Sharing Properti Dalam Keluarga
Ikatan pernikahan tidak hanya mengaitkan dua fisik dan psikis antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga harta benda yang mereka bawa, usahakan dan mereka peroleh sejak menyatakan hidup bersama. Dalam relasi ini, idealnya konsep-konsep perolehan harta keluarga seperti maskawin, nafkah, dan waris diperuntukkan bagi jaminan agar tidak ada pihak yang terlantar secara ekonomi akibat ikatan ini. Tetapi dalam relasi suami istri yang timpang, konsep-konsep ini bisa mendiskreditkan perempuan terutama akibat dari pembakuan pembagian peran dimana suami harus bekerja di luar rumah mencari nafkah dan istri harus mengelolanya di dalam rumah. Cara pandang budaya yang patriarkhi juga membuat banyak orang menafsirkan konsep maskawin dan nafkah secara sepihak sebagai dominasi dan domestifikasi atas perempuan. Dengan tafsir ini, perempuan kemudian dijauhkan dari pergaulan sosial, dan terhalang dari akses terhadap manfaat-manfaat ekonomi, politik, kesehatan, dan terutama pengetahuan.
Berangkat dari pengalaman perempuan, bab ini akan mendiskusikan ulang konsep-konsep terkait sumber-sumber properti keluarga, seperti maskawin, nafkah, waris, atau yang lain. Diskusi ini mendasarkan pada prinsip, bahwa mereka yang berada dalam ikatan pernikahan harus merasa aman dan terlindungi secara ekonomi. Tidak boleh ada satu orangpun yang terlantar. Ikatan pernikahan juga tidak boleh dijadikan alat dominiasi, subordinasi, dan marginalisasi, terkait hak-hak ekonomi salah satu anggota keluarga. Diskusi bab ini berangkat dari keyakinan bahwa Islam hadir ke muka bumi lima belas abad yang lalu untuk meneguhkan keadilan sosial. Karena itu, ia juga harus dihadirkan kembali saat ini untuk menegaskan keadilan bagi perempuan yang mengalami kekerasan sosial, politik, dan ekonomi, baik dalam kehidupan publik maupun domestik. Nilai-nilai agama tidak selayaknya dijadikan legitimasi untuk merusak hak-hak individu dan semangat kebersamaan dalam keluarga.
Prinsip al-Qur’an (QS. Ar-Rum, 21) mengenai komitmen berkeluarga untuk menumbuhkan rasa cinta (mawaddah), kasih (rahmah), dan ketentraman (sakinah) misalnya, harus dirujuk untuk mengoreksi praktik-praktik hukum fiqh yang bisa jadi dimanfaatkan untuk diskriminasi dan dominasi anggota keluarga. Merujuk pada prinsip ini, reaktualisasi konsep-konsep properti keluarga dilakukan untuk memastikan keberdayaan seluruh anggota keluarga, perempuan maupun laki-laki. Melalui reaktualisasi ini, perempuan tidak boleh didiskriminasi hanya karena menerima nafkah dari suami dan tidak bekerja di luar rumah. Begitupun laki-laki tidak boleh dipojokkan dan didiskriminasi karena persoalan kewajiban nafkah, yang bisa jadi pada praktiknya tidak mampu ia lakukan. Prinsip mawaddah-rahmah-sakinah ini juga bisa dihadirkan untuk mendorong adanya sharing properti keluarga. Sehingga, di samping ada hak-hak individual ekonomi yang independen bagi masing-masing anggota keluarga, juga ada sharing properti yang menjadi tanggung jawab dan kontrol bersama, misalnya antara suami dan istri, untuk memberikan jaminan ekonomi yang lebih baik terhadap seluruh anggota keluarga.
Perempuan dan Sharing Properti Keluarga
Perempuan bekerja memperoleh uang untuk kepentingan keluarga adalah fakta di depan mata. Kita dengan mudah menemukan mereka di ladang, pasar, pertokoan, home industri, pabrik, dan perkantoran untuk bidang jasa. Data BPS Tahun 2007 misalnya, menceritakan tingkat partisipasi yang signifikan mengenai angakatan kerja perempuan, terutama di bidang pertanian dan perdagangan. Dari Februari 2006 hingga Februari 2007, jumlah pekerja perempuan bertambah 2,12 juta orang, sementara pekerja laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang. Jumlah total perempuan angkatan kerja pada Tahun 2007 adalah 40,19 juta orang, sementara angkatan kerja laki-laki berjumlah 67,94 juta orang. Pada Tahun 2008, angkatan pekerja perempuan berjumlah 42,80 juta orang, sementara angkatan pekerja laki-laki berjumlah 69,14 juta orang.
Peningkatan jumlah angkatan pekerja perempuan pada Tahun 2007 di bidang pertanian, karena bidang ini ditinggalkan laki-laki yang pindah mengadu nasib ke perkotaan, atau beralih ke bidang perdangan, dan jasa kemasyarakatan. Tetapi secara umum, partisipasi perempuan dalam angakatan kerja lebih rendah dari laki-laki. Bisa jadi karena peran ganda perempuan, yang memberatkan mereka untuk memilih kerja di luar sekaligus mengurus seluruh persoalan rumah tangga. Karena faktor budaya tertentu, banyak perempuan juga yang merasa nyaman dan aman untuk tinggal di rumah tanpa bekerja di luar rumah. Dalam hal ini, perempuan cenderung untuk keluar dari pasar kerja ketika memasuki ikatan pernikahan, terutama karena alasan melahirkan, mengurus, dan membesarkan anak. Ketika anak-anak sudah besar, besar kemungkinan perempuan akan kembali pada pasar kerja.
Pendidikan, umur, status sosial, keadaan ekonomi keluarga, ketersediaan lapangan kerja, dan perbedaan struktur sosial ekonomi kota-desa, juga memiliki pengaruh cukup besar pada tingkat partisipasi perempuan dalam angakatan kerja. Pandangan budaya mengenai gender memberikan pengaruh yang paling signifikan terhadap semua persoalan perempuan dan pekerjaan. Termasuk terhadap metodologi survey dan temuan data yang diangkat BPS. Karena itu, reliabilitas data perempuan pekerja masih menjadi perdebatan di kalangan peneliti, karena perempuan cenderung berada pada batas antara aktivitas yang bernilai ekonomis dan non-ekonomis, dibanding dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan laki-laki. Karena faktor sosial budaya juga, perempuan seringkali memilih (dipilihkan) pada pekerjaan yang paroh waktu, atau musiman. Dalam diskusi akademik dan gerakan, definisi mengenai bekerja yang diterapkan dalam survey pemerintah, juga menuai perdebatan khususnya yang menyangkut perempuan.
Di samping perempuan sebagai angkatan kerja yang signifikan di Indonesia, ada fenomena sosial yang menarik, dimana perempuan karena sebab-sebab tertentu menjadi penanggung-jawab nafkah keluarga tanpa didampingi laki-laki. Di Indonesia, mereka disebut sebagai Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), yang kemudian diorganisasikan secara nasional dengan dukungan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Data Susenas Indonesia Tahun 2007 mencatat jumlah keluarga yang dipimpin perempuan sebanyak 13.60 %, atau sekitar 6 juta rumah tangga, yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk. Rumah tangga yang dikepalai perempuan umumnya miskin dan merupakan kelompok termiskin dalam strata ekonomi Indonesia. Hal ini sangat terkait dengan kualitas sumber daya perempuan yang rendah. Dengan kualitas yang rendah ini, mereka terpaksa harus menanggung beban seluruh anggota keluarga.
Dari data yang dirilis Sekretariat Nasional Perempuan Kepala Rumah Tangga (PEKKA), menunjukkan bahwa perempuan menjadi kepala rumah tangga karena Tahun 2008 karena ditinggal mati sang suami (60 %), dicerai (6 %), ditinggal pergi (6 %), suami atau laki-laki sakit berkepanjangan (2 %), memang single (7 %), ditinggal menikah lagi (19 %). Mereka umumnya berusia antara 20-60 tahun, tetapi ada 43 % dari mereka harus menanggung 5 orang anggota keluarga (data Tahun 2005), sementara hanya 3 % yang menanggung 5 orang dan 23 % yang menanggung 2 orang (data Tahun 2008). Padahal pendapatan mereka, menurut data Tahun 2008, kurang dari Rp. 7.500 perhari (26 %), yang lebih dari Rp. 30.000 sehari hanya 4 %, sisanyan antara Rp. 7.500-Rp. 30.000. Beban sosial ekonomi ini ditanggung mereka, yang secara pendidikan tidak sekolah formal (39 %), sekolah tapi tidak tamat SD (5 %), sudah tamat SD (37 %), tamat SMP (10 %), dan tamat SMA (6 %), dan tidak ada yang tamat sarjana.
Persoalan pendidikan formal di Indonesia, seperti pada kasus di bawah ini, seringkali menjadi salah satu kendala sosial ekonomi. Di samping kendala-kendala lain, dari cara pandang budaya, agama, serta hukum.
“Kami dari kader Pekka (Perempuan Kepala Keluarga) mengelola sebuah Pendidikan Usia Dini (PAUD) di Kampung kami. Untuk memenuhi proposal pencarian dana bantuan dari Diknas, kami menyertakan seorang sarjana sebagai salah satu tenaga PAUD kami. Sesungguhnya, kami berdua yang full time mengelola PAUD, sang sarjana hanya paroh waktu. Tetapi ketika dana bantuan cair hanya untuk dua orang tenaga, dia minta jatah full, sementara jatah yang satu lagi kami bagi berdua. Dia menolak tawaran kami untuk dibagi tiga secara rata. Bahkan, ketika sang sarjana akhirnya memilih bekerja di tempat lain, dan meninggalkan PAUD kami, dia masih tetap mengambil honor dari dana bantuan tersebut. Dia menolak untuk menyerahkan bantuan tersebut kepada kami. Alasannya, karena proposal itu goal karena ada namanya yang sarjana. Kami tidak bisa berbuat banyak, karena memang dana itu langsung masuk ke rekeningnya. Ya begitulah cara masyarakat terdidik memperlakukan kami yang tidak terdidik secara formal….”.[1]
Di kehidupan sosial saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan praktik-praktik sharing properti keluarga, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Suami dan istri mengkompromikan hal-hal terkait usaha untuk penghasilan keluarga, sebagai tanggung jawab bersama dan dikontrol secara bersama. Pendapatan suami menjadi pendapatan istri dan anak-anak mereka, begitupun pendapatan istri menjadi pendapatan bersama, suami dan anak-anak mereka. Suami dan istri terbiasa untuk membicarakan peruntukan penghasilan mereka. Baik ketika suami menjadi pencari nafkah tunggal, atau istri pencari nafkah tunggal, atau ketika keduanya menjadi pekerja pencari nafkah keluarga. Tentu saja ada penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma ini, terutama karena faktor budaya patriarkhis yang masih menguntungkan laki-laki dan menelantarkan perempuan. Tetapi fakta bahwa ada realitas keluarga yang menganggap properti keluarga, baik dari hasil suami dan atau istri, sebagai harta bersama adalah banyak dan nyata dalam masyarakat Indonesia, di berbagai daerah, di desa maupun di kota.
Di Indonesia, konsep mahar dalam perkawinan, pada praktiknya bukan merupakan pemberian uang atau harta dalam jumlah besar yang bisa menjamin kelangsungan hidup perempuan secara berkesinambungan. Mahar seringkali hanya berupa simbol belaka, seperti mushaf al-Qur’an, seperangkat alat sholat, pigura dari rangkaian uang, atau uang dalam jumlah nilai yang relatif kecil dan tidak berarti secara ekonomis. Dalam praktik kehidupan keluarga-keluarga Indonesia, mencari dan memberi nafkah juga tidak menjadi monopoli kegiatan suami. Nafkah dari istri dalam banyak kasus, seperti pada kisah-kisah perempuan kepala keluarga, justru menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Sehingga istri-istri yang bekerja tidak bisa disebut sebagai tambahan semata, untuk menutupi nafkah suami. Begitupun waris, dalam banyak kasus di Indonesia, bisa dibagikan secara adil dan sesuai kesepakatan anggota keluarga untuk menutupi kebutuhan anggota yang dianggap paling membutuhkan.
Dalam penelitian keluarga buruh migran di salah satu desa di Kabupaten Karawang, para perempuan ke luar negeri bekerja karena didorong untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Di desa ini, para perempuan, baik sebagai istri atas harta dirinya atau harta suaminya, ibu atau nenek atas harta anak atau cucunya, memiliki akses dan kontrol dan ikut menentukan pengelolaan properti keluarga. Ada beberapa kasus, dimana wewenang laki-laki sebagai suami lebih besar, sehingga menghabiskan kiriman gaji istrinya. Tetapi banyak juga kasus, dimana istri, ibu, atau nenek, yang justru menguasi penuh atas kiriman dari luar negeri agar tidak lagi dikuasi seenaknya oleh laki-laki. Banyak kasus-kasus yang justru mencari kompromi-kompromi agar penghasilan salah satu anggota keluarga yang ke luar negeri, bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan keluarga inti; yaitu suami dan istri serta anak-anak mereka.
Saya menikah ketika berumur 17 Tahun dengan laki-laki pilihan saya. Maskawin yang saya terima hanya uang tunai Rp. 2000. Apalah arti jumlah uang ini di tahun 1995. Tetapi saya terima karena saya mencintainya. Saya juga menerima bawa-bawaan dari calon suami, untuk keperluan rumah tangga. Yaitu peralatan rumah, tempat tidur, dan juga ada emas 10 gram. Semua ini untuk dipakai bersama, saya dan suami saya. Sebelumnya saya memiliki penghasilan sendiri dengan bekerja di pabrik, tetapi setelah menikah saya berhenti, karena terlalu jauh dari rumah. Saya tidak mau berpisah jauh dari suami, jika harus kos untuk bekerja di pabrik.
Kehidupan perkawinan kami berjalan normal dan tanpa masalah, kecuali ekonomi. Penghasilan suami saya tidak mencukupi dari sawahnya, karena dia juga berhenti dari kerja pabrik setelah menikah, sama seperti saya. Setelah memiliki anak, kebutuhan kami meningkat, sementara penghasilan sawah suami sama sekali tidak mencukupi. Saya memutuskan untuk pergi bekerja di Saudi Arabia. Suami dan Emak saya setuju setelah membicarakan bersama.
Emak saya khawatir mengenai gaji saya dan menyarankan agar tidak mengirim ke suami saya. Maungkin karena ada kasus-kasus suami yang menghabiskan uang kiriman istrinya dari luar negeri. Juga ada sedikit konflik di antara mereka. Saya mengikuti saran Emak, dan menyimpan sebagian uang gaji saya pada Emak. Tetapi saya juga tetap mengirimkan sebagian lain pada suami saya dan mempercayakan padanya. Tentu tanpa memberitahu Emak, agar tidak terjadi konflik antar mereka. Saya berangkat pertama kali Tahun 2001. Saya pulang dan pergi ke Saudi selama 6 kali, dan berganti-ganti majikan. Terakhir saya pulang Tahun 2007.
Hasil kerja saya digunakan untuk bayar hutang modal pemberangkatan, di samping untuk mencukupi kebutuhan keluarga, suami dan Emak, terutama anak, dan sebagian lain disimpan untuk membangun rumah. Sekarang kami sudah punya rumah, hidup bersama suami dengan dua anak. Yang mencari nafkah sekarang gantian suami, bekerja di pabrik dengan gaji Rp. 1,5 juta perbulan. Lumayan lah…
Ketika saya di Saudi, suami saya yang mengurus anak saya dan rumah saya, karena saya yang mencari nafkah, dan dia yang tinggal di rumah. Sekarang bergantian, saya tinggal di rumah saja, mengerjakan kerja-kerja rumah; mengepel, mencuci, memasak, dan tentu menjaga rumah. Anak-anak saya libatkan untuk kerja-kerja ini, terutama untuk buang sampah. Suami saya juga ikut kerja-kerja di rumah, terutama ketika libur dari kerja; mengepel, membersihkan, dan beres-beres. Suami saya kadang melarang saya keluar rumah. Dia menganggap itu sia-sia dan tidak berguna. Tetapi saya tidak mendengarkannya, saya tetap keluar rumah selama kerja-kerja rumah sudah saya bereskan. Saya akan pulang menjelang suami pulang ke rumah. Selama ini tidak ada masalah di antara kami….[2]
Untuk melengkapi pandangan di atas, di bawah ini, hasil wawancara laki-laki, yang menjadi suami dari narasumber di atas.
Saya kaget waktu istri saya menyatakan ingin jadi TKW ke Saudi Arabia. Aduhh…..rasanya seperti ditampar. Tapi bagaimana ya… Sebagai suami, hasil saya memang pas-pasan. Kami masih tinggal di rumah mertua saat itu. Saya tidak mau dianggap menghalangi kesempatan bagi istri. Apalagi kami menginginkan rumah sendiri, padahal tidak mungkin jika mengandalkan penghasilan saya. Saya mengizinkan, dan ikut membantu pengurusan. Saya juga yang meminjam ke seseorang untuk urusan ini, dengan bunga 100 persen.
Hasil tahun pertama digunakan untuk bayar hutang, berikutnya baru untuk kepentingan keluarga. Istri saya mengirimkan uangnya pada ibu mertua saya. Saya sedih juga, karena saya suaminya, juga perlu makan dan mengurus anak saya. Tetapi saya tidak ingin berkonflik dengannya. Saya juga paham, ibu mertua saya bertanggung jawab penuh pada anak kami.
Setelah itu, istri saya juga mengirim pada saya, di samping mengirim pada ibu mertua saya. Dari uang kiriman istri, saya belikan motor untuk usaha ojek saya, keperluan anak saya, dan sisanya saya simpan untuk membangun rumah. Akhirnya, kami mampu membangun rumah dari hasil kiriman istri.
Menurut saya, TKW yang tidak berhasil itu karena uang hasilnya dihabiskan keluarganya yang ada di Indonesia. Sekitar ada 9 dari 10 suami yang mengalami konflik dengan mertuanya, soal kiriman uang istri. Tidak sedikit dari mereka yang berakhir pada perceraian. Beberapa orang tua yang menerima kiriman dari anaknya, memang ada yang menghabiskannya untuk kepentingan mereka sendiri, sehingga ketika anaknya pulang uangnya sudah habis. Beberapa suami juga melakukan hal demikian, sehingga tidak sedikit istri yang enggan mengirim uang gajinya pada suaminya…..[3]
Sharing properti keluarga, sebagaimana pada kasus-kasus di atas, bukanlah fenomena baru di Indonesia. Hukum adat masyarakat Jawa misalnya telah mengenal istilah harta gono-gini, Aceh menyebut harta sihareukat, Bali mengenal druwe cabro, Sunda mengenal nyalindung kagelung, dan Bugis menyebut makruf atau cakkara. Kemudian tradisi ini diadopsi hukum negara sebagai “harta bersama” atau sebelumnya dikenal dengan “harta pencaharian” dalam pernikahan. Baik Undang-undang Perkawinan no. 1 Tahun 1974, maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991 membagi harta keluarga ke dalam dua kelompok; harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh karena usaha dan kerja sejak adanya ikatan pernikahan sampai ikatan itu terputus karena meninggal dunai atau perceraian. Sementara harta bawaan adalah harta yang dimiliki suami atau istri sebelum ikatan pernikahan, atau diperoleh ketika pernikahan dari hibah atau warisan. Harta bersama bisa berasal dari usaha suami, atau usaha istri, atau usaha bersama. Tindakan hukum terhadap harta bersama harus atas persetujuan kedua belah pihak. Sementara tindakan hukum atas harta bawaan, sepenuhnya menjadi hak masing-masing pemilik, suami atau istri.[4]
Konsekuensinya secara perdata, sertifikat properti atas nama suami tidak bisa dijual tanpa persetujuan istri. Begitupun sebaliknya sertifikat yang diatasnamakan istri baru bisa dijual jika atas persetujuan suami. Ketika suami mengajukan kredit ke bank, istri juga secara hukum harus memberikan persetujuan pada saat tanda tangan perjanjian kredit. Persetujuan istri adalah mutlak. Karena, ketika suami tidak bisa membayar cicilan, secara otomatis istri juga harus bertanggung-jawab terhadap hutang suami. Hal yang sama juga terjadi jika yang mengajukan kredit adalah istri.[5] Terobosan hukum ini sangat penting, terutama bagi perempuan yang biasanya tidak mempedulikan pencatatan properti keluarga atas nama dirinya. Pada saat perceraian, atau ditinggal mati suami, perempuan bisa mengklaim pembagian harta bersama. Hal yang sama juga bisa dilakukan suami untuk mengklaim harta bersama, jika ditinggal mati istri atau cerai sementara sang istri yang banyak mencatatkan namanya atas properti keluarga sebagai harta bersama.
Meskipun demikian, masih banyak orang yang tidak mengetahui fakta hukum ini. Kita bisa menemukan dalam kehidupan sehari-hari, para suami yang menyembunyikan harta hasil usahanya dari istrinya. Mereka mencatatkan nama mereka saja dalam sertifikat properti tersebut, secara sengaja tidak melibatkan pasangan mereka. Padahal, dengan tidak dicatat sekalipun, tidak menghalangi istri untuk bisa mengklaim sebagai harta bersama. Pada saat yang sama, banyak istri yang karena faktor-faktor sosial budaya atau karena pengalaman tertentu, merasa tidak aman jika nama mereka tidak dicantumkan dalam properti keluarga. Tidak sedikit juga istri karir yang memiliki harta dari usahanya, yang menyembunyikan hartanya dari suami, karena tidak ingin berbagai dengan suami. Secara hukum, sesungguhnya, semua harta ini yang diperolah pada masa ikaktan pernikahan bisa dianggap sebagai harta bersama yang bisa diklaim sebagai milik kedua belah pihak.
Sekalipun tentu saja dalam praktik berperkara hukum, klaim harta bersama bisa saja tidak berhasil, atau bisa jadi sudah dikuasai terlebih dahulu oleh salah satu pihak sebelum ke pengadilan, lalu menjadi rumit untuk dibawa ke pengadilan. Para hakim juga seringkali tidak mengingatkan perempuan untuk meminta klaim harta bersama, padahal banyak perempuan yang tidak paham hukum. Sementara harta bersama tidak bisa diputuskan dibagi dalam fatwa hakim tanpa permintaan dari pihak penggugat. Konflik properti keluarga memang sangat kompleks dan memiliki berbagai dimensi. Di samping ada fakta-fakta hukum positif, juga ada norma-norma budaya, dan nilai-nilai agama yang berkembang di masyarkat, yang mempengaruhi subyek-subyek hukum ketika berperkara mengenai properti keluarga. Pengalaman masing-masing individu juga akan mempengaruhi keputusan masing-masing mengenai tindakan mereka terhadap properti keluarga.
“Saya belum pernah sekalipun berpikir bila suami tiba-tiba meninggal dan bagaimana dengan kepemilikan properti yang menggunakan namanya. Apakah akan menjadi masalah atau tidak. Saya memang kurang mengerti mengenai hal-hal in, saya cukup tenang dengan adanya asuransi kesehatan bagi saya dan anak-anak, serta asuransi pendidikan untuk anak-anak. Saya tidak terlalu memikirkan nama siapa yang digunakan dalam properti pernikahan kami”.[6]
“Sebaiknya, properti pernikahan, seperti rumah dan kendaraan, atas nama istri. Sebag jika ada apa-apa, seperti suami berselingkuh, wanita lain tidak bisa menuntut apa-apa. Dengan jujur saya menceritakan kekhawatiran saya pada suami. Dia pun mengerti dan menyetujui permintaan saya itu. Kendaraan kami atas nama saya. Sebentar lagi kami akan membeli rumah dan suami sudah setuju bahwa sertifikat rumah itu akan dibuat atas nama saya”.[7]
“Kami memiliki prinsip sama; penentuan kepemilikan properti berdasarkan kemudahan. Seperti saat membeli rumah. Karena beli di Bogor dan KTP saya berdomisili di Bogor, maka sertifikat rumah atas nama Saya. Saat sertifikat rumah atas nama saya, bukan berarti saya langsung senang: “Wah..rumah ini punya saya”. Walau atas nama saya, rumah itu tetap rumah dia juga”.[8]
“Saya tidak berharap seperti ibu yang ditinggal ayah secara mendadak, lalu keluarga ayah menuntut bagi waris atas rumah yang ditempati ibu. Kemungkinan hal itu terjadi pada saya tetap ada. Karena itulah, saya meminta pada suami agar nama saya digunakan dalam properti pernikahan yang akan kami beli. Itu adalah bentuk antisipasi saya dengan kemungkinan terburuk, seperti suami tiba-tiba meninggal atau terpaksa bercerai. Apalagi, saya tidak bekerja, jadi saya harus benar-benar berpikir ke arah sana”.[9]
Semarak Cerlang Nusa –Consultancy, Research, Education for Social Transformation (SCN-CREST atau SCN saja) telah melakukan riset pada Tahun 2010-2011 mengenai dua adat istiadat di Indonesia yang berbeda dan secara diametris bertentangan, terkait perempuan dan hak properti dalam keluarga. Yaitu adat istiadat Minangkabau Sumatera Barat dan adat istiadat Sasak Nusa Tenggara Barat. Dalam adat Minangkabau, perempuan adalah sentral kepemilikan terhadap harta pusaka seperti rumah dan harta komunal/ulayat seperti sawah milik keluarga besar. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, dan diwariskan kepada garis keturunan ibu (matrilineal), sedangkan pihak laki-laki hanya mengatur, mengelola, dan mempertahankan saja.
Sebaliknya dalam adat Sasak, perempuan tidak memiliki hak mewarisi harta orangtuanya, terutama yang berupa rumah dan tanah. Perempuan hanya boleh mewarisi peralatan rumah tangga, atau perhiasan saja. Perempuan dianggap tidak membutuhkan rumah dan sawah, karena ia akan tinggal bersama suaminya. Dalam realitas di lapangan, perempuan di Minangkabau yang memiliki hak istemewa secara adat bisa saja harus bergelut panjang untuk memperoleh hak properti, sementara perempuan Sasak, juga ada yang bisa memperoleh dukungan dari berbagai pihak untuk memperoleh hak properti keluarga. Karena di samping norma-norma adat, juga ada nilai-nilai hukum Islam yang berkembang di masyarakat, dan hukum positif yang diintrodusir negara untuk memberikan jaminan pada perempuan. Di hadapan pluralisme hukum ini, perempuan sebenarnya memiliki banyak peluang untuk mengakses dan mengontrol properti keluarga, dengan legitimasi adat, agama, maupun hukum negara. Sekalipun kendala budaya yang patriarkhis masih mempersulit perempuan memperoleh akses hukum, informasi, pengetahuan agama, dan klaim norma adat.[10]
Relasi kuasa dalam budaya yang patriarkhis terus menerus memproduksi cara pandang budaya yang mendiskreditkan perempuan. Semua ini, pada praktiknya, juga dilakukan dengan menggunakan legitimasi adat, agama, atau hukum negara. Suami sebagai kepala rumah tangga dan berkewajiban mencari nafkah, sebagaimana dalam konsep fiqh dan diadopsi hukum positif kita, seringkali digunakan untuk membatasi hak bekerja bagi perempuan dan memaksa mereka untuk tinggal di dalam rumah. Kerja-kerja para perempuan dianggap tambahan, sampingan, dibayar lebih murah, paroh waktu, dan seringkali dikondisikan hanya dalam kontrak musiman. Pada relasi kuasa yang masih patriarkhis ini, banyak orang masih menafikan eksistensi perempuan pekerja, mendiskreditkan, mendiskriminasi, bahkan melakukan kekerasan terhadap mereka. Pandangan sosial yang telah terbentuk, juga sedemikian rupa, telah membuat perempuan sulit memberdayakan diri ketika berperan secara riil sebagai kepala rumah tangga. Pada akses pinjaman dana mikro misalnya, kebanyakan bank masih memberikan kepercayaan kepada keluarga yang dipimpin laki-laki, tidak yang dipimpin perempuan. Belum lagi keterkucilan budaya yang membuat mereka semakin sulit mengakses manfaat-manfaat lain untuk keberdayaannya, seperti pengetahuan, ekonomi, apalagi posisi sosial dan politik.
Pemahaman masyarakat mengenai hukum agama sedikit banyak ikut mempengaruhi, atau setidaknya menjadi alasan bagi para pihak dalam memperebutkan properti keluarga untuk kepentingan masing-masing di antara mereka. Ketika perempuan berada pada posisi bargaining yang lemah, dalam perebutan ini, bisa dipastikan mereka akan didesak untuk menjadi korban dan akan dibiarkan terlantar secara ekonomi. Dalam kondisi sosial budaya yang demikian, pemahaman agama baik mengenai ajaran maupun hukum-hukumnya harus selalu disegarkan dan dihadirkan ulang untuk memastikan orang yang dilemahkan secara sosial dapat memperoleh hak-hak mereka. Sebagaimana setiap agama pada mulanya adalah hadir untuk menegaskan keadilan sosial bagi mereka yang dilemahkan. Begitupun mereka yang berada pada posisi yang kuat secara budaya, sosial, maupun politik, tidak menjadi semena-mena dengan menggunakan hukum dan agama untuk kepentingan mereka semata dan secara sengaja melumpuhkan pihak-pihak yang lemah yang berlawanan dengan mereka.
Properti Keluarga dalam Perspektif Hukum Islam
Properti keluarga atau harta bersama, dengan arti harta yang dimiliki seluruh anggota keluarga atau dikuasai dua orang seperti suami istri secara bersama, tidak dikenal dalam Islam. Harta yang dihasilkan istri adalah harta istri, begitupun harta yang dihasilkan suami adalah harta suami. Setiap masing-masing adalah independen atas harta miliknya masing-masing. Tidak boleh ada intervensi, pemaksaan, atau pencampuran satu pihak kepada pihak lain. Prinsipnya, ikatan pernikahan dalam Islam tidak serta merta membuat harta yang dihasilkan suami, sebelum atau selama pernikahan, menjadi harta bersama yang juga dimiliki istri. Begitupun sebaliknya, harta istri baik sebelum maupun selama ikatan pernikahan, tidak menjadi harta bersama yang bisa dimiliki suami. Pemanfaatan oleh pihak lain dalam pasangan hanya dianggap sah, jika ada kerelaan atau izin dari pihak yang memiliki harta tersebut.
Jika kita merujuk pada Kitab “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu” karangan Wahbah az-Zuhaili, sebuah kompilasi paling lengkap abad ini mengenai pandangan-pandangan hukum Islam dari berbagai Mazhab, tidak ditemukan konsep mengenai kepemilikan bersama terhadap suatu properti akibat ikatan pernikahan. Konsep-konsep properti yang tekait pernikahan, yang dibahas Kitab ini, adalah hadiah/hibah pra-nikah atau saat peminangan, maskawin, nafkah, mut’ah (pemberian setelah perceraian), dan harta pengganti khulu’ (cerai atas permintaan istri). Konsep-konsep ini satu arah dan berbasis jenis kelamin, dari laki-laki kepada perempuan, kecuali harta pengganti khulu’ dari perempuan ke laki-laki, atau hibah yang bisa dari siapapun untuk siapapun. Dalam konsep maskawin misalnya, seorang perempuan yang kaya raya dan tidak membutuhkan harta, tetap berhak meminta dan menerima maskawin dari suaminya yang miskin sekalipun. Begitupun nafkah tetap wajib diberikan suami kepada istri yang sudah memiliki harta sebanyak apapun.[11]
Konsep maskawin dan nafkah yang berbasis jenis kelamin ini didasarkan pada asumsi bahwa pernikahan adalah kontrak tukar menukar (mu’âwadhah). Laki-laki menukarkan hartanya (maskawin/nafkah) untuk memperoleh kenikmatan seks dari perempuan (istrinya). Mahar atau maskawin misalnya, didefinisikan ulama fiqh sebagai harta yang wajib diberikan suami kepada istri dalam akad nikah sebagai imbalan atas layanan seks yang diperoleh suami dari istri (al-mâl alladzî yajibu fî ‘aqd an-nikâh ‘ala az-zawji fî muqâbalat al-budh’i).[12] Karena itu, istri berhak penuh atas maskawin hanya jika suami sudah menyetubuhinya. Jika terjadi perceraian sebelum terjadi hubungan intim, maka istri hanya berhak separoh dari maskawin yang diberikan suami, sisanya harus dikembalikan ke suami. Asumsi tukar menukar harta/seks ini berlanjut dalam kehidupan pernikahan terkait kewajiban nafkah suami atas istri. Suami hanya wajib memberikan nafkah kepada istri ketika istri memberi kesempatan tubuhnya bisa dinikmati suami. Istri yang menolak ajakan hubungan intim tanpa sebab, atau melakukan sesuatu yang membuat suami tidak bisa menyetubuhinya, seperti berpuasa sunnah, pergi jauh tanpa persetujuan suami, atau tidak bersedia pindah untuk tinggal serumah dengan suami, ia tidak berhak menerima nafkah dari suami. Pandangan hukum fiqh yang demikian lahir didasarkan pada asumsi bahwa nafkah dari suami setimpal dengan atau sebagai imbalan atas layanan seks dari istri.[13]
Asumsi ini bisa dirasakan sejak pembahasan pertama mengenai definisi akad nikah dalam fiqh. Para ulama mendefinisikan akad nikah sebagai akad yang memperbolekan laki-laki memperoleh kenikmatan dari perempuan (ibâhat al-istimtâ’ bi al-mar’ah), baik dengan hubungan kelamin, mencium, atau sekedar merapatkan tubuh. Definisi kedua, akad nikah adalah yang dimaksudkan untuk mendatangkan milik kenikmatan (milk al-mut’ah), dimana laki-laki dibolehkan menikmati tubuh perempuan (hillu istimtâ’ ar-rajul min imra’ah). Definisi ketiga yang sedikit netral, adalah bahwa akad nikah adalah yang dimaksudkan syari’at agar laki-laki memiliki kenikmatan dari tubuh perempuan, dan agar perempuan juga diperbolehkan menikmati tubuh laki-laki.[14] Dalam definisi terakhir ini ada perbedaan di predikit “laki-laki memiliki” sementara perempuan hanya “diperbolehkan”. Perbedaan ini memiliki konsekuensi logis turunannya dalam persoalan-persoalan hak dan kewajiban suami istri. Tetapi kebanyakan ulama fiqh memilih definisi yang pertama dan kedua, dimana laki-laki menjadi subyek satu-satunya. Semenara definisi terakhir lebih banyak diusulkan ulama kontemporer.[15]
Dalam fiqh dikenal kaidah an-nafaqah fî muqabalat al-budh’, atau nafkah setimpal dengan seks. Kaidah ini hampir diterima seluruh Mazhab fiqh dan berlaku dalam hampir semua persoalan pernikahan. Tetapi kaidah ini hanya satu arah saja, dari suami (nafkah) kepada istri (seks). Jika pada kasus-kasus umum, seseorang itu berhak menerima pemberian (nafkah) dari orang lain karena ia miskin dan membutuhkan, maka pada kasus istri, ia berhak atas pemberian suami (nafkah) bukan karena persoalan kebutuhan terhadap nafkah tersebut. Istri berhak atas nafkah hanya karena ia memberi kesempatan tubuhnya dinikmati oleh suami, dan suami berkewajiban memberi nafkah ketika istri menyediakan kesempatan tersebut. Dalam penjelasan Wahbah, kewajiban nafkah ini bersifat tunggal, yaitu hanya suami, tidak boleh dilakuan bersama yang lain. Karena yang menerima layanan seks adalah tunggal hanya suami, sebagai timbal baliknya, kewajiban nafkah juga hanya oleh suami.[16]
Harta yang sudah diterima istri dari pemberian suami baik maskawin, nafkah, atau hibah, menjadi hak monopoli istri tanpa campur tangan suami. Sementara harta yang masih dimiliki suami, tetap berada pada hak monopoli suami. Istri tidak berhak ikut campur atau mengambil, kecuali jika suami tidak memberikan nafkah, maka ia berhak mengambil sesuai kadar kecukupan saja, tidak boleh lebih. Dalam Islam, istri maupun suami memiliki hak penuh dan independen atas harta yang dimilikinya, tanpa ada ketergantungan atau subordinat pada yang lain dalam hal kepemilikan tersebut. Istri tidak perlu izin suami untuk memanfaatkan hartanya sendiri, begitupun suami yang menggunakan hartanya sendiri tidak memerlukan izin istri. Independensi ini sampai pada tingkat bertanya pada pasangan mengenai jumlah hartanya dianggap tidak pantas.[17]
Independensi perempuan mengenai harta miliknya adalah terobosan progresif dalam hukum Islam, ketika peradaban lain, bahkan sampai akhir abad 19 banyak yang masih menempatkan perempuan menikah (istri) setara dengan anak kecil dan orang gila, yang dalam pengelolaan hartanya harus dibawah pengawasan sang suami. Perempuan dalam perspektif hukum Islam, menurut semua ulama fiqh, dapat melakukan tindakan hukum secara penuh (ahliyah kamilah) atas harta yang dimilikinya, baik sebagai lajang maupun menikah dengan seseorang. Orang tua maupun suami perempuan tidak berhak melakukan intervensi atas harta yang dimilikinya, apalagi mengambil dan memiliki hartanya secara paksa. Yang mengurangi kelayakan tindakan hukum seseorang hanya persoalan umur dan kewarasan, bukan persoalan jenis kelamin, atau karena sebab pernikahan. Ini berlaku bagi perempuan dan laki-laki. Karena itu, tindakan hukum mereka yang masih kecil, belum dewasa, dan gila, harus memperoleh persetujuan dari wali mereka. Sementara tindakan hukum seorang perempuan, yang sudah dewasa dan tidak gila, adalah sah tanpa memerlukan izin dari orang tua maupun suami.[18]
Dari prinsip independensi ini ditambah prinsip kewajiban nafkah yang tunggal oleh suami, maka secara teoritis hukum Islam tidak mengenal sharing properti keluarga, atau harta bersama dalam keluarga. Kecuali jika perempuan dan laki-laki secara suka rela melakukan ikatan perkongsian (syirkah) harta. Perkongsian harta ini harus secara eksplisit dimunculkan di luar akad/ikatan pernikahan. Akad nikah dalam fiqh tidak otomatis menjadi perkongsian harta antara suami dan istri. Karena itu, perkongsian harta antara suami dan istri tidak dibahas dalam referensi fiqh mengenai pernikahan. Perkongsian harta bisa ditemukan dalam pembahasan transaksi keuangan (mu’âmalah). Tetapi pembahasan mu’amalah juga tidak secara khusus membicarakan perkongsian harta antara suami dan istri. Pembahasan yang ada menyangkut perkongsian umum, antara teman, antara saudara, yang bisa menyangkut juga antara suami dan istri.
Tetapi perkongsian (syirkah) yang dibahas dalam mu’amalah mensyaratkan adanya porsi penyertaan yang jelas dari setiap anggota kongsi, baik berupa modal, harta, tenaga, maupun kepercayaan. Sementara penyertaan modal atau tenaga dalam kehidupan rumah tangga pada galibnya tidak pernah diperhitungkan secara jelas. Karena memang kehidupan rumah tangga bukan dimaksudkan sebagai sebuah perkongsian usaha, dengan modal dan tenaga tertentu untuk menghasilkan keuntungan tertentu. Mungkin karena karakter pernikahan yang tidak bisa sama persis dengan perkongsian, ia kemudian tidak bisa dibahas dalam mu’amalah, dan tidak ditemukan persoalan harta bersama dalam pembahasan hukum fiqh. Harta dalam pernikahan tetap harus dipisah antara milik suami dan milik istri. Hanya suami yang dibebankan kewajiban nafkah terhadap istri dan tidak sebaliknya. Hal demikian adalah teori dasar fiqh mengenai properti dalam kehidupan rumah tangga, yang seringkali menjadi dasar dari pertimbangan-pertimbangan hukum untuk persoalan-persoalan lain terkait hak dan kewajiban suami dan istri.
Konsep sharing properti keluarga dalam fiqh bisa dirunut dari konsep nafkah itu sendiri, dimana teori ‘nafkah setimpal dengan seks’ harus ditinjau ulang. Terutama ketika teori ini dipertentangkan dengan pandangan-pandangan hukum fiqh yang menjadi turunannya. Misalnya, apakah jika ‘nafkah setimpal dengan seks’ maka besaran jumlah nafkah diukur dengan besaran layanan seks? Ternyata tidak, karena dalam fiqh, besaran nafkah ditentukan dari kebutuhan istri dan status sosialnya yang dimiliki. Kebutuhan istri juga bisa berubah sesuai dengan kondisi, sekalipun secara prinsip harus memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang. Pada praktiknya, fiqh memperkenank istri menuntut nafkah karena ia membutuhkannya, bukan karena ia telah melayani kebutuhan seks suami. Sekalipun tuntutan istri, bisa tidak dikabulkan menurut fiqh dalam pembahasan lebih lanjut, jika ia tidak atau enggan melayani kebutuhan seks suami.
Diskusi berikutnya; jika kewajiban suami untuk memberi nafkah sesuai kemampuannya, apakah berarti layanan seks dari istri juga sesuai kemampuannya saja? Ternyata tidak, hampir semua ulama fiqh melarang istri menolak permintaan seks dari suami tanpa ada sebab yang jelas seperti sakit, atau kekerasan yang menimpanya. Berarti, istri harus melayani kebutuhan seks suami hampir tanpa batas; kapanpun ia diminta dan dimanapun, sekalipun di dapur atau di punggung unta. Kewajiban layanan seks ini tidak dibandingkan dengan kewajiban suami untuk memberikan harta yang diminta dan dibutuhkan istri, kapanpun dan dimanapun. Kewajiban nafkah justru dibatasi hanya makan dalam jumlah tertentu, sandang, dan papan layak dalam kadar tertentu. Ada ketentuan kelayakan nafkah menurut ukuran status sosial istri, tapi tidak untuk memenuhi segala kebutuahan istri.
Berikutnya; Apakah jika istri berkewajiban melayani kebutuhan seks suami, ia tidak berhak untuk menerima atau meminta layanan seks dari suami? Atau bahasan lain, apakah jika kewajiban suami adalah memberi nafkah (harta), maka ia tidak dibebani kewajiban untuk memberi layanan seks pada istri? Ternyata tidak, karena semua ulama fiqh memandang bahwa suami juga wajib memberikan layanan seks terhadap istri. Sekalipun mereka berbeda pendapat seberapa sering kewajiban ini harus dilakukan suami. Mazhab Syafi’i hanya mewajibkan suami satu kali selama pernikahan, di luar itu sunnah saja. Sementara Hanbali mewajibkan suami satu sekali berhubungan intim selama empat bulan, di luar itu adalah sunnah saja. Sementara Mazhab Maliki menganggap kewajiban layanan seks suami terhadap istri tanpa ada batasan jumlah sama seperti kewajiban istri terhadap suami. Keduanya berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan seks pasangannya, kecuali kalau ada halangan seperti sakit, maka kewajiban itu bisa dianggap gugur.[19]
Diskusi lain; jika istri memaafkan suami yang miskin dari kewajiban nafkah, apakah berarti si suami harus memaafkan istri dari kewajiban layanan seks? Apakah juga jika istri yang justru memberi nafkah pada keluarga, bukan suami, maka sebaliknya suami yang berkewajiban memberikan layanan seks pada istri? Hal demikian tidak saya temukan pembahasannya dalam fiqh secara timbal balik antara nafkah suami dan layanan seks istri. Tetapi yang pasti, kewajiban layanan seks bukan monopoli istri terhadap suami dalam pembahasan fiqh. Dengan demikian, teori ‘nafkah setimpal dengan seks’ harus dikaji ulang. Teori ini juga tidak bisa menjadi dasar bagi monopoli kewaiban nafkah suami, sebagaimana tidak bisa menjadi dasar bagi monopoli layanan seks dari istri.
Para ulama fiqh kontemporer sebenarnya sudah banyak yang melupakan rumusan asumsi ‘nafkah setimpal dengan seks’. Dalam definisi-definisi nikah di buku-buku fiqh kontemporer sudah menjauh dari definisi yang awalnya dikembangkan para ulama fiqh klasik. Wahbah az-Zuhaili sudah mengenalkan “akad yang membuat laki-laki memiliki hak kenikmatan dari istri, dan membuat perempuan diperbolehkan menikmati suami”. Artinya sudah ada timbal balik, bukan sekedar harta dari suami dan seks dari istri, sekalipun masih membedakan “laki-laki memiliki” sementara “diperbolehkan bagi perempuan”. Definisi yang lebih baik lagi, telah diusulkan Ahmad al-Ghandur, seorang guru besar hukum keluarga Islam di Universitas Kuwait, dalam bukunya: al-Ahwal ash-Syakhsiyyah fi at-Tasyrî’ al-Islâmî:
“Nikah adalah akad yang mengakibatkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan, terkait tuntutan biologis-psikologis yang manusiawi sepanjang kehidupan mereka, dan menetapkan pada kedua pihak, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban secara timbal balik antara mereka”.[20]
Sebelumnya di kalangan ulama klasik, Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H/1393 M) sudah mengkritik kecenderungan umum dalam fiqh yang mendefinisikan nikah sebagai pertukaran (mu’âwadhah). Dia justru mengusulkan hakikat pernikahan sebagai perkongsian dua pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (istri), bukan pertukaran harta (dari laki-laki) dengan jasa (dari perempuan). Ibn Rajab menyatakan hal demikian dalam kitabnya al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah:
عَقْدُ النِّكَاحِ، وَتَرَدَّدَتْ عِبَارَاتُ الْأَصْحَابِ فِي مَوْرِدِهِ هَلْ هُوَ الْمِلْكُ أَوْ الِاسْتِبَاحَةُ؟ فَمِنْ قَائِلٍ هُوَ الْمِلْكُ. ثُمَّ تَرَدَّدُوا هَلْ هُوَ مِلْكُ مَنْفَعَةِ الْبُضْعِ أَوْ مِلْكُ الِانْتِفَاعِ بِهَا وَقِيلَ بَلْ هُوَ الْحِلُّ لَا الْمِلْكُ وَلِهَذَا يَقَعُ الِاسْتِمْتَاعُ مِنْ جِهَةِ الزَّوْجَةِ مَعَ أَنَّهُ لَا مِلْكَ لَهَا وَقِيلَ بَلْ الْمَعْقُودُ عَلَيْهِ ازْدِوَاجٌ كَالْمُشَارَكَةِ وَلِهَذَا فَرَّقَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ بَيْنَ الِازْدِوَاجِ وَمِلْكِ الْيَمِينِ وَإِلَيْهِ مَيْلُ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ فَيَكُونُ مِنْ بَابِ الْمُشَارَكَاتِ دُونَ الْمُعَاوَضَاتِ
“(Mengenai) akad nikah; para ulama Mazhab berbeda pendapat; ada yang mengatakan sebagai (akad) kepemilikan, di sini juga terjadi perbedaan; apakah itu kepemilikan atas manfaat kelamin (jasa seks dari istri); atau kepemilikan atas hak mengambil manfaat dari kelamin (jasa seks dari istri); ada yang mengatakan (akad nikah) adalah untuk menghalalkan, bukan kepemilikan. Karena itu, istri juga berhak atas kenikmatan seks tersebut, padahal ia tidak ada kepemilikan untuknya (atas seks, jika menggunakan definisi kepemilikan). Ada yang mengatakan, obyek akad (pernikahan) adalah ‘percampuran dua insan’ itu sendiri, seperti perkongsian (syirkah). Karena itu, Allah membedakan antara pernikahan (zawâj) dan kepemilikan hamba sahaya (milk al-yamîn). Asy-Syaikh Taqiyuddin lebih cenderung pada pandangan ini. Karena itu, nikah (seharusnya) masuk pada pembahasan perkongsian (musyârakât), bukan pada pembahasan pertukaran/jual beli (mu’âwadhât).[21]
Di samping rumusan ulang kewajiban nafkah didasarkan pada asas perkongsian pernikahan, pembahasan mengenai nafkah dalam fiqh juga demikian kompleks dan banyak pandangan yang memungkinkan melahirkan terobosan-terobosan progresif terkait sharing properti dalam keluarga. Sebelum mendiskusikan kompleksitas ini, perlu merujuk terlebih dahulu pada berbagai teks sejarah yang menyatakan bahwa perempuan pada masa Nabi Saw juga ada yang bekerja, menghasilkan uang, dan menggunakannya untuk menfakahi keluarga, suami dan anak-anak. Salah satu teks yang dimaksud adalah yang tercatat dalam Tabaqat Ibn Sa’d, bahwa Ritah bint Abdullah pernah mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya: “Wahai Rasul, saya perempuan pekerja, dan saya jual hasil pekerjaan saya”. Kemudian ia bertanya mengenai nafkah yang ia berikan kepada suaminya dan anak-anak mereka. Nabi Saw menjawab: “Kamu memperoleh imbalan dari apa yang kamu nafkahkan itu”.[22]
Teks ini berbicara mengenai perempuan yang bekerja, menghasilkan uang, dan membelanjakannya untuk menafkahi keluarganya; suami dan anak-anak. Teks ini juga menggunakan kata nafkah dari istri ke suami. Sehingga kita bisa mengasumsikan bahwa istri juga bisa memberi nafkah kepada suami. Tetapi kebanyakan pembahasan fiqh menafsirkan teks seperti di atas sebagai zakat/sedekah dari istri yang kaya ke suami yang miskin. Fiqh tidak menempatkannya pada konteks nafkah sebagaimana suami kepada istri. Karena itu tidak akan ditemui pembahasan fiqh mengenai nafkah istri kepada suami atau keluarga. Memang, kata nafkah dalam al-Qur’an dan Hadits, bisa diartikan berbagai hal, memberi, membelanjakan, sedekah, zakat, dan nafkah untuk kebutuhan keluarga. Tetapi asumsi fiqh yang menempatkan suatu kata nafaqah dalam suatu teks untuk persoalan zakat, dan kata nafkah yang lain sebagai nafkah keluarga.
Karena teks tersebut berbicara soal keluarga, mungkin lebih tepat ditafsirkan sebagai nafkah dari istri untuk keluarga. Dengan demikian, nafkah sesungguhnya tidak menjadi monopoli laki-laki atau suami. Jika kita merujuk pada kasus kehidupan Rasulullah Saw bersama Khadijah, dimana semua kebutuhan keluarga justru dicukupi oleh sang istri, kita seharusnya merumuskan ulang tentang monopoli laki-laki dalam hal kewajiban nafkah. Rasulullah Saw tidak tercatat, dalam hadits maupun sejarah, bekerja atau memiliki pekerjaan tertentu untuk kebutuhan keluarga setelah menikah dengan Khadijah. Besar kemungkinan, kebutuhan keluarga Rasulullah Saw dipenuhi dari harta kekayaan Khadijah, sang istri yang saudagar sukses. Apalagi di usia ketika awal-awal turun wahyu, dimana Rasulullah Saw hampir menghabiskan banyak waktunya untuk bersemedi di gua hira, kemudian untuk berda’wah dan pendidikan, yang semuanya saat itu bersifat sosial non-ekonomis, atau tidak sebagai mata pencaharian sebagaimana sekarang.
Nafkah istri untuk keluarga tidak bisa dianggap zakat, karena asas zakat berbeda dengan asas nafkah. Zakat misalnya hanya untuk orang miskin, tidak boleh diberikan kepada anggota keluarga dekat, dan kadarnya juga terbatas tergantung pada jumlah harta yang dimiliki. Misalnya kadar zakat uang hanya 2,5 % yang wajib dikeluarkan dari pendapatan harta seseorang pertahun. Jadi, kalau pendapatan istri satu tahun 100 juta, maka zakatnya hanya 2,5 juta saja untuk suami dan anak-anak selama satu tahun. Zakat juga tidak didasarkan pada berapa jumlah penerima dan berapa kebutuhan mereka. Jadi, berapapun jumlah anak dalam suatu keluarga, kewajiban istri hanya 2,5 juta pada kasus kepemilikan 100 juta. Berbeda dengan kewajiban nafkah yang asasnya adalah kebutuhan penerima; baik pangan, sandang, dan papan, sekalipun tentu saja tetap merujuk pada asas kemampuan yang memberi. Bayangkan, 97,5 juta untuk istri selama setahun, sementara 2,5 juta untuk suami dan anak-anak jika ada selama setahun. Jadi, pemberian istri pada kasus hadits di atas lebih tepat sebagai nafkah, bukan zakat, karena dipastikan ia memberi untuk menutupi kebutuhan suami dan anak-anak bukan untuk memenuhi kewajiban zakat.
Nafkah adalah pola distribusi kekayaan pada skala yang lebih kecil, yaitu keluarga, di samping pola lain seperti mahar, waris, hibah, dan hadiah. Nafkah keluarga juga asasnya secara umum adalah kebutuhan. Asas kebutuhan artinya, anggota keluarga yang kaya harus memberi nafkah pada anggota keluarga yang miskin dan membutuhkan. Ulama fiqh berbeda pendapat mengenai cakupan keluarga dalam konsep nafkah ini. Mazhab Maliki mengatakan kewajiban nafkah hanya mencakup keluarga kecil saja; suami-istri, anak langsung dan orang tua langsung. Mazhab Syafi’i memasukkan semua garis orang tua ke atas dan garis anak ke bawah. Jadi, kakek, nenek, buyut, cucu, masuk dalam cakupan kewajiban nafkah. Tetapi saudara kandung, paman-bibi tidak masuk cakupan. Mazhab Hanafi cakupan keluarga meliputi anggota keluarga yang dilarang untuk dinikahi. Jadi, keponakan, paman, bibi, juga masuk sebagai keluarga selain orang tua/kakek/nenek, anak/cucu, dan saudara kandung/seibu/seayah/sesusuan. Sementara cakupan keluarga dalam Mazhab Hanbali adalah hukum waris. Mereka yang berhak menerima warisan kita, baik furud maupun asabah, adalah masuk dalam cakupan kewajiban nafkah dari kita. Mereka yang masuk dalam cakupan keluarga ini, terkena hukum “yang kaya atau mampu berkewajiban memberi nafkah pada yang miskin atau tidak mampu”.[23]
Di samping asas kebutuhan, fiqh ketika membahas cakupan keluarga yang wajib dinafkahi, juga ada asas kemampuan bekerja. Artinya, keluarga yang berhak atas nafkah adalah mereka yang tidak mampu bekerja. Jika mereka mampu bekerja, sekalipun miskin dan membutuhkan, tidak berhak memperoleh nafkah, dan yang kaya juga tidak berkewajiban untuk memberinya nafkah. Tetapi kemampuan juga pada akhirnya tidak hanya bersifat fisik, bisa juga sosial dan politik. Seperti kelangkaan lapangan kerja, bukan karena seseorang tidak mau atau tidak mampu bekerja secara fisik. Asas lain, sebagaimana pada kasus relasi suami-istri, adalah jenis kelamin. Artinya, hanya karena seseorang itu berjenis kelamin laki-laki berkewajiban memberikan nafkah kepada seseorang yang hanya karena berjenis kelamin perempuan. Anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan, sekalipun kaya, tidak diwajibkan untuk memberi nafkah kepada anggota keluarga lain yang miskin dan membutuhkan. Kecuali melalui pola institusi zakat yang jumlahnya sangat terbatas dan tidak didasarkan pada kebutuhan penerima (mustahiq).
Kecenderungan fiqh yang merumuskan nafkah sebagai sesuatu yang searah dan didasarkan pada asas jenis kelamin harus ditinjau ulang. Sehingga nafkah tidak hanya dari laki-laki (suami) untuk perempuan (istri), tetapi bisa sebaliknya, juga keduanya secara bersamaan mendatangkan nafkah untuk mereka dan anggota keluarga mereka. Sebenarnya dalam pembahasan umum mengenai distribusi kekayaan dalam fiqh, nafkah dan zakat didasarkan pada asas kebutuhan bukan pada asas jenis kelamin. Artinya, distribusi kekayaan dilakukan dari mereka yang mampu dan memiliki harta untuk mereka yang membutuhkan (tu’khadzu min aghniyâihim wa turaddu ila fuqaraihim). Mereka yang mampu itu bisa laki-laki, perempuan, orang dewasa, maupun anak kecil. Begitupun mereka yang tidak mampu, bisa siapa saja. Negara berkewajiban untuk mengelola distribusi kekayaan ini pada tingkat masyarakat lebih luas, salah satunya melalui institusi zakat. Asas distribusi kekayaan, untuk kasus zakat, dalam semua pandangan ulama fiqh ini adalah kebutuhan.
Asas perkongsian (musyârakah) dalam pernikahan dan asas kebutuhan (hâjah) dalam konsep nafkah, yang sudah dibahas ulama fiqh, bisa menjadi titik tolak gagasan sharing properti dalam keluarga. Gagasan ini memang belum dibahas ulama fiqh klasik, tetapi bisa dikenalkan ke masyarakat sebagai ijtihad kontemporer bagi menjawab permasalahan kekinian. Gagasan ini sudah dilontarkan para cendekiawan muslim Indonesia di bidang hukum perkwaninan, berdasarkan pada praktik-praktik adat yang ada di sejumlah daerah di Indonesia. Gagasan ini muncul sebagai terobosan atas kebuntuan praktik maskawin dan nafkah yang dilakukan laki-laki, yang tidak serta merta memberikan jaminan ekonomi terhadap kehidupan perempuan dalam perkawinan. Maskawin hanya berupa simbol dalam banyak praktik pernikahan di Indonesia. Sementara konsep nafkah dalam fiqh pada praktiknya menempatkan perempuan sangat tergantung dan rentan secara ekonomi, terutama ketika terjadi kematian suami atau terjadi perpisahan akibat perceraian.
Ada dua pandangan di kalangan cendekiawan Indonesia; pertama yang mengatakan bahwa sharing properti keluarga, atau harta bersama, hanya ada jika dinyatakan secara eksplisit oleh suami dan istri dalam perjanjian yang secara khusus dibuat untuk itu. Baik dibuat sebelum pernikahan, ketika akad nikah, atau ketika sudah dalam perkawinan. Pandangan ini misalnya didukung oleh Amir Syarifuddin. Alasan utama dari pandangan ini adalah independensi setiap masing-masing suami dan istri mengenai harta yang dimiliki masing-masing.[24] Pandangan kedua menyatakan bahwa kesepakatan mengenai harta bersama terjadi secara otomatis dengan adanya akad pernikahan. Seseorang yang sepakat untuk menikah, maka baik anak yang dilahirkan maupun harta yang dihasilkan dalam pernikahan ini, secara otomatis menjadi milik mereka berdua, bukan hanya salah satu saja. Suami yang bekerja dan istri yang di rumah, atau sebaliknya, atau kedua-duanya bekerja, semua yang dihasilkan dalam ikatan pernikahan adalah menjadi harta yang dimiliki bersama. Pandangan ini dinyatakan di antaranya oleh Sajuti Talib, Hazairin, dan Idris Ramulyo.[25]
Harta bersama adalah harta yang dihasilkan dari usaha masing-masing suami istri, atau salah satu dari mereka, ketika dalam ikatan perkawinan. Harta yang dimiliki masing-masing sebelum pernikahan, tetap menjadi milik masing-masing dan tidak menjadi harta bersama hanya karena ikatan pernikahan. Harta yang diperoleh dari waris atau hibah, sekalipun dalam ikatan pernikahan, juga tidak dianggap sebagai harta bersama. Jadi, ketika seorang istri atau suami, menerima warisan dari orang tuanya, maka itu menjadi harta milik pribadi dan bukan menjadi harta bersama perkawinan. Gagasan harta bersama ini sudah dimasukkan baik dalam UU Perkawinan Tahun 1974, maupun Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. Setidaknya, ini merupakan terobosan untuk memberikan perlindungan ekonomi bagi perempuan yang memilih, atau karena faktor tertentu, tidak bekerja menghasilkan uang dari luar rumah. Tetapi terobosan ini tidak akan berarti sama sekali jika relasi yang dibentuk antara suami istri, atau antara anggota keluarga, adalah tidak setara dan timpang.
Implikasi dari Relasi yang Timpang mengenai Properti Keluarga
Manusia tidak hidup pada ruang yang kosong. Setiap orang pasti berada dalam tatanan nilai tertentu, pandangan dan cara hidup yang diwariskan secara turun temurun. Tatanan yang terus diproduksi, diperbaharui dan disosialisasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Inilah budaya sebagai hasil kreasi manusia. Budaya lahir sebagai peradaban yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk yang lain. Manusia akan memikirkan, menafsirkan, mereproduksi dan mencipta. Kemudian yang satu membakukan tafsir dan pemikiran itu, sementara yang lain menggugat dan mengkritik untuk menciptakan tafsir baru atas fakta dan fenomena yang berulang atau mungkin baru. Dan demikianlah putaran kehidupan. Mencipta dan membakukan. Kemudian dibakukan untuk mencipta kembali.
Kita bisa menyaksikan, bahwa seseorang tidak hanya terlahir dengan jenis kelamin tertentu, dari suku tertentu dan dengan bahasa tertentu. Tetapi ada tafsir sosial budaya terhadap eksistensi jenis kelamin, ras, atau suku yang melekat pada diri setiap orang. Suku tertentu ditafsirkan sebagai keras kepala dan kasar, misalnya. Sementara suku yang lain lembut dan perasa. Tafsir ini yang kemudian menciptakan asumsi dan cara pandang seseorang dalam berinteraksi dengan orang yang berasal dari suku tersebut. Tidak sedikit juga yang menimbulkan tindakan pelecehan, ketimpangan dan kekerasan.
Begitu juga dengan jenis kelamin seseorang; laki-laki atau perempuan. Ada tafsir-tafsir sosial yang berkembang atas jenis kelamin tersebut. Bahwa manusia yang memiliki penis itu seharusnya tangguh, kuat dan bersedia mengemban tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Sementara manusia yang terlahir dengan vagina, ditafsirkan sebagai manusia yang pasti lembut dan perasa. Karena itu seharusnya atau sebaiknya mengelola urusan domestik dan di dalam rumah saja. Urusan masyarakat dianggap lebih sulit dan kompleks, karena itu bagi yang mengembannya, yaitu laki-laki yang berpenis itu, diperlukan pendidikan yang tinggi dan kapasitas yang memadai. Sementara urusan rumah tangga mudah dan simpel, tidak diperlukan pengetahuan apalagi pendidikan tinggi.
Tafsir sosial ini lahir, berkembang dan terbentuk mulai dari seseorang yang berjenis kelamin itu lahir sebagai bayi, yang baru melihat dunia dan budaya. Masyarakat sekitar sudah mengenalkan dan membakukan tafsir sosial atas jenis kelamin yang melekat pada bayi tersebut. Penanaman nilai yang membedakan anak laki-laki dari anak perempuan terus berlanjut, sampai seseorang menjadi dewasa, menikah, berkeluarga dan meninggal dunia. Nilai ini yang membentuk norma budaya, yang kemudian menjadi paten dan baku dalam kesadaran seseorang sebagai anggota masyarakat budaya. Nilai ini yang menjadi cara pandang seseorang terhadap dirinya, maupun cara pandang terhadap orang lain ketika melakukan interaksi sosial. Cara pandang, nilai, dan tafsir ini yang juga membentuk atribut-atribut dan peran-peran gender seseorang. Bagi perempuan misalnya, hanya karena memiliki vagina dan rahim, ia dibebankan peran-peran reproduksi untuk hamil, menyusui, menjaga dan mengurus anak di dalam rumah, pekerjaan yang pantasnya adalah perawat, pengasuh, pendidik, dan diusahakan agar tidak jauh dari rumah. Peran-peran ini pada pembakuan budaya kemudian dikenal sebagai ‘kodrat perempuan’, yang dianggap melekat dan tidak bisa diubah.
Kita juga sering mendengar ungkapan bahwa di antara kodrat perempuan adalah hamil, melahirkan, menyusui dengan ASI dan memelihara anak. Jika ada perempuan yang enggan untuk hamil atau menyusui dengan ASI, ia akan dianggap orang yang mengingkari kodratnya. Istilah ‘kodrat perempuan’ kemudian lebih banyak digunakan untuk mengecilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat, membatasi, mengekang, bahkan melecehkan mereka. Misalnya, ungkapan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, sering digunakan sebagian orang untuk mengekang perempuan agar tinggal di dalam rumah saja dan tidak banyak keluar sekalipun untuk belajar atau bekerja. Ketika bekerja pun, pekerjaan perempuan dianggap sambilan untuk membantu suami, karena itu ia digaji ‘sambilan’ dan tidak utuh. Persepsi kodrat seperti ini, yang menyebabkan perempuan pembantu rumah tangga misalnya, digaji sangat kecil sekalipun jenis pekerjaanya cukup melelahkan dan melebihi batas kewajaran. Jika dibandingkan, pasti upah pembantu rumah tangga lebih kecil dari gaji supir yang hanya melakukan pekerjaan antar-jemput majikan.
Masih banyak lagi persepsi kodrat yang berkembang di masyarakat, yang pada praktiknya sering merugikan perempuan. Mereka seringkali diharuskan untuk hidup sesuai kodrat yang diasumsikan, padahal peran mereka sudah tidak lagi bisa disesuaikan dengan apa yang diasumsikan itu. Ketika dipaksakan, yang terjadi adalah keburukan, pelecehan, kekerasan dan kezaliman. Seperti ‘kodrat’ keibuan, lemah lembut, dipilihkan dan dikawinkan. Perempuan sebagai istri harus siap melayani, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Tidak peduli; apakah ia sibuk dengan kerja rumah tangga, sakit, atau sedang mengurus dan merawat anak. Kewajiban istri adalah memuaskan suami. Persepsi kodrat yang salah ini sering diperkuat dengan pandangan-pandangan yang dianggap sebagai ajaran keagamaan, sehingga menjadi kebenaran bawah sadar setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam tatanan dan cara pandang budaya yang sedemikian rupa ini, kita masuk dan dihadapkan pada warisan hukum Islam yang kompleks dan sesungguhnya kaya dengan berbagai terobosan-terobosan progresif. Warisan ini bisa menjadi peluang bagi agen perubahan sosial untuk melakukan transformasi dan penguatan hak-hak orang yang lemah, dan bisa sebaliknya menjadi amunisi bagi orang-orang tertentu untuk melanggengkan kekuasaan, kekerasan, dan kezaliman mereka kepada orang lain. Jika relasi yang terbentuk antara suami dan istri adalah setara, seimbang, dan saling memberdayakan, hampir dipastikan konsep-konsep properti keluarga dalam hukum Islam tidak mengalami masalah di tingkat implementasi dalam kehidupan rumah tangga. Tetapi sebaliknya, jika relasi yang terbentuk sudah sedemikian rupa timpang, akibat pengaruh budaya tertentu, maka konsep sebaik apapun yang ditawarkan hukum Islam bisa diselewengkan untuk melakukan dominasi, hegemoni, dan bisa jadi kekerasan.
Konsep maskawin, atau mahar, misalnya, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai komitmen kejujuran (shaduqah) dan simpati (nihlah) dari seorang laki-laki untuk perempuan yang dinikahinya, bisa berubah menjadi imbalan yang bisa digunakan oleh laki-laki untuk memaksa perempuan membayarnya dengan memenuhi segala tuntutannya. Semakin besar pemberian maskawin seseorang, semakin besar ia memiliki wewenang untuk menguasai istrinya. Fungsi jaminan ekonomi yang digariskan fiqh mengenai maskawin juga bisa hilang, jika implementasi maskawin hanya dipahami sebagai imbalan dan jasa. Dalam relasi yang timpang dan cara pandang yang merendahkan, pemberian maskawin akan dijadikan bargaininng untuk melemahkan perempuan, dan mengkondisikannya untuk tunduk pada keinginan suami. Karena sudah memberi maskawin dan sudah dilangsungkan akad nikah, suami kemudian merasa berhak meminta istrinya keluar dari rumah orang tuanya, untuk tinggal serumah dengannya, memintanya tinggal di dalam rumah tanpa banyak keluar, dan memaksanya keluar dari sekolah atau pekerjaannya. Perempuan seringkali tidak dimintai pertimbangan atas semua tuntutan dan permintaan terhadap dirinya. Dalam relasi yang timpang, besar kemungkinan laki-laki akan melakukan hal demikian hanya karena ia merasa sudah memberikan maskawin.
Kewajiban nafkah pada suami, sekalipun baru sebatas konsep dan belum tentu dipraktikkan, laki-laki sudah dianggap lebih baik dari perempuan, lebih mulia, dan lebih tinggi. Hal ini terjadi karena sudah terbentuk sedemikian rupa nilai-nilai budaya yang membakukan relasi yang timpang. Relasi yang menempatkan laki-laki di posisi tertentu, hanya karena ia berjenis kelamin laki-laki. Dengan posisi ini, dimana laki-laki diwajibkan mencari nafkah, ia dianggap berhak menjadi pemimpin keluarga, mengatur, dan mendisiplinkan seluruh anggota keluarga, termasuk istri. Padahal posisi ini mensyaratkan kemampuan tertentu yang belum tentu semua laki-laki memilikinya. Karena relasi yang timpang, maka kerja-kerja publik yang menjadi domain laki-laki ‘pencari nafkah’ menjadi lebih baik dari kerja-kerja domestik di dalam rumah yang menjadi domain perempuan. Sekalipun agama memberikan apresiasi pada kerja-kerja domestik, tapi apresiasi ini hanya berhenti pada seruan moral yang tidak memiliki implikasi sosial sebagaimana kerja-kerja publik.
Karena merupakan kewajiban laki-laki, perempuan akan dianggap kurang pantas bekerja menghasilkan uang untuk keluarga. Jikapun bekerja karena tuntutan pasar atau sosial, akan dianggap sebagai pelengkap, dan pada saat yang sama masih harus dibebani kerja-kerja domestik. Sehingga dia menghadapi beban ganda; kerja di dalam rumah dan kerja di luar rumah. Cara pandang yang timpang ini juga sebenarnya membebani laki-laki, yang bisa saja karena sebab-sebab tertentu tidak bisa, tidak mampu, atau tidak menemukan pekerjaan. Laki-laki akan dicibir dan direndahkan karena tidak bekerja. Laki-laki juga akan merasa kesulitan untuk berdamai dengan pekerjaan domestik, karena sejak kecil dibiasakan menganggap hal ini sebagai pekerjaan perempuan. Surat yang dikirim seorang perempuan ke rubrik konsultasi psikologi Kompas pada tahun 1998, ketika krisis moneter, bisa memberi gambaran soal kompleksitas peran suami dan istri.
“Sejak suami saya di-PHK dari bank yang terkena likuidasi beberapa bulan silam, rumah menjadi neraka kecil bagi kami semua. Dua pembantu terpaksa kami “rumahkan” karena tak kuat membayar gaji. Beban ekonomi jatuh ke pundak saya. Cuma tinggal gaji saya yang tinggal separuh itulah yang menghidupi kami. Kedua anak kami masih terlalu kecil untuk mengerti (5 dan 7), sementara harga semua barang mencuat tinggi. Suami sudah berusaha mencari pekerjaan lain, tetapi karena sektor perbankan sedang saat ini, tak ada yang mau menerimanya. Sekarang ia cuma murung sepanjang hari, sikapnya tidak seperti dulu lagi. Mungkin ia malu terkena PHK, tapi sekarang sudah bukan saatnya untuk malu begitu. Keluarga kami butuh makan! Saya berusaha sabar menghadapi hidup ini yang berisi anak-anak, suami dan pekerjaan, tapi semoga Tuhan mengampuni saya…kadang-kadang saya tak tahan lagi. Saya tidak mendapatkan dukungan dari suami. Pulang bekerja saya bekerja lagi, mencuci, masak, mengurus anak-anak, dst, dst. Saya kan tidak membentuk keluarga ini sendirian Bu Leila. Kenapa suami saya tak sembuh-sembuh dari sedihnya dan membantu saya mencuci piring? Sepanjang hari ia hanya duduk, merokok, menonton TV, atau melamun. Paling banter ia menyiram bunga di kebun kecil kami, tapi sekarang musim hujan. Mendingan menyiram anak-anak untuk mandi”.[26]
Sebagian dari jawaban Leila Ch. Budiman terhadap surat tersebut di atas adalah sebagai berikut:
“Tampaknya sumai Anda juga sedang menderiat stres berlipat ganda. Dari kedudukan sebagai kepala rumah tangga, tempat kehidupan keluarga bertumpu, sekarang kedudukannya merosot deras. Gempuran pertama karena di-PHK, tonjokan berikut sebab ditolak bekerja di mana-mana, lebih babak belur lagi sebab tidak dapat menambah daya beli keluarga yang serba kurang, bahkan buntutnya Cuma iku mem-“bebani” istri. Lebih terpukul lagi, sebab ia menghadapi pekerjaan “perempuan” di rumah. Pukulan demi pukulan ini yang menyebabkan egonya babak belur, sampai belum sembuh juga dari sakit sedihnya. Akan sangat menolong jika suami-istri yang masing-masing sedang “babak belur” ini dapat lebih kerap menyatakan rasa sayang. Pada pasangannya bersikap sabar dan saling tolong menolong. Mengajak keluarga prihatin dan ikut menolong di rumah”[27]
Dalam bayang-bayang nilai-nilai budaya yang timpang dalam melihat relasi gender, akan tampak semua yang dilakukan perempuan salah, tidak berarti, dan merugikan. Simak apa yang dikeluhkan seorang suami, dalam rubrik yang sama kepada Leila Ch Budiman:
“....Kami telah enam tahun menikah Uni Lei. Saya mempunyai kedudukan baik di kantor setelah kerja keras selama tujuh tahun. Kadang saya harus pulang sampai larut malam karena pabrik harus bekerja terus-menerus. Keadaan pabrik yang bising dengan baunya yang khas, dan tentu saja tidak terlalu bersih, membuat saya ingin segera pulang. Saya sering bayangkan, pulang disambut istri dengan senyum, rumah teratur bersih, dan ia memberi segelas air jeruk kesukaan saya. Tapi bayangan indah itu tinggal mimpi, tak pernah terjadi.
Yang selalu saya temukan wajah cemberut, rambut awut-awutan, dan bau minyak kayu putih sebab ia sering pusing. Kalau saya pulang sore, istri bau minyak tanah sebab ia sedang memasak dan mengepel rumah. Jangankan air jeruk panas, air putih saja harus ambil sendiri. Kalau ia ‘bercerita’, mulailah keluar keluhan; anak ingusan, ledeng mampet, kursi jebol dsb. Saya jadi males omong, dan dia tambah marah. Katanya saya tidak peduli lagi padanya.
Malam pun sama saja. Dulu saya bayangkan dapat menonton teve bersama-sama, ingin bermesraan kalau anak sudah tidur. Ternyata anak tidur, dia pun ikut ngorok. Padahal dia di rumah saja, kan punya waktu banyak untuk tidur?
Tambah lama saya jadi tambah malas pulang. Dulu pernah saya katakan padanya agar mengambil pembantu, tetapi ia tidak setuju dengan alasan yang dicari-cari. Yang masih membuat pulang adalah anak lelaki saya yang memang cerdas. Dia sudah bisa membaca sebelum masuk SD, dan sekarang termasuk lima besar di kelasnya.
Akhir-akhir ini saya cepat naik darah, sukar tidur, dan sakit. Hubungan kami jadi makin renggang. Saya berpikir, pantaslah suami mudah tergoda wanita lain....Uni Leila, bagaimana sebaiknya sikap saya agar dia berubah? Ataukah saya mencari wanita lain saja”.[28]
Mungkin kita perlu simak pandangan yang lain dari Leila Ch. Budiman, dalam menanggapi sang suami yang mengirimi surat tersebut. Pandangan ini lebih berimbang dalam memahami persoalan relasi suami dan istri. Mungkin karena dari seorang psikolog yang perempuan.
“...................... Saya tidak tahu siapa yang bekerja lebih keras, Bapak atau Ibu? Sebagai ibu dan istri tanpa pembantu, ia –istri Bapak- punya banyak tugas. Ia harus menjadi juru masak buat sekeluarga, menjadi ahli gizi bagi bayinya sampai sekarang, juga buat anggota keluarga lain. Ia tidak hanya merencanakan makanan saja, juga membeli dan memilih sendiri. Ia juga menjadi cleaning lady yang bukan hanya mengepel dan membersihkan kamar mandi saja, tetapi juga mencuci piring, panci dan pakaian sekaligus mensetrikanya. Ia pun menjadi “akuntan” yang membereskan pengeluaran rumah tangga, menjadi beberapa guru bagi si buyung, mengajarkan makan dengan benar, menjaga kesehatan, mengajarkan baca tulis, bernyanyi, berhitung, adat istiadat, sopan santun, agama, hingga ia bisa baca sebelum masuk SD dan tergolong lima besar di kelasnya. Kita tahu, kecerdasan tidak jatuh dari langit begitu saja. Betapa pun cerdasnya seorang bayi, jika tidak ada yang membimbing dan mengajarkan berbagai hal kepadanya, si bayi akan tidak belajar apa-apa, alias menjadi bodoh. Istri pun perlu bisa jadi pemain akrobat: harus terampil memasak sambil menjaga anak jangan jatuh dari kursi. Ia pun jadi sopir si buyung yang harus bolak-balik mengantar pergi ke sekolahnya. Semua pekerjaan ini dikerjakan sepanjang hari, tiap hari sejak menikah dengan Bapak. Tidak mengherankan bila ia kurang waktu buat dandan dan membuat air jeruk panas, dan demikian lelahnya di malam hari.
Bedanya, Bapak digaji sedangkan istri Bapak tidak. Imbalanya? Jangankan penghargaan, perhatian saja sukar didapatkannya dari Bapak. Bukankah Bapak cenderung melihatnya sebagai pengangguran cerewet yang “di rumah saja”.
Tampaknya istri yang supersibuk itu perlu sekali mendapatkan beberapa asisten. Ya, paling sedikit seorang pembantu rumah tangga yang terampil hingga ia masih punya waktu untuk bersenam, membaca buku yang berguna dan merawat kecantikannya..........Bapak Jangan ungkapkan keinginan ini sekali seumur hidup saja, kalau perlu dapat diingatkan dengan lemah lembut, sekali dalam beberapa bulan, agar masing-masing tahu apa yang didambakan dari pasangannya.
Jika sikap Bapak sering manis dan mesra kepadanya, saya percaya dia pun akan berusaha melakukan hal yang sama pula. Misalnya Bapak tidak hanya minta dilayani dengan menyediakan air jeruk panas, tetapi sekali-kali juga membuatkan susu cokelat kegemarannya. Jangan lupa, sesekali hadiahkanlah sang istri parfum Soir de Paris, atau Beautiful, Estee Lauder, supaya dia tidak senantiasa bau kayu putik dan minyak tanah saja”.[29]
Dalam relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, juga tumbuh berbagai stereotipe yang berakibat negatif bagi perempuan. Stereotipe berarti pelabelan secara negatif terhadap salah satu pihak dalam pola hubungan relasi antar dua pihak. Pelabelan muncul karena ada relasi kuasa yang mendominasi. Biasanya, pihak yang dominan akan lebih banyak melakukan pelabelan negatif, memproduksinya terus-menerus dan menyebarkannya ke masyarakat luas. Pelabelan ini seringkali dijadikan legitimasi untuk membenarkan tindakan dari satu pihak yang dominan kepada pihak yang lain. Dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan, pelabelan biasanya lebih banyak berkaitan dengan peran gender perempuan.
Pelabelan atau stereotipe akan melahirkan subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Karena anggapan bahwa laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah, maka muncul stereotipe perempuan di rumah itu pengangguran, atau sekedar ‘ibu rumah tangga’. Sebutan ‘ibu rumah tangga’ hanya pengganti dari kata ‘pengangguran’. Dari stereotipe ini, perempuan diposisikan secara subordinat dan tidak penting. Ketika ia bekerja pun akhirnya dimarjinalkan, karena hanya sebagai pekerja tambahan dan pelengkap kerja-kerja suami. Tidak ada tunjangan untuk upah buruh perempuan. Marjinalisasi ini, pada akhirnya juga mengakibatkan kekerasan ekonomi dan sosial.
Logika ini, yang bisa digunakan untuk memahami mengapa dalam sebuah keluarga; gaji sopir keluarga (peran gender laki-laki) jauh lebih besar dibanding dengan gaji pekerja rumah tangga (peran gender perempuan) mereka. Sekalipun tidak ada yang bisa menjamin bahwa kerja sopir jauh lebih berat daripada kerja rumah tangga. Pada kasus konsultasi keluarga yang diasuh Leila Ch seperti di atas, juga memperjelas betapa kerja-kerja istri yang begitu rupa di dalam rumah, tidak dianggap ada oleh sang suami. Tidak memperoleh perhatian dan apresiasi dari suami. Perundang-undangan kita di Indonesia juga, masih belum menempatkan Pekerja Rumah Tangga, sebagai pekerja yang memiliki hak-haknya sebagai pekerja. Hak atas upah minimum, hak atas cuti, hak berorganisasi dan hak atas kesehatan dan peningkatan karir.
Dalam konstruksi seperti inilah, hukum Islam dipahami dan ditafsirkan sekarang. Begitupun hukum positif dibentuk, dilahirkan dan diimplementasikan di ruang pengadilan. Karena itu, hukum tidak netral dan tidak mungkin bisa netral. Ia berada pada peraduan berbagai kepentingan para pihak. Pihak yang paling berkuasa adalah yang menentukan bentuk dan teks-teks hukum. Baik kekuasaan politik di parlemen, jika itu undang-undang, atau kekuasaan eksekusi di pemerintahan, jika itu pelaksanaan dari undang-undang, atau kekuasaan menafsir dan memberi fatwa jika itu menyangkut ajaran-ajaran agama. Semua orang dituntut untuk menemukan substansi hukum untuk keadilan. Para agen perubahan sebaiknya memiliki kesadaran bahwa konsepsi netralitas hukum justru meminggirkan perempuan dan menyulitkan mereka menemukan keadilan. Para perempuan akan terpaksa tunduk pada aturan yang sudah terbentuk sedemikian rupa yang tidak ramah pada mereka. Tuntutan-tuntutan khusus bagi kebutuhan perempuan, juga akan sulit dipenuhi dalam kondisi hukum yang netral dan tidak memihak kepada perempuan sebagai korban.
Seharusnya, kita memandang hukum Islam, yang awalnya disebut fiqh selama berabad-abad, sebagai dinamika budaya masyarakat Muslim sepanjang sejarah peradaban dalam merumuskan dan membumikan kesempurnaan Islam. Dalam dinamika ini terjadi tarik ulur antara subyektifitas pribadi, jenis kelamin, golongan, budaya, dan politik, dengan cita-cita luhur Islam dalam menegaskan keadilan sosial untuk kemanusiaan. Di dalam dinamika ini juga ada keterbatasan-keterbatasan yang harus dikaji ulang, di samping banyak terobosan-terobosan progresif yang harus diapresiasi dan diteruskan. Melalaui cara pandang ini, kita harus meyakinkan diri kita bahwa perubahan tafsir hukum Islam yang lebih adil gender adalah sesuatu yang mungkin dan niscaya. Tafsir ini harus selalu dihidupkan, dicari dan dimunculkan melalui medium-medium yang memungkinkan perempuan dan laki-laki dalam sebuah perkawinan, bisa membangun relasi yang setara, adil dan tidak menjadikan pasangannya sebagai korban dominasi, hegemoni, dan kekerasan.
Secara umum, konstruksi sosial yang terbentuk seringkali berlaku tidak adil terhadap perempuan, bahkan melakukan kekerasan-kekerasan yang membuat mereka terpuruk dan terhina. Budaya yang ada terbiasa memproduksi norma-norma kepada perempuan agar hanya berputar-putar pada aktivitas domestik dan tidak memperkenankan mereka mengembangkan diri pada wilayah publik. Kalaupun perempuan bekerja maka hasilnya seringkali tidak dinikmati mereka sendiri. Para perempuan seringkali dikondisikan untuk selalu berkorban untuk orang lain; orang tua, anak dan seringkali untuk suami. Mereka sendiri secara tidak sadar kemudian melupakan hak-hak yang mesti mereka nikmati. Merekapun lalu memilih untuk tidak banyak berusaha, karena lebih memilih melayani anak dan suami. Padahal ketika suami tiada, atau diceraikan, dia tidak bisa bergantung kecuali pada diri mereka sendiri. Pemihakan ini diperlukan agar tidak ada lagi penyia-nyiaan, tidak ada lagi pelecehan, tidak ada lagi kebodohan dan tidak ada lagi kemiskinan yang dialami perempuan. Pemihakan adalah salah satu strategi menciptakan struktur sosial yang adil gender, yang bisa diawali dari relasi dalam keluarga.
Sharing Properti Keluarga secara Adil Gender
Sharing properti keluarga adalah salah satu cara mengelola harta kekayaan keluarga agar mendatangkan kebaikan dan tidak mendatangkan keburukan pada anggota keluarga. Suami istri, sebagai awal dari keberadaan keluarga dalam sharing ini, akan memiliki, bertanggung-jawab, mengontrol, mengambil manfaat, dan melakukan tindakan hukum terhadap properti keluarga secara bersama dan untuk kepentingan keduanya. Hal ini hanya dimungkinkan jika kehidupan perkawinan dibangun atas dasar relasi yang adil gender. Yaitu relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan, dimana yang satu tidak memandang rendah pada yang lain, dan yang satu tidak menganggap dirinya lebih penting dari yang lain. Relasi ini mensyaratkan kedua belah pihak sadar, rela, dan tanpa terpaksa memilih masuk dalam ikatan pernikahan. Relasi ini juga hanya mungkin jika pernikahan dianggap sebagai perkongsian (musyârakah) antara laki-laki dan perempuan, bukan pertukaran (mu’âwdah) antara sesuatu yang dimiliki laki-laki dengan sesuatu yang dimiliki perempuan.
Jika relasi yang terbentuk setara dan tidak timpang, maka maskawin akan dipandang sebagai bentuk pemberian sukarela (nihlah) dari pihak mempelai laki-laki ke mempelai perempuan. Karena itu, hal yang sama juga bisa dilakukan mempelai perempuan kepada calon suaminya. Untuk mengarah pada relasi yang setara ini, kita harus meninggalkan cara pandang lama bahwa maskawin sebagai imbalan dan jasa. Cara pandang maskawin sebagai imbalan ini sesungguhnya secara substansi berarti menyamakan pernikahan dengan pekerjaan seks komersial. Jika kita menganggap pernikahan lebih mulia dari sekedar pekerjaan seks, maka cara pandang kita terhadap maskawin harus dikembalikan pada apa yang digariskan al-Qur’an; sebagai komitmen kejujuran (shaduqah) dan pemberian sukarela (nihlah). Demikian apa yang dikatakan Syekh Ibn Asyur (w. 1393 H/1973 M) dalam Tafsirnya at-Tahwir wa at-Tanwir mengenai ayat ke-4 dari Surat an-Nisa.
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Dan berikanlah (wahai laki-laki) kepada perempuan (yang kamu nikahi) tanda-tanda kejujuran (maskawin) yang menjadi milik mereka, secara suka rela. Dan jika mereka (perempuan) dengan senang hati memberikan kembali dari maskawin tersebut kepada kamu, maka kamu boleh memakannya tanpa perlu ragu”. (QS. An-Nisa, 4: 4).
Menurut Ibn Asyur, ayat tersebut di atas turun untuk menegaskan bahwa pernikahan adalah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Sebelumnya, bagi masyarakat Arab pernikahan adalah antara mempelai laki-laki dan orang tua/wali mempelai perempuan. Sehingga, maskawin yang dibawa laki-laki akan diberikan kepada orang tua/wali bukan kepada perempuan. Maskawin menjadi hak orang tua/wali bukan mempelai perempuan. Dengan cara pandang ini, orang tua/wali berhak sepenuhnya atas harga maskawin. Ayat ke-4 dari Surat an-Nisa turun untuk merubah subyek hukum pernikahan, menjadi mempelai perempuan itu sendiri dengan mempelai laki-laki. Sehingga ketika maskawin diberikan kepada perempuan, akan menjadi milik perempuan sepenuhnya. Maskawin juga harus diberikan, dalam bahasa al-Qur’an, sebagai shaduqah dan nihlah, komitmen kejujuran, kerelaan, atau pernyataan simpatik. Ibn Asyur memandang, kata nihlah sengaja digunakan untuk memastikan bahwa maskawin itu bukan imbalan atas suatu jasa dari perempuan, dan bahwa pernikahan itu bukan tukar menukar (mu’âwadhah). Pernikahan, kata Ibn Asyur adalah ikatan untuk tujuan mu’âsyarah, saling memperlakukan dan membutuhkan satu sama lain, dalam ikatan yang kuat (‘âshirah ‘azhîmah), untuk mencapai keinginan bersama melalui pertukaran hak dan kewajiban yang saling melengkapi.[30]
Dengan cara pandang ini, laki-laki memandang istrinya sebagai mitra kehidupan perkawinan mereka, begitupun perempuan kepada suaminya. Laki-laki tidak menjadi lebih penting dan lebih tinggi hanya karena ia memberi maskawin. Karena pemberian ini harus didasarkan pada kejujuran, sukarela, simpati, dan cinta kasih, dari laki-laki kepada permepuan. Hal yang sama, yang dituntut dari perempuan juga adalah buah dari kejujuran, simpati, dan cinta kasih kepada laki-laki, atau suaminya. Perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan pemberian kepada laki-laki, sebagai komitmen kejujuran dan pemberian sukarela, sebagaimana yang dilakukan Khadijah kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan cara pandang yang demikian, tujuan pernikahan untuk menumbuhkan kehidupan yang tentram (sakinah) dan penuh cinta kasih (mawaddah wa rahmah), sebagaimana digariskan al-Qur’an dalam surat ar-Rum ayat 21, akan lebih mudah dicapai dan dirasakan kedua belah pihak suami dan istri.
Dalam cara pandang yang setara dan adil gender, kewajiban nafkah yang dibebankan laki-laki dalam Islam, harus dilihat sebagai jaminan perlindungan ekonomi bagi perempuan terutama agar leluasa melakukan kerja-kerja reproduksi; hamil, melahirkan, dan menyusui. Kewajiban nafkah sama sekali tidak untuk menempatkan laki-laki lebih penting dari perempuan. Karena dalam Islam, kerja-kerja reproduksi perempuan sama penting dengan kerja-kerja produksi laki-laki. Islam sama sekali tidak menjadikan kewajiban nafkah sebagai basis dominasi, hegemoni, diskriminasi, dan kekerasan dalam sebuah keluarga. Dalam berbagai teks hadits Nabi Saw, kerja-kerja produksi untuk memenuhi kebutuhan keluarga dianggap jihad, sebagaimana kerja-kerja reproduksi juga sama persis dianggap jihad. Selama kerja-kerja reproduksi perempuan tidak memperoleh jaminan ekonomi dari negara dan masyarakat, maka jaminan harus dilakukan keluarga perempuan yang terdekat, suami, orang tua, atau saudara. Adalah tidak adil jika perempuan melakukan kerja-kerja reproduksi kemanusiaan ditinggal sendirian, tanpa perlindungan dan jaminan, terutama ekonomi dan kesehatan.
Kata Nafkah sendiri dengan berbagai turunan katanya disebut lebih dari 35 kali dalam al-Qur’an. Secara umum nafkah berarti membelanjakan harta untuk kebaikan. Dalam berbagai ayat, Allah Swt memerintahkan orang-orang beriman untuk mengeluarkan nafkah (seperti QS. Al-Baqarah, 2: 254 dan 267). Nafkah disebut sebagai aktifitas terpuji yang dilakukan orang-orang yang beriman selain aktifitas ritual seperti shalat (QS al-Baqarah, 2: 3; al-Anfal, 8: 3; al-Hajj, 22: 35; al-Qasas, 28: 54; as-Sajdah, 32: 16; dan asy-Syura, 42: 38). Al-Qur’an menyebutkan bahwa sebaik-baik nafkah adalah yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang tua sendiri, kerabat terdekat, anak yatim, dan orang-orang miskin (QS. Al-Baqarah, 2: 215). Allah Swt pasti melihat dan mencatat mereka yang mau mengeluarkan nafkah (QS. Al-Baqarah, 2: 270 dan at-Taubah, 9: 121), menjanjikan imbalan pengganti (QS. Saba, 34: 39), bahkan dengan imbalan yang jauh berlipat-lipat (QS. Al-Baqarah, 2: 261).
Dengan demikian, nafkah sebagai perintah Allah Swt kepada orang-orang beriman, sebagai sifat terpuji mereka, atau sebagai aktifitas yang akan dijanjikan imbalan yang berlipat-lipat, adalah ditujukan kepada semua orang yang beriman kepada-Nya, laki-laki dan perempuan. Nafkah sebagai kewajiban laki-laki (suami), hanya disebut satu kali oleh al-Qur’an, dalam konteks perlindungan bagi perempuan yang dicerai, terutama ketika ia dalam keadaan hamil.
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7). (سورة الطلاق، 6-7)
“Tempatkanlah mereka (para isteri dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak kamu), maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan apa yang Allah berikan (kemampuan) kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalaq, 65: 6-7).
Sementara dalam ayat ke 34 dari surat an-Nisa yang sering dirujuk mengenai konsep qiwamah, nafkah disebut sebagai salah satu prasyarat seorang laki-laki bisa menjadi pelindung bagi perempuan. Perlindungan yang dimaksud ayat ini, bisa jadi adalah dalam konteks kerja-kerja reproduksi perempuan sebagaimana dalam ayat ath-Thalaq di atas. Kewajiban nafkah bagi laki-laki dimaksudkan agar perempuan leluasa dan terlindungi ketika melakukan kerja-kerja reproduksi kemanusiaan. Kewajiban nafkah bagi laki-laki juga sangat rasional pada konteks sosial budaya yang masih memberikan kesempatan kerja lebih banyak pada laki-laki. Adalah tidak adil ketika perempuan dituntut bekerja mencari nafkah sementara kehidupan sosial masih belum cukup membuka segala kesempatan kerja bagi mereka. Pada prinsipnya, sebagaiman disebut ayat-ayat lain, pemberian nafkah dilakukan oleh orang yang mampu untuk menutupi kebutuhan orang yang tidak mampu. Jika seseorang memiliki kemampuan dan keleluasaan, baik laki-laki maupun perempuan, maka ia diwajibkan memberikan nafkah kepada keluarga terdekat; mulai dari anak, orang tua, dan istri atau suami.
Persoalan yang lebih mendasar adalah hak dan kesempatan bekerja, bukan nafkah itu sendiri. Nafkah adalah aktifitas lanjutan setelah seseorang bekerja dan memperolah harta sebagai hasil dari kerjanya. Kewajiban nafkah akan menjadi sia-sia jika tidak tersedia lapangan pekerjaan bagi mereka yang diwajibkan untuk memberikan nafkah. Karena itu, diperlukan terobosan-terobosan politik dan kebijakan agar setiap orang memiliki kesempatan bekerja dan menikmati hak-hak ekonomi mereka yang mendasar. Setiap orang juga harus dipastikan memperoleh jaminan kerja yang aman, perlindungan dan upah yang layak atas kerja yang dilakukan. Dalam kompleksitas kehidupan sosial ekonomi yang tidak selalu menggembirakan, laki-laki dan perempuan pada praktiknya dituntut memiliki inisiatif dan melakukan inovasi-inovasi untuk memastikan kebutuhan-kebutuhan keluarga bisa tercukupi dan secara ekonomi aman serta terlindungi.
Anjuran untuk berusaha, berniaga dan bekerja banyak sekali ditemukan dalam berbagai ayat al-Qur’an dan teks hadits Nabi Muhammad Saw. Lebih dari lima puluh tempat dalam al-Qur’an, keimanan selalu dikaitkan dengan amal shalih yang secara literal berarti kerja-kerja positif. Amal shaleh yang vertikal berarti ibadah-ibadah ritual kepada Allah SWT, sementara amal shaleh yang horizontal adalah ibadah-ibadah sosial, politik dan ekonomi untuk kepentingan penguatan diri, kemandirian dan keadilan masyarakat. Dalam berbagai kesempatan al-Qur’an seringkali menggunakan kata-kata bisnis dalam menyampaikan gagasan-gagasannya, seperti tijarah (perniagaan), syira (penjualan), bai’ (pembelian), mizan (timbangan) dan kata-kata lain. Setidaknya, ini menunjukkan betapa al-Qur’an sangat dekat dengan dunia bisnis, di samping memberikan apresiasi tersendiri terhadap mereka yang bergelut dalam dunia bisnis untuk kemandirian dan kesejahteraan.
Anjuran bekerja dan berniaga dalam Islam, adalah untuk kecukupan dan ketahanan diri, keluarga, dan bangsa. Karena itu, di samping anjuran itu menuju individu-individu untuk bekerja, juga menyasar pada negara agar menerapkan kebijakan-kebijakan yang membuka lapangan kerja lebih banyak bagi rakyatnya. Dalam beberapa anjuran ibadah rukun Islam, juga secara tidak langsung merupakan anjuran untuk melakukan aktivitas untuk kecukupan diri dan memperoleh kelebihan. Seperti anjuran zakat dan ibadah haji, yang tidak mungkin tertunaikan tanpa ada kerja keras dan kelebihan dari hasil usaha yang dilakukan. Anjuran-anjuran ini tentu tidak saja mengarah kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan. Karena keduanya adalah manusia yang setara, yang memperoleh hak dan kewajiban yang sama di hadapan Allah SWT.
Salah satu tujuan orang bekerja adalah kepemilikan atas harta hasil dari usaha kerja kerasnya. Karena itu, ketika usaha menjadi hak perempuan seperti juga hak laki-laki, maka kepemilikan juga menjadi hak independen perempuan sepenuhnya. Ketika masyarakat Jahiliah pra Islam memiliki kebiasaan untuk mewarisi harta perempuan yang ditinggal mati suaminya, bahkan mewarisi tubuhnya, Islam datang untuk membatalkan kebiasaan keji tersebut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak dihalalkan bagi kamu untuk mewarisi (harta atau tubuh) perempuan dengan paksa, dan janganlah kamu halangi mereka (untuk menikah dengan yang lain) agar kamu bisa memperoleh sesuatu dari (milik mereka) yang telah kamu berikan kepada mereka”. (QS. An-Nisa, 4: 19).
Ketika sesuatu telah menjadi milik perempuan, dengan jalan jual-beli, hibah, waris, atau kontrak-kontrak yang dibenarkan, maka ia menjadi miliknya sepenuhnya. Siapapun tidak berhak mencampuri, mempergunakan atau mengambil tanpa seizinnya. Dalam hal ini, seringkali suami merasa berhak atas harta isterinya, sehingga ia terbiasa untuk menggunakan dan mengambil tanpa seizinya. Perilaku ini telah dikritik al-Qur’an dengan pedas, bahkan disebutkan termasuk uang mahar yang diberikan suami terhadap isteri sekalipun dalam jumlah yang sangat besar, tidak halal bagi suami untuk mengambilnya begitu saja tanpa seizin sang isteri.
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Dan berikanlah kepada perempuan, mahar yang menjadi hak mereka dengan penuh kerelaan. (janganlah kamu mempergunakannya), kecuali jika mereka merelakan dari sesuatu (yang diberikan itu), maka makanlah ia dengan kenikmatan dan keleluasaan”. (QS. An-Nisa, 4: 4).
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Apabila kamu ingin menggantikan pasangan kamu dengan pasangan yang lain, dan kamu telah memberikan kepadanya sejumlah harta yang melimpah, maka kamu tidak berhak untuk mengambilnya sedikitpun. Bagaimana kamu berani mengambilnya, padahal itu perbuatan bohong dan dosa yang nyata?”. (QS. An-Nisa, 4: 20).
Ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwa perempuan memiliki indepensi penuh terhadap harta dan kekayaan yang menjadi miliknya. Persoalan apakah dia mau memberikan kepada yang lain atau menggunakannya untuk kepentingan yang dia inginkan, adalah merupakan hak dia sepenuhnya. Tetapi seringkali, pihak-pihak lain memanfaatkan kelemahan perempuan untuk mempergunakan segala yang dimilikinya. Seringkali perempuan tanpa sadar tidak menghiraukan hak-hak miliknya, tidak mencatat dan tidak menyimpannya sesuai dengan namanya, sehingga kemudian ketika terjadi perselisihan seluruh hartanya telah beripindah tangan begitu saja. Pada konteks seperti ini, pemihakan terhadap perempuan dengan melakukan pendidikan penyadaran dan tuntutan kebijakan yang bersahabat terhadap mereka menjadi sebuah keniscayaan.
Gagasan adanya sharing properti keluarga, atau harta bersama, adalah salah satu upaya dukungan cendekiawan muslim Indonesia untuk memberi pemihakan pada perempuan yang secara struktur budaya lebih banyak dituntut untuk berada di dalam rumah. Mohd. Idris Ramulya mengkiaskan harta yang diperoleh dalam pernikahan dengan anak yang dilahirkan. Menurutnya, sekalipun istri menanggung dan bekerja lebih keras untuk melahirkan anak jika dibandingkan suami, tetapi karena ikatan pernikahan, anak yang dilahirkan menjadi hak berdua suami dan istri. Begitupun harta yang diusahakan suami, sekalipun ia bekerja lebih keras di luar rumah, tetapi hasil yang diperoleh harus menjadi milik berdua dan bersama, suami dan istri. Dalam gagasan ini, harta yang dihasilkan dari kerja suami dalam ikatan pernikahan adalah harta bersama, dimana tindakan hukum menjadi hak berdua. Jika istri diceraikan atau ditinggal mati suami, maka ia berhak separoh dari harta tersebut, dan separohnya menjadi hak suami untuk diambil dibawa pergi ketika bercerai atau dibagikan kepada ahli warisnya ketika meninggal dunia.[31]
Perempuan harus diberikan pilihan untuk tinggal dan bekerja di dalam rumah, karena faktor reproduksi, tuntutan budaya, atau kesepakatan bersama, di samping pilihannya untuk bekerja di luar rumah. Ketika ada tuntutan sosial tertentu atau karena pilihan perempuan, ia bekerja di luar rumah, maka harus ada kesediaan laki-laki untuk mengambil alih kerja-kerja domestik jika memiliki waktu luang lebih. Tentu saja, semua urusan bisa dikompromikan melalui kesepakatan-kesepakatan antara suami dan istri, misalnya dengan berbagi tugas dan waktu, atau mempekerjakan PRT. Tetapi jika cara pandang budaya terus melestarikan pembakuan peran domestik untuk perempuan, maka bisa dipastikan perempuan yang bekerja di luar rumah akan mengalami beban ganda, sekalipun sudah mempekerjakan PRT. Karena itu, nilai-nilai budaya juga harus didorong untuk membuat laki-laki nyaman dan termotivasi melakukan kerja-kerja domestik, dan tidak membakukan peran domestik sebagai pekerjaan perempuan dan peran publik sebagai dunia laki-laki.
Dengan cara pandang yang setara dan adil gender, suami dan istri memiliki hak yang sama untuk merumuskan dan mengkompromikan kesepakatan-kesepakatan di antara mereka berdua, baik mengenai kerja di publik, kepemilikan properti keluarga, urusan rumah tangga, pendidikan anak, ataupun yang lain. Mereka bisa secara sadar untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi di antara mereka berdua, seperti perceraian atau meninggal dunia. Mereka sebaiknya terus menerus merefleksikan relasi antara mereka berdua, di momen-momen tertentu, sehingga kesetaraan dan keadilan relasi tetap terjaga, dan tidak ada satu pihak yang menistakan pihak yang lain. Dalam bahasa al-Qur’an, relasi pernikahan harus selalu dijaga agar tetap dalam dua keadaan saja, baik atau lebih baik. Jikapun terjadi konflik antara suami istri, maka yang harus dipikirkan keduanya adalah hanya dua pilihan, meneruskan pernikahan dengan kompromi-kompromi yang mendatangkan kebaikan (imsâskun bi ma’rûf), atau berpisah dengan cara yang lebih baik dan tujuan kebaikan (aw tasrîhun bi ihsân) (QS. Al-Baqarah, 2: 229). Semangat inilah yang diperlukan ketika suami istri memutuskan untuk melakukan sharing properti, baik ketika mereka masih berada di dalam pernikahan, maupun ketika memutuskan untuk berpisah melalui perceraian. Wallahu a’lam.
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
Referensi
- ↑ Dibahasakan ulang dari “Susahnya Memenuh Syarat Menjadi Tutor PAUD”, data “Cerita dari Lapangan” yang dihimpun Sekretaris Nasional Pekka.
- ↑ Dibahasakan ulang dari pengakuan AS kepada peneliti Alimat. AS adalah seorang perempuan, istri dan ibu dari 2 anak, umur 33 tahun, berasal dari Karawang. Wawancara dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2011.
- ↑ Dibahasakan ulang dari pengakuan suami AS kepada peneliti Alimat. Wawancara dilakukan pada bulan Juni dan Juli 2011.
- ↑ J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cetakan I, tahun 1991, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hlm. 185-195; dan Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Cetakan Pertama, Tahun 1996, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 225-236.
- ↑ Lihat: Liputan Khas, Femina, no. 02/XXXIX.14-20 Januari 2012, hlm. 46-49.
- ↑ Pengakuan Ibu Rina Dwiayu (35). Ibid, hlm. 49.
- ↑ Pengakuan Ibu Dinda Sriniati (33). Ibid.
- ↑ Pengakuan Ibu Yulia Rachman (34). Ibid.
- ↑ Pengakuan Ibu Ina Lubis (33). Ibid.
- ↑ Informasi dan data kedua adat ini terkait perempuan dan hak properti keluarga diambil dari produk-produk tertulis SCN-CREST yang sudah dipublikasikan dalam website mereka: www.scn-crest.org. Secara lebih khusus untuk tulisan ini, saya merujuk pada tiga produk berikut: (1) Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan, Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda Lainnya; (2) Metodologi Peningkatan Kapasitas Hak Perempuan mendapatkan Hak Waris dan Kepemilikan Tanah menggunakan pemahaman progresif terhadap pluralisme hukum, yaitu Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Negara; dan (3) Cerita Perempuan Mempertahankan Waris Tanah Pusaka Kaum. Lihat juga: Wee, Vivienne, “Women’s inheritence rights in Indonesia: an analysis of contexts and strategis in West Sumatra and West Nusa Tenggara”. Tulisan ini dapat dilihat dan diunduh di alamat website berikut: http://wrrc.wluml.org/archive/wrrc/content/wipr-working-papers
- ↑ Lihat: Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Cetakan ke-III Tahun 1989, (Damaskus: Dar al-Fikr), jilid VII; lihat juga: Muhammad Baltaji, al-Milkiyah al-Fardiyah fi an-Nizhâm al-Islâmi, Cetakan ke-I Tahun 2007, (Cairo: Dar as-Salam), hlm. 169-171.
- ↑ Lihat: Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, jilid VII, hlm. 251.
- ↑ Lihat: Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, jilid VII, hlm. 778-782.
- ↑ Ibid, hlm. 29.
- ↑ Lihat: Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Cetakan Ke-3, Tahun 2009, (Jakarta: Kencana), hlm. 35-39.
- ↑ Ibid, hlm. 774-775.
- ↑ Ibid, hlm. 342-343.
- ↑ George S. Batcheller melakukan penelitan dan perbandingan hukum di negara Muslim dan negara-negara Benua Amerika dan Eropa di akhir abad 19. Menurutnya, hukum Islam yang dipraktikkan di negara-negara Muslim telah memberikan hak secara independen terhadap perempuan dalam hal ekonomi dan properti, baik di luar maupun di dalam ikatan pernikahan. Sementara di berbagai negara Amerika dan Eropa, masih banyak aturan hukum yang menempatkan perempuan menikah satu posisi dengan anak kecil dan orang gila, yang tidak layak melakukan tindakan hukum sekalipun terkait harta miliknya sendiri. Lihat: Batcheller, George S. “Relative Property Rights of Women in Mohammedan Countries”, The North American Review, Vol. 183, No. 596 (Jul., 1906), pp. 34-39.
- ↑ Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, jilid VII, hlm. 329.
- ↑ Dikutip dari: Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 39.
- ↑ Dikutip dari: Faqihuddin Abdul Kodir, Manba’ as-Sa’âdah fî Usus Husn al-Mu’âsyarah wa Ahammiyat as-Sihhah al-Injâbiyyah fi al-Hayât az-Zawjiyyah, Tahun 2011, (Cirebon: ISIF), hlm. 43.
- ↑ Thabaqât Ibn Sa’d, jilid VIII, hlm. 290.
- ↑ Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, jilid VII, hlm. 766-770.
- ↑ Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 176.
- ↑ Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 232-233.
- ↑ Leila Ch. Budiman, Gonjang-Ganjing Perkawinan: Rubrik Konsultasi Psikologi Kompas, 2000. (Jakarta: Penerbit Kompas), hlm. 117-118.
- ↑ Ibid, hlm. 119-120.
- ↑ Ibid, hlm. 3-4.
- ↑ Ibid, hlm. 4-6.
- ↑ Muhammad Thahir Ibn Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, Cetakan ke-2, CD-Maktabah Syamilah, jilid 3, hlm. 325.
- ↑ Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 234.