Durrotul Ma’munah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Durrotul Ma’munah
Durotun Ma'munah.jpeg
Tempat, Tgl. LahirGresik, 8 Januari 1977
Aktivitas Utama
  • Pengasuh Pondok Pesantren Assyamsuriyyah Jagalempeni, Wanasari, Kab. Brebes.
  • Sekretaris Jamiyyah Pengasuh Pesantren Putri dan Muballighot (JP3M) Nusantara Kab. Brebes (2017-2021)
  • Anggota Bidang Pemberdayaan Perempuan JP3M Nusantara periode 2021-2025

Durrotul Ma’munah lahir di Gresik pada 8 Januari 1977. Ulama perempan dari Desa Jagalempeni, Wanasari, Kab. Brebes ini sehari-hari sibuk dengan aktivitasnya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Assyamsuriyyah Jagalempeni, Wanasari, Brebes.

Durrohtul Mu’minah ikut berpartisipasi sebagai peserta dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 di Cirebon, Jawa Barat.

Riwayat Hidup

Durrotul Ma’munah merupakan anak dari H. Moch Chozin dan Hj. Choirun Ni’mah di Gresik. Sejak menikah dengan suaminya, H. Nubkhatul Fikri, Ibu Durroh tinggal di Wanasari, Kab. Brebes. Pasangan ini memiliki 7 orang anak yakni Devi Atirotun Muthohharoh, Dahya Nur Maulida, Darira Fitriana, Dawiya Fuadiya, Daima Mufallaha, Ahmad Sufyan Assyamsuriy, dan alm. Nurul Hikmah.

Durrotul Ma’munah mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Nurul Ulum Betoyo Guci Manyar Gresik pada 1983. Selepas TK kemudian ia melanjutkan ke MI Nurul Ulum Betoyo Guci Manyar Gresik dan lulus tahun 1987. Setamat MI, ia melanjutkan ke jenjang selanjutnya dengan sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Assa'dah Sampurnan Bungah Gresik dan menyelesaikan pendidikannya pada 1990. Selanjutnya ia melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA) Assa'dah Sampurnan Bungah Gresik selesai tahun 1993. Setelah itu ia melanjutkan kembali pendidikannya dan mengambil jenjang S1 di Intitut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan memperoleh gelar sarjana di kampus tersebut pada 1999.

Selain pendidikan formal, Durrotul Ma’munah juga belajar di pesantren. Mulai dari Pondok Pesantren Hidayaturrahman Gresik, Pondok Pesantren Putri komplek Nurussalam Krapyak Yogyakarta, Pondok Pesantren Maunah Sari Bandar Kidul Kediri, Pondok Pesantren Hidayatutthullab Pethuk Semen Kediri, dan Pondok Pesantren Assyamsuriyyah Brebes.

Durrotul Ma’munah juga aktif dalam berorganisasi, baik saat masih menjadi mahasiswa maupun saat sudah berkiprah di tengah masyarakat. Ia adalah pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) komisariat Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis (1996-1997), Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Wanasari Brebes (2019-2023), Pengurus Pimpinan Cabang (PC) Fatayat NU Kab. Brebes (2019-2024), Sekretaris Jamiyyah Pengasuh Pesantren Putri dan Muballighot (JP3M) Nusantara Kab. Brebes (2017-2021), dan Anggota Bidang Pemberdayaan Perempuan JP3M Nusantara periode 2021-2025.

Durrotul Ma’munah aktif sebagai pengajar di Pondok Pesantren Assyamsuriyyah Jagalempeni, Wanasari, Kab. Brebes. Selain itu, ia juga menjadi guru di MA Assyamsuriyyah Jagalempeni, Wanasari, Kab. Brebes. Ia juga pernah menjadi pengajar di Pondok Pesantren Mambaul Irsyad, Malang.

Sebagai pengelola pesantren, Durrotul Ma’munah juga aktif berkarya di tengah masyarakat dengan menggelar majelis taklim dan pengajian-pengajian di daerahnya. Selain itu, Durrotul Ma’munah juga mempunyai karya tulis diantaranya adalah “Konsep Waktu Menurut Al-Qur’an”. “Studi Analisis Pemikiran Syekh Muhammad Sholih Ibnu Umar Al-Samarani tentang Pendidikan Perempuan dalam Kitab Majmu'at al-Syari'at al-Kafiyat li al-Awam dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Nasional.”

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Atas informasi dan rekomendasi dari rekannya di Brebes dan teman-temannya yang dulu satu almamater di Krapyak, Durrotul Ma’munah ikut menjadi peserta dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon, Jawa Barat pada 2017. Di dalam kongres, ia sangat terkesan dengan banyaknya perempuan dari berbagai elemen dan dari berbagai negara berkumpul dalam kongres tersebut untuk bersama-sama menyuarakan nasib perempuan di dalam dunia Islam.

Selama acara kongres, Durrotul Ma’munah tergabung dalam Komisi Perempuan dan Pesantren. Dalam komisi tersebut diantaranya ia mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dari para narasumber, diantaranya adalah dari Nyai Hj. Masriyah Amva dan Dr. Nur Rofiah. Ia amat terkesan dengan cerita dari pengasuh Pesantren Kebon Jambu, Nyai Mas, terutama tentang bagaimana seorang perempuan yang ditinggal suaminya karena meninggal, bisa terus mengelola pesantren dengan sangat baik. Apalagi, Nyai Mas juga menuliskan banyak ceritanya itu ke dalam buku sehingga menghasilkan karya-karya yang bisa dibaca banyak orang. Dalam kongres itu juga Durrotul Ma’munah memahami bahwa istilah Ulama Perempuan berarti siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki yang mempunyai perhatian, memiliki keberpihakan dan berjuang untuk mengangkat derajat kehidupan peremuan di semua aspek kehidupan.

Setelah ikut dalam KUPI 2017, Durrotul Ma’munah juga ikut menjadi peserta dalam Dawrah Kader Ulama Perempuan (DKUP) yang diselenggarakan Fahmina Institute tahun 2018. Materi dalam DKUP secara umum adalah tentang kesetaraan gender dan Islam, tidak jauh dari materi yang diperolehnya pada saat kongres berlangsung. Isu-isu kesetaraan perempuan bukanlah hal baru bagi baliau. Sejak masih menjadi santri dan mahasiswa di tahun 1990-an, ia sudah mengenal tentang isu tersebut.

Pada saat masih kuliah di IAIN, ia nyantri di Pesantren Nururssalam Krapyak, Yogyakarta. Saat itu ia diutus pesantren untuk ikut dalam kegiatan dalam program kesetaraan umat untuk nyai dan badal nyai dari lembaga yang dikelola Imam Aziz dan Masruchah. Istilah kesetaraan umat merupakan bahasa halus waktu itu untuk menyebut kesetaraan gender. Durrotul Ma’munah mulai akrab dengan isu ini karena kebetulan ia mengambil jurusan Tafsir Hadits di kampusnya sehingga sejak saat itu pula dia mulai akrab terbiasa dengan isu gender yang berkaitan dengan teks-teks Quran dan hadits. Selain melalui program kesetaraan umat dan kampus, Durrotul Ma’munah juga mengakrabi isu kesetaraan gender sejak aktif di organisasi PMII. Organisasi kemahasiswaan itu aktif menggelar kajian dan diskusi tentang kesetaraan gender dalam Islam.

Pemahaman seperti itu kemudian ia coba menerapkan dalam kehidupan di pesantren dan masyarakat, utamanya setelah ia menikah dan menetap di Wanasari, Brebes, pada 2002. Ia melihat selama ini perempuan pesantren masih dianggap sebagai nomor dua karena hanya menjadi pendamping suami dalam mengelola pesantren. Bahkan banyak perempuan pesantren terkendala untuk ikut dalam aktivitas di luar rumah sebab harus mendapatkan izin dari suami.

Durrotul Ma’munah aktif untuk memberikan pengetahuan tentang kesetaran gender di pesantren dan masyarakat, kepada santri dan jamaah majelis taklim serta pengajiannya. Untuk memberikan wawasan itu kepada santri dan masyarakat yang lebih luas, pada 2007, ia juga pernah menggelar seminar dan diskusi di pesantrennya dengan mengundang narasumber yakni KH Husein Muhammad dan KH Marzuki Wahid. Mereka berdua berbicara mengenai kesetaraan gender di pesantren. Pesertanya datang dari pondok pesantren se-Kabupaten Brebes. Akan tetapi sayangnya kegiatan tersebut tidak dilanjutkan dengan langkah-langkah nyata setelahnya. Hasilnya kegiatan tersebut tidak berkelanjutan. Sebagai seorang ibu, ia juga mengakui bahwa kadangkala seorang peremuan tidak bisa melakukan kiprahnya secara optimal karena sibuk dengan urusan-urusan reproduksi.

Pada saat seminar bersama Kiai Husein tersebut, respon yang datang dari para peserta sangat beragam. Mereka yang sudah pernah mendengar kesetaran gender biasa saja, akan tetapi banyak yang baru mendengarnya terlihat terkaget-kaget. Akan tetapi Kiai Hisein bisa menjelaskan literatur Islam dengan sangat baik. Sumber kutipannya banyak dan bagus sehingga mampu menjelaskan dengan detail berdasarkan data-data. Bagi ia, sebagaimana pernyataan dari Kiai Husein, dunia pesantren lebih terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru. Masalah kesetaraan gender dalam Islam menurutnya adalah masalah penafsiran saja.

Dalam kiprahnya di tengah masyarakat, Durrotul Ma’munah sering mengisi pengajian-pengajian dan menyampaikan soal relasi dalam rumah tangga atau kehidupan sehari-hari dengan perspektif-perspektif yang sudah pernah dia dapat yang dia anggap paling mendekati kebenaran, yakni perspektif kesetaraan. Durrotul Ma’munah juga memikirkan cara terbaik dalam penyampaian ide kesetaraan gender baik kepada santri maupun jamaah pengajian agar gagasan yang ia sampaikan tidak mendapat penolakan.

Ia merasa terbantu dengan adanya kitab seperti Sittin al-‘Adliyah karya KH Faqihuddin Abdul Kodir yang ia temukan dalam jaringan KUPI. Pada bulan puasa dan kesempatan lainnya, ia kaji kitab tersebut pada para santri dan jamaah majelis taklim. Baginya kitab tersebut membuat penyampaian gagasan kesetaran gender kepada santri dan ibu-ibu pengajian menjadi tidak terlalu berat.  Jamaah rata-rata santri dan jamaah mengiayakan pandangan-pandangan dalam kitab tersebut. Selain itu, di PC Fatayat Jogja pada bulan puasa menggelar pengajian Kitab Mambaussa’adah yang juga karya KH Faqihuddin Abdul Kodir.

Bagi Durrotul Mu’minah, masyarakat pertama-tama, membutuhkan ayat atau dalil yang menjadi sumber dan rujukan. Setelah itu mereka harus mendapatkan narasi dakwah yang baik sehingga tidak membuat kaget. Ia optimistis kalau seperti itu caranya, masyarakat pelan-pelan akan memahami sendiri gagasan-gagasan kesetaaran gender. Selain pengajian dan ceramah, ia juga mengaplikasikan cara memahami dan menyelesaikan masalah-masalah keseharian dengan perspektif kesetaraan. Kalau ada masalah keluarga, masyarakat di sekitar pesantren biasanya datang ke rumah dan bertanya tentang masalah-masalah rumah tangganya kepada Durrotul Ma’munah.

Ke depan ia berharap akan ada semacam kurikulum atau pegangan untuk orang-orang seperti dia yang bergerak di akar rumput. Saat KUPI 2017, ide-ide itu masih draft dan sekarang sudah jadi bukunya Qiraah Mubaadalah. Mubadalah, menurut Durrotul Ma’munah, berangkat dari perenungan dan penafsiran akan sebuah teks. Oleh karenanya, menurutnya, mubadalah menjadi sangat pas dan kontekstual. Setelah Qiroah Mubadalah selesai, sekarang tantangannya adalah bagaimana Ulama Perempuan mempunyai strategi dalam menyampaikan materi-materi untuk kalangan yang lebih luas. Menurutnya, materi yang sudah ada di KUPI masih terlalu akademis. Perlu ada tahapan selanjutnya agar materi-materi tersebut bisa disampaikan kepada masyarakat dengan segmentasi yang berbeda. Oleh karena itu, perlu juga dilakukan peningkatan kapasitas untuk praktisi yang bergerak di akar rumput agar mampu melakukan dakwah yang lebih luas.

Tantangan terberat di pesantren dan masyarakat di lingkungannya adalah masih dominannya cara pandang lama dalam memahami teks. Hal itu bisa dilihat dari masih digunakannya kitab-kitab seperti Qurot al-‘Uyun dan ‘Uqud al-Lujain. Para pengajar di pesantren-pesantren yang belum mendapatkan perspektif kesetaraan masih menggunakan cara pandang yang lama untuk memberikan pemahaman kepada santri dan masyarakat. Ngaji kitab sebenarnya bisa sama akan tetapi para pengajar bisa menggunakan cara pandang yang berbeda, yakni cara pandang yang lebih memperhatikan kesetaraan perempuan, lebih memberikan keberpihakan kepada perempuan.


Penulis : Abdul Rosyidi
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir