Telaah Atas RUU KUHP tentang Penodaan Agama Dalam Perspektif Islam
Oleh: KH. Husein Muhammad
Agama perlu dipahami, pertama-tama sebagai sistem keyakinan individual tentang Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisis-eskatologis. Agama, Keyakinan ini adalah hal-hal yang bersifat abstrak, intrinsik dan merupakan misteri Tuhan yang tersembunyi di lubuk hati manusia paling dalam. Islam menyebutnya sebagai hidayah (anugerah) Tuhan. Kedua, sebagai ajaran yang mengatur tata cara peribadatan (ritual) berikut sarana yang mendukungnya, sebagai bentuk ekspresi dan manifestasi individu dalam berhubungan dengan Tuhan serta aktualisasi diri tentang kesetiaan kepada-Nya. Hal ini juga bersifat eksklusif dan personal. Ketiga sebagai ajaran akhlak (moral). Akhlaq, menurut hemat saya, adalah semua moral dan etika kemanusiaan universal. Ia adalah basis untuk melandasi relasi antar manusia dalam kehidupan bersamanya. Prinsip utama dari etika/moral kemanusiaan ini adalah kebebasan, kesetaraan dan penghormatan atas eksistensi manusia. Hak-hak ini merupakan anugerah Tuhan dan tak dapat dicabut oleh siapapun kecuali Dia. Saya kira semua hal itu yang dalam teks agama disebut dengan “al-Din”.[1]
Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa ekspresi, aktualisasi dan praktik-praktik keberagamaan pada umumnya didasarkan kepada wahyu Tuhan yang kemudian ditulis sebagai Kitab Suci. Teks-teks suci ini adalah susunan huruf-huruf yang tidak bisa berbicara, meskipun tentu mengandung petunjuk-petunjuk Ketuhanan. Yang bicara adalah manusia melalui akal pikirannya. Maka akal pikiran manusialah yang mengungkapkan makna-maknanya. Oleh karena pikiran manusia berbeda-beda, maka pemahaman atasnya juga bisa berbeda-beda. Dan akal adalah juga sesuatu yang misteius dan anugerah besar Tuhan. Lebih jauh, mengambil contoh dari Islam, Nabi Muhammad mengatakan : “Sesungguhnya al-Qur’an mengandung makna lahir, batin, had dan mathla’”.[2] Ali bin Abi Thalib mengatakan : ”Al-Qur’an Hammal Awjuh”, (Al-Qur’an mengandung berbagai perspektif). Paling tidak ada tiga perspektif : Fiqh (hukum), Kalam (teologi/logika) dan Sufistik (Tasawuf/rasa). Satu kata atau kalimat dalam kitab suci memungkinkan untuk diinterpretasikan/ditafsirkan menurut tiga perpektif yang berbeda ini. Para ahli Islam mengatakan bahwa pemahaman terhadap teks suci dapat dilakukan melalui pemaknaan harfiyah, logika dan metafora.
Tiga bagian dari system agama di atas menjadi domain dan tanggungjawab individu dan komunitas masyarakat. Negara tidak berhak untuk melakukan intervensi atasnya, tetapi Negara berkewajiban melindunginya melalui bentuk UU maupun kebijakan public lainnya.
Bagian lain dari system agama adalah ajaran-ajaran yang menyangkut relasi atau interaksi social/publik antar individu dengan individu, individu dengan masyarakat /komunitas/Negara dan antara masyarakat dengan masyarakat/negara. Dalam kaitan dengan bagian ini, Negara memiliki peran dan tanggungjawab untuk mengatur dan menertibkan serta membatasi, melalui norma-norma hukum public/politik, atau biasa disebut perundang-undangan. Dengan kata lain hal-hal yang bersifat public/politik merupakan domain Negara. Pada bagian inilah Negara ditempatkan sebagai instrumen yang mengatur relasi/interaksi social dalam rangka menciptakan ketertiban sosial dan memfasilitasi perkembangan dan kemajuan individu-individu menuju terwujudnya system social yang adil, damai dan sejahtera. Singkatnya fungsi utama negara adalah fasilitator untuk menjamin berlangsungnya interaksi sosial secara damai, mencegah terjadinya konflik sosial dan melindungi hak asasi warga negaranya tanpa membedakan agama, keyakinan, jenis kelamin, etnis, bahasa, atau opini politik apapun. Dalam waktu yang sama negara juga berhak menghukum warga Negara yang melanggar hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Hukum diarahkan kepada tingkahlaku Manusia dan untuk Manusia
Adalah kesepakatan para ahli hukum bahwa hukum diarahkan terhadap tingkahlaku manusia. Dalam Islam disebut “Af’al al-Mukallafin” (tindakan-tindakan orang dewasa). Jadi hukum tidak bisa dirumuskan untuk memutuskan dan menetapkan sesuatu atau hal yang abstrak dan eksklusif. Pada sisi lain hukum ditujukan untuk kepentingan manusia. Seorang ahli hukum Islam klasik Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 660 H), menyatakan : “Seluruh ketentuan hukum dibuat untuk kepentingan manusia, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ketaatan manusia kepada Tuhan tidak membuat-Nya memperoleh manfaat apapun, dan kedurhakaan manusia tidak menjadikannya merugi apapun”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, II/73). Dengan bahasa lain, pembelaan manusia kepada Tuhan tidak menjadikan Dia lebih agung atau mulia, dan pembangkangan manusia kepada-Nya tidak menjadikan Dia lebih rendah dan kurang mulia.
Konstitusi sebagai Norma Hukum Tertinggi
Kita bersyukur bahwa bangsa Indonesia telah berhasil merumuskan norma-norma hukum public fundamental dengan sangat ideal yang disebut Konstitusi Negara Republik Indonesia atau yang dikenal sebagai UUD 1945. Norma-norma ini merupakan hasil consensus dan diterima oleh seluruh warga Negara bangsa dengan seluruh latarbelakang social, budaya, agama, keyakinan, suku, gender dan sebagainya. Fundamentalitas Konstitusi mengandung arti bahwa ia memuat aturan-aturan untuk melindungi hak-hak dasar yang bersifat universal. Hak-hak dasar manusia ini secara garis besar meliputi hak beragama/berkeyakinan, hak hidup, hak berfikir dan berekspresi, hak atas kesehatan reproduksi, hak atas kehormatan diri, hak atas milik. Dalam konteks Islam hak-hak dasar tersebut merupakan tujuan hukum agama (Maqashid al-Syari’ah).[3]
Harus selalu diingat bahwa Konstitusi merupakan norma hukum tertinggi yang kepadanyalah seluruh kebijakan Negara dalam skala nasional maupun local (daerah) harus disandarkan sekaligus tidak boleh bertentangan denganya. Konstitusi haruslah menuntun, mengarahkan, membatasi dan semestinya juga meniadakan hal-hal yang bersifat khusus. Norma universal ini harus diberi bobot yang lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat particular (Undang-undang dan peraturan lainnya), dan tidak sebaliknya; norma particular membatas norma universal. Pada saat yang sama sebuah kebijakan seharusnya tidak boleh bertentangan dengan kebijakan yang lainnya. Jikapun karena situasi tertentu mengharuskan dirumuskannya kebijakan khusus yang berbeda/berlawanan, maka hal ini merupakan kondisi darurat yang sifatnya sementara, dan pada saat tertentu harus dicabut.
Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama Konstitusi (UUD 1945) telah menegaskan :
- Pasal, 28 E, ayat (1): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya”. Ayat (2): setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
- Pasal 29 ayat (2) : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Selain UUD 1945 tersebut, Indonesia juga sudah meratifikasi kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, social, dan budaya melalui UU No. 11 tahun 2005 dan hak-hak Sipil dan Politik, melalui UU No. 12 tahun 2005 serta ratifikasi Cedaw, melalui UU No. 7 tahun 1984 dan UU No. 39 tahun 1999.
RUU KUHP Bab VII, Mengandung Pertanyaan Problematik
Jika kita sepakat dengan dasar-dasar pemikiran filosofis dan permis-permis di atas maka RUU KUHP, bab VII bagian kesatu tentang tindak pidana terhadap agama, pada pasal-pasal 341-345 dalam pemahaman saya memang mengandung muatan dan maksud yang baik dan ideal. Semua umat beragama niscaya sepakat tentang keharusan keterjagaan hal-hal yang disakralkan dalam agama. Akan tetapi pada saat yang sama ia juga mengandung kelemahan yang perlu didiskusikan bersama. Hal ini karena pasal-pasal ini dapat dipahami bahwa delik pidana tersebut diarahkan kepada agama. Perlindungan Negara dari tindakan penghinaan sebagaimana disebutkan dalam UU ini seharusnya ditujukan kepada orangnya (pemeluk agama), bukannya agama itu sendiri. Dengan kata lain, tindak pidana dalam kasus ini harus dimaksudkan sebagai tindak pidana terhadap orang atau komunitas umat beragama. Pada sisi lain, kelemahan itu muncul pada penyebutan kata-kata “menghina”, “mengejek”, “menodai”, “merendahkan”, Nabi, kitab suci dan seterusnya. Semua kata-kata ini mengandung interpretasi yang bisa bersifat sangat subyektif. Lalu siapakah pula yang disebut sebagai pelaku penodaan?. Siapakah pula yang menentukan bahwa seseorang dianggap menghina dan menodai agama?.
Beberapa terminology di atas dengan demikian masih mengandung multi tafsir, ambigu, dan tidak mengandung kepastian hukum. Dalam kaedah hukum agama dikatakan bahwa : Inna fi Ma’aridh al Kalam La Manduha ‘an al Kadzib. Bagaimanapun, dalam pernyataan hukum (rumusan hukum) yang multi tafsir, kemungkinan manipulasi oleh kekuasaan tak dapat dielakkan. Dalam konteks demikian kemungkinan kriminalisasi oleh negara tentu saja menjadi sangat terbuka lebar.
Contoh kasus yang sangat popular dalam beberapa tahun belakangan ini adalah soal Ahmadiyah dan Syi’ah. Kedua aliran keagamaan ini dinyatakan sesat dan menyesatkan. Ini karena Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Syi’ah berkeyakinan bahwa kepemimpinan (Imamah) umat haruslah berdasarkan keturunan Nabi dan Imamah merupakan bagian dari rukun Iman. Para sufi dan para pemikir Islam yang sering distigma sebagai Liberal juga mempunyai keyakinan-keyakinan keagamaan yang sering dipahami sebagai sesat dan menyesatkan umat. Ulil Absar Abdallah, karena pikiran-pikirannya yang tidak umum oleh sebagian orang/kelompok difatwa sesat dan halal darahnya. Dan saya secara pribadi juga pernah distigma sebagian orang sebagai “perusak aqidah Islam dari dalam”. Ini sesungguhnya semata-mata karena perspektif dan cara pembacaan atas teks-teks keagamaan mereka banyak yang berbeda secara tajam dari pemahaman dan perspektif keagamaan mainstream.
Ini hanyalah beberapa contoh belaka dari problem pendefinisian dan pemahaman atas agama yang benar-benar terlalu sulit untuk ditunggalkan. Konflik tersebut terjadi dalam internal masing-masing agama, baik Islam maupun non Islam. Jika hal ini terjadi dalam wilayah internal agama, kita tentu dapat membayangkan bagaimana perbedaan antar agama yang berbeda-beda.
Dalam banyak peristiwa social, kita menyaksikan bahwa akibat pendefinisian atau pemahaman atas agama tersebut, para pemeluk dan pengikut mereka mengalami kekerasan social atas nama agama dan kriminalisasi oleh atas nama Negara/Undang-undang. Dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa, di Timur maupun di Barat, bahkan sampai hari ini korban atas nama agama karena masalah tafsir atas agama atau teks-teks agama atau atas nabi, terlalu banyak untuk diceritakan. Mereka menjadi korban stigma “sesat”, “kafir”, “murtad” dan sebagainya baik oleh individu maupun kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan tafsir mereka. Dan adalah sebuah kecelakaan besar jika Negara ikut terlibat di dalamnya.
Bukan dengan UU Pidana, Tapi Pendekatan Kultural
Jika demikian, lalu bagaimana masalah kekerasan individu dan atau kelompok yang mengatasnamakan agama dapat dicegah atau diatasi?. Jawaban yang mungkin adalah hal itu perlu diatasi melalui pendekatan sosio-cultural. Yakni melalui penguatan dan pengembangan masyarakat sipil. Jika kita mengambil inspirasi dari Islam, maka kitab suci Al-Qur’an sesungguhnya telah memberikan petunjuk ke arah jalan ini melalui pernyataannya : “Ajaklah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (ilmu pengetahuan) dan pelajaran yang baik dan berdialoglah bersama mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S. al-Nahl, [16]:125).
Petunjuk al-Qur’an di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Tuhan meminta agar pertikaian atau konflik antar manusia atas nama dan latarbelakang apapun perlu dilakukan melalui jalan pencerdasan, pencerahan, pendidikan dan dialog yang konstruktif. Ini dapat berarti bahwa Tuhan sesungguhnya memberikan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing. Tetapi Dia mengingatkan agar jangan saling menghina, mencaci-maki dan melakukan kekerasan. Dan jika harus terjadi, maka selesaikanlah dengan cara-cara damai dan cerdas di antara mereka sendiri. Di sinilah fungsi dan kewajiban utama para pemimpin/institusi agama dan pemimpin/institusi adat. Mereka dituntut bekerja untuk "Amar Ma'ruf Nahi Munkar" (menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran/kejahatan), membimbing, menuntun, mencerdaskan dan membangun karakter dan moral individu-individu masyarakat sedemikian rupa sehingga perilaku individu-individu dalam masyarakat melahirkan tradisi atau menjadi adat-kebiasaan yang baik dan saling menghargai.
Saya kira, pendekatan cultural dengan metode pendidikan, pencerdasan, dan dialog konstruktif tersebut juga menjadi ajaran dari banyak agama-agama dan aliran-aliran kepercayaan.
Pendekatan ini memang memerlukan waktu yang panjang dan tidak selalu mudah. Negara dalam hal ini harus memberikan ruang yang luas dan fasilitas yang cukup untuk berlangsungnya pendekatan ini.
Harmonisasi atau Penghapusan?
Hal terpenting lainnya adalah bahwa aturan-aturan perundang-undangan atau semua kebijakan publik tidak boleh mengandung muatan yang diskriminatif terhadap warga Negara atas dasar apapun. Dengan kata lain, aturan-aturan tersebut harus mengandung substansi atau muatan-muatan yang melindungi dan menjamin hak-hak setiap warga Negara. Aturan-aturan yang dikriminatif niscaya akan melahirkan ketidakadilan dan kekerasan. RUU KUHP Pasal 341 yang menyatakan : “Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III”.
Pasal ini juga menyimpan problema krusial tersendiri. Frasa “agama yang dianut di Indonesia”, menimbulkan tanda tanya besar. Pertama, apa sajakah agama yang dianut di Indonesia?. Apakah ia berarti agama yang diakui di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1/PNPS/1965 dan dikukuhkan dalam UU No. 5/1969, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu?. Bagaimana halnya dengan agama-agama lain yang ada di negeri ini, baik agama langit, agama bumi maupun agama lokal ?. Jika selain 6 (enam) agama tersebut, tidak dimaksudkan oleh RUU ini, maka tentu saja pasal ini bersifat diskriminatif dan tentu saja akan menimbulkan problema kekerasan atas nama agama.
Atau apakah ia justeru berarti semua agama yang ada di Indonesia?. Sayang sekali penjelasan pasal ini tidak ditemukan dalam RUU ini. Tetapi jika kemudian akan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “agama” adalah semua agama yang ada di Indonesia, maka saya kira ia akan sejalan dengan Konstitusi. Akan tetapi ia tidak sejalan dengan UU No. 1/PNPS/1965-UU No. 5/1969, di atas yang masih diberlakukan. Di atas sudah dikemukakan bahwa sebuah UU tidak boleh bertentangan dengan UU lainnya yang sejenis. Jika hal ini terjadi, maka cara yang bisa dilakukan adalah harmonisasi yang dalam istilah hukum Islam disebut “al-Jam’u”, atau penghapusan salah satunya (Naskh). Yakni membatalkan atau menghapus UU PNPS atau menegaskan UU ini. Saya kira cara yang pertama ini lebih tepat. Pertama karena UU PNPS ini dibuat atas dasar latarbelakang social politik yang membahayakan kehidupan nasional atau dengan kata lain dalam keadaan memaksa (darurat) dan oleh karena itu ia bersifat sementara belaka. Dengan hilangnya alasan keadaan tersebut, maka logikanya ia tidak diperlukan lagi, karena sudah tidak relevan lagi dengan situasi social-politik dan perkembangan zaman. Dalam kaedah hukum Islam dinyatakan : “Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Ahwal wa al-Azman” (perubahan hukum karena perubahan situasi dan zaman). Kedua, karena ia bertentangan dengan Konstitusi kita sekarang ini yang sudah memasukkan pasal-pasal tentang Hak-hak Asasi Manusia secara lebih komprehensip.
Kemudian, di sisi lain, pasal ini jelas sekali hanya menyebut hanya kata “agama”. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan aliran kepercayaan yang dalam konteks Indonesia dibedakan dari terminology “agama”?. Jumlah aliran kepercayaan di negeri ini sangatlah banyak, masih eksis dan berkembang. Bagaimana Negara dapat melindungi hak-haknya sebagaimana melindungi hak-hak agama yang diakui/resmi itu?. Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya dipikirkan dengan serius. Kecenderungan berpikir lebih memperhatikan mayoritas dan mengabaikan minoritas, seharusnya tidak boleh terjadi. Yang harus menjadi dasar berpikir para pembuat aturan perundang-undangan adalah hak asasi manusia dan keadilan.
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah
Bagian kedua bab VII RUU ini mengatur tindak pidana terhadap Kehidupan beragama dan Sarana Ibadah. Ini dimuat dalam pasal-pasal 346-248. Saya kira pasal-pasal ini secara principal cukup memadai dan tidak mengandung kontroversi. Akan tetapi sesungguhnya ia merupakan delik pidana dalam arti umum, meskipun tampaknya ingin memberi tekanan secara khusus pada isu keagamaan ini. Hal yang mungkin perlu dipikirkan adalah penjelasan yang lebih tegas antara lain tentang kata “gaduh” di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah. Bagaimanakah misalnya suara seruan ibadah melalui pengeras suara yang keras yang dianggap mengganggu ketenangan warga?.
Penutup
Saya selalu berharap bahwa kita semua, seluruh warga Negara bangsa, terutama yang mengemban amanat rakyat, terus menjunjung tinggi Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjalankannya secara penuh dan konsisten. Ia, disamping Dasar Negara Pancasila, adalah hasil kerja luar biasa dan perjuangan yang besar dari seluruh warga Negara bangsa dengan seluruh keberagaman latarbelakang primordialnya. Saya berpendapat bahwa dua landasan fundamental itu merupakan keputusan consensus final dan tidak bertentangan dengan cita-cita agama saya (Islam). Abu al Wafa Ibnu Aqil, ahli hukum Islam klasik bermazhab Hanbali mengatakan : “Aturan-aturan publik/politik harus dirumuskan dengan benar dan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan/kesejahteraan sosial (masyarakat) dan menghindarkan kerusakan sosial, meskipun tidak ada ketentuan wahyu Tuhan dan tidak pula ada ketentuan dari Nabi-Nya”. Sementara Ibnu Qayyim al-Jauziyah, juga ahli hukum Islam besar mengatakan : “Di mana ada keadilan di situlah hukum Tuhan”[4]
Maka, sekali lagi, segala kebijakan public/politik, pada segala levelnya haruslah dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945.
Akhirnya saya ingin menyampaikan pikiran Abu Bakar al Razi, filosof Islam terkemuka yang mengatakan : “Tujuan tertinggi untuk apa kita diciptakan dan kemana kita diarahkan, bukanlah kegembiraan atas kesenangan-kesenangan fisik, akan tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan mempraktikkan keadilan. Dua tugas ini adalah satu-satunya cara kita melepaskan diri dari keadaan dunia kini menuju suatu dunia yang di dalamnya tidak ada kematian atau penderitaan”.[5]
*Dipresentasikan untuk “Rapat Koordinasi Harmonisasi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang harmonis dengan Hak-hak Asasi Manusia dalam rangka Pembahasan RUU KUHP pada Bab VII tentang Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”, diselenggarakan oleh Ditjen HAM, tanggal 22 April 2013, di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta,
** Husein Muhammad, Komisioner Komnas Perempuan
Daftar Referensi
- ↑ Al-Syahrastani (w. 548 H), teolog Islam dan ahli perbandingan agama terkemuka dalam bukunya yang terkenal “Al-Milal wa al-Nihal” menyampaikan pendapatnya bahwa “al-Dîn” adalah ketaatan/kepatuhan dan ketundukan (al-thâ'ah wa al-inqiyâd), pembalasan (al-Jazâ`), dan perhitungan pada hari Akhirat (al-hisâb fî yawm al-Ma'âd). Maka menurutnya, “al-mutadayyin” (orang yang beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui adanya balasan dan perhitungan amal pada hari Akhirat
- ↑ Hadits ini ditafsirkan secara berbeda. Al-Syeikh al-Akbar Muhyiddin ibn ‘Arabi mengatakan: “Dhahir adalah tafsir, bathin adalah ta’wil, had adalah puncak pemahaman manusia dan mathla’ adalah pengetahuan untuk mencapai kondisi dapat menyaksikan Tuhan (ma yash’adu ilaihi minhu fa yathla’u ‘ala syuhud al-Malik al-‘Allam
- ↑ Ia meliputi lima prinsip perlindungan (al-Ushul al-Khamsah). Yaitu Hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama/keyakinan), Hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup), Hifz al- 'Aql (perlindungan terhadap akal-intelektual), Hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap keturunan dan kerhormatan), dan Hifzh al-Mal (perlindungan terhadap hak milik).
- ↑ Ibn al Qayyim, al Thurq al Hukmiyyah fi al Siyasah al Syari’iyyah (Mekanisme Pemerintahan dan Politik Hukum), Dar al Arqam, Beirut, Libanon, cet. I, 1999, hlm. 38-40
- ↑ Abu Bakar al Razi, Rasail al Falsafiyyah, bab al Sirah al Falsafiyyah, h. 2 (www.al-Mostafa.com. Pdf. 001445).