Siti Ruhaini Dzuhayatin

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Siti Ruhaini Dzuhayatin
Ruhaini.jpg
Tempat, Tgl. LahirJawa Tengah, 17 Mei 1963
Aktivitas Utama
  • Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1992 – saat ini)
  • Ahli Utama, Kantor Staf Presiden RI (2020- sekarang)
  • Staf Khusus Presiden RI (2018-2019)
  • Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama (2014-2016)
  • Ketua Komisi Hak Asasi Manusia, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Jedaah Suadi Arabia (2012-2014)
Karya Utama
  • Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi (2015)
  • Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dalam Kurikulum Univesitas Islam di indonesia (2005)

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. lahir di Blora, 17 Mei 1963. Ia adalah ahli studi Islam, HAM, gender, dan demokrasi. Ia juga seorang akademisi dan peneliti. Ia merupakan dosen Sosiologi Hukum, Hukum dan HAM, Hukum dan Gender di Fakultas Syariah dan Hukum serta Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, ia juga mengajar mata kuliah serupa di Fakultas Hukum UGM, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM dan universitas lainnya di Indonesia serta di luar negeri seperti Emory University dan South Carolina University.

Ruhaini memiliki keselarasan pandangan mengenai konsep kesetaraan dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), bahwa konsep kesetaraan yang bermitera dan diperjuangkan bersama antara perempuan dan laki-laki merupakan ajaran Islam yang rahmatan lil alamiin. Ia berkeyakinan bahwa melepaskan advokasi kesetaraan gender dari agama sulit terwujud di Indonesia yang sangat agamis. Ia menjadi salah satu narasumber pada seminar internasional dalam pelaksanaan KUPI tahun 2017.

Riwayat Hidup

Ruhaini menempuh pendidikan S1 pada Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1988), S2 Jurusan Sosiologi Monash University Melbourne, Australia (1993), dan S3 jurusan Sosiologi di Universitas Gajah Mada (2011). Ia dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah yang moderat dan juga NU, dan berlatar belakang pendidikan pesantren modern di Pesantren Pabelan, Magelang.

Ia memperoleh pendidikan dasar mengenai kesetaraan gender dan Hak Asasi Manusia dari ibunya yang secara sederhana mengatakan: “Wong wedok kudu duwe duit dhewe. Paling ora kanggo kebutuhane dhewe. Dadi, yen arep tuku wedak, ora kudu njalok bojo. Ben ora disepeleake mergo kabeh nggantungake urip nang bojo (Perempuan harus punya uang sendiri, minimal untuk kebutuhan sendiri. Jadi, mau beli bedak tidak perlu minta suami. Biar tidak disepelekan karena bergantung hidup sepenuhnya pada suami).”

Latar belakang keluarga dan pendidikan yang dienyamnya berpengaruh terhadap pembentukan mindset-nya yang terbuka dalam menghargai perbedaan. Sejak duduk di pesantren ia sudah belajar mengenai toleransi serta perempuan dan keadilan sosial. Keterbukaan berpikir di Pabelan menumbuhkan pemikiran kritis terhadap beberapa interpretasi dan pemahaman Islam yang menyiratkan perbedaan dan sering berakibat merendahkan posisi perempuan. Ia tidak percaya bahwa Islam merendahkan perempuan meski praktik sosial memunculan kisah-kisah pilu perempuan dalam poligami, perceraian serta masalah-masalah lainnya.

Kekuatan Ruhaini dalam menelaah khazanah kitab-kitab Islam klasik berpadu secara sinergis, kritis, dan konstruktif dengan ilmu-ilmu sosial kontemporer yang ia peroleh dari studi Master di Monash University Australia dan studi doktoral di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Minat studinya pada isu Islam, gender, dan HAM dikuatkan melalui keterlibatannya di Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 2002-2007 ia menjadi direkturnya yang menginisiasi program pengarusutamaan gender di Perguruan Tinggi Islam baik melalui kurikulum, manajemen, dan kultur universitas. Ia juga gigih terlibat dalam upaya penghapusan berbagai bentuk candaan yang merendahkan perempuan yang dianggap lazim secara budaya. Karena kegigihan tersebut ia mendapat julukan sebagai "IBU GENDER", campuran antara penghargaan dan cibiran, namun ia bergeming.

Ia tercatat sebagai satu dari dua anggota perempuan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1995-2000, suatu posisi yang tidak lazim karena selama itu majelis ini hanya beranggotakan laki-laki yang dipandang sebagai ulama. Ia banyak menemui hambatan dalam upayanya mengarusutamakan gender di Muhammadiyah. Berbekal keilmuan dan jejaringnya dengan para ulama laki-laki yang berpandangan moderat, ia berhasil membuka jalan bagi diterimanya kesetaraan gender di Muhammadiyah. Gender secara wacana bisa diterima dan diarusutamakan di dalam struktur Muhamamdiyah. Misalnya, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah diakui sebagai bagian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan berkembangnya wacana perempuan bisa menjadi imam shalat bagi lelaki dewasa; isu yang sangat 'tabu' dibicarakan di dalam tradisi Islam, meskipun tidak ada larangan secara tertulis dalam Al-Qur'an.

Pada tahun 2010-2015, Ruhaini menjadi satu-satunya anggota Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mengelola lebih dari 100 perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah. Ia juga gigih memperjuangkan hak beragama bagi mahasiswa beragama selain Islam, seperti perayaan natal di lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah di wilayah Indonesia Bagian Timur di Kupang dan di Papua. Ia juga aktif dan sebagai salah satu pendiri Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) tahun 2004.

Ia diangkat sebagai Staff Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional oleh Presiden Joko Widodo (2018-2019) yang mengawal program prioritas presiden tentang moderasi beragama dan Islam wasathiyat sebagai modalitas Indonesia di kancah internasional. Selanjutnya, ia menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Staf Presiden RI (2020-2024) pada bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan isu internasional. Ia pernah menjadi Ketua Komisi Hak Asasi Manusia pada Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang bermarkas di Jeddah, Saudi Arabia (2012-2014) setelah terpilih mewakili Indonesia sebagai komisioner pada komisi tersebut. Pada tahun 2014-2018 ia terpilih embali sebagai komisioner. Fokus kajiannya adalah Hak Asasi Manusia, termasuk hak perempuan, difabilitas dan kelompok rentan lain yang sampai saat ini masih banyak dibicarakan baik di dalam negeri maupun internasional.

Ia juga pernah menjadi peneliti senior di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM tahun 1999-2002. Ia menerima Beasiswa AIDAB Australia pada tahun 1991-1993; Human Right Documentation Training, Manila, Philipina, 1994; Women Fellowship di McGill University Canada, 1998; Islam and Human Right Fellowship, Emory University, 2003-2004; Gender and Conflict Resolution, Ulster University, Irlandia Utara dan British Council, Manchester, 2006; serta Human Right Mechanism Training di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa dan New York tahun 2012.

Secara struktural, perempuan ini pernah menduduki jabatan Wakil Rektor Bidang Kemahasiwaan dan Kerjasama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014-2016 dan terus gigih berusaha memecahkan 'glass ceiling' rektor yang selama ini di dominasi laki-laki. Ruhaini tercatat sebagai figur yang mampu meredakan ketegangan isu feminis, Muslim, dan Barat.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Ruhaini termasuk di antara para pemikir gender dan Islam awal di Indonesia di awal 1990an, seperti Mansur Faqih, Lies Marcoes, Cici Farha, dan Nazaruddin Umar yang memperkenalkan konsep gender yang mengakar dalam Islam. Gender merupakan serapan dari Bahasa Arab ‘jinsun’ atau jenis yang ada di dalam Bahasa Arab. Kata ini bernisbah pada ‘muanas’ dan ‘muzakar’ untuk semua aspek dan benda, termasuk laki-laki dan perempuan yang terserap pula di dalam tata bahasa Perancis dan Inggris. Dari aspek kebahasaan ini diskursus gender disampaikan dalam Bahasa agama, yaitu Islam, di Indonesia.

Menurut Ruhaini, persoalan yang paling mengemuka adalah apakah konstruksi gender selalu menimbulkan ketimpangan? Jawaban yang akurat adalah tidak selalu dan bergantung pada konteksnya. Menelisik ketimpangan perlu memperhatikan indikator atau tolok-ukur yang digunakan. Karena bersifat konstektual, isu dan ketimpangan gender tidak seragam, tidak permanen, dan tidak abadi.

“Perubahan sosial itu adalah perubahan teologis seperti ditegaskan oleh Ibn Khaldun dan juga Weber, termasuk perubahan sosial menuju tatanan yang adil,” ujarnya. Demikian pula, konsepnya tentang kesetaraan gender adalah bagian integral dari kesetaraan sosial yang harus diperjuangkan bersama oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah pemberdayaan perempuan yang eksklusif perempuan menjadi kolaborasi bersama yang inklusif dan saling menguatkan antara perempuan dan laki-laki. Konsep ini utarakan pada awal 1990an.

Ia juga mempraktikkan konsep tersebut ketika menjadi Direktur Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga dan Dewan pengurus Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Meskipun pada awalnya ia banyak menerima kritik dari kalangan feminis di berbagai forum internasional, terbukti bahwa pelibatan melibatkan laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender menjadi arah strategi global dan diadopsi oleh UN Women dalam advokasi “He for She” pada tahun 2014. Prinsip ini menjadi landasan aksi atau dakwah yang berkeadilan serta advokasi kebijakan negara yang setara terhadap laki-laki dan perempuan. “Landasan aksi secara teologis dan sosiologis inilah yang didiseminasi dalam halaqah-halaqah di ruang public,” ujarnya.

Siti Ruhaini Dzuriyatin membawa harum nama bangsa Indonesia dalam kancah internasional dengan membawa ‘bagasi’ besar, yaitu Islam Indonesia yang moderat yang dapat menjadi ‘titik temu’ universalitas Hak Asasi Manusia dan Hak Perempuan dengan partikularitas tradisi Islam. Praktik Islam dan HAM Indonesia menjadi modalitas Indonesia untuk mengambil ‘leadership’ masyarakat Islam di mata dunia. Indonesia mampu mencari ‘titik temu’ spektrum pemahaman Islam yang moderat dan memberdayakan. Praktik baik ini berhasil meredakan ketegangan pandangan yang berbeda pada masa-masa pertumbuhan Komisi HAM OKI dan dapat dipandang sebagai kontribusi Indonesia untuk dunia.

Titik temu bahwa ‘tidak ada kontradiksi yang abadi antara Islam dan HAM Internasional—meski tidak selalu ada keselarasan yang tiba-tiba’—dikembangkan oleh Ruhaini bersama mentornya, Prof Abdullahi an Naim, pada saat ia mengikuti Fellowship Islam dan HAM di Emory University, Amerika Serikat pada tahun 2003-2004. Diskusi intensif tersebut menghasilkan suatu model bagaimana masa depan Islam dalam negara sekuler (The Future of Syariah in Sekualr State)—suatu derivasi negara sekuler yang ramah agama (religious friendly secularism) seperti Indonesia. Sekular di sini diartikan sebagai negara yang tidak dibentuk secara teokratis.

Oleh sebab itu, ia berpandangan bahwa ketegangan (clash) antara Islam dan HAM itu bukan pada prinsip-prinsip mendasarnya tetapi pada ‘pendekatannya’. Bukan antara Islam dan prinsip HAM Internasional, melainkan ‘ketegangan’ antar-‘fundamentalisme’, yaitu ketegangan antara Islam fundamentalis di dunia Muslim dan sekuler fundamentalis di Barat.

“Jika kedua kutub fundamentalisme itu dapat ditarik ke tengah—moderat—Islam dan sekuler maka akan dapat tercapai ‘titik temu’ bagaimana memahami ‘Syariah’ dan Western way of life—diletakkan secara moderat dan terbuka untuk saling menghormati,” jelasnya.

Modalitas Indonesia yang diusung oleh Ruhaini tercermin dalam pertemuan Komisi HAM OKI yang pertama yang digelar di Indonesia pada 2012. Para komisioner sangat terkesan dengan Indonesia, terutama bagaimana Indonesia mampu mengkombinasikan Islam dengan modernitas. Salah satunya, menerapkan HAM dalam konteks Islam. Contoh lain misalnya, dalam statuta pembentukan Komisi terdapat mandat untuk berkonsultasi dengan komisi nasional di negara masing-masing. Tidak semua negara bersiap melakukannya, tetapi sejak awal para komisioner menyaksikan sinergi dan kerja sama yang konstruktif antara pemerintah dan organisasi dan tokoh masyarakat sipil. Mereka sangat terkesan dan kagum. “Belum banyak, jika tidak bisa dikatakan tidak ada praktik seperti ini di negara-negara Islam lain. Banyak masalah HAM yang masih menjadi perdebatan di negara-negara anggota OKI, tetapi dapat diimplementasikan di Indonesia. Indonesia menjadi model HAM di negara-negara OKI,” jelasnya.

Menurut Ruhaini, Komisi HAM OKI digagas pada KTT Luar Biasa Ketiga di Mekkah pada 2005. Komisi baru diresmikan dengan mengadopsi statuta pada Sidang Dewan Para Menteri Luar Negeri (CFM) ke-38 di Astana, Kazakhstan pada 2011. Sekjen OKI pada waktu itu, Profesor Eklemeddin Ihsanoglu menyatakan bahwa pembentukan komisi HAM adalah salah satu proses moderasi dan modernisasi OKI. Melalui moderasi dan modernisasi, OKI memperhatikan masalah yang aktual, salah satunya hak-hak asasi manusia. Hal yang ditekankan dalam pembentukan komisi ini adalah adanya ‘bridging’ antara negara-negara Muslim dengan prinsip-prinsip HAM internasional dan komunitas internasional lainnya. Menjalin Kerja sama yang konstruktif dan bukan kontestasi yang diskruktif dan kontra-produktif.

Di samping itu, Komisi ini diharapkan dapat mempromosikan HAM di negara-negara anggota OKI. Komisi juga berperan sebagai think tank bagi Council of Foreign Minister dan perwakilan OKI di Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait isu-isu HAM. Ruhaini sependapat dengan Prof Ihsanoglu di mana pendekatan OKI terhadap HAM tidak vis a vis Barat. Tetapi, ada nilai-nilai pemahaman, resiproksitas, dan konstruktif. Hal tersebut dicontohkan bagaimana OKI dan Amerika Serikat menjadi sponsor utama dari Resolusi Dewan HAM 16/18 yang disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2011 tentang combating intelorance, negative stereotyping and stigmatization of, and discrimination, incitement to violence and violence against persons based on religion or belief in person. Resolusi itu kemudian disepakati oleh seluruh anggota Majelis Umum PBB dan diimplementasikan dalam suatu prosedur dan mekanisme yang disebut Istanbul Prosess, yang berisi langkah-langkah bagaimana resolusi itu dapat diimplementasikan dalam memastikan perlindungan terhadap pemeluk agama.

Komisi ini memiliki standing issues, yaitu palestina dan daerah-daerah Muslim yang dijajah, Islamophobia, Hak Sipil dan Politik, Hak ekonomi, sosial dan budaya, Hak perempuan dan anak, serta hak pembangunan. Ada beberapa masalah yang merata di seluruh negara anggota OKI, seperti kekerasan terhadap perempuan, perkawinan anak, dan poligami. Secara lantang dalam forum plenary Komisi HAM yang dihadiri Komisi Fiqh OKI, Ruhaini menegaskan bahwa ‘poligami bukan ajaran Islam’—tentu ini mengagetkan para hadirin. Tetapi, ia berkeyakinan bahwa poligami sudah ada sebelum Islam turun dan diwahyukan kepada Rasulullah.

Selanjutnya ia menjelaskan, “Yang menjadi ajaran Islam adalah bagaimana memanusiawikan praktik poligami yang lebih melindungi perempuan dan anak-anak yatim dan menjadi ajaran emansipatif Islam menuju perkawinan monogami yang menjamin keluarga sakinah, mawadah dan rahmah.” Itulah cita-cita ideal keluarga dalam Islam yang menjadi dasar pembentukan umat yang kuat.

Setelah selesai menjadi ketua komisi, Ruhaini mengambil peran sebagai koordinator hak perempuan dan anak. Tugasnya ini terhitung berat karena berhadapan dengan doktrin-doktrin Islam—yang baginya tidak masalah karena latar belakang akademisnya sebagai dosen Fakultas Syariah Universitas Islam.

Meski memiliki mandate yang masih terbatas dari yang diidealkan, Komisi ini telah memberikan inspirasi kepada beberapa negara angota OKI, misalnya, Arab Saudi mengesahkan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga. Demikian pula, adanya pengesahan hak memilih bagi perempuan di Riyadh dan beberapa kota besar. Ditunjuknya perempuan dalam dewan penasihat raja soal kesejahteraan perempuan. Profesi-profesi tertentu yang dulu diharamkan, seperti dokter dan pengusaha, saat ini sudah diperbolehkan bagi perempuan. Dan yang paling kontroversial adalah kebolehan perempuan untuk menyetir mobil yang sebelumnya banyak membawa korban penangkapan karena protes dan demontrasi.

Sementara masalah lain yang jadi perhatiannya adalah Islamophobia. “Saya menyatakan bahwa Islamophobia harus dibahas secara resiproksitas. Harus diimbangi dengan hak-hak minoritas non-muslim di negara-negara Muslim. Hanya Indonesia yang berani mengungkapkan hal ini karena pengalaman Indonesia dalam memastikan perlindungan kelompok minoritas,” tambahnya.

Pada saat mengakhiri tugasnya selama enam tahun di Komisi ini, ia berharap agar Komisi ini diberikan mandate yang lebih luas, bukan semata mempromosikan tetapi juga memiliki mandate perlindungan. Ia menjelaskan bahwa Komisi ini baru lahir dengan statuta hanya memberikan mandat untuk mempromosikan bukan perlindungan. Penganganan HAM di negara-negara anggota OKI masih bertumbuh dan berbenah. Maka mempromosikan kesadaran adalah strategi yang tepat sebelum ada mandat perlindungan atau mengawasi.

“Sebagai komisioner HAM saya menyadari hal ini sangat penting dan telah menyampaikan ke Sekjen bahwa suatu hari nanti Komisi HAM OKI juga harus punya peran perlindungan. Tantangan kita adalah tidak adanya hak perlindungan. Seperti di Komisi HAM Afrika. Akan lebih efektif bagi Komisi jika dapat mengawasi pelaksanaan HAM di negara-negara OKI. Itu harapan para komisioner”, tegasnya memungkasi wawancara dengannya.

Prestasi dan Penghargaan

Atas dedikasinya di bidang akademik, ia menerima Penghargaan Menteri Agama sebagai salah satu dari 10 Dosen Berprestasi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia pada tahun 2010.


Sumber: Wawancara Maret 2018 dan Juni 2021.


Penulis : Rusli Latief
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir