Afwah Mumtazah: Perbedaan revisi
Baris 3: | Baris 3: | ||
Nyai Afwah terlibat secara aktif dalam perayaan [[KUPI]] pertama tahun 2017, mulai perencanaan, pelaksanaan dan paska KUPI. Saat perencanaan, ia terlibat mulai dari pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Rahima maupun [[Fahmina]] di Cirebon. Ketika pertama kali KUPI digulirkan dalam pertemuan Rahima di Wisma Hijau sekitar tahun 2002/2003, ia mengusulkan ada wadah ulama perempuan yang diakui oleh bangsa yang konsen pada isu perempuan dan Islam. Ide tersebut direspon oleh KH. [[Helmi Ali]] Yafie, bersama Nyai [[Farha Ciciek]] dan Nyai Eridani. Nyai Afwah menegaskan kelahiran KUPI yang digagas Rahima berangkat dari temuan-temuan lapangan ulama perempuan terkait peminggiran peran perempuan oleh [[tokoh]]-tokoh agama. Ia merasa bangga dan terharu lima belas tahun kemudian gagasan itu terlaksana. | Nyai Afwah terlibat secara aktif dalam perayaan [[KUPI]] pertama tahun 2017, mulai perencanaan, pelaksanaan dan paska KUPI. Saat perencanaan, ia terlibat mulai dari pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Rahima maupun [[Fahmina]] di Cirebon. Ketika pertama kali KUPI digulirkan dalam pertemuan Rahima di Wisma Hijau sekitar tahun 2002/2003, ia mengusulkan ada wadah ulama perempuan yang diakui oleh bangsa yang konsen pada isu perempuan dan Islam. Ide tersebut direspon oleh KH. [[Helmi Ali]] Yafie, bersama Nyai [[Farha Ciciek]] dan Nyai Eridani. Nyai Afwah menegaskan kelahiran KUPI yang digagas Rahima berangkat dari temuan-temuan lapangan ulama perempuan terkait peminggiran peran perempuan oleh [[tokoh]]-tokoh agama. Ia merasa bangga dan terharu lima belas tahun kemudian gagasan itu terlaksana. | ||
Menjelang pelaksanaan KUPI, Nyai Afwah turut serta dalam beberapa kali rapat persiapan baik yang diselenggarakan oleh Rahima maupun Fahmina, antara lain di Pondok Pesantren Mahasina, kediaman Nyai Badriyah Fayumi dan di Pesantren Kebon Jambu Cirebon. Pertemuan-pertemuan itu membahas mengenai aspek substansi maupun teknis penyelenggaran. Bahkan untuk poin tertentu sempat terjadi perdebatan, antara lain dalam catatan Nyai Afwah, saat menentukan pilihan diksi tematik yang tidak mengundang kontroversi. Seperti tema kemaslahatan umat, serta sebutan fatwa bagi produk keputusan KUPI. Perdebatannya bahwa fatwa identik dengan MUI, sedangkan peserta KUPI dating dari berbagai latar belakang. Nyai Afwah terlibat dalam perdebatan serius untuk merumuskan tema-tema tersebut. Ia juga turut berjibaku dengan penanggung jawab teknis di Cirebon. | Menjelang pelaksanaan KUPI, Nyai Afwah turut serta dalam beberapa kali rapat persiapan baik yang diselenggarakan oleh Rahima maupun Fahmina, antara lain di Pondok Pesantren Mahasina, kediaman Nyai [[Badriyah Fayumi]] dan di Pesantren Kebon Jambu Cirebon. Pertemuan-pertemuan itu membahas mengenai aspek substansi maupun teknis penyelenggaran. Bahkan untuk poin tertentu sempat terjadi perdebatan, antara lain dalam catatan Nyai Afwah, saat menentukan pilihan diksi tematik yang tidak mengundang kontroversi. Seperti tema kemaslahatan umat, serta sebutan fatwa bagi produk keputusan KUPI. Perdebatannya bahwa fatwa identik dengan MUI, sedangkan peserta KUPI dating dari berbagai latar belakang. Nyai Afwah terlibat dalam perdebatan serius untuk merumuskan tema-tema tersebut. Ia juga turut berjibaku dengan penanggung jawab teknis di Cirebon. | ||
== Riwayat Hidup == | == Riwayat Hidup == | ||
Nyai Afwah merupakan anak ke-3 dari 9 bersaudara dari pasangan Ny. Hj. Izzah Syathori dan KH. Fuad Amin. Sang ayah, KH. Fuad Amin merupakan anak dari Kyai Amin, seorang kiai kharismatik yang menjadi bagian penting dalam peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya dalam melawan para penjajah. Ibunda Nyai Afwah yaitu Nyai Izzah binti Syatori merupakan puteri dari Mbah Syatori pendiri Pondok Pesantren Arjawinangun. Nyai Afwah menikah dengan KH. Muhammad Nawawi Umar, pengasuh Pesantren Kempek dan mempunyai tiga orang anak yaitu Aufa Najda Zainab, Sholah Mafaza Muhammad, dan Ayundia Kamala. | Nyai Afwah merupakan anak ke-3 dari 9 bersaudara dari pasangan Ny. Hj. Izzah Syathori dan KH. Fuad Amin. Sang ayah, KH. Fuad Amin merupakan anak dari Kyai Amin, seorang kiai kharismatik yang menjadi bagian penting dalam peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya dalam melawan para penjajah. Ibunda Nyai Afwah yaitu Nyai Izzah binti Syatori merupakan puteri dari Mbah Syatori pendiri Pondok Pesantren Arjawinangun. Nyai Afwah menikah dengan KH. Muhammad Nawawi Umar, pengasuh Pesantren Kempek dan mempunyai tiga orang anak yaitu Aufa Najda Zainab, Sholah Mafaza Muhammad, dan Ayundia Kamala. | ||
Baris 13: | Baris 11: | ||
Kemudian Afwah pindah ke Krapyak, Yogyakarta, dengan tetap memegang janji akan menghafal Al-Qur’an. Dia pun akhirnya masuk ke Pesantren Krapyak asuhan KH Ali Ma'shum dan juga masuk Madrasah Aliyah (MA) YASMA (Yayasan Ali Ma'shum). Saat hendak masuk ke MA Krapyak, kelas sudah masuk 4 bulan. Waktu itu kepala madrasah, Kiai Hasbullah tidak menghendaki Nyai Afwah masuk kelas 1 MA, namun Nyai Afwah memaksa dan akhirnya diizinkan dengan syarat mampu mengikuti pelajaran. Kalau tidak mampu maka akan masuk kelas persiapan (''i’dad''). Setelah masuk kelas 1 MA, pada akhir tahun ajaran, Nyai Afwah mendapatkan peringkat pertama. | Kemudian Afwah pindah ke Krapyak, Yogyakarta, dengan tetap memegang janji akan menghafal Al-Qur’an. Dia pun akhirnya masuk ke Pesantren Krapyak asuhan KH Ali Ma'shum dan juga masuk Madrasah Aliyah (MA) YASMA (Yayasan Ali Ma'shum). Saat hendak masuk ke MA Krapyak, kelas sudah masuk 4 bulan. Waktu itu kepala madrasah, Kiai Hasbullah tidak menghendaki Nyai Afwah masuk kelas 1 MA, namun Nyai Afwah memaksa dan akhirnya diizinkan dengan syarat mampu mengikuti pelajaran. Kalau tidak mampu maka akan masuk kelas persiapan (''i’dad''). Setelah masuk kelas 1 MA, pada akhir tahun ajaran, Nyai Afwah mendapatkan peringkat pertama. | ||
Selama di MA Krapyak, Nyai Afwah aktif di berbagai organisasi seperti [[Komunitas]] Santri Cirebon (KSC), majalah dinding (mading), dan diskusi. Dia lalu pindah ke Pesantren Bustanul Usyaqil Qur'an, Demak, untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an yang ia khatamkan selama satu tahun. Pendidikan Perguruan Tinggi ia tempuh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits. Saat kuliah semester lima, Nyai Afwah dinikahkan dengan Kyai Muhammad Nawawi Umar, pengasuh Pesantren Kempek pada 18 Januari 1994 di usia 22 tahun. Suaminya itulah yang selalu mendukung setiap langkah yang diambil Nyai Afwah. Suaminya membolehkannya kembali ke Yogyakarta persis beberapa jam setelah akad nikah selesai. | Selama di MA Krapyak, Nyai Afwah aktif di berbagai organisasi seperti [[Komunitas]] Santri Cirebon (KSC), majalah dinding (mading), dan diskusi. Dia lalu pindah ke Pesantren Bustanul Usyaqil Qur'an, Demak, untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an yang ia khatamkan selama satu tahun. Pendidikan Perguruan Tinggi ia tempuh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits. Saat kuliah semester lima, Nyai Afwah dinikahkan dengan Kyai Muhammad Nawawi Umar, pengasuh Pesantren Kempek pada 18 Januari 1994 di usia 22 tahun. Suaminya itulah yang selalu mendukung setiap langkah yang diambil Nyai Afwah. Suaminya membolehkannya kembali ke Yogyakarta persis beberapa jam setelah [[Akad Nikah|akad nikah]] selesai. | ||
