Rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Dari seluruh rangkaian kegiatan yang diadakan, baik sebelum maupun saat pelaksanaan Kongres, dengan memperhatikan suara-suara yang disampaikan, ide dan gagasan yang dilontarkan, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban-jawaban yang disimpulkan, baik dari peserta, pengamat, maupun narasumber, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengeluarkan catatan-catatan sebagai rekomendasi bagi para pihak untuk bisa mengimplementasikan, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Rekomendasi terdiri dari dua: umum dan tematik. Rekomendasi umum adalah catatan umum atas seluruh isu keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Rekomendasi ini telah dibacakan di panggung Penutupan Kongres, 27 April 2017, oleh Ibu Nyai Hj. Fatmawati Hilal dari Makasar.

Rekomendasi Tematik adalah catatan-catatan akhir yang dihasilkan dari Diskusi Paralel sembilan tema Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang ditujukan pada individu, kelompok masyarakat tertentu, institusi tertentu, atau pemerintah. Sembilan isu yang dimaksud adalah pendidikan keulamaan perempuan, respon pesantren terhadap keulamaan perempuan, kekerasan seksual, pernikahan usia anak, buruh migran, radikalisme agama, pembangunan desa, krisis dan konflik kemanusiaan, dan perusakan alam. Diskusi ini diadakan pada hari kedua Kongres, Rabu 26 April 2017, jam 13.30-16.30, di kelas-kelas Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Babakan Ciwaringin Cirebon. Para peserta dan pengamat Kongres dibagi sesuai dengan minat masing-masing untuk mengikuti salah satu dari sembilan tema yang ada.

Rekomendasi Umum

Untuk memperteguh nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan, Kongres  Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakn pada 25-27 April 2017 M (28-30 Rajab 1438 H) di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, merekemondasikan kepada para pihak untuk melakukan hal-hal beriktu ini:

Ulama Perempuan

  1. Memegang dan menyebarluaskan pemahaman keislaman yang berwawasan kebangsaan dan kemanusiaan, yang menjiwai Islam Nusantara yang wasatiyah dan berkemajuan, serta menolak segala pemahaman yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  2. Mengitegrasikan keyakinan dan praktik keagamaan dengan perspektif keadilan hakiki dalam relasi laki-laki dan perempuan, yang memperhatikan pengalaman hidup perempuan dan kelompok rentan lainnya.
  3. Membuka ruang-ruang akses yang dapat meneguhkan eksistensi, peran, dan kipran keulamaan perempuan, serta menghidupkan rumah ibadah sebagai pusat pemberdayaan, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi perempuan, di samping tempat ritual sehari-hari.
  4. Merespon masalah sosial, khususnya persoalan perempuan, anak dan kelompok rentan, dengan memberikan saran dan pertimbangan keagamaan berperspektif korban, yang meneguhkan prinsip keadilan, kebenaran dan pemulihan.
  5. Mendorong lahirnya pendampingan dan penanganan korban berbasis pesantren atau komunitas keagamaan yang bersinergi dengan institusi dan lembaga terkait untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dan akses keadilan bagi korban.

Organisasi Kemasyarakatan

  1. Mengintegrasikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan dalam seluruh upaya pengkaderan
  2. Memastikan pemimpin maupun kader organisasi menyebarluaskan pesan yang bernuansa persatuan, persaudaraan, perdamaian, kesetaraan dan antidiskriminasi.
  3. Secara khusus, Alimat, Rahima dan Fahmina bersama dengan mitra-mitranya perlu merawat, memperluas dan memperkokoh keulamaan perempuan agar senantiasa relevan bagi peneguhan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.

Masyarakat

  1. Mengamalkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan dalam lingkup keluarga maupun masyarakat; serta mewaspadai segala paham keagamaan dan organisasi sosial yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  2. Mengambil langkah nyata untuk mencegah perlakuan tidak adil, termasuk segala bentuk kekerasan dan diskriminasi di lingkungannya.
  3. Berpartisipasi dalam upaya pendampingan korban kekerasan maupun diskriminasi serta upaya pemulihannya.

Aparat Penegak Hukum

  1. Menindak tegas individu, organisasi, maupun korporasi yang melakukan kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi berbasis ras, gender, agama, dan golongan.
  2. Menjamin akses keadilan, perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan berbasis gender, termasuk korban kekerasan seksual, pekerja migran perempuan, korban konflik agraria maupun korban lainnya.
  3. Memastikan seluruh unit kepolisian di tingkat pusat dan daerah serta desa memiliki UPPA (Unit Perlindungan Perempuan dan Anak) disertai sumber daya manusia dan anggaran yang memadai.

Parlemen

  1. Menghadirkan regulasi di level pusat dan daerah serta desa terkait dengan perlindungan korban kekerasan berbasis gender yang mencakup korban kekerasan seksual, pekerja migran/luar negeri dan kebijakan perlindungan bagi kelompok rentan lainnya.
  2. Mendorong hadirnya anggaran berbasis gender untuk pemenuhan hak korban yang mencakup perlindungan, penanganan dan pemulihan korban baik di tingkat pusat maupun daerah serta desa.
  3. Melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah serta desa, mencakup anggaran maupun pelaksanaan kebijakan.
  4. Melakukan pengawasan dan berkoordinasi dengan pemerintah untuk memastikan organisasi kemasyarakatan menjunjung tinggi nilai kebangsaan dan kemanusiaan.

Pemerintah

  1. Mengintegrasikan seluruh regulasi dan kebijakan dengan Hak Asasi Manusia yang mencakup Hak Asasi Perempuan, Hak Asasi Anak, Hak Disabilitas, Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Hak Sipil dan Politik, serta hak konstitusional lainnya.
  2. Memastikan regulasi yang dikeluarkan dapat memberi perlindungan bagi pemenuhan hak korban, yang mencakup hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
  3. Menyediakan anggaran untuk perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan berbasis gender yang mencakup korban kekerasan seksual, pekerja migran, korban di wilayah konflik agraria dan kelompok rentan lainnya.
  4. Memastikan perlindungan keseimbangan ekosistem dan sumber daya alam untuk menjamin ketersediaan akses bagi masyarakat.
  5. Memastikan hadirnya upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok rentan manapun di lembaga-lembaga pendidikan, baik formal, nonformal maupun informal. 
  6. Melakukan pengawasan dan berkoordinasi dengan pemerintah untuk memastikan organisasi kemasyarakatan menjunjung tinggi nilai kebangsaan dan kemanusiaan
  7. Secara khusus, merekomendasikan Kementerian Agama untuk membangun Ma’had Ali untuk mencetak kader ulama perempuan yang berwawasan kebangsaan dan kemanusiaan.     

Rekomendasi Tematik

Berdasarkan pendalaman sembilan tema Diskusi Paralel dari berbagai aspek, baik pengetahuan, penafsiran teks dan konteks, data-data lapangan, kerentanan perempuan sebagai korban, maupun langkah-langkah preventif, penanggulangan dan pemulihan korban, bersama ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) melayangkan rekomendasi kepada para pihak, terutama ulama dan institusi keagamaan,  sesuai dengan tema Diskusi berikut ini:

Tema: Pendidikan keulamaan perempuan di Indonesia

  1. Mendorong semua elemen masyarakat, insitusi sosial, dan pemerintah untuk ikut serta mensosialisasikan dan mengakui eksistensi ulama perempuan, serta mengapreasi peran dan kiprah mereka di masyarakat.
  2. Meminta institusi penyelenggara pendidikan keislaman, institusi keulamaan, dan pemerintah untuk membuka ruang dan kesempatan seluas mungkin agar perempuan dapat mencapai pengetahuan dan peran keulamaan di berbagai tingkat.
  3. Meminta secara khusus kepada Kementrian Agama Republik Indonesia agar membuka Ma’had Aly, khusus untuk mencetak ulama perempuan, melalui pendidikan pesantren yang kuat dan kredibel.

Tema: Respon Pesantren terhadap Keulamaan Perempuan (Kasus Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon)

Merekomendasikan kepada para pihak yang memiliki perhatian terhadap pesantren dan isu keadilan relasi laki-laki  dan perempuan, baik individu, institusi sosial, maupun pemerintah, agar melakukan hal-hal berikut ini:

  1. Memetakan pesantren-pesantren yang terbuka dan siap mengembangkan perspektif keadilan relasi laki-laki dan perempuan.
  2. Mengidentifikasi, menuliskan, dan mempublikasikan profil nyai/ulama perempuan yang berbasis pesantren.
  3. Menyusun geneologi keilmuan pesantren (dan kurikulum pendidikan pesantren) yang ramah terhadap perspektif keadilan perempuan dan laki-laki.

Tema: Penghentian Kekerasan Seksual

  1. Mengingatkan kepada semua elemen masyarakat agar waspada terhadap segala bentuk kekerasan seksual yang biasanya menimpa pada kelompok rentan; seperti kelas sosial yang dianggap rendah, perempuan, dan anak.
  2. Menguatkan peran ulama, baik laki-laki maupuan perempuan, agar mampu melakukan pencegahan kekerasan seksual termasuk dengan mengintegrasikan materi kesehatan reproduksi dan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan keagamaan, materi khutbah Jum’at, materi khutbah nikah, dan momen-momen keagamaan lainnya.
  3. Mendorong aparat penegak hukum agar benar-benar memberikan akses keadilan bagi korban kekersan seksual, terutama perempuan dan anak.
  4. Menuntut Parlemen dan Pemerintah agar sama-sama mengeluarkan regulasi yang dapat melindungi masyarakat, terutama korban, secara komprehensif.

Tema: Perlindungan Anak dari Pernikahan

  1. Mengingatkan dan menegaskan kepada semua elemen masyarakat bahwa pernikahan anak sama sekali tidak membawa manfaat bagi anak. Sebaliknya, ia menimbulkan madarrat secara mental, sosial, psikis, dan fisik.
  2. Menuntut Pemerintah untuk mengevaluasi semua  kebijakan yang menumbuh-suburkan pernikahan anak, seperti pariwisata, pemiskinan desa, lemahnya implementasi wajib belajar, dan yang lain.
  3. Mendorong para orang tua (terutama ayah, kakek, dan paman dari perempuan) untuk tidak menggunakan konsep wali mujbir sebagai basis pemaksaan anak perempuan untuk menikah. Karena konsep ini sejatinya untuk mendatangkan kemaslahatan bagi anak, bukan untuk menjerumuskan mereka pada kerusakan mental dan sosial.

Tema: Perlindungan Buruh Migran

Merekomendasikan kepada semua institusi sosial keagamaan, terutama ulama perempuan dan pesantren, untuk melindungi buruh migran, di antaranya dengan melakukan hal-hal berikut ini:

  1. Melakukan kajian mendalam untuk memahami problem struktural yang dialami buruh migran perempuan.
  2. Mengeluarkan pandangan-pandangan keagamaan yang memberikan perlindungan terhadap hak kerja, hak migrasi, hak ekonomi, hak sosial, dan hak rasa aman dari segala bentuk kekersan yang dimiliki buruh migran.
  3. Mencegah tindak kejahatan perdagangan manusia dan ikut melakukan pemulihan psikologis dan sosial bagi perempuan korban perdagangan manusia.
  4. Mengupayakan agar pesantren, atau institusi sosial keagamaan, dapat mengembangkan model pengasuhan aternatif untuk anak-anak buruh migran
  5. Ikut mendorong pemerintah agar bertanggung-jawab dalam memberikan perlindungan bagai buruh migran, baik ketika masih di dalam negeri, di luar negeri, maupun ketika pulang kembali ke dalam negeri.
  6. Mendorong pemerintah agar bertanggung-jawab memberikan pengakuan dan pemulihan anak-anak yatim dari perempuan korban perkosaan di luar negeri.

Tema: Pemberdayaan Perempuan untuk Pembangunan Desa yang Berkeadilan

Merekomendasikan kepada semua institusi sosial keagamaan, terutama ulama perempuan, untuk ikut aktif dan bersinergi dengan berbagai pihak dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan desa yang berkeadilan, di antaranya dengan melakukan hal-hal berikut ini:

  1. Menegaskan dan mensosialisasikan kepada semua elemen masyarakat, bahwa kerja-kerja keulamaan tidak hanya urusan ibadah ritual dan ceramah keagamaan, tetapi meliputi segala upaya pemenuhuan kebutuhan dasar perempuan, seperti akses terhadap sumber daya dan melepaskan mereka segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan pemiskinan.
  2. Mengeluarkan pandangan-pandangan keagamaan yang menguatkan kerja-kerja pembangunan desa yang berkeadilan, sehingga mampu memberi motivasi psikologis dan spiritual bagi inividu dan kelompok yang melakukan kerja-kerja pemberdayaan perempuan.
  3. Memasukkan kerja-kerja penguatan peran perempuan dalam pembangunan desa sebagai dakwah bil hal bagi ulama, dan kerja-kerja pengorganisasian perempuan sebagai dakwah bil-lisan bagi mereka.
  4. Menghidupkan rumah ibadah tidak hanya sebagai tempat melakukan ibadah ritual tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta berbagi pengalaman pemberdayaan dan penguatan.

Tema: Peran Perempuan dalam Menghadapi Radikalisme Agama

Pencegahan:

  1. Ulama Perempuan diharapkan memperbanyak produksi dan menyebarkan wacana kunci yang terkait dengan radikalisme dan hubungnanya dengan opresi hak-hak perempuan dalam Islam, misalnya arti kata jihad, jilbab, poligami, pemimpin rumah tangga, perempuan dan bela negara dan sebagainya.
  2. Institutusi sekolah atau pesantren wajib mengintegrasikan pendidikan kebangsan untuk mendukung character building siswa yang lebih inklusif dan memiliki integrits tinggi pada Indonesia
  3. Organisasi masa seperti NU perlu menalar kembali keberadaan Aswaja dengan mengkontektualisasikan pada realitas politik praktis yang mudah menyeret pengikut NU pada “berpikir instant”, agar upaya revitalisasi Aswaja benar-benar mampu menjadi benteng radikalisasi di dalam keluarga maupun masyarakat
  4. Sekolah dan Pesantren perlu mendorong lingkungan berpikir kritis bagi pelajar-pelajar untuk membuka wawasan keislaman dan keindonesiaan yang cocok dengan konteks masyarakat yang plural di Indonesia
  5. Para tokoh agama terlibat dalam pengembalian media-media dakwa seperti Masjid, Mushola, Majlis Ta’lim untuk melakukan dakwa yang ramah, toleran dan mendukung nilai-nilai keadilan gender
  6. Ulama Perempuan mendorong pemerintah untuk melakukan monitoring terhadap pesantren-pesantren yang terindikasi menyebarkan radikalisme dan jika tidak bisa diperingati pemerintah wajib melakukan penutupan  

Perlindungan:

  1. Mendorong kepada pihak-pihak terkait (MUI, kepolisian, presiden, kemeterian agama, dll) untuk merespon persoalan radikalisme secara lebih komprehensiv, termasuk penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak minoritas yang tidak memiliki ruang ekspresi keagamaan
  2. Kepolisian Republik Indonesia wajib menegakkan aturan hukum tentang ujaran kebencian yang menyebar di masjid-masijd, pengajian-pengajian dan bebagai media dakwa, karena berpotensi memecahbelah bangsa
  3. Pemerintah terkait (menteri Sosial, Pemberdayan Perempuan, dan Pembangunan manusia dan kebudayaan) untuk memberikan dukungan jangka panjang pada perempuan dan anak korban radikalsime dengan mengunakan pendekatan disengagement terhadap kelompok radikal
  4. Pemerintah dan tokoh agama meenghimbau kepada masyarakat umum untuk tidak melakukan bullying, stigmatisasi dan disrkiminasi kepada kleuarga mantan teroris, tetapi sebaliknya mencegah penyebaran radikalisme terjadi dari keluarga mantan teroris

Pemberdayaan:

  1. BNPT bekerjasama dengan Pesantren moderate untuk menjalankan program deradikalisasi berbasis pesantren, dimana mantan teroris dan keluarganya difasilitasi  proses menemukan kembali Islam rahmatanlilalaim dan rasa kebangsaan yang kuat pada Indonesia l
  2. BNPT bekerjasama dengan Pesantren moderat untuk membuat program khusus disengagement anak-anak keluarga mantan teroris untuk belajar hafalan Quran beserta maknanya, dan pondasi kebangsaan yang kukuh, agar anak-anak mantan teroris tidak kembali pada kelompok radikal
  3. BNPT bekerjasama dengan pesantren moderat mengembangkan program-program enterpreneurship di pesantren, dimana membuka keterlibatan keluarga mantan teroris di dalamnya, sehingga monitoring intensif perkembangan mereka bisa dilakukan sambil melakukan pendidikan publik tentang bahaya radikalisme

Tema: Peran dan Strategi Ulama Perempuan dalam Merespon Krisis dan Konflik Kemanusiaan

  1. Mendorong para ulama, baik laki-laki maupun perempuan, untuk merekonstruksi konsep jihad sebagai kerja-kerja peradaban dan kemanusiaan, sementara jihad yang berarti qital atau peperangan hanya dalam konteks pertahanan diri.
  2. Memperkuat segala upaya deteksi dini konflik-konflik berbasis agama, keyakinan, dan ajaran.
  3. Ulama perempuan terlibat dalam kerja-kerja penyadaran untuk toleransi dan perdamaian, termasuk dengan menciptakan kurikulum pendidikan keagamaan yang mengusung perdamaian.
  4. Memperkuat dan mensosialisasikan pengetahuan dan pengalaman Islam Nusantara yang berkemajuan untuk memperkuat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air antar warga negara yang berbeda agama, ras, dan golongan.
  5. Dalam situasi konflik, mendahulukan perlindungan kelompok rentan; seperti perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan anak-anak yang dinikahkan.

Tema: Peran ulama dalam penyelesaian ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan

  1. Mengusulkan untuk menambah konsep persaudaraan antar makhluk (ukhuwwah makhluqiyah) untuk menegaskan pentingnya keserasian dan keseimbangan antar makhluk Allah Swt, baik air, udara, tanah, flora, fauna, dan seluruh isinya, di samping trilogi ukhuwwah yang selama ini kita kenal, yakni; ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa n tanah air), dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Konsep ukhuwwah makhluqiyyah untuk menegaskan perubahan paradigma dan sikap kita terhadap alam. Kita harus memandang posisi yang setara dan sejajar antara alam dengan manusia. Alam dan manusia adalah saudara yang saling membutuhkan. Alam itu ibarat tubuh kita. Apabila alam dirusak dan dieksploitasi, maka kita juga ikut sakit dan menderita. Alam tidak untuk dirusak dan dieksploitasi, melainkan untuk dilestarikan dan dijaga keseimbangannya agar tetap menjadi sumber penghidupan dan kehidupan semesta.
  2. Mendorong para ulama untuk merumuskan dan mensosialisasikan fiqh al-bi’ah (fiqh lingkungan hidup) sebagai bagian dari kitab fiqh yang diajarkan di pesantren, madrasah dan sekolah.
  3. Mendorong para ulama untuk mensosialisasikan fatwa haram bagi pelaku perusakan alam dan penggunaan hasil perusakan alam.
  4. Mendorong institusi pendidikan untuk mengintegrasikan fiqh al-bi’ah  ke dalam kurikulum pendidikan agama (Islam), dan mengontrol pembiasaan hidup sehat, bersih, dan bertanggungjawab dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Mendorong komunitas agama, terutama Pesantren, untuk merintis dan membangun gerakan penyelamatan dan pemulihan alam berbasis agama.
  6. Negara (Parlemen dan Pemerintah) harus mengavuluasi dan merevisi seluruh perundang-undangan, peraturan, dan kebijakan yang memungkinkan terjadinya perusakan lingkungan dan alam.
  7. Pemerintah harus bertindak tegas tanpa diskriminasi untuk menghukum bagi perusak alam dengan hukuman yg berat, terutama korporasi.