Sembilan Nilai Dasar Paradigma KUPI
Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir
Pada mulanya adalah Allah SWT, Tuhan Yang Esa dan hanya Dia yang Tuhan. Lalu, dengan sifat Rahman dan Rahim -Nya, Dia mencipta, memproses, mengatur, dan memelihara seluruh semesta. Sehingga semesta menjadi cocok, baik, dan seimbang sebagai wujud sebuah kehidupan di luar d Diri-Nya. Selain Allah SWT, semuanya adalah ciptaan dan makhluk-Nya, serta hamba-hamba-Nya. Penciptaan, pemrosesan, dan pengaturan ciptaan ini lahir dari sifat kasih sayang-Nya (Rahman dan Rahim). Wahyu yang diturunkan dan akal diciptakan, semuanya, dalam visi rahmatan lil alamin, atau kerahmatan bagi seluruh semesta.
Seluruh hamba-hamba-Nya, terutama manusia, karena itu, terikat untuk memastikan visi kerahmatan Allah SWT ini terwujud dalam semesta ini. Orang yang beriman kepada-Nya adalah mereka yang berkomitmen dengan kerja-kerja kerahmatan ini. Orang-orang yang bertakwa kepada-Nya adalah mereka yang menyatukan keteguhan iman dengan kesinambungan kerja untuk kebaikan, kemaslahatan, keadilan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Dalam kerangka ini semua, Allah SWT mengangkat manusia sebagai wakil-Nya (khalîfah) di muka bumi ini.
Dari fondasi tauhid Allah SWT, Tuhan yang Rahman dan Rahim kepada semesta, mandat utama pengangkatan khalifah ini diberikan Allah SWT kepada manusia. Yaitu mewujudkan kebaikan-kebaikan di muka bumi, memakmurkan kehidupan di dalamnya, untuk seluruh umat manusia dan segenap semesta. Inilah misi yang terus menerus diingatkan melalui para nabi ‘alaihimusssalâm kepada umat manusia. Sejak Nabi Adam as, sampai nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW, yang membahasakan misi tersebut sebagai akhlaq kariman, moralitas yang mulia dan luhur.
Secara literal kata majemuk akhlaq kariman sering diartikan sebagai perilaku, karakter moral, atau kepribadian mulia. Ini benar, tetapi masih abstrak. Yang konkret adalah ketika perilaku ini terbentuk dalam sikap dan perilaku yang saling mewujudkan kemaslahatan, sebagaimana menjadi mandat dari kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Karena itu, kata majemuk akhlaq kariman ini, di sini lebih tepat dimaknai sebagai misi kemaslahatan Islam yang dimandatkan kepada manusia. Yaitu segala perilaku mulia dengan mengupayakan kebaikan-kebaikan konkret bagi diri, keluarga, orang lain, segenap manusia, dan juga lingkungan alam sekitar.
Untuk memastikan misi kemaslahatan ini mewujud dalam kehidupan nyata, ia memerlukan kerangka nilai. Utamanya adalah nilai kesetaraan, kesalingan, dan keadilan. Nilai kesetaraan, adalah ketika semua manusia yang berbagai diri, jenis kelamin, ras, suku, bahasa, dan agama diposisikan sama-sama berhak atas kemaslahatan yang menjadi objek kepentingan bersama. Di sisi lain, mereka semua secara setara harus terlibat dan dilibatkan dalam mewujudkan misi tersebut.
Setelah posisi setara ini, mereka dituntut untuk saling bekerja sama, saling mendukung, saling melengkapi, dan saling menguatkan dalam mewujudkan misi tersebut. Bagitu pun dalam menikmati hasil dan manfaatnya. Satu sama lain, saling mendukung dan kerja sama, agar semua bisa menikmati objek kemaslahatan bersama tersebut. Seseorang tidak utuh sebagai manusia, jika maslahat sendiri tanpa yang lain, dan tidak tersentuh dengan penderitaan yang lain. Demikianlah makna dari nilai kesalingan yang dimaksudkan.
Karena itu, ketika salah satu memiliki kapasitas atau manfaat lebih, nilai keadilan menuntutnya untuk menggunakannya bagi pemberdayaan dan penguatan mereka yang kurang kapasitas dan sedikit memperoleh manfaat. Nilai keadilan menuntut seseorang untuk tidak mempecundangi yang lain, melainkan melindungi. Tidak memperdayakan, melainkan memberdayakan. Tidak melemahkan, melainkan menguatkan.
Ketiga nilai dari misi kemaslahatan ini (kesetaraan, kesalingan, dan keadilan), dalam kehidupan kontemporer yang penuh berbagai tantangan, perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang kontekstual. Yaitu nilai kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Nilai kebangsaan untuk memastikan misi kemaslahatan ini benar-benar memberi manfaat kepada segenap warganegara dalam suatu negara, seperti Republik Indonesia. Tidak primordial, dan tidak rasial. Di sisi lain, misi ini juga melibatkan mereka semua, dengan berbagai latar belakang, dari seluruh warga negara.
Nilai kemanusiaan untuk memastikan misi ini tidak menjadi chauvinist, membenci dan menegasikan bangsa-bangsa lain, dari negara yang berbeda, melainkan bekerja sama dan bersama segenap bangsa-bangsa dunia, mewujudkan kemaslahatan dunia dan semesta. Nilai kemanusiaan menuntut kerja sama bersama seluruh penduduk dunia, menghormati kesepakatan, menerapkan keadilan, mengupayakan kesejahteraan, dan melestarikan lingkungan.
Karena itu, nilai kesemestaan memberi penegasan agar misi kemaslahatan kita sebagai manusia mempertimbangkan secara konkret kelestarian dan keseimbangan lingkungan dan alam. Manusia adalah bagian dari alam dan semesta. Kita tidak boleh egois dan etnosentris, mementingkan kehidupan manusia belaka, dengan merusak kelestarian alam. Mementingkan alam, sesungguhnya, juga mementingkan kehidupan dan kelestarian manusia.
Demikianlah fondasi ketauhidan menumbuhkan visi kerahmatan. Visi kerahmatan membuahkan misi kemaslahatan. Misi kemaslahatan harus diimplementasikan dalam naungan tiga nilai prinsipal: kesetaraan, kesalingan, dan keadilan. Misi kemaslahatan ini juga, dalam konteks kontemporer, harus dirawat dan dikelola dalam buaian tiga norma utama: kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Jika digenapkan, semuanya ada sembilan nilai paradigma KUPI: ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.
Semua sembilan nilai ini, bagi insan-insan KUPI, harus dipastikan: bahwa perempuan dan laki-laki dipandang sebagai subyek utuh, manusia bermartabat, dan sama-sama khalifah fil ardl (wakil Tuhan di bumi), sehingga berhak terlibat sekaligus menerima manfaat kehidupan ini. Karena itu, pengalaman kehidupan perempuan, dengan dua kondisi khasnya, yang biologis maupun sosial, menjadi sumber yang otoritatif bagi sistem pengetahuan KUPI.
Memang benar, perempuan dan laki-laki perlu terus menerus dipastikan setara sebagai manusia. Namun, penting juga dipertimbangkan, bahwa perempuan memiliki kondisi khusus biologis yang tidak dimiliki laki-laki, dan kondisi sosial yang juga tidak dialami laki-laki.
Kesembilan nilai dan prinsip tersebut (ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan), dengan cara pandang mubadalah dan keadilan hakiki dalam relasi gender, adalah paradigma KUPI dalam metodologi Musyawarah Keagamaan. Perspektif mubadalah untuk memastikan cara pandang terhadap perempuan sebagai subyek utuh kehidupan dan manusia yang setara dengan laki-laki, dan keadilan hakiki untuk meniscayakan pentingnya mempertimbangkan pengalaman biologis dan sosial perempuan yang berbeda. Mubadalah dan keadilan hakiki ibarat dua sisi satu mata uang: keadilan gender Islam.