Penghentian Kehamilan (Yang Tidak Dikehendaki) Secara Tidak Aman; Tinjauan Islam

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir


Berbicara tentang Islam tidak bisa dilepaskan dari soal otoritas, baik otoritas teks maupun para pembaca dan penafsir teks. Sejarah Islam, terutama yang terkait dengan persoalan hukum, adalah sejarah teks; dengan segala pergumulan dan penafsirannya. Hampir setiap pembicaraan mengenai apapun dalam Islam, harus berangkat dari teks dan perkembangannya sepanjang sejarah. Terutama teks-teks yang paling dasar, yaitu al-Qur’an dan Hadits, kemudian penafsiran-penafsiran fiqh dari ulama berbagai firqah [aliran teologi] dan madzhab [aliran hukum]. Yang perlu ditekankan di sini, bahwa teks dalam Islam paska Nabi Muhammad Saw adalah sesuatu yang terbuka terhadap berbagai penafsiran.

Imam Ali bin Abi Thalib ra yang pertama kali menyatakan bahwa “al-Qur’an  itu mengandung multi interpretasi” [al-Qur’ân hammâlu awjuhin]. Selama lima belas abad ini, teks-teks Islam telah menjadi ajang perebutan pemaknaan dari berbagai ulama dengan penuh kesadaran masing-masing –paling tidak mayoritas ulama- bahwa tiada siapapun berhak mengklaim sebagai yang paling benar. Dalam setiap pemaparan argumentasi selalu diakhiri dengan pernyataan “Hanya Allah yang tahu tentang kebenaran dalam soal ini” [Wallâhu a’lam bi ash-shawâb].

Sebagai penegasan terhadap pernyataan ini, Khaled Abou El Fadl dalam bukunya “Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority and Woman” menyitir satu ayat yang menjelaskan bahwa tidak ada satu orangpun yang berhak mengklaim sebagai pasukan atau juru bicara Tuhan. “Tiada satupun yang mengetahui pasukan-pasukan Tuhanmu, kecuali Dia sendiri” (QS, al-Muddatstsir, 74: 31).

Islam, terutama dalam persoalan hukum, pada prakteknya adalah fiqh. Yaitu pemahaman ulama terhadap teks-teks dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada aras realitas. Baik pemahaman terhadap pemaknaan teks [ijtihâd istinbâthi] maupun terhadap penerapan teks [ijtihâd tathbîqi]. Karena dua hal ini, fiqh dalam kaitannya dengan realitas memiliki tiga karakteristik; at-takyîf [fleksibilitas: selalu berinteraksi dengan realitas], azh-zhanniyah [relatifitas:  kebenaran temporer dan parsial] dan al-ikhtilâf [pluralitas; beragam dengan berbagai pandangan].

Ulama fiqh telah sedemikian rupa melakukan kajian-kajian terhadap teks-teks agama dengan cukup dalam dan telah menghasilkan berbagai pandangan, yang dalam banyak hal, yang satu bisa bertentangan dengan yang lain. Ragam pandangan ini merupakan kekayaan kazanah Islam, yang memungkinkan pengkajian berikutnya menjadi lebih tajam dan lebih baik. Ketika ulama fiqh telah mengurai teks sedemikian rupa, maka yang diperlukan berikutnya adalah pengujian ‘kemaslahatan dan kemanfaatan’ pada aras realitas, dan pendampingan dengan berbagai disiplin ilmu lain.

Pada persoalan aborsi misalnya, telah sejak lama ulama fiqh berbeda pendapat, yang secara umum bisa disederhanakan ke dalam dua pendapat; pertama yang membolehkan selama belum ada proses peniupan ‘ruh’ dan kedua yang mengharamkan sejak ‘konsepsi’ atau pertemuan air mani dengan ovum di dalam rahim sekalipun belum ada proses peniupan ‘ruh’.  Di samping teks-teks yang terkait, berbagai pertimbangan diikutsertakan dalam penguatan argumentasi; seperti kehormatan manusia, nilai asal muasal manusia, moralitas, penyelamatan jiwa ibu, hak ayah dan ibu, hak sosial masyarakat, hak pemeliharaan kecantikan bagi seorang ibu, soal kekhawatiran terhadap ekonomi keluarga, dan berbagai pertimbangan lain.

