Ijtihad

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Ijtihad secara bahasa bermakna mengarahkan segenap kemampuan tenaga.  Sementara secara termenologi ada beragam definisi yang ditawarkan oleh para ulama. Al-Ghazali menulis:

بذل المجتهد وسعه في طلب العلم باحكام الشرعية

“Pengerahan kemampuan seorang mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syar’i”.[1]

Sementara menurut Abdul Wahhab Khallaf, salah seorang ulama kontemporer dari Mesir menyebut:

الاجتهاد هو بذل الجهد للوصول الى الحكم الشرعي من دليل تفصلي من الادلة الشرعية

“Ijithad adalah mencurahkan kemampuan dan kekuatan berfikir untuk sampai kepada merumuskan hukum Syar’i yang diambil dari dalilnya yang terperinci berupa dalil-dalil syar’iyah”.[2]

Meskipun definisi yang ditawarkan ulama berbeda-beda, pada intinya mereka pada satu tahap kesimpulan soal ijtihad. Bahwa ia adalah sebuah usaha seorang mujtahid untuk menggali hukum syar’i amali.

Dasar ijithad ada dalam dua sumber utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam al-Qur’an beberapa kali disebut tentang anjuran “merenung”, “berfikir”. Misal firman Allah Swt.:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Qs. Al-Nisa:[4] 105)

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 266)

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (Qs. Al-Baqarah [2]: 50)

Ayat-ayat di atas, menurut Ulama, salah satunya Wahbah al-Zuhaili menyebut bahwa ayat-ayat di atas berisi tentang landasan ijithad dalam al-Qur’an. Sementara dalam hadis, Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim hendak memutuskan putusan, lalu ia “berijtihad” kamudian benar maka ia dapat dua pahala. Jika ia memutuskan sesuatu lalu berijitihad dan salah maka ia akan mendapatkan satu pahala”.[3]

Hadis lain yang kerap dijadikan dasar kehujjahan ijtihad adalah pesan nabi kepada Muadz bin Jabal ketika ia hendak diutus ke Yaman. Secara lengkap, hadis itu berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ، رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. saat hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya: “Bagaimana kamu memutuskan ketika dihadapkan permasalahan?”, Muadz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan kitab Allah Swt.” Nabi bertanya kembali, “Bagaimana jika di al-Qur’an tidak ada”?, Muadz menjawab, “Aku akan mencarinya dalam “sunnah” Rasulullah”. Nabi bertanya lagi, “Bagaimana kalau jika kau tak temui di keduanya?”. Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan fikiranku dan aku tak akan ceroboh”. Mendengar jawaban itu, Rasulullah menepuk dada Muadz sebagai bentuk apresiasi dan beliau mendoakannya, “Segala puji bagi Allah Swt memberi petunjuk kepada utusannya utusan Rasulullah terhadap apa yang Allah dan Rasul Ridhoi”.[4]

Dalam terminologi ijtihad ada term lain yang tak bisa dipisahkan, yaitu taqlid. Secara sederhana taqlid artinya mengikuti, terkait. Sementara secara term, sebagaimana disebut Kiai Afifuddin Muhajir[5] taqlid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dasarnya (akhdu qaul al-Ghair min ghayri makrifati dalilihi).

Syarat-syarat Mujtahid

Sebagaimana disebut di atas bahwa ijtihad adalah usaha untuk melahirkan hukum Islam, maka tidak semua orang bisa melakukan aktivitas ijtihad. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Dalam menetapkan kriteria-kriteria mujtahid, ulama berbeda pendapat terkait syarat-syarat ijtihad. Ada beberapa nama seperti al-Ghazali, al-Syatibi, al-Amudi dan al-Baydhawi yang memberikan syarat berbeda. Namun, penulis akan merangkum perbedaan tersebut dalam syarat sebagaimana berikut[6].

  1. Mengetahui makna-makna al-Qur’an baik secara etimologi atau terminologi.
  2. Mengetahui hadis-hadis yang terkait hukum (hadist al-Ahkam) secara etimologi dan terminologi.
  3. Mengetahui posisi dan lokasi ayat, hadis yang nasikh-mansukh.
  4. Mengetahui masalah ijmak dan lokasi-lokasi ijmak.
  5. Mengetahui mekanisme oprasi kiyas: syarat dan seluk beluk kiyas.
  6. Mengetahui ilmu gramatika bahasa arab: nahwu, sarraf, ma’ani, bayan dan lain sebagainya.
  7. Mengetahui ilmu ushul fiqh.
  8. Mengetahui ilmu maqashid al-Syariah.

Tingkatan Dan Klasifikasi Mujtahid (Orang Yang Berijtihad)

Ulama membagi mujtahid kepada beberapa tingkatan, yaitu: mujtahid mustaqil, mujtahid mutlaq ghayru al-Mustaqil, mujathahid mazhab, mujtahid murajjih, mujtahid fatwa. Secara lebih rinci, penjelasannya sebagaimana berikut.[7]

  1. Mujtahid Mustaqil yaitu mujtahid yang telah menerapkan kaidah-kaidah ushuliyah yang ia produksi sendiri untuk menggali hukum Islam. Ini tingkatan paling tinggi dan tak mungkin dijangkau hari ini. masuk dalam kategori ini Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Idris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
  2. Mujtahid Mutlaqh ghayru mustaqil adalah mujtahid yang mengambil metode imamnya dalam menggali hukum tetapi dalam beberapa kesimpulan (furu’) mereka berbeda. Contoh dalam kategori ini seperti Abu Yusuf, al-Muzanni, Zufar dan lain sebagainya.
  3. Mujtahid Mazhab adalah mujtahid yang murni mengikuti imamnya dalam ranah ushul dan furu’ tanpa menyelisi apapun dari mereka. Tugas mereka hanya melakukan istinbath hukum terhadap masalaj-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya.
  4. Mujtahid murajjih, sesuai namanya mereka bertugas untuk mengunggulkan beberapa pendapat-pendapat yang diriwayatkan para imam. Alat tarjih yang mereka pakai menggunakan rumusan yang dikeluarkan imam di atasnya,
  5. Mujtahid fatwa adalah mujtahid yang bertugas menyampaikan hasil-hasil ijtihad mujtahid di atasnya tanpa melakukan pentarjihan.

Medan atau ruang Ijtihad

Tidak semua hukum dalam Islam bisa diijtihadi, seperti hukum-hukum yang jelas dan tegas. Seperti kewajiban salat, zakat, puasa dan lain sebagainya. Ranah ijtihad adalah hukum-hukum yang tidak ditegaskan oleh dalil qath’i.[8]

Jadi, hukum kaitannya dengan boleh atau tidaknya ijtihad ada dua. Pertama hukum yang boleh diijithadi, kedua hukum yang tak boleh diijtihadi[9] Hukum-hukum yang boleh diijtihadi adalah hukum yang ditetapkan oleh dalil dzanni baik tsubut atau dalalah atau salah satu dari keduanya. Termasuk hukum yang masuk ranah ini adalah hukum yang tak ada nash-nya sama sekali sekaligus tak ada ijmak ulama.

Adapun hukum yang tak boleh diijtihadi adalah hukum yang sudah “diketahui” bersama secara pasti (ma’lumun min al-Din bi al-Darurah) atau hukum yang ditetapkan oleh dalil yang tegas, qath’i: baik tsubut atau dalalah. Misal: ayat-ayat yang berbicara kewajiban salat, sanksi perzinahan dan lain sebagainya.

Ijithad Hari Ini: Tertutup atau terbuka?

Ulama menyebut bahwa terbukanya pintu ijtihad hari sangat mungkin terjadi.. Lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan menuntut hal tersebut. Memang harus diakui dulu beredar bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Namun jika diteliti lebih dalam, info tertutupnya ijithad erat kaitannya dengan hingar bingar politik yang terjadi. Hingga kemudian sebagai langkah preventif, ulama menyebut bahwa ijtihad tertutup.[10]

 Secara akal kenapa ijtihad perlu dibuka adalah jumlah nash-nash dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sangat terbatas. Sedangkan kejadian dan masalah-masalah baru terus terjadi, tanpa henti. Dalam ruang ini, ijtihad hadir untuk memberikan jawaban.[11]

Oleh: Ahmad Husain Fahasbu

  1. Al-Ghazali, al-Mustashfa min al-Ilm al-Ushul, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2014), halaman 527.
  2. Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2016), halaman 177.
  3. Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, T. Th), juz 3 halaman 1342.
  4. Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, T. Th), juz 3 halaman 303.
  5. K. H. Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat, (Sukorejo: Tanwirul Afkar Penerbit, 2018), halaman 32.
  6. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013), juz 2, halaman 239.
  7. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013), juz 2, halaman 350.
  8. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013), juz 2, halaman 340.
  9. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013), juz 2, halaman 340.
  10. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2013), juz 2, halaman 370.
  11. Abdussalam Thawilah, Atsar al-Lughawi fi ikhtilaf al-Ushuliyin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), halaman 36.