Farha Ciciek

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Farha Ciciek
Farha Ciciek.jpg
Tempat, Tgl. LahirAmbon, 26 Juni 1963
Aktivitas Utama
  • Penggiat dan Penggagas Komunitas Tanoker
Karya Utama
  • Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga: Belajar dari Kehidupan Rasulullah Saw. (Gramedia, 1999)
  • Seksualitas dan Hak Reproduksi untuk Komunitas Muslim (Rahima, 2010)

Farha Ciciek Abdul Kadir Assegaf atau yang lebih dikenal dengan Farha Ciciek adalah salah satu pendiri Komunitas Tanoker, Ledokombo, Jember. Perempuan yang lahir pada 26 Juni 1963 ini sudah sejak kuliah malang melintang di dunia aktivisme.

Persinggungan Farha Ciciek dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sudah dimulai sejak ketika gerakan gender dan Islam berkembang di Indonesia melalui P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), bahkan sebelum Rahima, organisasi penggagas KUPI didirikan. Ciciek termasuk salah satu pendiri Rahima bersama para aktivis Muslim yang lain dan pernah menjabat sebagai direktur Rahima periode 2000-2007. Ia aktif terlibat dalam proses penyelenggaraan KUPI pada tahun 2017. Bersama Tanoker, ia aktif mengampanyekan fatwa KUPI tentang larangan kawin anak.

Riwayat Hidup

Perempuan berdarah campuran Arab, Jawa, Cina, dan Ambon ini lahir sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Selepas menamatkan SMA di Surakarta, Ciciek meneruskan pendidikannya di Yogyakarta. Ia menempuh studi filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga program strata satu. Untuk studi lanjutan, Ciciek mengambil program S2 di Pascasarjana UGM. Ciciek juga mengambil pendidikan non degree di Australian National University (ANU) selama setahun pada tahun 2005.

Ciciek mulai tertarik pada isu kemanusiaan, perdamaian, dan perempuan sejak muda. Pada tahun 1998, setelah kerusuhan Mei terjadi, Ciciek bergabung sebagai Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) untuk mendampingi korban kekerasan seksual. Dalam isu perdamaian, Ciciek terlibat dalam proses pendampingan korban bom Bali. Pada tahun 2013, Ciciek bersama Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mengawali proses pengorganisasian para korban bom (Jakarta dan Bali) untuk bertemu mantan pelaku tindak kekerasan terorisme.

Untuk isu lingkungan, saat ini Ciciek bersama tim Rahima sedang mengawal ulama perempuan dari berbagai majelis taklim bergerak di isu lingkungan berawal dari isu pangan sehat. Bahwa setiap orang perlu asupan bahan pangan yang lebih sehat dan tidak terkontaminasi dengan zat kimia atau lebih khusus pangan organik. Pandemi Covid telah mengakselerasi perwujudan tekad mewujudkan kelestarian alam.

Ciciek menikah dengan Suporahardjo yang sering dipanggil dengan Supo—seorang pegiat sosial. Saat ini mereka tinggal di Jember Bersama dua anak mereka, Mokhsa Imanatohu dan Zen Zero Zona.

Keulamaan

Pada tahun 2009, Ciciek dan keluarga memutuskan untuk berpindah ke Ledokombo, Jember, kampung halaman suaminya. Ciciek dan Supo bersepakat untuk menemani masa-masa sepuh sang ibu dengan bahagia. Melepas seluruh kepenatan dan kepadatan Jakarta, Ciciek mantap meninggalkan ibukota. Kota yang telah memberikannya banyak pengalaman berharga. Pada satu waktu, pernah terlintas pula dalam benaknya untuk menyingkir dari kebisingan ibu kota. Kala itu, yang terpikir olehnya adalah menikmati hari-hari di Yogyakarta, bukan Jember. Saat panggilan pulang ke Jember tiba untuk menemani masa senja ibu mertua datang, Ciciek menyambutnya dengan keriangan dan rasa optimisme untuk menjalani hidup baru di desa. Ciciek berkali-kali bilang, kepulangan dirinya dan keluarga ke Jember bukan sebagaimana glorifikasikan oleh banyak media. Kepulangannya ke Jember berangkat dari sesuatu yang sangat personal, yaitu berbakti dan menemani ibu menghabiskan masa-sama senja usia.

Meski Mokhsa dan Zero tumbuh di kota metropolitan, keduanya tak terlihat canggung bergaul dan bermain dengan anak-anak di sekitar rumah eyang mereka di Jember. Sebab, di Jakarta, Ciciek dan Supo telah “menyulap” garasi mereka sebagai tempat bermain bagi Moksa, Zero, dan teman-teman mereka. Terlebih, Mokhsa, anak pertama Ciciek, juga tak asing dengan desa. Mokhsa pernah belajar di Qaryah Thayyibah, Salatiga. Sebuah sekolah komunitas yang awalnya diperuntukkan bagi anak-anak petani.

Hari demi hari Ciciek lalui di Jember. Rumahnya hampir setiap hari kedatangan tamu-tamu kecil teman anak-anaknya. Pekan-pekan pertama di Ledokombo adalah pekan refleksi bagi Ciciek dan Supo melihat keadaan desa yang mereka tinggali. Banyak penduduk Ledokombo tidak berada di rumah, mereka pergi merantau ke berbagai kota dan negara sebagai buruh migran. Mereka meninggalkan keluarga untuk beradu nasib memenuhi kebutuhan hidup. Dan dalam setiap perjuangan, mesti ada yang dikorbankan. Anak-anak yang mereka kasihi harus dititipkan kepada para saudara, kerabat, dan handai tolan, terutama kepada nenek dan kakek mereka, bukan kepada tetangga.

Dari refleksi itu, Ciciek dan suaminya menyadari ada yang terlupa dari kerja-kerja sosial dan pemberdayaan saat berbicara tentang desa atau buruh migran. Melupakan kebutuhan dan keresahan anak-anak dan lanjut usia. Dua masa usia yang rentan untuk dilupakan dan ditinggalkan.

Menurut Ciciek, desa adalah “kaki” dunia. Meski Desa dalam perjalanan modernisasi sering dipinggirkan dan tak jarang dirampas isinya. Tetapi, desa menurut Ciciek adalah sebaik-baiknya tempat berpulang setelah luka dan kekalahan menyerang. Di masa-masa pandemi seperti ini, desa sekali lagi menunjukkan dirinya sebagai penopang dunia luar. Melihat keadaan dan dengan aspirasi dari anak-anak di lingkungan rumah mereka, Ciciek dan Supo mendampingi mereka dalam mewujudkan tempat bermain yang tidak sekadar main-main di Ledokombo. Kegiatan ini kemudian diberi nama Tanoker. Tanoker dalam Bahasa Madura adalah kepompong.

Anak-anak memilih egrang sebagai media bermain dan belajar. Dan dari sana kemudian berkembang berbagai macam kegiatan bagi anak-anak buruh migran dan anak-anak Ledokombo. Seluruh proses kegiatan bermain itu, menurut Ciciek, harus didasari dengan kegembiraan yang juga akan melahirkan kegembiraan. Satu prinsip yang dipegang Ciciek dalam mendampingi proses belajar adalah tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak melukai. Oleh karenanya, dalam festival-festival yang diselenggarakan Tanoker lebih memilih inovasi tarian atau kostum egrang daripada menggunakan adu cepat. Ini dilakukan supaya tak ada rasa sakit yang tertinggal di hati para peserta atau meminimalkan gesekan antarpeserta.

Lambat laun melalui berbagai kreativitasnya, masyarakat Ledokombo mulai melihat sesuatu yang berbeda setelah bersama-sama berproses di Tanoker. Banyak tamu yang hadir ke Ledokombo untuk melihat aktivitas-kreativitas mereka dalam menjalani kehidupan di desa, mengolah makanan dan hasil bumi, mengunjungi desa toleran yang berada di tujuh titik, menyaksikan perhelatan festival egrang, dan bermain di kolam lumpur. Ledokombo kini tak hanya dikenal dan dikenang sebagai wilayah buruh migran. Ledokombo kini memiliki sinar yang berbeda. Masyarakat desa yang awalnya ragu dengan identitasnya, kini mulai tumbuh kepercayaan diri dengan aktivitasnya.

Ciciek melalui Tanoker bersama dengan suami dan warga desa membicarakan isu-isu strategis mengenai perempuan diejawantahkan dalam praktik-praktik keseharian melalui kegiatan masyarakat, kedaulatan pangan, air, dan lainnya. Sehingga isu perempuan tidak hanya dilihat hanya persoalan perempuan semata.

Dalam perjalanannya, kini Tanoker bukan hanya tempat bermain bagi anak-anak. Tanoker adalah tempat bertumbuh bagi semua, termasuk para ibu, bapak, dan eyang-eyang. Dengan suara serak menahan haru Ciciek berkata, “Anak-anak itu serupa matahari yang penuh dengan harapan, dan mereka tak boleh menjadi tua dengan rasa yang perih. Oleh karenanya, tidak mungkin meninggalkan sinar matahari redup sendirian menjalani masa senja.” From beautiful sunrise to beautiful sunset, begitu kira-kira penggambaran Ciciek untuk masa kanak-kanak dan masa lanjut usia seseorang.

Ciciek melalui Tanoker mulai mendorong pengasuhan komunitas untuk anak-anak buruh migran. Anak-anak yang ditinggal merantau orang tua menjadi tanggung jawab komunitas. Pengasuhan dilakukan bersama-sama. Menurut Ciciek, salah satu warisan yang ditinggalkan desa adalah pengasuhan komunitas. Sebuah bentuk tanggung jawab bersama dalam pengasuhan, sebab usia anak-anak dan usia senja sering terlupakan dalam agenda pembangunan negara, atau dari pandangan masyarakat pada umumnya.

Meski begitu, tidak semua warisan desa harus dilestarikan. Menurut Ciciek, praktik kawin anak sebagai tradisi yang telah diturunkan selama bertahun-tahun di desa tidak patut untuk dilestarikan. Ciciek bersama Tanoker bekerja bukan hanya untuk melestarikan budaya dan kearifan lokal. Tanoker juga mengkritisi budaya yang tidak baik. Budaya dan tradisi yang cenderung merugikan, baik kepada manusia (laki-laki dan perempuan) dan lingkungan harus terus dikritisi dan diganti dengan sesuatu yang baik. Selain itu, Ciciek dan Tanoker juga menginisiasi Sekolah Ebok, Sekolah Bapak, dan Sekolah Eyang. Kegiatan yang diikhtiarkan oleh Ciciek dan Tanoker untuk mengejawantahkan kewajiban belajar dari lahir hingga ke liang lahat.

Dalam mendampingi proses bertumbuh masyarakat melalui Komunitas Tanoker, ada tantangan terbesar. Menurut Ciciek, tantangan itu adalah keberlanjutan. Ciciek saat ini sedang membangun kemandirian dan sistem yang memungkinkan seluruh kegiatan Tanoker bisa berjalan meski tanpa kehadiran dirinya atau suaminya. Menurut Ciciek, keberadaan figure memang penting, tetapi itu tidak boleh menjadi penghalang dalam perubahan atau gerakan sosial.

Penghargaan/Prestasi

Ciciek menikmati segala aktivitasnya dengan penuh kerelaan dan kegembiraan. Tak heran jika kerja-kerjanya itu mengantarkan dirinya sebagai salah satu dari 1000 Peace Women pada tahun 2005 yang dinominasikan untuk menerima Nobel Perdamaian. Atas usahanya melakukan pendekatan alternatif demi menciptakan kesamaan gender di Indonesia, pada tahun 2007, Ashoka International menganugerahinya sebagai social motivator. Pada tahun 2013, Ciciek mendapat penghargaan She Can Award dari Tupperware. Ciciek juga dianugerahi Kartini Award oleh PT Telkom pada tahun 2014. Pada tahun 2017, bersama dengan Supo, Ciciek menerima penghargaan sebagai ikon Pancasila. Ciciek juga mendapatkan penghargaan dari Radio Jember sebagai Women of The Year 2020.

Karya-Karya

Selain berbagai inisiasi baik di bidang sosial-kemanusiaan, Ciciek juga menulis beberapa buku, di antaranya:

  1. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga: Belajar dari Kehidupan Rasulullah Saw. (Gramedia, 1999)
  2. Respons Islam atas Pembakuan Peran Perempuan (2005)
  3. Seksualitas dan Hak Reproduksi untuk Komunitas Muslim (Rahima, 2010)
  4. Bermain Mencerdaskan, Belajar Menyenangkan (Tanoker)
  5. Pengasuhan Gotong Royong (Tanoker)

Daftar Bacaan Lanjutan

Kerja-kerja Farha Ciciek bisa lebih jauh dibaca di antaranya melalui tautan berikut:

  1. Heyder Affan, Farha Ciciek dan 20 tahun Misi Kemanusiaan, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-38246594
  2. Dra. Farha Ciciek, M.Si, Indihome Women Educator, https://tanoker.org/dra-farha-ciciek-m-si-indihome-woman-educator/
  3. Kevinda Bramantya, Farha Ciciek: “Kepompong” Pemberdayaan Anak dan Perempuan, https://kongreskebudayaandesa.id/farha-ciciek-kepompong-pemberdayaan-anak-dan-perempuan/.html
  4. Mariana Amiruddin, Farha Ciciek: Menyikapi Fundamentalisme: Membaca Perempuan Bukan Sebagai Korban, https://www.jurnalperempuan.org/tokoh-feminis/farha-ciciek-menyikapi-fundamentalisme-membaca-perempuan-bukan-sebagai-korban
  5. https://tanoker.org


Penulis : Nur Hayati Aida
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir