis profil ulama perempuan, penyerapan suara-suara komunitas melalui workshop di tiga wilayah Indonesia, halaqah metodologi keulamaan perempuan, kegiatan bakti sosial dan kultural, pentas seni dan budaya, termasuk silaturrahim intensif dengan berbagai tokoh pesantren dan organisasi-organisasi Islam arus utama, baik di tingkat nasional maupun lokal. Kegiatan-kegiatan yang terkait Kongres langsung bisa dikelompokkan ke dalam beberapa klasifikasi: kegiatan do’a dan silaturrahim; kegiatan-kegiatan pembuka; kegiatan dialog tematik dan musyawarah keagamaan; serta kegiatan sosial, seni dan kultural.

Hasil-hasil Kongres

Hasil Kongres adalah capaian berupa pernyataan sikap dasar keulamaan, pandangan keagamaan, dan rekomendasi-rekomendasi resmi KUPI menyangkut isu-isu yang dibahas selama Kongres berlangsung. Hasil ini lahir dari proses panjang seluruh rangkaian kegiatan KUPI yang bersifat kolektif dan partisipatoris sejak kegiatan pra-Kongres diadakan sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Isu-isu yang dibahas, disikapi, dan diputuskan dalam Kongres dikembangkan dari pengalaman nyata yang dihadapi perempuan sehari-hari. Isu-isu ini awalnya diajukan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan berbagai bentuk kezaliman yang berkelanjutan yang berdampak pada perempuan dan kehidupan sosial secara umum. Kezaliman yang bermuara dari peminggiran eksistensi perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki, dan penafian kapasitasnya untuk mengemban misi keislaman dan mengambil tanggung-jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara.

Pertanyaan-pertanyaan ini, dalam analisis KUPI, merupakan kegelisahan kolektif yang dirasakan berbagai elemen masyarakat dan sudah didiskusikan secara partisipatoris lebih dari lima belas tahun yang lalu. Secara khusus, isu eksistensi ulama perempuan dan tiga tema musyawarah keagamaan (kekerasan seksual, pernikahan anak, dan perusakan alam) telah dibahas dan didiskusikan dalam workshop dan halaqah pra-Kongres. Yakni, tiga kali workshop pra-Kongres di Yogyakarta, Padang, Makasar, dan satu kali Halaqah Metodologi Musyawarah Keagamaan di Jakarta. Pada saat Kongres, ketiga isu ini dibahas ulang dalam Diskusi Paralel pada hari kedua sebelum dibawa untuk diputuskan dalam Musyawarah Keagamaan pada hari ketiga, 27 April 2017.

Oleh karena itu, hasil Kongres ini, melalui prosesnya yang kolektif dan partisipatoris, diharapkan dapat membangun landasan teologis yang kokoh untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi kiprah keulamaan perempuan yang integral dengan kerja kebangsaan dan kemanusiaan. Lebih khusus, ia diharapkan dapat memberi jawaban keagamaan atas keresahan dan pertanyaan masyarakat tentang berbagai persoalan, terutama yang berdampak buruk pada perempuan, kaum dlu’afaa dan mustadl’afiin; menjadi rujukan keagamaaan bagi semua pihak dalam upaya penguatan dan pemenuhan hak korban atas keadilan dan pemulihan; memberi inspirasi pengembangan tradisi pemikiran keislaman yang mengintegrasikan perspektif kesetaraan,  keadilan, dan kesalingan dalam relasi laki-laki dan perempuan; serta menjadi rujukan dalam upaya pembaruan hukum dan perubahan kebijakan yang menjamin kemanusiaan yang adil dan beradab serta kelestarian alam semesta.

Hasil resmi KUPI terdiri dari tiga hal: Ikrar Kebon Jambu tentang keulamaan perempuan, struktur hasil musyawarah keagamaan, dan rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia baik yang umum maupun yang tematik hasil dari Diskusi Paralel KUPI. Bagi KUPI secara khusus, ketiga hasil KUPI ini akan menjadi rujukan awal dalam menyusun program-program dan kegiatan-kegiatannya ke depan.

KUPI sebagai Gerakan Paska Kongres

Hasil-hasil Kongres tersebut di atas telah dimandatkan kepada para peserta KUPI untuk disosialisasikan dan didukung untuk diimplementasikan oleh individu masyarakat luas, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga pemerintahan terkait. Dengan demikian, KUPI kemudian menjadi gerakan Islam rahmatan lil ‘alamin,  yang berdimensi spiritual, intelektual, kultural dan struktural, untuk meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan, serta kelestarian lingkungan dengan menitik-beratkan pada perspektif keadilan gender. Dimensi spiritual artinya gerakan ini berangkat dari nilai moral ketuhanan untuk kemanusiaan. Dimensi intelektual merujuk pada pentingnya kerja-kerja pengetahuan sebagai basis gerakan, dan dimenasi kultural pada pentingnya akar dan media budaya dalam setiap langkah gerakan. Sementara dimensi struktural artinya, gerakan KUPI memberi mandat kepada para peserta untuk melakukan kerja-kerja transformatif yang nyata bagi keadilan sosial, bukan sekedar wacana, termasuk dengan perubahan kebijakan, untuk meneguhkan nilai-nilai KUPI tersebut.

Karena itu, KUPI tidak bisa berhenti hanya sekedar kegiatan Kongres belaka. Untuk menerjemahkan hasil-hasilnya, diperlukan sebuah gerakan yang berisi individu dan lembaga-lembaga yang meyakini visi dan misi KUPI yang bekerja secara lebih kordinatif untuk memastikan hasil-hasil tersebut nyata diimplementasikan di lapangan. Gerakan ini menjadi bagian integral dari substansi KUPI sebagai ruang bersama, belajar bersama, dan bergerak bersama meneguhkan keadilan relasi laki-laki dan perempuan dalam perspektif Islam.

Jadi, paska kongres, substansi KUPI berubah wujud menjadi sebuah gerakan bersama untuk meneguhkan eksistensi dan peran keulamaan perempuan Indonesia. Siapapun yang mengakui keulamaan perempuan, menerima dan meyakini konsep keadilan hakiki bagi  perempuan, memakai perspektif kesalingan dalam relasi gender, menganut metodologi musyawarah keagaman yang dipakai selama Kongres, dan mengamalkan hasil-hasil yang diputuskan Kongres adalah bagian dari gerakan keulamaan perempuan paska KUPI. Karena sifatnya sebagai gerakan, maka ia harus berbasis sel-sel jaringan, tidak hirarkis, tidak sentralistik, dikelola dengan kepemimpinan yang kolektif, satu sama lain antar individu dan jaringan adalah setara, berakar pada realitas di lapangan yang dibungkus pengetahuan yang bernas, juga berbasis sensitifitas pada  nurani dan moral.

Istilah "keulamaan perempuan" adalah merujuk pada perspektif dan kerja-kerja "ulama perempuan". Definisi "ulama perempuan" sendiri telah dibahas di Kongres, dengan segenap paradigma, perspektif, metodologi pengetahuan, kerja dan kiprah sosial yang masuk di dalamnya. Singkatnya, "ulama perempuan" adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki ilmu pengetahuan keagamaan dan sosial, yang meyakini dan bekerja untuk keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Istilah ini berbeda dari "perempuan ulama" yang lebih tertuju pada jenis kelamin perempuan yang memiliki illmu pengetahuan semata.


Empat karakter dari seseorang atau lembaga untuk bisa disebut sebagai bagian dari gerakan keulamaan perempuan adalah sebagai berikut:

  1. Meyakini dan mengamalkan keislaman yang meneguhkan sendi-sendi kebangsaan, kelestarian lingkungan, dan perdamaian dunia;
  2. Mengakui eksistensi, peran dan kiprah ulama perempuan sebagai bagian dari keniscayaan keimanan dan keharusan sejarah peradaban kemanusiaan, serta panggilan kebangsaan;
  3. Meyakini dan menggunakan konsep keadilan hakiki bagi perempuan dan perspektif Mubadalah (kesalingan) dalam memahami teks-teks rujukan Islam dan realitas sosial;
  4. Merujuk pada al-Qur'an, Hadits, Aqwal Ulama, Konstitusi, dan pengalaman riil perempuan dalam merumuskan sikap dan pandangan keagamaan mengenai isu-isu kehidupan sosial, terutama yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan.

Dengan demikian, KUPI saat ini adalah gerakan, bukan lembaga formal yang memiliki struktur permanen. Di dalam Kongres sendiri tidak ada pemilihan struktur. Dan setelah Kongres-pun, tidak ada individu dan lembaga yang menjadi representasi formal dari KUPI. Setiap orang dan lembaga yang memiliki semangat, perspektif, dan pemikiran yang sama dengan KUPI, dipersilahkan dan bahkan diharapkan untuk melakukan kerja-kerja transformasi sosial seperti yang direkomendasikan Kongres. Wujud formal KUPI, setelah Kongres dilaksanakan, adalah hasil-hasil yang berupa ikrar, pemikiran, pandangan, perspektif, metodologi, dan rekomendasi-rekomendasi.

Oleh karena itu, siapapun dan lembaga manapun, wabil khusus, para penyelenggara, pendukung, peserta, narasumber,  yang hadir di Kongres, diharapkan menjadi pelaku gerakan keulamaan perempuan paska Kongres Cirebon. Juga, terbuka kepada semua pihak, individu dan lembaga, yang tidak terlibat dan tidak hadir dalam penyelenggaran Kongres, selama meyakini empat pilar tersebut untuk menjadi bagian dari "gerakan keulamaan perempuan" ini. Lebih dari itu, mereka semua bisa dan sah untuk menjadi fasilitator, pelaksana, dan juru bicara dari gerakan ini. Atau tepatnya, gerakan keulamaan perempuan Indonesia yang memperjuangkan Islam moderat yang meneguhkan keadilan relasi laki-laki dan perempuan.

Hanya untuk satu hal, penyelenggaraan Kongres berikutnya, harus menyertakan tiga lembaga penyelenggara pertama (Alimat, Fahmina, dan Rahima) untuk memastikan visi-misi KUPI berjalan sebagaimana pada awalnya. Disamping karena faktor kesejerahan, penyertaan tiga lembaga ini juga untuk menjaga kontinuitas nilai-nilai yang diyakini KUPI, dari satu kongres ke kongres berikutnya. Sebagaimana pada Kongres pertama, kerjasama berbagai lembaga untuk penyelenggaraan adalah diharapkan dan dianjurkan.

Peran-peran masing-masing, baik individu maupuan lembaga dalam gerakan ini, bisa dikelompokkan dalam kerangka strategi pembagian kerja segita berikut ini:

  1. Lini Kerja Supporting System: adalah kerja-kerja yang dilakukan individu-individu dan lembaga-lembaga yang memproduksi pengetahuan bagi basis gerakan keulamaan perempuan, serta yang menyediakan layanan manajemen, sumberdaya,  tehnologi, dan media untuk memfasilitasi pelaksanaan gerakan keulamaan perempuan.
  2. Lini Kerja Garis Belakang: adalah kerja-kerja yang dilakukan individu-individu dan lembaga-lembaga yang bergerak pada bidang pendidikan dan pengkaderan keulamaan perempuan, baik yang formal seperti pendidikan tinggi, ma'had aly, maupun yang informal seperti kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan.
  3. Lini Kerja Garis Depan: adalah kerja-kerja yang dilakukan individu-individu dan lembaga-lembaga di ranah publik dan nyata, seperti kampanye publik, lobi-lobi lembaga dan organisasi untuk kebijakan yang se-visi dengan gerakan, advokasi kebijakan publik, seminar, pengajian umum, talkshow, dan penyebaran media sosial.

Untuk itu, diperlukan penelusuran kembali dan penilaian (asessment) lebih lanjut mengenai kapasitas masing-masing individu atau lembaga dalam jaringan gerakan keulamaan perempuan, agar pembagian peran masing-masing dalam segita strategi di atas lebih sesuai dan efektif. Seseorang atau suatu lembaga bisa saja mengambil di satu lini saja, atau dua, atau bahkan bisa memiliki kapasitas dan mampu untuk bisa menjalankan tiga lini sekaligus.

Seseorang yang bekerja mendidik kader-kader ulama perempuan, berarti sedang berdiri di garis belakang, tetapi ketika dia maju melakukan kampanye publik, ceramah keagamaan masif, dan bahkan pergi ke DPR, Pemerintah, atau Mahkamah Konstitusi untuk mendukung kebijakan tertentu, maka dia sedang berada di garis depan. Ketika dia juga menghasilkan karya-karya pegetahuan, maka dia juga bekerja pada lini supporting system. Tidak semua orang bisa bekerja di tiga lini ini. Dan tidak harus. Karena banyak orang juga hanya memiliki kapasitas di salah satu lini saja. Tetapi, masing-masing individu dan lembaga seyogyanya ikut berkontribusi, minimal mengambil peran pada salah satu lini yang menjadi kekuatan masing-masing. Lalu, yang penting adalah kerjasama, sinergi, dan berbagi peran yang nyata dan saling terhubung satu sama lain. Yang menghubungkan dan mensinergikan ini adalah peran supporting system, yang bisa dibentuk kelembagaan khusus untuk itu.


Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir

Editor: Faqihuddin Abdul Kodir

Reviewer: Faqihuddin Abdul Kodir