Mubadalah Hakiki Perempuan
Info Artikel
Sumber Original | : | fahmina.or.id |
Penulis | : | Dr. Hj. Nur Rofiah Bil. Uzm |
Tanggal Terbit | : | 22 Februari 2022 |
Artikel Lengkap | : | Mubadalah Hakiki Perempuan |
Launching Buku “Metodologi Fatwa KUPI”, Selasa, 15 Februari 2022, Jam 19.30 WIB, Zoom.
“Loh ternyata kalian suami-istri toh?”. Aku loh sering banget kenal seorang teman laki-laki sudah lama dan seorang teman perempuan sudah lama, tapi baru tahu kalau mereka ternyata sudah lama juga menjadi pasangan suami istri, atau adik kakak, atau ipar2an., dll.
Hal yang sama juga sering kualami dalam mengenali hubungan antar konsep. Sering sudah lama tahu sebuah konsep di satu bidang keilmuan dan konsep lain di bidang keilmuan berbeda, tapi baru menyadari hubungan erat keduanya belum lama ini.
Podo ora yo….? Hehehe
*****
Beberapa hari lalu aku menerima kiriman buku Metodologi Fatwa KUPI. Buku ini disusun oleh Bapak Mubadalah Indonesia, Kang Faqih Abdul Kodir. Prolog yang kutulis di buku ini mengingatkan bahwa konsep Mubadalah itu sudah muncul jauh sebelum 2017 saat KUPI digelar pertama kali. Sementara konsep Keadilan Hakiki Perempuan mulai muncul menjelang KUPI dan pertama kali dipresentasikan di Seminar Nasional KUPI.
Konsep Mubadalah pertama kudengar di program Pendidikan Ulama Perempuan Rahima. Langsung dari suhunya. Aku bahkan masih ingat respon spontanku: “Berarti perempuan dibolehkan poligami?”. Inilah contoh sempurna jumping to the wrong conclusion! Kisah selengkapnya kutulis di Kata Pengantar buku Qiroah Mubadalah.
Saat menulis prolog buku Metodologi Fatwa KUPI, aku baru menyadari bahwa Mubadalah dan Keadilan Hakiki Perempuan itu satu kesatuan. Keduanya adalah langkah-langkah berurutan dalam ikhtiyar pemanusiaan perempuan sepenuhnya.
Kesadaran Kemanusiaan
Kezaliman pada perempuan, juga kelompok lain, berpangkal pada cara pandang atas kemanusiaan mereka yang bermasalah. Mereka dipandang sebagai objek atau benda, alias bukan manusia, sehingga diperlakukan tidak manusiawi pun dianggap wajar. Lawong bukan manusia. Inilah relasi gender di masyarakat Patriarki Garis Keras.
Pandangan lain yang juga menjadi pangkal kezaliman pada perempuan adalah mereka sudah dipandang sebagai manusia tapi belum seutuhnya. Laki-laki subjek primer, sedangkan perempuan subjek sekunder. Laki-laki menjadi standar kemanusiaan perempuan sehingga pengalaman kemanusiaan khas perempuan, misalnya secara biologis dan sosial, belum dianggap bagian dari kemanusian karena laki2 tidak mengalaminya.
Tindakan tidak manusiwi yang hanya berdampak buruk pada sistem reproduksi perempuan tapi tidak demikian pada sistem reproduksi laki2, apalagi memberikan manfaat, maka dianggap wajar. Begitupun tindakan yang tidak memgandung atau berdampak stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda pada perempuan, tapi tidak demikian pada laki-laki, apalagi jika memberi manfaat pada mereka, juga dianggap wajar.
Dengan kata lain, laki-laki dianggap wajar mendapatkan manfaat dari sebuah tindakan yang membahayakan sistem reproduksi perempuan. Begitu pun tindakan mengambil manfaat dengan cara melakukan stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda pada perempuan juga dianggap wajar. Inilah relasi gender di masyarakat Patriarki Garis Lunak.
Mubadalah
Mubadalah menawarkan cara pandang baru pada kemanusiaan perempuan yang menitik beratkan pada persamaan laki-laki dan perempuan. Inilah langkah awal yang perlu dibenahi dalam menghapuskan kezaliman pada perempuan. Target utamanya adalah cara pandang kemanusiaan masyarakat patriarki garis keras yang memandang perempuan adalah objek atau benda, alias bukan manusia.
Prinsip dasar kemanusiaan dalam Mubadalah adalah laki-laki dan perempuan adalah manusia sehingga keduanya sama-sama hanya hamba Allah dan menjadi Khalifah fil Ardl. Karena itu, laki-laki dan perempuan wajib bekerjasama mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah kemungkaran sekaligus dilindungi darinya di mana pun berada di muka bumi. Laki-laki.dan perempuan sama-sama subjek kehidupan.
Mubadalah menawarkan cara membaca ayat dan hadis, apapun bunyi secara tekstual, kita mesti fokus pada tindakan kebaikan apa yang sedang diperintahkan, atau tindakan keburukan apa yang sedang dilarang oleh teks. Lalu kembali kepada prinsip dasar bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan sehingga meskipun secara tekstual pesan hanya ditujukan pada salah satu pihak, namun pesan tsb sesungguhnya ditujukan pada kedua belah pihak.
Islam tidak memandang perempuan hanya sebagai sumber fitnah dan laki-laki hanya sebagai sumber anugerah, sebagaimana cara pandang masyarakat patriarki. Islam memandsng bahwa laki2 dan perempuan sama-sama punua potensi berbuat buruk (fujur) sehingga menjadi sumber firnah dan potensi berbuat baik (taqwa) sehingga menjadi sumber anugerah. Laki2 dan perempuan sama2 menjadi sumber fitnah letika berbuat buruk dan sama2 menjadi anugerah ketika berbuat baik.
Allah tidak akan memasukkan perempuan ke dalam neraka hanya karena menjadi perempuan. Begitu pun tidak akan memasukkan laki-laki ke surga hanya karena menjadi lakI-laki. Dua-duanya masuk neraka karena amal buruknya dan masuk surga karena amal baiknya.
Persamaan yang ditekankan oleh Mubadalah ini sangat penting untuk mengatasi marginalisasi. Perempuan rentan dipinnggirkan atau dikecualikan dari keharusan memperoleh manfaat kehidupan. Melalui strategi Mubadalah kita bisa terus menerus mengingatkan pentingnya perempuan ada di dalam nilai-nilai kebajikan.
Islam mempunyai cita-cita untuk menjadi anugerah bagi semesta, termasuk bagi perempuan. Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, termasuk akhlak pada perempuan. Tujuan perkawinan adalah ketenangan jiwa, termasuk jiwa istri. Kemanusiaan yang adil dan beradab, termasuk adil dan beradab pada perempuan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat perempuan. Dst.
Keadilan Hakiki Perempuan
Keadilan Hakiki perempuan melanjutkan cara pandang yang dibangun oleh Mubadalah bahwa perempuan adalah manusia yang sama-sama menjadi subjek kehidupan. Karena sama-sama subjek, maka laki-laki bukan standar kemanusiaan perempuan.
Perempuan adalah manusia seutuhnya meliputi dimensi kemanusiaan yang tidak dimiliki laki-laki. Target utama kesadaran ini adalah masyarakat patriarki garis lunak yang masih mengecualikan pengalaman biologis dan sosial perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan.
Pengalaman biologis dan sosial khas perempuan adalah bagian dari kemanusiaan. Mengurangi rasa sakit (adza), rasa lelah (kurhan), bahkan sakit/ lelah berlipat (wahnan ala wahnin) yang dialami perempuan saat menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, bahkan memastikan pengalaman ini semakin terasa nyaman adalah tanggungjawab bersama antara lakI-laki dan perempuan.
Begitu pula, mencegah dan menghapuskan penderitaan perempuan karena stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda juga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan.
Prinsip dasar Keadilan Hakiki Perempuan adalah sesuatu hanya diisebut adil jika adil juga pada perempuan, sehingga:
1. Tidak menyebabkan pengalaman biologis khas perempuan yang sudah sakit, melelahkan, bahkan sakit/lelah berlipat, menjadi semakin bertambah. Bahkan secara aktif mengurangi atau membuatnya semakin nyaman bagi perempuan;
2. Tidak menyebabkan perempuan mengalami stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda. Bahkan secara aktif mencegah dan mengatasinya;
Keadilan hakiki perempuan hanya mungkin terwujud jika perempuan tidak hanya dipandang sebagai manusia, tetapi manusoa seutuhnyq, dan perempuan tidak hanya didudukkan sebagai subjek sekunder tetapi subjek seutuhnya.
Mubadalah Hakiki Perempuan secara bersamaan berikhtiyar membangun kesadaran kemanusian secara umum bahwa:
1. Laki-laki dan perempuan adalah sama2 perlu diperlakukan secara bijak oleh negara melalui setiap kebijakannya, secara arif oleh masyarakat dan adat melalui norma dan tradisi sosialnya, secara maslahat oleh agama melalui fatwa dan tafsir keagamaannya, dan secara manusiawi melalui HAM;
2. Laki2 dan perempuan mempunyai perbedaan sebagai manusia sehingga jangan menjadikan laki2 sebagai standar tunggal kebijakan, kearifan, kemaslahatan, dan kemanusiaam perempuan. Pertimbangkan pengalaman biologis khas perempuan yang berbeda secara signifikan dengan laki2 karena perbedaan sistem reproduksi keduanya dan pengalaman sosial khas perempuan yang berbeda secara signifikN dengan laki2 karena perbedaan perlakukan sistem patriarki pada keduanya.
Karena Mubadalah Hakiki berbasis Islam, maka kesadaran kemanusiaan seperti ini juga disertai dengan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kodrat kemanusiaan sebagai makhluk fisik sekaligus intektual karena punya akal dan spiritual karena punya hati nurani.
Keduanya punya tanggungjawab menggunakan akal budinya untuk memastikan setiap tindakan berdampak kemaslahatan bagi diri sendiri sekaligus pihak lain sesama makhluk, sesama manusia, laki-laki maupun perempuan sebagai panggilan iman.
Pola Fatwa
Perbedaan cara pandang atas kemanusiaan perempuan tentu memengaruhi cara mendudukkan perempuan dalam sistem pengetahuan agama. Perbedaan sistem ini kemudian melahirkan pola fatwa yang juga beragam.
Ketika perempuan belum dipandang sebagai manusia alias masih dipandang sebagai objek atau benda, maka sistem pengetahuan agama hanya fokus pada kemaslahatan laki-laki dan sama sekali tidak mempertimbangkan kemaslahatan perempuan. Kemaslahatan agama dirumuskan dalam perspektif dan untuk laki-laki. Peserta forum fatwa hanya laki-laki meskipun saat membahas persoalan yang hanya dialami oleh perempuan.
Ketika perempuan dipandang sebagai manusia dengan laki2 sbg standar tunggalnya, alias sebagai subjek sekunder, maka sistem pengetahuan agama juga hanya fokus pada kemaslahatan laki2 dan menjadikannya sebagai standar tunggal kemaslahatan perempuan. Peserta forum fatwa bisa mayoritas laki-laki, bisa pula perempuan namun pemberi keputusan akhir adalah laki-laki.
Cara pandang atas kemanusiaan perempuan yang rendah (objek) atau lebih rendah daripasa laki2 (subjek sekunder) melahirkan pola fatwa dengan asumsi perempuan sebagai sumber fitnah bagi laki2. Karenanya, apapun tindakan perempuan yang ditanyakan pada forum fatwa, mulai dari bolehkah perempuan naik sepeda, menjadi muballighah, sampai dengan menjadi presiden, pola jawaban adalah sebagai berikut:
1. Jika pasti menimbulkan menimbulkan fitnah, maka haram;
2. Jika ada kemungkinan menimbulkan fotnah, maka makruh;
3. Jika pasti tidak menimbulkan fitnah, maka boleh.
Tentu fitnah yang dimaksudkan adalah membuat laki-laki terpesona lalu menyebabkan mereka berbuat ma’shiat. Karenanya, believe it or not, ada fatwa yang menegaskan perbedaan status hukum perempuan cantik dan tidak cantik dalam melakukan tindakan yang sama.
Ketika perempuan dipandang sebagai manusia seutuhnya alias sebagai subjek penuh, maka sistem pengetahuan agama akan fokus pada kemaslahatan laki2 sekaligus perempuan. Perumusan kemaslahatan agama memastikan pengalaman biologis khas perempuan tidak makin sakit bahkan secara sengaja membuatnya lebih nyaman, dan memastikan pengalaman sosial khas perempuan tidak terjadi. Bahkan secara sengaja mencegah dan mengatasinya.
Cara pandang atas kemanusiaan penuh perempuan dimelahirkan pola fatwa dengan asumsi bahwa:
1. Laki2 dan perempuan sama2 punya kecenderungan berbuat buruk sehingga menjadi sumber fitnah dan berbuat baik sehingga menjadi sumber anugerah;
2. Laki2 dan perempuan yang melakukan keburukan adalah sunber fitnah dan sebaliknya melakukan kebaikan adalah sumber anugerah;
3. Laki2 dan perempuan sama2 bertanggungjawab mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah keburukan sekaligus dilindungi darinya.
Oleh karena itu, pola fatwanya menjadi:
Jika berbasis keharusan mencegah mafsadat dan mudlarat, maka:
1. Jika sebuah tindakan sudah pasti menyebabkan mafsadat apalagi mudlarat pada laki2 dan/ atau perempuan, maka haram;
2. Jika sebuah tindakan ada kemungkinan menyebabkan mafsadat apalagi mudlarat pada laki2 dan/ atau perempuan, maka makruh;
3. Jika sebuah tindakan sudah pasti tidak menyebabkan mafsadat apalagi mudlarat pada laki2 dan/ atau perempuan, maka boleh.
Jika berbasis kemaslahatan, maka:
1. Jika sebuah tindakan HARUS ada dalam mewujudkan kemaslahatan pada laki2 dan/ atau perempuan, maka wajib;
2. Jika sebuah tindakan MUNGKIN menjadi penghambat dalam mewujudkan kemaslahatan pada laki2 dan/ atau perempuan, maka makruh;
3. Jika sebuah tindakan TIDAK BOLEH ada dalam mewujudkan kemaslahatan pada laki2 dan/ atau perempuan, maka haram.
Yuk mari dengarkan kisah behind the scene proses pergulatan Qiroah Mubadalah dan Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan yang menjadi bagian penting, bagian saja loh ya!, dari Metodologi Fatwa KUPI di acara launching buku Metodologi Fatwa KUPI dan Logo Kupipedia nanti malam.
Semoga bisa terus berproses untuk memenuhi panggilan iman dengan juga memanusiakan perempuan seutuhnya dan menjadikan mereka sebagai subjek penuh sistem kehidupan. Aamiin. []
**
Buku ini dibagikan gratis oleh Fahmina Institut, untuk para pengkaji hukum Islam dan relasi keadilan gender, para alumni pelatihan lembaga jaringan KUPI, dan atau mereka yang hadir di perhelatan KUPI tahun 2017 di Cirebon.