Tidak lama kemudian Nyai Afwah pindah kuliah ke jurusan Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati di Cirebon. Meski saat berangkat kuliah ke IAIN Cirebon, Nyai Afwah banyak menerima sindiran dari saudara-saudara suaminya di Kempek. Sindiran itu tidak jauh dari anggapan bahwa perempuan tak pantas jika sekolah hingga ke perguruan tinggi. Sindiran itu tak mengurungkan tekad Nyai Afwah untuk tetap sekolah. Nyai Afwah mampu menyelesaikan studi S1-nya di tengah terpaan pergunjingan dan sindiran dari orang-orang di sekelilingnya. Keluarganya menjadi tembok yang begitu kukuh yang menguatkannya. | Tidak lama kemudian Nyai Afwah pindah kuliah ke jurusan Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati di Cirebon. Meski saat berangkat kuliah ke IAIN Cirebon, Nyai Afwah banyak menerima sindiran dari saudara-saudara suaminya di Kempek. Sindiran itu tidak jauh dari anggapan bahwa perempuan tak pantas jika sekolah hingga ke perguruan tinggi. Sindiran itu tak mengurungkan tekad Nyai Afwah untuk tetap sekolah. Nyai Afwah mampu menyelesaikan studi S1-nya di tengah terpaan pergunjingan dan sindiran dari orang-orang di sekelilingnya. Keluarganya menjadi tembok yang begitu kukuh yang menguatkannya. | ||
Baris 22: | Baris 20: | ||
Ia menjabat sebagai Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon sejak 2016-2021. ISIF merupakan sebuah [[lembaga]] pendidikan tinggi yang menekankan pada riset dan transformasi sosial berbasis pada kebudayaan lokal dan [[khazanah]] pengetahuan Islam. Sebelum menjabat rektor, Nyai Afwah menjadi dosen Ilmu Al-Qur’an, Psikologi dan Pengembangan Al-Qur’an sekaligus Kaprodi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Dekan Fakultas Tarbiyah ISIF. Menjadi seorang rektor merupakan tantangan yang sangat berat baginya. Berada di kampus yang belum lama berdiri membuatnya harus menerima segala kondisi yang serba terbatas dan berupaya untuk meningkatkan kualitas lembaga. | Ia menjabat sebagai Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon sejak 2016-2021. ISIF merupakan sebuah [[lembaga]] pendidikan tinggi yang menekankan pada riset dan transformasi sosial berbasis pada kebudayaan lokal dan [[khazanah]] pengetahuan Islam. Sebelum menjabat rektor, Nyai Afwah menjadi dosen Ilmu Al-Qur’an, Psikologi dan Pengembangan Al-Qur’an sekaligus Kaprodi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Dekan Fakultas Tarbiyah ISIF. Menjadi seorang rektor merupakan tantangan yang sangat berat baginya. Berada di kampus yang belum lama berdiri membuatnya harus menerima segala kondisi yang serba terbatas dan berupaya untuk meningkatkan kualitas lembaga. | ||
== Tokoh dan Keulamaan Perempuan == | == Tokoh dan Keulamaan Perempuan == | ||
Pergulatannya dengan masyarakat mengasah kepekaan Nyai Afwah dalam memahami realitas di masyarakat yang sangat kompleks. Timbulnya kesadaran dengan realitas kehidupan masyarakat baru dirasakan Nyai Afwah setelah belajar dalam program Pengkaderan [[Ulama Perempuan]] (PUP) yang diselenggarakan Rahima. Sebab dari pelatihan selama 12 bulan itu, ia mendapatkan banyak sekali pengetahuan tentang kehidupan sosial. Terutama dari para pemateri, seperti KH Masdar F. Mas’udi, KH Abdul Moqsith Ghazali, dan KH [[Husein Muhammad]]. Sebelumnya, saat menghadapi berbagai macam pertanyaan dari masyarakat, Nyai Afwah tak mampu menjawabnya. Utamanya masalah riil yang sedang mereka mereka. Hampir setiap hari, orang tua wali santri datang ke rumahnya dan menanyakan ihwal masalah yang mereka hadapi. Pernah suatu waktu ada orang tua santri mendatanginya dengan maksud untuk membawa pulang anaknya dari pesantren. Alasannya karena si santri puteri itu hendak dikawinkan. Nyai Afwah pun tidak bisa menjawab apa-apa, meski di dalam hatinya yang paling dalam, dia tidak setuju. Tapi, dia tak punya argumen yang bisa meyakinkan orang tua santri itu. | Pergulatannya dengan masyarakat mengasah kepekaan Nyai Afwah dalam memahami realitas di masyarakat yang sangat kompleks. Timbulnya kesadaran dengan realitas kehidupan masyarakat baru dirasakan Nyai Afwah setelah belajar dalam program Pengkaderan [[Ulama Perempuan]] (PUP) yang diselenggarakan Rahima. Sebab dari pelatihan selama 12 bulan itu, ia mendapatkan banyak sekali pengetahuan tentang kehidupan sosial. Terutama dari para pemateri, seperti KH Masdar F. Mas’udi, KH Abdul Moqsith Ghazali, dan KH [[Husein Muhammad]]. Sebelumnya, saat menghadapi berbagai macam pertanyaan dari masyarakat, Nyai Afwah tak mampu menjawabnya. Utamanya masalah riil yang sedang mereka mereka. Hampir setiap hari, orang tua wali santri datang ke rumahnya dan menanyakan ihwal masalah yang mereka hadapi. Pernah suatu waktu ada orang tua santri mendatanginya dengan maksud untuk membawa pulang anaknya dari pesantren. Alasannya karena si santri puteri itu hendak dikawinkan. Nyai Afwah pun tidak bisa menjawab apa-apa, meski di dalam hatinya yang paling dalam, dia tidak setuju. Tapi, dia tak punya argumen yang bisa meyakinkan orang tua santri itu. | ||
Baris 38: | Baris 34: | ||
Kehadiran menteri agama dan sejumlah tokoh baik dari dalam maupun luar negeri saat perayaan KUPI, menyedot perhatian ulama laki-laki di Cirebon. Menurutnya, kehadiran ulama laki-laki dalam acara KUPI, pada awalnya hanya untuk melihat atau observasi, tidak dalam rangka mendukung. Namun sisi positifnya, para kiai sadar bahwa KUPI merupakan gerakan serius yang didukung banyak pihak. Dari situ akhirnya Nyai Afwah sering mendapat undangan untuk mengisi pengajian yang jamaahnya adalah para hafidz laki-laki. | Kehadiran menteri agama dan sejumlah tokoh baik dari dalam maupun luar negeri saat perayaan KUPI, menyedot perhatian ulama laki-laki di Cirebon. Menurutnya, kehadiran ulama laki-laki dalam acara KUPI, pada awalnya hanya untuk melihat atau observasi, tidak dalam rangka mendukung. Namun sisi positifnya, para kiai sadar bahwa KUPI merupakan gerakan serius yang didukung banyak pihak. Dari situ akhirnya Nyai Afwah sering mendapat undangan untuk mengisi pengajian yang jamaahnya adalah para hafidz laki-laki. | ||
== Prestasi/Penghargaan == | == Prestasi/Penghargaan == | ||
Nyai Afwah pernah beberapa kali ditawari penghargaan atas posisinya sebagai rektor perempuan, dengan catatan ia harus membayar. Ia menolaknya dengan alasan ada perasaan malu karena penghargaan itu seperti dimita bukan diberikan karena kinerjanya. Nyai Afwah pernah mendapat beberapa penghargaan dalam lomba MHQ 20 juz, mendapat juara dari kabupaten, serta juara kaligrafi dan menulis ilmiah. | Nyai Afwah pernah beberapa kali ditawari penghargaan atas posisinya sebagai rektor perempuan, dengan catatan ia harus membayar. Ia menolaknya dengan alasan ada perasaan malu karena penghargaan itu seperti dimita bukan diberikan karena kinerjanya. Nyai Afwah pernah mendapat beberapa penghargaan dalam lomba MHQ 20 juz, mendapat juara dari kabupaten, serta juara kaligrafi dan menulis ilmiah. | ||
== Karya-Karya == | == Karya-Karya == | ||
Berikut adalah di antara karya tulis Nyi Afwah: | Berikut adalah di antara karya tulis Nyi Afwah: |
Revisi terkini pada 19 November 2021 16.42
Afwah Mumtazah, atau biasa dipanggil Nyai Afwah, lahir pada 9 Juli 1973 di Desa Babakan, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Ia merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Puteri Kempek Cirebon. Ia merintis MTLB (Madrasah Takhosus Lil Banat) di Pesantren Kempek untuk mengembangkan pengetahuan dan memberdayakan santri puteri. Ia juga mendirikan TK pertama di Kempek. Saat ini ia tercatat sebagai pengurus perhimpunan Rahima 2019-2023, dan menjadi salah satu tim pengasuh rubrik tafsir di majalah Swara Rahima yang terbit enam bulan sekali.
Nyai Afwah terlibat secara aktif dalam perayaan KUPI pertama tahun 2017, mulai perencanaan, pelaksanaan dan paska KUPI. Saat perencanaan, ia terlibat mulai dari pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Rahima maupun Fahmina di Cirebon. Ketika pertama kali KUPI digulirkan dalam pertemuan Rahima di Wisma Hijau sekitar tahun 2002/2003, ia mengusulkan ada wadah ulama perempuan yang diakui oleh bangsa yang konsen pada isu perempuan dan Islam. Ide tersebut direspon oleh KH. Helmi Ali Yafie, bersama Nyai Farha Ciciek dan Nyai Eridani. Nyai Afwah menegaskan kelahiran KUPI yang digagas Rahima berangkat dari temuan-temuan lapangan ulama perempuan terkait peminggiran peran perempuan oleh tokoh-tokoh agama. Ia merasa bangga dan terharu lima belas tahun kemudian gagasan itu terlaksana.
Menjelang pelaksanaan KUPI, Nyai Afwah turut serta dalam beberapa kali rapat persiapan baik yang diselenggarakan oleh Rahima maupun Fahmina, antara lain di Pondok Pesantren Mahasina, kediaman Nyai Badriyah Fayumi dan di Pesantren Kebon Jambu Cirebon. Pertemuan-pertemuan itu membahas mengenai aspek substansi maupun teknis penyelenggaran. Bahkan untuk poin tertentu sempat terjadi perdebatan, antara lain dalam catatan Nyai Afwah, saat menentukan pilihan diksi tematik yang tidak mengundang kontroversi. Seperti tema kemaslahatan umat, serta sebutan fatwa bagi produk keputusan KUPI. Perdebatannya bahwa fatwa identik dengan MUI, sedangkan peserta KUPI dating dari berbagai latar belakang. Nyai Afwah terlibat dalam perdebatan serius untuk merumuskan tema-tema tersebut. Ia juga turut berjibaku dengan penanggung jawab teknis di Cirebon.
Riwayat Hidup
Nyai Afwah merupakan anak ke-3 dari 9 bersaudara dari pasangan Ny. Hj. Izzah Syathori dan KH. Fuad Amin. Sang ayah, KH. Fuad Amin merupakan anak dari Kyai Amin, seorang kiai kharismatik yang menjadi bagian penting dalam peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya dalam melawan para penjajah. Ibunda Nyai Afwah yaitu Nyai Izzah binti Syatori merupakan puteri dari Mbah Syatori pendiri Pondok Pesantren Arjawinangun. Nyai Afwah menikah dengan KH. Muhammad Nawawi Umar, pengasuh Pesantren Kempek dan mempunyai tiga orang anak yaitu Aufa Najda Zainab, Sholah Mafaza Muhammad, dan Ayundia Kamala.
Nyai Afwah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di tiga sekolah yang berbeda, yakni di Desa Babakan, Arjawinangun, dan Kempek. Selepas SD, dia melanjutkan sekolah di MTs rintisan ayahnya pada tahun 1985-1987. Sejak SD hingga MTs Nyai Afwah selalu berprestasi. Semasa MTs, ia menjadi ketua kelas selama tiga tahun, dan kerap mendapatkan juara dalam lomba kaligrafi dan menulis. Bakat kepemimpinannya mulai dilatih dengan menjadi pengurus OSIS. Selepas MTs, Nyai Afwah diminta ibunya untuk menghafal Al-Qur’an. Dia pun masuk ke kelas tahfizh Al-Qur’an (menghafal Al-Qur’an) pesantren Yanbu'ul Qur’an, Kudus asuhan KH Ulin Nuha. Di pesantren tersebut, Afwah hanya bertahan selama 3 bulan. Penyebabnya, aturan pesantren yang ketat membuatnya tidak nyaman. Di pesantren tersebut, santri-santrinya tidak diperbolehkan membaca apa pun selain Al-Qur’an. Sedangkan Afwah sangat suka membaca buku. Pernah satu kali dia dihukum pengurus pesantren gegara membaca sobekan koran bungkus bakwan.
Kemudian Afwah pindah ke Krapyak, Yogyakarta, dengan tetap memegang janji akan menghafal Al-Qur’an. Dia pun akhirnya masuk ke Pesantren Krapyak asuhan KH Ali Ma'shum dan juga masuk Madrasah Aliyah (MA) YASMA (Yayasan Ali Ma'shum). Saat hendak masuk ke MA Krapyak, kelas sudah masuk 4 bulan. Waktu itu kepala madrasah, Kiai Hasbullah tidak menghendaki Nyai Afwah masuk kelas 1 MA, namun Nyai Afwah memaksa dan akhirnya diizinkan dengan syarat mampu mengikuti pelajaran. Kalau tidak mampu maka akan masuk kelas persiapan (i’dad). Setelah masuk kelas 1 MA, pada akhir tahun ajaran, Nyai Afwah mendapatkan peringkat pertama.
Selama di MA Krapyak, Nyai Afwah aktif di berbagai organisasi seperti Komunitas Santri Cirebon (KSC), majalah dinding (mading), dan diskusi. Dia lalu pindah ke Pesantren Bustanul Usyaqil Qur'an, Demak, untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an yang ia khatamkan selama satu tahun. Pendidikan Perguruan Tinggi ia tempuh di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits. Saat kuliah semester lima, Nyai Afwah dinikahkan dengan Kyai Muhammad Nawawi Umar, pengasuh Pesantren Kempek pada 18 Januari 1994 di usia 22 tahun. Suaminya itulah yang selalu mendukung setiap langkah yang diambil Nyai Afwah. Suaminya membolehkannya kembali ke Yogyakarta persis beberapa jam setelah akad nikah selesai.
Tidak lama kemudian Nyai Afwah pindah kuliah ke jurusan Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati di Cirebon. Meski saat berangkat kuliah ke IAIN Cirebon, Nyai Afwah banyak menerima sindiran dari saudara-saudara suaminya di Kempek. Sindiran itu tidak jauh dari anggapan bahwa perempuan tak pantas jika sekolah hingga ke perguruan tinggi. Sindiran itu tak mengurungkan tekad Nyai Afwah untuk tetap sekolah. Nyai Afwah mampu menyelesaikan studi S1-nya di tengah terpaan pergunjingan dan sindiran dari orang-orang di sekelilingnya. Keluarganya menjadi tembok yang begitu kukuh yang menguatkannya.
Setelah itu ia mulai merintis MTLB (Madrasah Takhosus Lil Banat), kemudian melanjutkan S2-nya di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Nyai Afwah terus melakukan berbagai macam perubahan pendidikan di Pesantren Kempek dengan dukungan dari sang suami. Saat Ini Nyai Afwah sedang melanjutkan Pendidikan S3-nya di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Di samping itu ia juga aktif mengisi pengajian, ceramah offline dan online, menjadi pembicara dalam acara-acara lokal dan nasional juga menulis. Salah satunya rubrik tafsir di majalah rutin Swara Rahima yang terbit sejak 2001. Ia juga tercatat sebagai pendiri Ikatan Hafidz Qur’an (IHQ) Cirebon bekerjasama dengan Fatayat NU Kab. Cirebon. IHQ lahir atas keprihatinan terhadap kondisi para hafidzah (penghafal Qur’an perempuan).
Saat ini Nyai Afwah diposisikan sebagai ketua Yayasan Pondok Pesantren Kempek. Ia menghimpun ikatan alumni Kempek dengan nama (Nahdina). Pada awalnya yang suka datang dalam acara tersebut alumni laki-laki. Nyai Afwah sering diminta mengisi acara dan sambutan dalam pertemuan alumni santri Kempek di beberapa daerah. Menurutnya, ini lompatan yang luar biasa karena selama ini dunia pesantren itu dikenal sebagai dunia laki-laki, berbeda dengan dunia kampus. Di lingkungan kampus, ketika perempuan menjadi pemimpin tidak dianggap aneh karena pemikirannya sudah maju.
Ia menjabat sebagai Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon sejak 2016-2021. ISIF merupakan sebuah lembaga pendidikan tinggi yang menekankan pada riset dan transformasi sosial berbasis pada kebudayaan lokal dan khazanah pengetahuan Islam. Sebelum menjabat rektor, Nyai Afwah menjadi dosen Ilmu Al-Qur’an, Psikologi dan Pengembangan Al-Qur’an sekaligus Kaprodi Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Dekan Fakultas Tarbiyah ISIF. Menjadi seorang rektor merupakan tantangan yang sangat berat baginya. Berada di kampus yang belum lama berdiri membuatnya harus menerima segala kondisi yang serba terbatas dan berupaya untuk meningkatkan kualitas lembaga.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Pergulatannya dengan masyarakat mengasah kepekaan Nyai Afwah dalam memahami realitas di masyarakat yang sangat kompleks. Timbulnya kesadaran dengan realitas kehidupan masyarakat baru dirasakan Nyai Afwah setelah belajar dalam program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) yang diselenggarakan Rahima. Sebab dari pelatihan selama 12 bulan itu, ia mendapatkan banyak sekali pengetahuan tentang kehidupan sosial. Terutama dari para pemateri, seperti KH Masdar F. Mas’udi, KH Abdul Moqsith Ghazali, dan KH Husein Muhammad. Sebelumnya, saat menghadapi berbagai macam pertanyaan dari masyarakat, Nyai Afwah tak mampu menjawabnya. Utamanya masalah riil yang sedang mereka mereka. Hampir setiap hari, orang tua wali santri datang ke rumahnya dan menanyakan ihwal masalah yang mereka hadapi. Pernah suatu waktu ada orang tua santri mendatanginya dengan maksud untuk membawa pulang anaknya dari pesantren. Alasannya karena si santri puteri itu hendak dikawinkan. Nyai Afwah pun tidak bisa menjawab apa-apa, meski di dalam hatinya yang paling dalam, dia tidak setuju. Tapi, dia tak punya argumen yang bisa meyakinkan orang tua santri itu.
Di lain kesempatan, datang pula wali santri yang hendak menarik anaknya dari pesantren karena anaknya itu hendak bekerja ke luar negeri menjadi TKW. Kenyataan itu begitu pahit dirasakan oleh Nyai Afwah. Segala masalah yang menjerat masyarakat karena kemiskinan, kebodohan, marginalisasi, dan sebagainya tak mendapatkan jawab. Nyai Afwah pun seperti mendapatkan pencerahan ketika berkenalan dengan Rahima dan Puan Amal Hayati. Melalui ajakan dari KH Husein Muhammad, Nyai Afwah dibukakan jalan lapang agar bisa menjawab masalah-masalah riil di masyarakat itu. Ia merasakan manfaat dari teks agama, regulasi, dan tata aturan yang berlaku yang diajarkan kepadanya. “Selama 2 bulan, dari 12 pertemuan banyak sekali yang saya dapat. Ada Analisis Sosial, Islam dan Gender dan payung hukum TKI dan masyarakat tertindas. Saya mendapatkan jawaban,” tuturnya.
Nyai Afwah pun membawa pulang hasil pembelajaran dari Rahima untuk kepentingan santri. Seketika dia mengubah pola pendidikan di pesantrennya agar lebih membumi. Pengajian di pesantrennya kadangkala dilakukan dengan menonton video, menggunakan media pengajaran interaktif, dan sesekali dengan permainan. Para santri diajak untuk belajar menganalisa sendiri masalah kekinian dan dari situ mereka terus belajar dan bertambah kritis. Sekarang, Nyai Afwah lebih banyak mengaji dengan sistem dialog. Seperti saat menjelaskan bab munakahat, dia menyelingi materi dengan bertanya bagaimana jika santri-santri dinikahi dengan mahar Rp. 10 ribu. Dari pertanyaan itu muncul perdebatan antara yang pro dan yang kontra. Pada akhirnya, pengajian tentang bab nikah itu diresapi ke dalam diri santri dan direfleksikan ke dalam kehidupannya masing-masing. “Masak sih mahar kalah sama uang kiriman orang tua. Bestelan (kiriman uang) kita lebih besar dari 10 ribu,” jawab salah satu santri. Selain itu, pengajian di Pesantren Kempek sekarang menjadi lebih sensitif gender. Dalam artian, pengajian tidak berkutat pada teks saja melainkan lebih jauh dibawa pada masalah-masalah yang nyata dihadapi santri di tengah masyarakat. Kalaupun ada nash yang bias gender, biasanya Nyai Afwah menginterpretasikan ulang teks tersebut dan membuatnya lebih membumi dan mudah dipahami.
Menurutnya, sejak saat itu banyak orang yang bilang bahwa dia adalah Nyai Gender. Apa yang dilakukan Nyai Afwah Mumtazah telah membawa perubahan itu menjadi nyata. Semakin banyak santri puteri dari pesantren Kempek melanjutkan kuliah atau menempuh pendidikan lebih tinggi ke pesantren lainnya. Mereka sudah bisa membaca kitab kuning dan menguasai keilmuan modern.
Bagi Afwah tantangan terbesar kepemimpinan perempuan yang ia rasakan adalah minimnya dukungan dari pihak-pihak yang seharusnya memberi dukungan. Sehingga Nyai Afwah harus bekerja keras untuk membuktikan kepemimpinannya baik secara kualitas maupun kuantitas. Nyai Afwah lebih banyak berkorban tidak hanya pikiran, waktu namun juga materi.
KUPI berjejaring tidak hanya dengan pesantren namun juga dengan LSM sehingga lebih kuat dan melihat isu perempuan dengan cara pandang yang lebih luas dari berbagai sisi. Misalnya, ketika membahas isu lingkungan atau buruh migran, LSM mempunyai banyak data dan informasi yang memperkaya cara pandang KUPI dalam melihat isu tersebut. Saat perayaan KUPI, Nyai Afwah menjadi tim perumus untuk menggali dalil agama atau referensi terkait dengan dalil aqli dan naqli untuk tema perkawinan anak. Dari dalil yang sudah terkumpul ditashih oleh Nyai Badriyah Fayumi.
Kehadiran menteri agama dan sejumlah tokoh baik dari dalam maupun luar negeri saat perayaan KUPI, menyedot perhatian ulama laki-laki di Cirebon. Menurutnya, kehadiran ulama laki-laki dalam acara KUPI, pada awalnya hanya untuk melihat atau observasi, tidak dalam rangka mendukung. Namun sisi positifnya, para kiai sadar bahwa KUPI merupakan gerakan serius yang didukung banyak pihak. Dari situ akhirnya Nyai Afwah sering mendapat undangan untuk mengisi pengajian yang jamaahnya adalah para hafidz laki-laki.
Prestasi/Penghargaan
Nyai Afwah pernah beberapa kali ditawari penghargaan atas posisinya sebagai rektor perempuan, dengan catatan ia harus membayar. Ia menolaknya dengan alasan ada perasaan malu karena penghargaan itu seperti dimita bukan diberikan karena kinerjanya. Nyai Afwah pernah mendapat beberapa penghargaan dalam lomba MHQ 20 juz, mendapat juara dari kabupaten, serta juara kaligrafi dan menulis ilmiah.
Karya-Karya
Berikut adalah di antara karya tulis Nyi Afwah:
- “Kajian Multikulturalisme Dalam Kitab Kuning”, Jurnal Educational, 2019
- “Kontekstualisasi Kitab Qurrotul ‘Uyun dalam Perspektif Pendidikan Gender; Studi Relasi Interaksi Laki-Laki dan Perempuan dalam Pernikahan di Pesantren, Tesis, 2011
- Buku Saku, Menimbang Kehamilan tidak Diinginkan Perspektif Islam dan Hukum Positif”, Rahima
- “KDRT dalam Persepsi Ibu Nyai Pesantren, Studi Kasus Pesantren-Pesantren Cirebon,” Jurnal Islam Indonesia, Vol. 2 No. 01 2010
- Ramadhan dan Keberpihakan Kepada Kaum Papa, Suplemen Rahima, 2011
- “Membangun Pendidikan Transformatif Berbasis Keadilan Gender dalam Keluarga Swara Rahima
- “Perempuan Berparfum, Dosakah?” Mubadalah, 2016
- “Maharatul Qiroah wal kitabah untuk peningkatan pembelajaran bahasa arab di ponpes Bapenpori Babakan Ciwaringin Cirebon, Skripsi,
Penulis | : | Pera Shopariyanti |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |