Syarifah Rahmatillah
Syarifah Rahmatillah lahir pada 6 Desember 1971 di Banda Aceh. Saat ini dia bekerja di Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh sebagai Kasi Hubungan Industrial dan Kelembagaan Ketenagakerjaan. Selain itu, ia juga aktif dalam Komisi Pembinaan Keluarga Aceh sejak 2011 hingga sekarang.
Pada penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017, Syarifah Rahmatillah hadir sebagai peserta. Saat mengetahui tentang KUPI, ia meminta kepada Ibu Sandra untuk diikutsertakan dalam kongres KUPI beserta tokoh-tokoh perempuan lainnya yang tergabung dalam kelompok Wirid Yasin.
Ipah, demikian ia biasa dipanggil, berpandangan bahwa tujuan dan kerja-kerja KUPI sesuai dengan kerja-kerjanya selama ini yang berfokus pada perempuan dan ulama. Oleh karena itu, pasca kongres ia membangun komunikasi dengan ulama-ulama KUPI seperti Kiai Faqihuddin Abdul Qodir, Lies Marcoes, dan Sandra. Dengan bergabung ke dalam gerakan KUPI, IPah dan tokoh-tokoh perempuan dan ulama di Aceh tidak merasa sendirian berjuang, dan mereka memiliki wadah serta partner yang memiliki latar belakang yang sama. Perspektif keadilan dan kesetaraan yang selama ini ia aplikasikan di dalam pekerjaan dan aktivitasnya sejalan dengan nilai-nilai KUPI.
Riwayat Hidup
Ipah lahir dan tinggal di Aceh sampai sekarang. Hukum adalah bidang ilmu yang didalaminya sejak kuliah. Dia menyelesaikan S1 di fakultas Hukum Unsiyah pada 1996 dan melanjutkan pendidikan S2 di Fakultas Hukum Unsiyah pada 2013. Ipah aktif berorganisasi sejak SMP, SMA, kuliah, hingga sekarang.
Sepanjang perjalanan karirnya, ia memiliki pengalaman bekerja di pemerintahan dan non pemerintahan sejak tahun 1997 hingga sekarang. Ia bekerja sebagai PNS di Badan Pertahanan nasional (BPN) Kanwil Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1998 sampai tahun 2003. Kemudian tahun 2003-2008 menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nanggroe Aceh Darussalam, pernah menjadi anggota Staf Ahli Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (2005-2006), dan menjadi anggota Badan Reintegrasi Aceh (BRA) pada 2006.
Sepanjang tahun 2010 hingga sekarang, Ipah juga terlibat dalam program pemberdayaan perempuan, di antaranya sebagai Kasi Program dan Pelaporan di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh tahun 2010-2012. Dengan latar belakang keahlian di bidang hukum, ia menjadi Kasubag Sosialisasi Produk Hukum dalam Sekretariat Daerah (SETDA) Aceh (2012-2013) dan menjabat sebagai Kasubag Perundang-Undangan dalam Keurukun Katibul Wali (Sekretarian Wali Naggroe) tahun 2013 sampai 2015. Sekarang, dia menjabat sebagai Kasi Hubungan Industrial dan Kelembagaan Ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh sejak 2015.
Sementara untuk lembaga non pemerintah, ia sudah memulai kerja-kerjanya sejak tahun 1997 hingga 2007. Ipah menjabat sebagai bendahara Orbit Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil tahun 1997 dan menjadi anggota Tim Monitoring Tim Dialog RI – GAM bersama Jeda Kemanusiaan Aceh (2001). Dialog damai RI – GAM saat itu tidak banyak melibatkan perempuan, namun Ipah bersama dua tokoh perempuan lain juga turut berkontribusi dalam perdamaian ini. Pada 2000 hingga 2003, dia menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di Balai Syura Ureung Inong Aceh. Balai ini berupa konferensi yang dihadiri 450 tokoh perempuan Aceh untuk melaksanakan musyawarah yang disebut Duek Pakat Inong Aceh, yang memastikan adanya keterwakilan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik Aceh yang dilakukan dengan cara damai melalui dialog.
Dalam Duek Pakat Inong Aceh (Kongres Perempuan Aceh, tahun 2000 dan 2005) I dan II, Ipah menjabat sebagai ketua Sterring Committee (SC). Lalu, sejak tahun 2005 hingga sekarang ia merupakan pendiri dan dewan penyiaran Radio Komunitas Perempuan Aceh dan pendiri sekaligus dewan pengurus dalam Jaringan Perempuan untuk Kebijakan (JPuK). Ipah tergabung sebagai anggota Tim Sosialisasi Aceh Damai pada 2006 dan bergabung dengan Tim Advokasi Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU PA) tahun 2007.
Di tengah kesibukannya, ia juga mendirikan Kaukus Perempuan Parlemen Naggroe Aceh pada tahun 2007 dan sekaligus bergabung dalam Komisi Pembinaan Keluarga Aceh yang berlangsung sejak 2011 hingga sekarang. Jiwa aktivisnya telah mendorongnya untuk mendirikan LSM Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI) dan menempati posisi sebagai Direktur Eksekutif sejak 1998 dan masih berjalan hingga sekarang. Dia merasa lebih bebas dan menjadi dirinya sendiri saat bekerja sebagai aktivis dan mendampingi LSM yang telah dibentuknya dan juga berkolaborasi dengan organisasi dan kelompok lainnya terutama dalam pemberdayaan perempuan.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Pasca peristiwa tsunami di Aceh, Ipah bersama tokoh-tokoh perempuan lainnya melakukan program yang disebut Wirid Yasin dengan dukungan pendanaan dari The Asia Foundation. Kegiatan ini dilakukan di setiap kecamatan di seluruh Aceh secara rutin setiap minggu. Tim awal Wirid Yasin terdiri dari Umi Hanisah, Teungku Rahimun, dan Ibu Nur Jannah dengan menggunakan pendekatan program kerja dengan ulama laki-laki dan perempuan. Selain itu, ia juga berafiliasi dengan Yayasan Fahmina di Aceh yang berhubungan langsung dengan Pak Marzuki Wahid dan Pak Faqihuddin Abdul Kodir. Bersama Fahmina, ia juga berfokus pada isu-isu perempuan, salah satunya isu trafficking.
Sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan, Ipah sangat mencintai pekerjaan dan kegiatannya di luar instansi pemerintah. Selama 20 tahun lebih, MiSPI melakukan banyak kerja untuk memberdayakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk pembuatan buku bekerja sama dengan Oxfam yang direkomendasikan oleh ketua MUI Aceh. Oxfam adalah konfederasi internasional yang merupakan gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan dan bekerja bersama organisasi mitra dan kelompok perempuan dan laki-laki rentan untuk mengakhiri ketidakadilan.
MiSPI dan Oxfam mendata seluruh ulama di Aceh kemudian dituliskan dan didokumentasikan ke dalam empat buku. Meski di Aceh terkenal dengan syariah Islam yang kental, namun sampai saat itu belum ada dokumentasi tentang ulama perempuan di Aceh. Selain pembukuan tentang daftar ulama perempuan, MiSPI juga melakukan pengajian yang dilakukan oleh Ulama perempuan Aceh, memberikan pengetahuan kepada ulama yang berfokus pada gerakan perempuan dan ulama perempuan.
Dengan pengetahuan dan latar belakang pendidikan hukum, Ipah dan MiSPI memfokuskan gerakannya untuk mendukung politik perempuan. Salah satunya adalah dengan memperjuangkan ulama perempuan untuk masuk dalam komposisi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang dulunya hanya diisi oleh ulama laki-laki saja. Politik perempuan menjadi sangat penting bagi MiSPI karena selama ini banyak tokoh perempuan dan ulama perempuan terlibat dalam gerakan dan memberikan kontribusi bagi masyarakat, namun kehadirannya di dalam politik kurang diperhatikan dan bahkan tidak mendapatkan kesempatan seperti tokoh laki-laki.
Ia dan MiSPI menggugat kenyataan bahwa para ulama laki-laki belajar dari guru-guru yang merupakan ulama perempuan, namun yang disebut sebagai ulama hanya laki-laki saja yang merupakan murid dari ulama perempuan. Ini menjadi tidak adil karena mengaburkan peran ulama perempuan dan tidak mengakui mereka sebagai ulama yang sejajar dengan laki-laki. Maka dibentuklah forum Ulama Perempuan yang mengumpulkan seluruh tokoh perempuan di Aceh. “KUPI adalah kelanjutan dari pekerjaan yang sudah kami lakukan di sini,” kata Ipah.
Tantangan dalam forum Ulama Perempuan di Aceh, atau lebih dikenal sebagai Balai Syura Ureung Inong Aceh adalah terhambatnya kerja dokumentasi, penyebaran informasi, dan sosialisasi di Aceh karena terbatasnya sumber daya dan fasilitas yang mendukung. Tidak banyak kelompok, organisasi atau LSM yang secara khusus mengangkat keberadaan ulama perempuan, hanya fokus pada pemberdayaan perempuan secara umum dan perdamaian. Karena kerja-kerja dan gerakan bersama tersebut, sekarang ulama perempuan di Aceh lebih diakui dan memiliki kesempatan yang lebih baik dalam politik perempuan di Aceh.
Para ulama perempuan didorong dan didampingi untuk masuk ke ranah publik yang berbicara tentang persoalan perempuan, karena selama ini bahkan topik tentang perempuan juga dibicarakan oleh laki-laki, padahal akan sangat berbeda ketika perempuan sendiri yang berbicara tentang persoalan perempuan. Sekalipun perempuan diberi ruang untuk berbicara, namun selama ini hanya diberi kesempatan untuk berbicara tentang isu-isu perempuan sehingga mereka tidak mampu berbicara tentang hal-hal dalam ranah publik lainnya.
Maka perempuan didorong untuk terlibat dalam MPU agar mereka lebih memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman dalam isu-isu publik, tidak hanya berkaitan dengan persoalan perempuan saja. Saat ini, sudah banyak kemajuan dialami oleh perempuan dalam hal pendidikan yang lebih beragam, salah satunya dengan meningkatkan level pendidikan perempuan dan mendorong perempuan untuk belajar di berbagai tempat termasuk di luar negeri.
Menurut Ipah, selama ini konteks perempuan dan ulama dipisahkan dengan adanya sejumlah syarat seseorang bisa menjadi dan dianggap sebagai ulama. Padahal, perempuan juga bisa memberikan kontribusi politik, salah satunya dengan melibatkan perempuan dalam pembentukan Kanun (Perda di Aceh) yang membahas tentang Perda Syariah Islam di Aceh. Dengan demikian, perempuan dapat ikut serta dalam pembuatan kebijakan publik yang berperspektif perempuan. Peraturan dan kebijakan yang tidak melibatkan perempuan akan menjadi bias karena tidak adanya perempuan yang mewakili suara perempuan dan juga tidak ada perspektif gender yang adil bagi perempuan. Pada perkembangan dan perjuangannya, saat ini perempuan sudah terlibat di dalam politik, ulama perempuan diakui kiprahnya, dan peraturan publik memiliki perspektif perempuan. Mereka didorong dan dibekali pengetahuan dan fasilitas untuk memiliki bargaining power yang baik.
Dalam ranah hukum, dulunya perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak mendapatkan keadilan seperti tidak diberi hak untuk mendapatkan pengacara dalam proses hukum. Setelah diperjuangkan, akhirnya perempuan mendapatkan hak untuk pendampingan dan pembelaan dalam proses hukum. Bersama Oxfam, Ipah dan LSM lainnya membawa para ulama perempuan ke Malaysia untuk belajar, dan Aceh mendapatkan apresiasi karena memiliki hakim Syariah perempuan. Hal ini menjadi penyemangat bagi Ulama perempuan untuk menempati posisi publik dan untuk memberdayakan diri sendiri.
Fatwa-fatwa KUPI tentang kekerasan seksual dan perkawinan anak selama ini sudah masuk dalam kerja-kerja Ipah, namun perkawinan anak di Aceh tidak setinggi di Jawa. Ia bersama LSM-nya berfokus pada pencegahan perkawinan anak dan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan memberikan kesempatan kepada ulama perempuan untuk menjadi pembicara yang memberikan edukasi tentang pencegahan perkawinan dan kekerasan seksual. Selain itu, penting untuk memberikan edukasi secara masif kepada laki-laki terkait pencegahan pernikahan anak dan kekerasan seksual, yaitu dengan masuk pada khutbah jumat serentak di dua kota di Aceh. Hal ini membutuhkan kekuatan politik sehingga khutbah jumat yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu berisi tentang penghargaan kepada perempuan untuk sosialisasi pencegahan perkawinan anak dan kekerasan seksual.
Menurut Ipah, KUPI sudah berhasil menaungi berbagai ulama di seluruh Indonesia. Di Aceh sudah ada Tengku Inong (ulama perempuan) dan juga kongres Ulama perempuan, sehingga para ulama di Aceh memiliki tempat mengadu, berkolaborasi, dan memperkenalkan mereka dengan seluruh ulama di Indonesia. KUPI sejauh ini dapat menyatukan ulama perempuan dan memiliki gaung yang baik untuk mendukung kerja-kerja ulama perempuan di berbagai daerah. Namun, perlu lebih spesifik karena setiap daerah memiliki tantangan dan peluang yang berbeda dari daerah lainnya. Maka diperlukan untuk melakukan pemetaan berdasarkan kesamaan suku, permasalahan, dan fokus pemikiran bagi ulama perempuan agar tujuan bersama dapat dilakukan di daerah maupun. Pemetaan keahlian dan fokus kerja para uperempuan akan memudahkan mereka untuk memperkuat kerja mereka dan bisa berkolaborasi dengan lebih banyak pihak. Selain itu, menurut Ipah penting untuk menonjolkan politik perempuan dalam affirmative action karena selama ini mereka tidak didampingi dengan cukup baik.
Penulis | : | Wanda Roxanne |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |