Umi Hanisah
Umi Hanisah | |
---|---|
Tempat, Tgl. Lahir | Peunia, 3 Juli 1968 |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Umi Hanisah, lahir di Gampong Peunia, Meulaboh, pada 3 Juli 1968, adalah ulama perempuan Aceh pendiri sekaligus pemimpin Pesantren Diniyah Dayah Darussalam. Ia juga aktif di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) atau setara dengan MUI dan menjadi satu-satunya representasi ulama perempuan yang berasal dari bumi Serambi Makkah yang terlibat aktif di MPU Aceh Barat.
Ia tercatat sebagai peserta aktif dan anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017. Dalam setiap kegiatan baik forum akademik-keagamaan maupun nonformal di kampung-kampung, Hanisah selalu mengenalkan KUPI dan menyampaikan nilai-nilai tentang keadilan, kesetaraan, isu kemiskinan, serta persoalan ketidakadilan terhadap perempuan.
Riwayat Hidup
Hanisah yang bernama lengkap Hanisah Abdullah ini dibesarkan dari keluarga yang memegang teguh nilai-nilai kemandirian. Ayahnya merupakan seorang tentara, yang kemudian beralih profesi menjadi petani. Sedangkan ibunya adalah petani sekaligus merangkap sebagai ibu rumah tangga. Hanisah memiliki saudara kandung sebanyak delapan belas orang.
Orangtua Hanisah mendidik anak-anaknya untuk mandiri sejak dini, termasuk bertanggung jawab memperoleh uang saku dari jerih payah mereka sendiri. Hanisah misalnya, telah bekerja di sebuah perkebunan karet semenjak duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar (SD). Sepulang sekolah, ia memanfaatkan waktunya untuk menggarap kebun karet demi mendapatkan uang saku.
Perjalanan Hanisah menempuh pendidikan terbilang sulit. Keinginannya menimba ilmu di pesantren sempat terganjal restu orangtua, karena usianya masih terlalu belia saat itu. Diam-diam, Hanisah pun mendaftarkan dirinya ke sekolah menengah pertama tanpa sepengetahuan orangtua. Setiap hari, ia menempuh perjalanan menyusuri hutan kurang lebih delapan kilometer untuk sampai di sekolahnya. Akses jalan yang dilewati pun rusak, berlumpur, dan berlubang. Hanisah kecil sempat bercita-cita menjadi seorang tentara perempuan. Menurut Hanisah, menjadi tentara merupakan tugas yang sangat mulia karena banyak membantu masyarakat. Ia pun meneguhkan niatnya untuk masuk sekolah tentara selepas SMA.
Namun takdir berkata lain. Keinginannya untuk menjadi tentara kandas. Ia miris menyaksikan banyak remaja seusianya tidak bisa membaca Al-Quran ketika duduk di bangku SMP. Hanisah memutuskan untuk menjadi guru agama dengan melanjutkan studi ke pesantren. Setamat SMP, Hanisah bersyukur diizinkan ayahnya untuk masuk ke pesantren yang lokasinya tak jauh dari kampung halamannya di Meulaboh.
Namun lagi-lagi pendidikannya tak berjalan mulus. Orangtuanya sempat tak mampu mengirimkan uang bulanan, sehingga ia menyelesaikan studi selama tujuh tahun. Selepas dari pesantren, beruntungnya Hanisah memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi pendidikan ke salah satu universitas Islam di ibu kota Aceh. Sembari kuliah, ia mulai meniti karir sebagai guru agama di sejumlah sekolah guna mendapatkan tambahan penghasilan.
Pemahaman agama Umi Hanisah semakin luas semenjak ia aktif mengunjungi sejumlah pesantren. Cita-citanya mendirikan pesantren semakin kuat, manakala ia mendapat kesempatan untuk study tour ke sejumlah pesantren di Sumatera, Jawa, dan Bali. Di Sumatera Barat, tepatnya daerah Padang Panjang, Hanisah menemukan ghirah ulama perempuan yang cukup tinggi dalam memajukan pendidikan di daerah tersebut. Adalah (Almarhumah) Rahmah El-Yunusiyah, tokoh pahlawan perempuan yang memperjuangkan pendidikan sekaligus pendiri pesantren Diniyah Putri Padang Panjang. Pesantren ini sangat megah, besar, dan memiliki bangunan yang luas. Selain itu, pesantren modern yang dikhususkan bagi santri puteri ini juga memiliki masjid besar yang didanai oleh orang Arab.
Motivasi Hanisah mendirikan pesantren terus menguat. Kunjungannya ke pesantren Diniyah Putri menginspirasinya untuk merintis pesantren sendiri. Bahkan, kunjungannya ke sejumlah pesantren di Jawa, seperti Jakarta, Tebuireng, dan Pabelan membuatnya susah tidur. Ia merasa iri dan terus memikirkan cara agar kelak dapat membangun pesantren, lalu menamainya dengan nama Dayah Diniyah Darussalam.
Kecintaan Hanisah terhadap dunia pendidikan sudah terlihat sejak ia berusia remaja. Ia sangat tertarik untuk memberikan edukasi dan pemahaman yang baik kepada orang-orang di sekelilingnya, terutama tentang pengetahuan agama. Sejak berusia delapan tahun, ia memilih untuk mandiri dan jauh dari orangtuanya. Hanisah memilih untuk tinggal dan tidur di rumah guru ngajinya, semata-mata agar ia dapat mempelajari ilmu agama secara mendalam. Pribadinya dikenal sebagai sosok yang ulet dan gemar berkelana.
Tekad dan kegigihan kuat dalam belajar ilmu agama itulah yang menjadikan Hanisah jauh lebih mumpuni ketimbang teman-temannya. Namun kecakapan itu tak serta merta membuatnya tinggi hati. Ia tetap menjadi pribadi yang rendah hati dan selalu menolong sesama. Ketika teman-teman sebayanya di kelas belum pandai mengaji, bahkan sebagian belum paham praktik ibadah dasar, Hanisah dengan senang hati mengajarkan mereka ketika tiba waktu istirahat sekolah.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Konflik Aceh yang berlangsung sejak tahun 1976 menyebabkan jatuhnya korban hampir sekitar 15.000 jiwa. Salah satu yang perlu mendapatkan uluran empati yakni para korban penyintas kekerasan. Umi Hanisah termasuk salah satu pejuang yang tergerak untuk membantu dan melindungi para korban kekerasan konflik antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ketika perang memuncak pada tahun 2003.
Dalam pemikiran Hanisah, para korban terutama kalangan anak-anak tak lagi memiliki tempat aman dan nyaman untuk berlindung. Sebagai aset bangsa, mereka membutuhkan jaminan perlindungan dan keamanan. Alih-alih mencari suaka, para korban sangat trauma ketika mendengar nama GAM maupun prajurit TNI kala itu.
Prinsip hidup Hanisah adalah membantu para mustadh'afin atau orang-orang lemah nan tertindas. Di mata Hanisah, korban penyintas kekerasan merupakan entitas masyarakat Aceh yang lemah dan membutuhkan uluran bantuan. Hanisah ingin memgumpulkan, melindungi, dan menyelamatkan masa depan korban penyintas kekerasan akibat konflik. Dari sinilah ia kemudian mendirikan sebuah pesantren, yaitu Dayah Diniyah Darussalam. Dayah, merupakan sebutan untuk lembaga pendidikan agama Islam di Aceh. Dayah Diniyah Darussalam dikhususkan untuk melindungi para korban kekerasan seksual terutama anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan oleh oknum kelompok separatis GAM. Selain itu, Dayah juga menampung anak-anak dari kalangan keluarga ekonomi tidak mampu.
Berlatar belakang sebagai pendidik, Hanisah sangat luwes memulihkan semangat hidup anak-anak yatim piatu, korban kekerasan di Aceh. Ia mulai membangkitkan semangat mereka untuk meningkatkan spiritual, dengan mengajari ilmu-ilmu agama, membekali dengan akhlakul karimah, serta mengajarkan nilai-nilai perdamaian.
Keberadaan rumah aman bagi penyintas korban kekerasan rupanya tidak mendapat dukungan dari masyarakat setempat. Hanisah berjuang sekuat tenaga mendanai biaya operasional pesantren dari honornya ketika mengisi ceramah. Bahkan saat konflik Aceh kembali memanas, Hanisah justru dihadapkan pada kerasnya penolakan warga terhadap dayah miliknya. Pernah suatu malam, warga berbondong-bondong mendatangi pesantren dan melakukan aksi demo. Mereka kompak menolak dan mengusir Hanisah yang dianggap meresahkan karena melindungi anak-anak korban pemerkosaan. Stigma sosial turut mewarnai penolakan itu karena anak-anak korban pemerkosaan dianggap sebagai aib dan kotor.
Betapa hancur dan teriris hati Hanisah mendengar penolakan warga. Perempuan yang karib disapa Umi ini membayangkan para penyintas korban dan keluarganya pasti akan sangat terpukul ketika mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat luas. Hanisah tak menyerah menghadapi situasi sempit yang tak berpihak kepadanya. Ia justru semakin tertantang untuk berbuat baik, meski tidak mendapatkan dukungan moral dari lingkungannya.
Hanisah terus berjuang meluaskan misi kemanusiaannya melalui pemberdayaan santri. Ia sangat berharap santrinya, baik penyintas korban kekerasan maupun bencana Tsunami Aceh, dapat terbebas dari belenggu kemiskinan. Untuk mencapai tujuan itu, Hanisah mendorong mereka untuk berdaya secara pengetahuan dan ketrampilan. Dayah tidak sekadar rumah untuk belajar ilmu-ilmu agama saja, melainkan juga mengajari santri untuk mengatasi tantangan hidup secara sosial maupun ekonomi. Ilmu-ilmu yang didapatkan santri diharapkan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks pengembangan masyarakat, Hanisah juga mendorong santrinya agar memanfaatkan serta merawat lingkungan dengan menanam tanaman serta tidak merusak alam. Hasil panen bisa diolah kembali agar nilainya naik secara ekonomis. Ia juga mendorong santrinya agar belajar berorganisasi, mempelajari wawasan tentang ke-NU-an dan organisasi Muslimat supaya kelak menjadi pemimpin di komunitasnya setelah mereka kembali ke kampung halaman.
Sejalan dengan keyakinan kuat Hanisah pada kesetaraan gender, ia terus mengajak perempuan untuk bergabung dalam perjuangan kesetaraan tanpa memandang wilayah atau agama. Ia bercita-cita agar gerakan perempuan di Indonesia berlandaskan pada rasionalitas dengan tetap mempertahankan keyakinan agama pribadi.
Hanisah kini memetik ‘buah’ dari hasil perjuangannya. Setelah melewati segala persoalan dalam mengatasi persoalan kemanusiaan, perjuangannya kini mendapatkan pengakuan dari berbagai kalangan. Pengakuan itu terbukti dengan diangkatnya Hanisah sebagai tokoh perlindungan perempuan dan anak oleh Pemerintah Aceh Barat.
Prestasi dan Penghargaan
Pada tahun 2010, Hanisah mendapatkan anugerah Perempuan Aceh Award oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh alias Gerakan Perempuan Aceh karena telah mendedikasikan dirinya membela hak-hak perempuan. Kemudian ia mendapat penghargaan dari pemerintah Daerah atas upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, juga dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aceh. Tiga tahun kemudian, ia meraih penghargaan dari lembaga internasional Ashoka atas pengabdian dan kerja keras dalam membangun kesadaran persamaan hak perempuan di Aceh. Profil Umi Hanisah diabadikan dalam sebuah booklet Ashoka yang berjudul A Special Power for Gender Equity bersama sejumlah penggerak perempuan terpilih dari Amerika Serikat, India, Cile, dan Italia.
Karya-Karya
Dikenal sebagai pendakwah, Hanisah juga mengabadikan pergumulan pemikirannya selama berjuang 'mencerahkan' khalayak masyarakat, melalui karya-karya terbaiknya. Sejumlah buku yang ia tulis di antaranya adalah Ilmu Ketauhidan, Mengamalkan Tarekat Naqsabandiyah, hingga buku yang mengupas persoalan Poligami dan isu-isu terkait perempuan lainnya.
Penulis | : | Tsani Itsna Ariyanti |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |