Siti Syamsiyatun
Dra. Siti Syamsiyatun, M.A, Ph.D | |
---|---|
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Siti Syamsiyatun, MA, Ph.D adalah dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), sebuah konsorsium yang didirikan oleh UIN Sunan kalijaga, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Kristen Dutawacana, pada tahun 2010-2019.
Syamsiyatun ikut hadir dalam perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017. Menurutnya, KUPI menjadi wadah bagi banyak ulama yang memberikan perhatian pada soal kesetaraan gender, tanpa memandang ulama itu perempuan atau laki-laki. Ulama perempuan harus tetap konsisten dan eksis memperhatikan isu perempuan dan keulamaan. Sebutan ulama mestinya tidak hanya disematkan kepada mereka yang memiliki pesantren, tetapi juga untuk mereka yang menghasilkan karya-karya keilmuan dan keislaman dan memberi manfaat untuk masyarakat luas.
Adapun ide-ide yang diperoleh dari KUPI disebarluaskan oleh Syamsiyatun melalui pengajaran di kelas-kelas, di dalam acara-acara keulamaan, dan masyarakat luas. Image di masyarakat tentang makna ulama yang hanya sebatas pada laki-laki yang memakai sorban perlu ditinjau ulang dan menambahkan keulamaan yang melekat pada perempuan juga.
Riwayat Hidup
Siti Syamsiyatun terlahir dari keluarga yang memberi perhatian besar pada pendidikan daripada yang lain. Kakeknya mengizinkan puteri pertamanya, yaitu ibunda Syamsiyatun bersekolah. Ibunya tamat dari sekolah rakyat dan melanjutkan ke sekolah di Madrasah Muallimat Muhammadiyah pada tahun 1930-an; suatu keputusan dan juga kesempatan yang sangat langka untuk masa itu, apalagi bagi perempuan.
Keluarga ayahanda Syamsiyatun juga termasuk keluarga yang memperhatikan pendidikan. Ayahnya menghabiskan masa mudanya dengan menimba ilmu di berbagai pesantren, yaitu di pesantren Wonokromo, Bantul, di pesantren Wakucongol, Muntilan, dan di pesantren Tremas di Pacitan. Pada saat nyantri di Tremas Pacitan itu, ia satu angkatan dengan Prof. Dr. H. Mukti Ali, yang pernah menjadi Menteri Agama pada era awal pemerintahan Presiden Suharto.
Kedua orangtua Syamsiyatun hidup dari dua kultur keagamaan yang beragam, Islam yang melembaga secara tradisi dan kultur Islam yang bercorak Muhammadiyah. Kakeknya dari garis ibu merupakan perintis Muhammadiyah di Kotagede, dan anak-anaknya menjadi penerus di gerakan Muhammadiyah. Ayah Syamsiyatun berlatar belakang pesantren salaf sehingga lekat dengan tradisi Nahdhatul Ulama. Tidak mengurangi rasa takzim terhadap tradisi itu, setelah selesai belajar di Tremas, ayahanda Syamsiyatun kemudian merasa lebih cocok dengan tradisi Muhammadiyah.
Dengan latar belakang pendidikan dan tradisi keislaman tersebut, orangtuanya memberikan pendidikan yang beragam pula kepada Syamsiyatun. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Muhammadiyah Bodon di Kotagede. Ia memiliki ingatan yang indah tentang Sekolah Dasarnya, meskipun saat itu sebagian kelas-kelasnya masih beralaskan tanah, dengan bangunan yang sederhana. Tetapi, situasi kelas dan relasi dengan gurunya sangat menyenangkan. Setamat SD, ia dikirim untuk belajar di pesantren Pabelan di Muntilan. Kakak-kakaknya yang laki-laki sudah dikirim belajar ke Pesantren Gontor, Ponorogo, dan sebagian kakaknya yang puteri melanjutkan di Madrasah Muallimat Muhammadiyah.
Pada saat belajar di pesantren, Syamsiyatun mulai menemukan kemajemukan, termasuk dalam ritual/ibadah. Teman-temannya berasal dari berbagai latar belakang, seperti dari Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Wasliyah, dan Al-Irsyad. Di Pondok Pabelan para santri diajari untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Kiai sendiri memberi contoh, meskipun ritual ibadah di pondok mengikuti tata cara Nahdhatul Ulama, Kiai selalu memberikan ruang kepada santrinya untuk berbeda, tidak taqlid (ikut) dengan imam. Misalnya pada saat bulan Ramadhan, meskipun imam melaksanakan shalat tarawih 23 rakaat, ia membolehkan para santri untuk mengikuti hanya sampai 8 rakaat, dan melanjutkan dengan witir sendiri.
Penghormatan dan pengertian akan perbedaan itu juga ditopang dengan kitab-kitab yang dipelajari. Santri Pondok Pabelan yang sudah kelas 3 (Tsanawiyah) mulai membaca kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Kitab itu menjelaskan argumen yang digunakan oleh para ulama, sehingga santri dapat memahami mengapa ada macam-macam mazhab. Dengan model Pendidikan semacam itu, umumnya alumni pesantren Pabelan memahami dan menghormati perbedaan mazhab.
Perjumpaan Syamsiyatun dengan persoalan gender sebenarnya sudah dialami sejak belajar di pesantren. Pada saat belajar bahasa Arab—yang sangat kental dengan gender (mudzakkar dan muannats) banyak santri yang bertanya-tanya tentang kata ganti (dhomir) Huwa (Dia) yang dipakai untuk Allah. Dalam imajinasi anak-anak, dhomir huwa adalah untuk laki-laki, jadi kalau Allah disebut dengan huwa berarti Allah laki-laki. Para guru saat itu belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Syamsiyatun mendapatkan jawaban yang relatif lebih memuaskan ketika sudah kuliah dan mulai mempelajari persoalan masyarakat dan konstruksi gender, termasuk pengaruhnya dalam tata bahasa, termasuk bahasa Arab. Namun, benih-benih nalar untuk bertanya sudah mulai ditumbuhkan di Pesantren Pabelan yang terbuka itu.
Setelah nyantri di Pabelan, Syamsiyatun melanjutkan kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Saat itu UMY baru berusia dua tahun, belum seperti saat ini—sudah menjadi salah satu universitas Islam terbaik di Asia Tenggara. Syamsiyatun tidak melanjutkan ke IAIN karena tidak ada ijazah sekolah dari Pesantren Pabelan. Dengan bekal kemampuan Bahasa Arab dan Inggris dari Pabelan, pada saat kuliah Syamsiyatun terlihat lebih menonjol dibandingkan mahasiswa yang lain, apalagi mahasiswanya masih sedikit, oleh karena itu dia sering dilibatkan sebagai asisten dosen.
Saat itu kampus UMY berada di dekat lapangan Asri milik Muhammadiyah sebagai home base-nya PS HW (Persatuan Sepakbola Hizbul Wathan) dan PSIM (Perserikatan Sepakbola Indonesia Mataram). Pada saat dosen tidak hadir, para mahasiswa senang duduk-duduk di pinggir lapangan menonton pemain bola berlatih. Saat Syamsiyatun aktif sebagai anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan bertemu dengan teman-teman dari UGM, IAIN, UII dan IKIP sering diejek dengan candaan, “Iki lhoo mahasiswa dari UCLA (universitas cedak lapangan asri)”. Ternyata ledekan teman-teman itu menjadi doa, dan pada tahun 2008 menjadi kenyataan. Syamsiyatun bertandang ke UCLA yang ‘original’ yaitu University of California at Los Angeles, di Amerika Serikat. Sembari tersenyum dan tertawa Syamsiyatun bercerita, belum tentu teman-teman yang mengejek sudah pernah datang ke UCLA sesungguhnya. Selain UCLA, Syamsiyatun berkunjung juga ke UC Riverside, UC Berkeley, dan UC Santa Barbara. Dia merasa perjalanan hidupnya didukung dengan doa-doa yang selalu dipanjatkan oleh kedua orangtua dan orang-orang dekatnya, ternyata diamini oleh kosmos dan diijabah oleh Allah SWT.
Setelah lulus dari UMY, Syamsiyatun menjadi dosen di universitas almamaternya. Pada dekade 1990-an Kementerian Agama RI bekerja sama dengan Canada untuk projek ICIHEP (Indonesia- Canada Islamic Higher Education Project) untuk menyekolahkan dosen-dosen dari perguruan tinggi Islam negeri ke McGill University, guna studi S2 dan S3. Kementerian Agama memiliki kuota pendidikan master dan doktor setiap tahunnya dan hanya untuk PTKIN (Perguruan Tinggi Islam Negeri). Pada pertengahan tahun 1990s, kuota dari IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga tidak terpenuhi, lalau mereka mengundang dosen-dosen dari universitas Islam swasta, termasuk UMY dan UII, untuk mengikuti tes seleksi. Syamsiyatun diutus UMY untuk mengikuti test seleksi dan ternyata berhasil lolos. Akhirnya pada tahun 1996 bersama dengan 11 dosen dari berbagai perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia, Syamsiyatun berangkat menempuh studi S2 di McGill University di Canada, dan selesai pada tahun 1998.
Dalam proses melanjutkan ke McGill University, ternyata terjadi juga proses untuk mengangkat mereka yang lolos seleksi untuk menjadi dosen pegawai negeri sipil. Karena berasal dari UMY, Syamsiyatun berkonsultasi dengan rektor dan dekan di UMY dan diberi jawaban silakan dilanjutkan untuk menjadi dosen PNS. Syamsiyatun merasa sedih juga setelah SK CPNS keluar dia diberi surat pemberhentian kerja dengan hormat oleh UMY.
Pada tahun 1998 setelah lulus S2 dari McGill, selain mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, ia juga menjadi dosen tamu di UMY dan di UII kelas internasional. Pada saat Syamsiyatun meminta izin kepada Rektor untuk langsung melanjutkan pendidikan doktor, oleh Rektor diminta untuk mengabdi dahulu beberapa tahun, “Mengabdi dululah di kampus, karena PNS kamu kan dari Kemenag pusat, khawatir ada kecemburuan dengan yang lain.” Setelah mengabdi tiga tahun setengah di UIN Yogyakarta, pada tahun 2002 Syamsiyatun melanjutkan doktoral di Monash University, Australia.
Pada tahun 2000an McGill University Kanada sebenarnya mengadakan kerjasama dengan Kemenag untuk pendidikan social work. Saat itu Syamsiyatun mencoba peruntungan dengan mendaftar S3 di Canada (McGill University) dan Australia (Monash University), kebetulan kedua-duanya lulus dan diterima. Sebelum menentukan pilihan, ia bermusyawarah dengan suami dan keluarga dari kedua belah pihak. Melalui berbagai pertimbangan, akhirnya dia memutuskan untuk S3 ke Australia. Pertimbangannya antara lain untuk memperluas jaringan, karena di Canada sudah pernah dan winter (musim dinginnya) terlalu panjang, jarak Canada yang sangat jauh, juga belum pernah ke Australia.
Pada saat mengambil program doktoral di Monash University, di School of Political and Social Inquiry, semula Syamsiyatun hendak meneliti tentang peran PSW (Pusat Studi Wanita) di PTKIN dalam menumbuhkan kesadaran dan sensitivitas kesetaraan gender. Tetapi setelah diskusi dengan supervisor akhirnya berganti topik, meneliti dinamika ideologi keperempuanan di Nasyiatul Aisyiyah tahun 1965-2005. Hal ini karena masih sangat sedikit disertasi yang meneliti tentang organisasi Islam di Indonesia yang sudah berusia satu abad. Karena akses pengumpulan data dapat dilakukan dengan relatif mudah dan cepat, Syamsiyatun dapat menyelesaikan kuliah S3 tepat waktu. Selain ingin selesai kuliah tepat waktu, Syamsiyatun sudah lama menyimpan cita-cita untuk dapat melaksanakan haji pada usia muda. Supervisor Syamsiyatun, Dr. Susan Blackburn, memperbolehkan Syamsiyatun untuk izin beberapa pekan, guna melaksanakan ibadah haji bersama suaminya. Izin ini diberikan oleh supervisor karena ia memandang Syamsiyatun disiplin mengerjakan disertasi, dan masih ada waktu bila ingin pergi haji.
Berangkat haji dari Australia pada tahun 2005 masih sangat mudah, tidak ada antrian, masa tunggu karena kuota selalu ada. Syamsiyatun dan suami mendaftar haji bulan Agustus, dan berangkat ke tanah suci pada bulan Desember 2005. Rombongan perjalanan haji dari Australia terdiri dari Muslim dengan berbagai bangsa dan ras, ada orang Indonesia, Malaysia, India, Iran, Turki, Lebanon, Eropa dan lain-lain. Biaya juga relatif lebih murah dibandingkan berangkat dari Indonesia yang menggunakan fasilitas haji plus. Syamsiyatun mengaku bahwa dapat melanjutkan pendidikan tinggi di Australia dan pergi haji tidak pernah terlintas di benak anak Kotagede yang berasal dari keluarga sederhana; tidak pernah terpikir dapat sekolah ke luar negeri dengan penghasilan PNS.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Berbicara tentang makna keulamaan, menurut Syamsiyatun, sangat erat kaitannya dengan kultur dan perkembangan pengetahuan masyarakat. Sampai pada era sekarang sebagian besar pandangan masyarakat umum mengasosiasikan keulamaan dengan laki-laki. “Bahwa yang disebut ulama ya laki-laki, memiliki pesantren, berjubah, bersorban; sementara orang-orang ‘alim yang memiliki ilmu agama yang tinggi, berpendidikan tinggi, memiliki karya ilmiah yang banyak, tetapi tidak memiliki pesantren, tidak pernah diakui atau disebut sebagai ulama,” tuturnya.
Syamsiyatun menceritakan pengalamannya bertemu dengan murid-muridnya yang telah menjadi ulama-ulama di kampung halaman masing-masing. Sewaktu Syamsiyatun berkunjung ke pesantren milik salah seorang muridnya itu, si kiai merunduk (sungkeman). Menyaksikan itu, para santrinya heran kenapa kiainya merunduk di depan perempuan. Syamsiyatun mengerti kualitas murid-muridnya, namun ia menyadari bahwa mereka juga telah berkembang sejak mereka lulus.
Konsepsi makna ulama itu masih dianggap ‘sakral’ dan dikaitkan dengan jenis kelamin laki-laki; sedangkan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas masih belum dianggap sebagai ulama. Sarjana-sarjana seperti Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin dan Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah, misalnya, adalah ulama karena secara akademik sudah memenuhi kapasitas ilmu agama, ilmu umum, dan pengalamannya juga sangat luas, bahkan mungkin lebih luas daripada ulama-ulama yang ada di daerah-daerah. Hanya karena para sarjana perempuan ini tidak memiliki pesantren, mereka tidak pernah disebut sebagai ulama. KUPI hadir di antaranya untuk menjawab persoalan bias konsep ulama.
Fakta bahwa Syamsiyatun dan teman-temannya mengenyam pendidikan tinggi di Barat ternyata berdampak pada saat mereka berbincang tentang kesetaraan gender di hadapan kaum laki-laki. Seringkali mereka mendapatkan penolakan karena stigma bahasa tentang gender, feminisme, dan feminis. Banyak kalangan menolak istilah gender karena dianggap sebagai barang impor dan tidak islami. Oleh karena itu, para sarjana ini perlu berstrategi untuk mencari istilah pengganti yang dapat dimengerti oleh audiens. Maka, pada saat Syamsiyatun mengisi forum atau dakwah, ia lebih banyak menggunakan istilah dalam Bahasa Arab agar dapat dipahami, seperti fiqhunnisa, muasyarah bil ma’ruf, ahsanul khuluq, daripada istilah Barat equal relation. Ternyata dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Arab, ide-ide menjadi lebih mudah diterima masyarakat.
Strategi lain yang dilakukan oleh orang-orang di PSW UIN Sunan Kalijaga selanjutnya adalah membentuk vocal points yang terdiri dari sarjana-sarjana perempuan dan laki-laki yang memang memiliki perhatian pada isu gender. PSW UIN Yogyakarta mendapat dukungan yang kuat Prof. Hamim Ilyas dan Dr. Wawan Gunawan, yang kemudian mereka menjadi mentor persoalan gender terutama di lingkungan Muhammadiyah. Ketika Prof. Amin Abdullah, Prof. Hamim Ilyas dan Dr. Wawan Gunawan berbicara gender di hadapan laki-laki daya resistensinya rendah daripada bila yang berbicara adalah sarjana perempuan seperti Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Prof. Alimatul Qibtiyah, dan Syamsiyatun sendiri.
Mendekatkan isu gender dan agama kepada masyarakat umum harus dilakukan dengan hadharatun nash (teks) yang baik, sehingga argumen-argumen bayani harus diperkuat. Ulama masa kini berbeda dengan ulama-ulama terdahulu; ulama perempuan hari ini memilik kemudahan untuk mengakses, mempelajari dan menerapkan metode tafsir ulama-ulama kontemporer seperti Fazlur Rahman, Abdullah Said, Muhammad Sahrur, dan Abdullah An-Naim, selain dari pemikiran ulama tafsir abad klasik dan pertengahan, tentu saja. Ulama-ulama Indonesia yang terdahulu umumnya mengakses sampai pada tafsir karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Menurut Syamsiyatun, ulama perempuan dan perempuan ulama hari ini berpotensi memiliki khazanah yang luas, sehingga ketika mereka berbicara hadharatun nash tidak kalah dengan kaum laki-laki. Selain itu, perempuan ulama dan ulama perempuan era ini memiliki bekal akademik yang multidisiplin sehingga memiliki modal scholarship yang lebih beragam. Meskipun demikian, tantangan tentang konsepsi perempuan ulama dan ulama perempuan masih tetap ada.
Prestasi dan Penghargaan
Penghargaan yang pernah diterima Syamsiyatun, antara lain Fulbright Visiting Specialist: Direct Access to the Moslem World, di mana dengan award itu Syamsiyatun mengajar di Cadwell College dan memberi ceramah di beberapa universitas di USA selama satu semester. Pada tahun 2011, Syamsiyatun juga mendapat Australia Endeavour Executive Awards untuk melakukan penelitian dan peningkatan relasi kerja selama 3 bulan di Australia, dan pada tahun 2020 mendapat penghargaan mutu dosen unggul.
Karya-Karya
Selain mengajar, Syamsiyatun juga menulis berbagai karya ilmiah, di antaranya Agama, Gender dan Identitas dalam Ideologi Gender dan Politik Kekuatan Agama di Indonesia (2017), Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama dan Isu-isu Globalisasi, Kekerasan, Gender dan Bencana di Indonesia dalam Menggali Kembali Tafsir dan Praktik Agama yang Berkeadilan Gender (2015).
Penulis | : | Rusli Latief |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |