Khitan Perempuan dalam Diskusi Fiqh Kontemporer
Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir
Mungkin bagi sementara orang adalah sebuah ironi yang sangat menyakitkan ketika fiqh klasik disinyalir memberi kesempatan kepada lelaki untuk meningkatkan kesehatan dan kepuasan seksual secara optimal, sedangkan kaum perempuan terus diredam, dilemahkan, bahkan dikebiri agar agresifitas keinginan seksualnya bisa dikontrol oleh komunitas yang sampai sekarang masih didominasi oleh kaum lelaki. Hal dimikian diantaranya dapat ditemukan dalam tradisis khitan perempuan yang sebenarnya lebih tepat sebagai budaya kuno manusia ketimbang hukum agama.
Khitan yang dalam bahasa lain sering juga disebut ‘sunat’, merupakan amalan atau praktek yang sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat manusia dan diakui oleh agama-agama di dunia. Khitan tidak hanya diberlakukan terhadap anak lelaki tetapi juga terhadap perempuan. Dalam berbagai kebudayaan, peristiwa khitan seringkali dipandang sebagai peristiwa sakral seperti halnya peristiwa perkawinan. Kesakralan khitan tampak dalam upacara-upacara yang diselenggarakan untuk itu. Akan tetapi fenomena kesakralan dengan segala upacaranya itu memang terlihat hanya berlaku pada khitan anak laki-laki. Untuk khitan perempuan jarang terlihat.
Dalam masyarakat muslim, amalan atau praktek khitan dikaitkan dengan millah Nabi Ibrahim a.s. yang dikenal sebagai bapak para Nabi (Abû al-Anbiyâ’) dan diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikutinya. Di dalam al-Qur’ân dinyatakan:
أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا. النحل، 123.
Artinya: “Hendaklah kamu mengikuti millah (agama) Ibrahim yang lurus”. QS. Al-Nahl, 16: 123.
Khitan adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin. Untuk lelaki, tehnik pelaksanaan khitan hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulup (qulf) penis lelaki, sedangkan untuk perempuan berbeda di setiap tempat, ada yang sebatas pembuangan sebagian dari klentit (clitorus) dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina (labia minora).[1]
Kata khitan berasal dari bahasa Arab yang secara umum berarti memotong. Dalam fiqh, secara umum khitan adalah memotong sebagian anggota tubuh tertentu. Pada prakteknya, khitan lelaki berbeda dengan khitan perempuan. Khitan lelaki didefinisikan oleh al-Mâwardî dengan:
“Pemotongan kulit yang menutup hasyafah (kepala penis)”, sedangkan khitan perempuan adalah: “pemotongan bagian paling atas (klentit) dari faraj (kemaluan) perempuan, di atas tempat masuknya penis, yang berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jago”.[2]
Dalam tulisan fiqh kontemporer, Syekh Sayyid Sâbiq berkata:
“Khitan untuk lelaki adalah pemotongan kulit yang menutupi hasyafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing dan dapat merasakan kenikmatan jima’ dengan tidak berkurang. Sedangkan untuk perempuan adalah dengan memotong bagian teratas dari faraj-nya. Khitan ini adalah tradisi kuno (sunnah qadîmah)”.[3]
Berarti, bagi lelaki khitan dengan memotong kulup adalah sangat positif, karena ia selain berpotensi menyimpan penyakit kelamin juga menyebabkan terjadinya pemancaran dini (ejaculitio seminis), sebab kepala penis yang berkulup lebih sensitif daripada yang tidak berkulup. Dengan demikian, khitan dengan pemotongan kulup bagi lelaki secara medis adalah sehat, dan akan menambah kenikmatan dan memperlama berlangsungnya hubungan seksual sehingga secara optimal lelaki dapat menikmati pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebaliknya, khitan pada perempuan justru sangat negatif dari sudut kebutuhan seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat. Karena ujung kelentit adalah organ seks perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan dan rangsangan yang akan membawa kenikmatan prima, dengan penumpasan alat tersebut, daerah erogen akan berpindah dari muka (clitorus) ke belakang (liang vagina), dan karena itu, rangsangan perempuan akan berkurang, gairahnya lemah, dan susah memperoleh kenikmatan (orgasme) ketika hubungan kelamin. Apalagi praktik khitan yang sampai memotong bibir kecil (labia minora), yang terjadi di beberapa tempat di Afrika, sering menimbulkan trauma psikologis, karena dengan praktik itu sangat memungkinkan perempuan tidak dapat menikmati hubungan seksual sama sekali, bahkan praktik itu tidak sedikit yang mengakibatkan kematian bayi.
Praktik khitan perempuan yang masih mendapat legitimasi dari sebagian budaya di beberapa belahan bumi, akhir-akhir ini mendapat tantangan dan tuntutan penghapusan dari berbagai lembaga dunia, terutama WHO dan LSM-LSM yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan. Para aktivis gerakan ini juga menggugat semua tatanan budaya dan tradisi yang dinilai memberikan jalan kepada berlangsungnya praktik yang sangat merugikan kaum perempuan tersebut, termasuk diantaranya teks-teks agama.
Di dalam Islam, hukum khitan sebenarnya bisa diformulasikan kembali dengan mengacu kepada perspektif kesetaraan lelaki dan perempuan dan bacaan yang jernih terhadap semua warisan klasik, baik hadîts-hadîts yang berkaitan dengan khitan perempuan, maupun kitab-kitab fiqh yang diwariskan dari generasi ke generasi. Untuk khitan lelaki, seluruh ulama fiqh mendukung penuh, ada yang mewajibkan, dan ada yang mengatakan mandûb (sunnah), dan karena secara medis hal ini positif, maka tidak perlu ditulis lebih jauh lagi.
Kata Ibn Hajar al-‘Asqallânî, tentang hukum khitan ada dua pendapat. Pendapat yang mengatakan wajib baik untuk lelaki maupun perempuan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam al-Syâfi’î dan sebagian besar ulama madzhabnya. Pendapat kedua mengatakan tidak wajib, pendapat ini dinyatakan oleh mayoritas ulama dan sebagian ulama madzhab Syafi’î. Ibn Hajar melanjutkan bahwa untuk khitan perempuan, dalam madzhab Syâfi’î sekalipun, pada prakteknya ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan memang wajib untuk seluruh wanita, ada yang mengatakan wajib bagi wanita yang ujung klentitnya cukup menonjol, seperti para wanita daerah timur. Bahkan sebagian ulama madzhab Syafi’î juga ada yang mengatakan bahwa khitan perempuan tidak wajib.[4]
Dalam tulisan fiqh kontemporer, Syekh Muhammad Syaltût menyatakan bahwa khitan, baik untuk lelaki maupun perempuan, tidak terkait secara langsung dengan teks-teks agama, karena tidak ada satu hadîtspun yang sahih mengenai khitan dan alasan yang dikemukakan ulama yang pro wajib khitan adalah sangat lemah. Fiqh hanya mengakomodasi lewat kaidah bahwa melukai anggota tubuh makhluk hidup (seperti khitan) dibolehkan apabila dengan itu ada maslahat yang kembali kepadanya.[5]
Dengan demikian, mengenai hukum khitan baik lelaki maupun perempuan, ulama madzhab dari awal berbeda pendapat. Perbedaan ini mengisyaratakan kemungkinan adanya intervensi tradisi dan budaya yang mempengaruhi kebijakan pengambilan ijtihâd ulama dalam menerima dan memahami teks-teks agama, yang dalam hal ini adalah hadîts-hadîts Nabi Saw. Karena tradisi khitan sudah mengakar dalam masyarakat Yahudi, Arab dan masyarakat lain sebelum Islam datang.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh ulama madzhab Syâfi’î bagi mendukung pendapat bahwa khitan adalah wajib, kebanyakan berkaitan dengan khitan lelaki. Yang bisa dikaitkan dengan khitan perempuan adalah alasan bahwa khitan merupakan kewajiban, ‘ibadah dan syi’âr agama. Pernyataan ini tentu didasarkan pada teks agama yang otoritatif. Dalam hal ini Ibn Hajar mengemukan satu hadîts sebagai dasar kewajiban khitan perempuan.[6]
عن أم عطية رضي الله عنها قالت: أن امرأة كانت تختن النساء في المدينة، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تنهكي، فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب للبعل. وفي رواية أخرى: أشمي ولا تنهكي، فإنه أنور للوجه، وأحظى عند الرجل. رواه أبو داود.
Artinya: “Dari Umm ‘Athiyah ra. Berkata: bahwa ada seorang perempuan juru sunat para wanita Madinah. Rasullah Saw bersabda kepadanya: “Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian (kenikmatan) perempuan dan kecintaan suami”. Dalam suatu riwayat baginda bersabda: “Potong ujung saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian (kenikmatan) suami”. HR. Abû Dâwud.[7]
Abû Dâwud sendiri berkata hadîts ini lemah, karena ada perawi yang tidak diketahui (majhûl).[8] Tetapi Ibn Hajar di dalam kitab Fath al-Bârî mengatakan bahwa ada hadits yang bisa menguatkan dari al-Dlahak bin Qays yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqî, tanpa menyebutkan teks hadits tersebut dan tidak juga menyatakan kwalitasnya.[9]
Hal ini mengisayaratkan penafian terhadap teks agama yang otoritatif dan valid yang menyatakan secara eksplisit bahwa khitan perempuan adalah wajib.
Di dalam teks hadîts Umm ‘Athiyah r.a, kalaupun ia shahîh, mayoritas ulama madzhab tidak memahami, baik tersurat maupun tersirat, adanya perintah untuk mengkhitankan perempuan. Yang ada hanyalah tuntunan dan peringatan Nabi Muhammad Saw kepada juru khitan perempuan agar mengkhitan dengan cara yang baik dan tidak merusak.[10] Baginda mendiamkan praktek khitan perempuan berjalan di Madinah, tetapi disyaratkan dengan jaminan tidak berlebihan, tidak merusak dan membiarkan sesuatu yang menjadi bagian kenikmatan seksual perempuan ketika berhubungan intim dengan suaminya. Apabila syarat ini dijadikan dasar, maka khitan bisa menjadi tidak diperkenankan oleh baginda apabila berlebihan, atau ternyata merusak dan tidak memberikan kenikmatan seksual bagi perempuan.
Hadîts lain yang mungkin bisa menjadi dasar bagi mewajibkan khitan perempuan adalah yang diriwayatkan oleh al-Zuhrî.
عن الزهري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من أسلم فليختتن ولو كان كبيراً. رواه حرب بن إسماعيل.
Dari al-Zuhrî berkata: Rasulullâh Saw bersabda: “Sesiapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah, walaupn sudah besar”. Hadîts ini diriwayatkan oleh Harb bin Sufyân.[11]
Hadîts ini mengikut pendapat beberapa pakar hadith dan fiqh tidak bisa dijadikan hujjah, karena diragukan kesahihannya. Imâm Ibn Hajar al-‘Asqallany sendiri dalam kitab al-Talkhis al-Habir, setelah menyebutkan hadîts itu beliau menyisipkan perkataan Imâm Ibn al-Mundzir di atas. Kalaupun hadîts ini mau diterima, ia tidak bisa dipahami secara umum sehingga lelaki dan perempuan masuk dalam obyek perintah. Ia hanya berkaitan dengan khitan lelaki saja. Ibn Hajar juga mengelompokkan hadits itu dengan hadits-hadits lain dalam bab ‘perintah Nabi Saw kepada lelaki yang masuk Islam untuk berkhitan’, karena itu sama sekali tidak mengarah kepada khitan perempuan.
Ulama kontemporer Anwar Ahmad menyatkan bahwa perintah khitan dalam agama hanya ditujukan kepada lelaki, karena tuntunan khitan termasuk katagori sunan al-fithrah yang ditujukan kepada lelaki seperti memelihara janggut dan mencukur kumis, seperti yang tertulis dalam hadîts-hadîts lain. Karena itu banyak ulama madzhab yang tekstual maupun yang rasional tidak menerima pendapat yang mewajibkan khitan perempuan.[12]
Imam al-Syawkânî memberi catatan terhadap seluruh teks hadîts yang berkaitan dengan kewajiban khitan, baik untuk lelaki maupun perempuan. Beliau berkata:
‘‘والحق أنه لم يقم دليل صحيح يدل على الوجوب والمتيقن السنة كما في حديث خمس من الفطرة ونحوه والواجب الوقوف على المتيقن إلى أن يقوم ما يوجب الانتقال عنه’’.
Artinya: “Yang benar adalah; bahwa tidak ada dasar hukum yang shahîh, yang menunjukkan kewajiban khitan. Hukum yang bisa diyakini adalah sunnah seperti yang dinyatakan dalam hadits lima fithrah dan yang semisal dengannya. (Dalam hal ini), wajib mengikuti sesuatu yang sudah diyakini, sampai ada sesuatu yang merubahnya”.[13]
Perkataan al-Syawkâni ini perlu diberi catatan; bahwa kalau hukum khitan adalah sunnah fitrah, maka yang lebih tepat adalah untuk lelaki, sedangkan untuk perempuan tidak demikian, seperti yang disimpulkan oleh Anwar Ahmad.
Dari perkataan ini dapat ditarik dua kesimpulan, pertama bahwa tidak ada satu hadîtspun yang sahîh mengenai perintah khitan perempuan. Kedua kalaupun ada yang sahîh misalnya, yang berbicara tentang khitan, maka ia tidak bisa dipahami sebagai perintah khitan untuk perempuan, tetapi khitan untuk lelaki saja, hal demikian sebagai konsekwensi dari pernyataan bahwa tidak ada satupun hadîts sahih dalam perintah khitan perempuan.
Apabila berbicara dasar hukum khitan perempuan, dalam hal ini hadîts, maka pendapat yang mengatakan bahwa khitan perempuan itu wajib, adalah pendapat yang sangat lemah, karena tidak didukung oleh hadîts yang sahih dan redaksi hadîtspun tidak mendukung pendapat beliau. Karena itu, madzhab Hanafî, Mâlikî dan Hanbalî tidak mewajibkan khitan perempuan. Dasar hukum mereka adalah hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah r.a.
عن أبي هريرة رضي الله عنه : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ‘‘الختان سنة للرجال مكرمة للنساء’’. رواه أحمد والبيهقي.
Dari Abû Hurayrah r.a bahwa Rasullâh Saw bersabda: “Khitan adalah sunnah bagi lelaki dan sesuatu yang mulia bagi perempuan”. Diriwayatkan oleh Ahmad.[14]
Hadîts ini, seperti dikatakan oleh Imâm al-Syawkâni dalam Nayl al-Authâr, adalah diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dalam al-Musnad, dan Imâm al-Bayhaqi dalam Sunan dari al-Hajjâj bin Artha’ah, seorang yang mudallas (sering mengelirukan periwayatan hadîts, sebuah ungkapan yang mengisyaratkan ketidak sahihan hadîts yang diriwayatkannya). Imâm al-Bayhaqi sendiri mengatakan bahwa hadîts ini dla’if (lemah) dan munqati’ (terputus).[15]
Dari beberapa pernyataan di atas secara sederhana dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah lemah dan tidak sah, seperti yang dikatakan Imâm Ibn al-Mundzir, Imâm al-Syawkânî, Syekh Muhammad Syaltût, Syekh Sayyid Sâbiq, Syekh Wahbah al-Zuhaylî, Ustadz Muhammad al-Banna dan Anwar Ahmad. Apabila demikian, maka label hukum pada khitan perempuan yang ada dalam fiqh adalah murni hasil ijtihad ulama dan bukan perintah atau tuntunan agama secara langsung, bahkan khitan lelakipun sebagian ulama juga tetap memahami demikian. Karena itu, mayoritas ulama madzhab-madzhab fiqh dalam hal khitan perempuan lebih memilih kepada predikat “kemuliaan”, tidak wajib, bahkan tidak sampai sunnah.
Predikat “kemualiaan” dalam hal khitan perempuan secara sederhana dipahami sebagai dukungan para ulama kepada praktik khitan perempuan. Dukungan ini adalah wajar dalam sebuah komunitas budaya dimana posisi perempuan lemah dan menjadi subordinasi kaum lelaki, karena perempuan sebagai calon istri harus benar-benar suci dan mempunyai tanda kesuciaan sebelum pernikahan, karena itu sebaiknya ia tidak memiliki organ yang mudah terangsang, sehingga tidak mudah tergoda dan tergelincir dalam kenistaan yang merusak kesuciaanya. Ia juga sebagai istri harus siap melayani kebutuhan seksual suami kapan saja ia diminta, sementara ia sendiri tidak dianjurkan meminta kepada suaminya, apalagi menuntut kepuasan dan kenikmatan seksual secara optimal. Perempuan juga harus siap menerima perlakuan polygami dari suaminya yang menuntut kesiapan psikologi agar tidak agresif dalam kehidupan seksual. Untuk tujuan itu semua, setiap komponen budaya harus mengkondisikan perempuan agar siap menerima beban di atas, diantaranya dengan mendukung praktik khitan perempuan yang akan mengarah kepada kepasifan seksualnya yang diharapkan oleh mereka, dan dengan ini kaum perempuan mendapat predikat “kemuliaan” dari sebuah komunitas, tradisi dan budaya.
Oleh itu, predikat kemuliaan lebih tepat sebagai label budaya manusia yang terbatas ruang dan waktu, ia bukan perintah Allah dan Rasul-Nya secara langsung. Karena itu ada sebagian madzhab yang abstain ketika berbicara hukum khitan perempuan, dan hanya sebatas menyatakan sebagai “sunnah qadîmah” atau tradisi lama.[16] Predikat kemuliaan juga merupakan pengakuan sebuah komunitas terhadap peran kaum perempuan yang mesti sangat besar dalam menjaga keharmonisan dan kelangsungan komunitasnya yang mungkin banyak mengakomodasi previlage kaum lelaki. Sebaliknya predikat itu juga menyiratkan kebesaran hati kaum perempuan dengan kesediaan dan kemampuannya membatasi ambisi seksualnya untuk kepentingan komunitasnya.
Apabila predikat kemuliaan adalah produk budaya Islam dalam suatu masa, maka adalah sangat mungkin sekali untuk dikaji kembali secara jernih, sehingga khitan perempuan menyandang predikat hukum yang paling tepat dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Hadîts. Dari beberapa pernyataan ulama tentang khitan lelaki, dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar (‘illat) hukum khitan adalah pemenuhan kesehatan dan kepuasan seksual.
‘Illat ini juga harus menjadi dasar utama ketika kita mau menentukan kembali hukum khitan perempuan. Nabi sendiri meletakkan syarat demikian tentang khitan perempuan dalam teks hadits Umm ‘Athiya di atas.
Ada Kaedah fiqh yang dinyatakan oleh syekh Muhammad Syaltût yang bisa dijadikan rujukan dalam menentukan kebijakan hukum tentang khitan perempuan. Yaitu bahwa melukai anggota badan makhluk hidup (seperti memotong sebagian organ seks), hukum dasarnya adalah haram, kecuali kalau dengan hal itu ada maslahat yang kembali kepadanya.[17]
Di sini kita bisa menegaskan bahwa hukum asal khitan adalah haram, karena termasuk katagori melukai anggota tubuh. Apabila lelaki diperbolehkan khitan karena alasan pencapaian kesehatan yang lebih baik (disampung karena ada teks hadîts), maka pengambilan keputusan untuk mengkhitan perempuan juga harus didasarkan kepada alasan medis yang kuat. Jika tidak tidak ada alasan medis, maka hukum khitan kembali ke asalnya, yaitu haram.
Mengenai alasan pemenuhan kepuasan seksual, Al-Qur’an dalam hal ini menempatkan lelaki dan perempuan pada posisi yang sama (Lihat surah al-Baqarah, 2:187). Artinya kepuasan dan kenikmatan seksual secara paralel adalah hak sekaligus kewajiban lelaki dan perempuan. Dalam konsep Imâm al-Ghazali, seperti dikatakan Fatimah Mernisi, Kepuasan seksual adalah hak dan kewajiban suami istri, seseorang berhak memperoleh kepuasan dari istrinya dan berkewajiban memuaskan istrinya, begitu juga sebaliknya. Sehingga ketika sang istri tidak puas hanya dengan hubungan seksual (coitus) misalnya, maka warming up adalah menjadi wajib kepada suami untuk mengantarkan istrinya mencapai kepuasan.[18]
Karena teks-teks khitan dianggap tidak valid, maka tinggal pertimbangan kemaslahtan yang menjadi dasr hukum. Dalam hal ini, apabila kepuasan seksual menjadi salah satu pertimbangan dalam hal menentukan hukum khitan lelaki, maka penentuan hukum khitan perempuan juga harus didasarkan pada pertimbangan yang sama, karena hak untuk memperoleh kepuasan seksual adalah sama antara lelaki dan perempuan. Oleh itu, apabila praktik khitan akan menyebabkan perempuan tidak dapat atau kurang memperoleh kepuasan (kenikmatan) jima’, maka khitan tidak boleh dilaksankana. Apalagi kalau terbukti praktek khitan merusak kesehatan perempuan, bahkan meninggalkan trauma psikologis bagi sebagian dari mereka.
Footnote
- ↑ Sarapung, Elga, et.al, Agama dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h 118.
- ↑ Al-‘Asqallânî, Fath al-Bârî fi Syarh Shahîh al-Bukhârî, juz XI, h. 530.
- ↑ Sâbiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dar al-Fikr, 1987), juz I, h. 36.
- ↑ Al-‘Asqallânî, Fath al-Bârî, juz XI, h. 531.
- ↑ Syaltût, Muhamad, al-Fatawa, (tt: Dar al-Qalam), h. 302.
- ↑ Al-‘Asqallânî, Fath al-Bârî, juz XI, h. 530.
- ↑ Abu Dawud, al-Sunan, kitab: al-Adab, no. hadits: 5271, juz IV, h. 368. Lihat: Ibn al-Atsîr, Jâmi’ al-Ushûl, juz V, h. 348.
- ↑ Abu Dawud, Ibid. Lihat juga: Al-‘Asqallânî, Fath al-Bârî, juz XI, h. 530.
- ↑ Ibid.
- ↑ Ahmad, Anwar, Ara’ ‘Ulama al-Din al-Islami fi Khitan al-Untsa, (Cairo: 1989), 8-9.
- ↑ Lihat: Al-‘Asqallânî, Talkhish al-Habîr, juz IV, h. 82.
- ↑ Ahmad, Anwar, Ara’ ‘Ulama al-Din al-Islami fi Khitan al-Untsa, 8.
- ↑ Al-Syawkânî, Nayl al-Awthâr, juz I, h. 139.
- ↑ Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, juz V, h. 75.
- ↑ Al-Syawkânî, Nayl al-Awthâr, juz I, h. 139.
- ↑ Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, juz I, h. 26.
- ↑ Syaltut, al-Fatawa, h. 333.
- ↑ Mernisi, Fatimah, Beyond The Veil (Seks dan Kekuasaan; Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern), penj. Mashur Abadi, (Surabaya: AlFikr, 1997), 92-107.