Berbagai tulisan dan buku telah membincangkan persoalan aborsi. Yang belum banyak dilakukan adalah penggunaan ‘perspektif perempuan’ sebagai pertimbangan utama, di samping pertimbangan-pertimbangan di atas, dalam memaknai teks-teks dan pandangan-pandangan ulama dalam hal aborsi. Saya kira, perspektif ini yang mendasari peralihan dari istilah ‘aborsi’ menjadi ‘penghentian kehamilan secara tidak aman’. Karena kata aborsi, yang awalnya netral dan dilakukan berbagai pihak atas berbagai kepentingan, pada akhirnya memiliki konotasi yang jelek terhadap perempuan, dengan stigma sebagai pelaku, orang yang tidak bertanggung jawab, bahkan pembunuh berdarah dingin. Dengan semangat ‘perspektif perempuan’, tulisan ini mencoba membaca teks-teks dan pandangan-pandangan ulama yang terkait dengan penghentian kehamilan, atau aborsi.

Ayat al-Qur’an dan Teks Hadits tentang Aborsi

Ayat-ayat al-Qur’an yang biasa digunakan para penulis dalam membicarakan persoalan aborsi adalah ayat-ayat yang tidak langsung, karena yang eksplisit melarang atau membolehkan aborsi memang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang tidak langsung yang dimaksud adalah ayat tentang penghormatan manusia, penciptaan dan proses perkembangan janin, serta larangan membunuh anak.

“Dan telah Kami muliakan anak cucu adam (manusia), dan kami mudahkan mereka untuk bisa berjalan di darat dan di laut, dan Kami limpahkan rizki  kepada mereka dari yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka dari kebanyakan makhluk-makhluk lain yang Kami ciptakan”. (QS. Al-Isra, 17: 70).

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan melimpahkan rizki kepadamu dan kepada mereka”. (QS. Al-An’am, 6: 151).

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan melimpahkan rizki kepada mereka dan kepada kamu”. (QS. Al-Isra, 17: 31).

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun”. (QS. Al-Hajj, 22: 5).

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.(12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.(14)”. (QS. Al-Mu’minun, 23: 12-14 ).

Dari beberapa ayat ini, para ulama menjelaskan bahwa manusia dalam Islam adalah makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk lain, karena itu tidak diperkenankan tindakan apapun yang akan menistakannya. Pembunuhan adalah salah satu bentuk tindakan yang paling menistakan manusia, karena itu ia dikecam, diharamkan dan harus diberi sanksi yang paling berat. Dengan alasan apapun, pembunuhan terhadap anak-anak juga diharamkan, apalagi karena alasan ekonomi. Tetapi apakah aborsi termasuk katagori pembunuhan terhadap anak? Hal ini masih sangat sulit untuk dinyatakan dengan jelas, sekalipun beberapa ulama mungkin menyatakan adanya persamaan tersebut. Bahkan ulama seperti ini menganggap coitus interuptus [‘azl] juga dilarang dengan alasan mirip dengan pembunuhan anak. Membunuh anak [wa’d] berarti memotong keturunan, perilaku ‘azl juga memotong kemungkinan untuk memperoleh keturunan. Karena kemiripan ini, ‘azl disebuat sebagai pembunuhan ringan [al-wa’d al-khafiyy]. (Tafsir al-Qurthubi, 4: 86-87).

Tetapi banyak juga ulama yang tidak setuju mempersamakan coitus interuptus dengan pembunuhan anak. Mungkin termasuk juga aborsi, yang masih sulit bagi para ulama untuk mempersamakan persis dengan pembunuhan yang diharamkan. Ada beberapa ayat al-Qur’an (QS. 22: 5 dan QS. 23: 12-14) yang menjelaskan fase-fase perkembangan janin di dalam kandungan, yang membuat mereka berbeda pendapat; kapan tindakan terhadap janin bisa disamakan dengan tindakan terhadap seorang manusia yang hidup. Tetapi pada akhirnya, seluruh ulama tidak ada yang berani menyatakan bahwa tindakan terhadap janin adalah sama persis seperti tindakan terhadap manusia hidup. Dalam kasus pidana pengguguran terhadap janin sekalipun yang sudah masuk fase paling akhir, tidak sama dengan pembunuhan jiwa manusia. Karena hukuman pengguguran yang paling berat adalah denda dengan sejumlah unta atau uang, atau memerdekana budak [diyat], sementara hukuman pembunuhan adalah dibunuh kembali [qishâsh].

Sebenarnya masih sulit untuk menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur’an telah membicarakan persoalan aborsi dan mengharamkannya. Karena tidak ada satu ayatpun yang eksplisit membicarakan hal tersebut. Dari beberapa sisi memang aborsi bisa disamakan dengan pembunuhan yang diharamkan, tetapi dari sisi-sisi lain tidak bisa disamakan begitu saja. Karena dalam hal aborsi, obyeknya adalah kandungan yang masih diperdebatkan kapan ia mulai memiliki nyawa, sementara obyek pembunuhan adalah manusia yang jelas-jelas bernyawa. Jika berbicara aborsi di dalam al-Qur’an, sebenarnya ada multi interpretasi dan masih mungkin terbuka pada interpretasi baru. Karena memang tidak ada ketegasan eksplisit di dalam al-Qur’an tentang aborsi. Karena itu, kebanyakan ulama juga membicarakan aborsi dengan bantuan argumentasi dari teks-teks hadits, yang jika dibaca secara jeli teks-teks ini juga tidak secara eksplisit membicarakan tentang aborsi. Apalagi aborsi dalam makna penghentian kehamilan oleh pihak perempuan yang hamil itu sendiri.

Di antara teks hadits yang menjadi rujukan dalam persoalan aborsi adalah teks tentang pidana terhadap perempuan yang hamil. Dalam sebuah teks hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra disebutkan, “Bahwa ada dua orang perempuan bertengkar, salah seorang dari mereka melempar batu ke arah lawanya hingga meninggal termasuk janin yang ada di dalam kandungannya. Ketika mereka mengadu kepada Rasulullah Saw, beliau memutuskan bahwa untuk pidana terhadap janin adalah denda ghurrah, yaitu memerdekan budak laki-laki atau perempuan”. (Subulussalam, 3/238).

Teks ini mengarah kepada orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan hamil, yang menyebabkan kandungannya gugur. Orang tersebut harus dihukum denda ghurrah. Itupun disyaratkan bahwa janin yang digugurkan sudah berbentuk manusia [shurat al-âdamy]; ada tangan, kaki dan sudah ditiup ruh. Jika belum berbentuk, maka ia harus dibebaskan dari hukuman. Karena hukum asalnya adalah setiap orang itu bebas dari beban dan hukuman [al-ashlu barâ’at adz-dzimmah wa ‘adam al-ghurrah]. Yang menentukan usia pembentukan janin adalah para pakar [ahl al-khibrah], jika mereka ragu tentang janin tersebut berbentuk atau belum, maka pelakunya harus dibebaskan. Imam ash-Shan’âni mengklaim bahwa pernyataan ini adalah kesepakatan ulama [ijmâ’]. (Subulussalam, 3/239-240).

Ada teks lain, yang intinya memberikan penghormatan dan saran pemeliharaan terhadap janin di dalam kandungan. Yaitu hadits yang menyarankan penundaan hukuman bunuh kepada perempuan hamil, sampai dia selesai melahirkan, menyusui bahkan selesai menyapihnya. Dalam riwayat Muslim, dari ‘Imran bin Hashin ra, bahwa ada seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi Saw dalam keadaan hamil karena zina. Ia berkata: “Wahai Nabi, aku telah berbuat dosa, hukumlah aku”. Nabi kemudian memanggil keluarganya dan berpesan: “Tolong jaga dan berbaiklah kepadanya, jika sudah melahirkan datang lagi kemari”. Pihak keluarga memenuhi pesan Nabi, baru kemudian membawa kembali, lalu ia diikat dan dihukum rajam. Kemudian Nabi menshalati perempuan tersebut. Umar bertanya: “Ya Nabi, kenapa kamu menshalati dia, padahal dia pezina?”. Nabi menjawab: “Dia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh, yang jika dilimpahkan taubat itu untuk menutupi dosa-dosa tujuh puluh orang dari Madinah, niscaya akan mencukupi mereka semua, bukankah ia telah menyerahkan dirinya kepada Allah?. (Subulussalam, 4/11).

Dari teks ini bisa dinyatakan bahwa Nabi Saw memberikan perhatian yang penuh terhadap janin yang berada di dalam kandungan, sehingga sekalipun ibunya bersalah dan harus dihukum, hukuman itu harus ditunda dulu untuk memberi kesempatan kepada janin bisa lahir selamat dan sehat. Tetapi tidak ada pernyataan umur kandungan perempuan itu. Yang mungkin bisa dijelaskan bahwa pada masa Nabi Saw, kehamilan hanya bisa diketahui melalui perut yang membesar. Artinya perempuan itu datang kepada Nabi Saw dalam keadaan kandungan yang sudah membesar. Sehingga tidak bisa digeneralisir terhadap seluruh stadium kandungan.

Ada teks hadits lain yang sering diperbantukan untuk menjelaskan kewajiban penghormatan kepada janin layaknya kepada manusia yang telah terlahir. Yaitu teks tentang proses penciptaan manusia di dalam rahim. Dalam riwayat Bukhari Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Nabi Saw bersabda: “Bahwa sesungguhnya setiap orang di antara kalian melalui proses percampuran di dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, berikutnya selama jumlah waktu tadi dibentuk menjadi ‘alaqah, kemudian terbentuk menjadi mudhghah selama waktu yang sama, kemudian malaikat dikirimkan dan meniupkan ruh kepadanya, lalu memerintahkan mencatat empat kalimat; tentang rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasibnya menjadi orang tercela atau orang yang bahagia”. (al-Arba’în an-Nawawiyyah, hadits 4).

Dari beberapa teks ini masih sulit untuk memutuskan secara tegas bahwa pengguguran kandungan, sejak stadium awal hingga yang paling akhir adalah sesuatu yang menistakan kemanusiaan, sehingga harus diharamkan atau dilarang. Ulama hanya sampai pada kesepakatan bahwa pengguguran kandungan yang telah ditiupkan ‘ruh’ ke dalamnya adalah haram. Sementara pengguguran kandungan yang kurang dari itu, mereka berbeda pendapat.

Aborsi dalam Perdebatan Ulama Fiqh

Seperti yang diceritakan Imam Muhammad bin Isma’il ash-Shan’âni (1059-1182H), bahwa ulama fiqh berbeda pendapat soal aborsi pra-peniupan ruh sama persis dengan perbedaan mereka dalam hal ‘azl; ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. (Subulussalam, 3/146).  Muhammad Syaltut dari ulama kontemporer, juga menceritakan hal yang sama, bahwa ulama fiqh sepakat menyatakan haram terhadap aborsi paska peniupan ruh kecuali jika kehamilan itu mengancam kehidupan ibu yang mengandung. Tetapi terhadap aborsi pra-peniupan, ulama fiqh berbeda pendapat. (al-Fatawa, 289-292).

Syekh Jadul Haq lebih rinci menjelaskan pernyataan beberapa madzhab fiqh dalam hal aborsi. Dalam madzhab Hanafi aborsi sebelum kandungan berumur 120 hari secara umum diperbolehkan jika ada alasan yang sah, di samping sebagian dari mereka yang masih memakruhkan. Alasan yang sah seperti memelihara air susu agar tetap mengalir bagi bayi yang sedang disusui, kekhawatiran pada kesehatan ibu karena hamil, atau kesulitan medis yang harus dialami saat melahirkan. Sementara mayoritas ulama madzhab Malikiyah melarang aborsi sekalipun kandungan belum berumur 40 hari, karena menurut mereka proses kehidupan telah dimulai sejak pertemuan sperma dengan ovum. Proses ini harus dihormati dan dimuliakan, tidak ada siapapun berhak untuk menghalangi proses ini. Ulama Syafi’iyah dalam hal ini berbeda pendapat; al-Ghazali dengan tegas mengharamkan aborsi sejak masa konsepsi, dan semakin besar umur kandungan semakin besar tingkat pidana dan dosa aborsi terhadapnya. Ibn Hajar membolehkan aborsi sebelum kandungan berumur 42 hari, sementara Muhammad bin Abu Sa’id mengizinkan selama belum mencapai umur kandungan 80 hari. Madzhab Zaydi memperkenankan aborsi sebelum kandungan berumur 120 hari, karena dianggap sama persis dengan ‘azl yang memang diperkenankan. Dalam madzhab Ibadhi juga sama tegasnya, bahwa kandungan umur berapapun harus dijaga dan dihormati. Bagi si ibu yang sedang hamil diharamkan melakukan sesuatu, seperti mengangkat benda-benda berat, yang memungkinkan terjadinya keguguran. (Dikutip dari Maria Ulfa Anshar, makalah “Aborsi dari Perspektif Islam”).

Ada perbedaan dalam mempersepsikan kandungan kehamilan yang menyebabkan perbedaan terhadap hukum aborsi. Bagi yang mengharamkan, kandungan sejak konsepsi adalah proses awal dari kehidupan manusia, yang harus dihormati sama seperti menghormati manusia. Pengguguran terhadap proses ini sama dengan pengguguran terhadap kehidupan manusia, sekalipun tidak harus dengan tingkatan dosa yang sama. Dalam pernyataan Imam al-Ghazali (w. 505H) misalnya, bahwa aborsi sangat berbeda dengan ‘azl. Karena aborsi adalah tindak pidana terhadap sesuatu yang telah ada dan berproses untuk memulai kehidupan [mawjûdun hâshil]. Sementara ‘azl hanya sekedar pemutusan sebelum terjadinya konsepsi sebagai awal dari proses kehidupan. (Ihya Ulumuddin, 2/82-83).

Bagi yang memperbolehkan aborsi, memandang bahwa kandungan sebelum mencapai umur tertentu –dengan perbedaan batasan umur di antara mereka- masih merupakan ciptaan yang bukan manusia. Pada usia tersebut masih belum ada kehidupan, laiknya kehidupan manusia, sehingga ia lebih tepat disamakan dengan ciptaan-ciptaan yang lain, selain manusia. Sehingga dengan alasan-alasan tertentu yang disahkan, bisa saja ciptaan tersebut diputuskan atau dihapuskan. Dalam pernyataan Imam al-Hashkafi dari madzhab Hanafi ketika ditanya: “Apakah pengguguran kandungan dibolehkan? “Ya, selama belum terjadi penciptaan, dan itu baru terjadi sesudah berusia 120 hari”. (Dikutip dari Husein Muhammad, makalah ‘Telaah Kritis terhadap Fakta Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer”). Dalam semangat yang hampir sama, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pengguguran kandungan sebelum berumur 120 hari bisa dilakukan dengan alasan yang tepat, jika tanpa alasan maka hukumnya makruh saja. (Fiqh as-Sunnah, 2/177-178).

Dari perdebatan ini, pernyataan yang menegaskan bahwa Islam pada dasarnya melarang aborsi adalah sesuatu yang dipaksakan. Dalam bacaan saya, Islam atau lebih tepatnya fiqh telah membiarkan teks-teks tentang aborsi terbuka untuk diperdebatkan. Jika pada masa lalu saja, mereka membuka perbedaan dan perdebatan seputar aborsi, maka pada masa sekarang perdebatan itu juga harus diteruskan untuk menemukan pandangan yang paling tepat dengan konteks kita saat ini.

Fiqh Aborsi; Perspektif Perempuan

Umar bin Khattab ra suatu saatu menyatakan: “Dulu kami pada masa Jahiliyah sama sekali tidak memperhitungkan kaum perempuan, kemudian ketika datang Islam dan Allah Swt menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kami tahu bahwa mereka juga memiliki hak terhadap kami, tetapi kami masih enggan menyertakan mereka dalam urusan-urusan kami”. (Hadits Bukhari, kitab 77/bab 31, no. 5843). Ini adalah gambaran realitas sosial-budaya yang memarjinalkan perempuan, termasuk pada masyarakat muslim sendiri. Sehingga Nabi Saw, menjelang akhir hayat beliau, pada saat haji wada’ menyampaikan pesan ke hadapan ribuan sahabat: “Aku wasiatkan kepada kalian, agar berbuat baik kepada perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Padahal, kalian berkewajiban untuk berbuat baik kepada mereka”. (Hadits Turmudzi no. 1163 dan Ibn Majah 1851).

Pernyataan Nabi Saw ini merupakan peneguhan terhadap dua hal; pertama bahwa realitas sosial dalam banyak hal sering tidak bersahabat terhadap perempuan, dan ini bertentangan dengan misi Islam itu sendiri. Kedua, bahwa pada kondisi yang seperti itu pemihakan terhadapa perempuan menjadi sebuah keniscayaan sebagai wujud dari perlakuan baik terhadap perempuan yang diperintahkan Nabi Saw.  Bahkan bisa jadi merupakan jihad yang paling baik. “Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang otoriter dan zalim” (Riwayat An-Nasa’i, lihat kitab hadits Ibn Al-Atsir, Jami’ al-Ushul, juz 1, p. 236 ). 

Kekuasaan yang otoriter dan zalim dalam hal ini bisa saja berupa realitas sosial dan budaya yang dalam banyak hal menyudutkan perempuan, bahkan menempatkan mereka pada posisi yang bisa mengancam kehidupannya. Dalam kondisi yang seperti ini perspektif perempuan menjadi sebuah keniscayaan termasuk untuk melakukan pembacaan terhadap persoalan-persoalan fiqh.

Dalam kaitannya dengan persoalan aborsi misalnya, realitas sosial sampai saat ini masih menyudutkan perempuan, bahkan membahayakan dan mengancam jiwa mereka. Segala hal yang dimunculkan realitas yang seperti ini dalam hal aborsi, baik berupa pandangan keagamaan, perilaku budaya, kebijakan pemerintah, maupun tatanan hukum dan sosial, semuanya mengarah kepada perempuan dan menjadikan mereka korban-korban stigma dan praktek aborsi. Mereka secara fisik dan mental menjadi korban aborsi, baik aborsi yang aman apalagi yang tidak aman. Menurut data WHO terdapat 15-50 % kematian ibu disebabkan aborsi yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan yang meninggal dunia. Dalam hal ini, pandangan keagamaan tertentu, ikut bertanggung jawab terhadap praktek-praktek aborsi yang membahayakan nyawa perempuan. Untuk itu, perspektif perempuan sangat diperlukan untuk memformulasikan fiqh kontemporer tentang aborsi, agar kehidupan perempuan bisa menjadi lebih aman, sehat dan membahagiakan.

Dalam hal  ini, ada beberapa fakta aborsi yang harus menjadi bahan pertimbangan. Misalnya pertama bahwa larangan aborsi ternyata tidak efektif untuk menghentikan praktek aborsi, bahkan mengantarkan para perempuan untuk secara terpaksa menerima praktek-praktek aborsi yang tidak aman.  Kedua, perempuan pelaku aborsi kebanyakan adalah mereka yang telah bersuami dan sebagian dari mereka akibat kegagalan kontrasepsi. Ketiga, bahwa alasan-alasan perempuan melakukan aborsi adalah beragam; gagal kontrasepsi, jarak anak yang terlalu rapat, terlalu banyak anak, pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan medis. Keempat, bahwa hukuman pelanggaran aborsi hanya ditujukan kepada perempuan tanpa menyentuh pasangannya yang mengakibatkan dia hamil. Ada banyak hal lain yang perlu digali dari realitas untuk menjadi pertimbangan dalam perumusan fiqh aborsi dengan perspektif perempuan.

Dalam agenda perumusan fiqh aborsi dengan perspektif perempuan, yang harus pertama kali dilakukan adalah identifikasi pertimbangan-pertimbangan yang sangat kuat dan memaksa [dharuriyyât] bagi praktek aborsi. Fiqh klasik, setidaknya dalam madzhab Hanafi, telah memberikan contoh; misalnya pertimbangan kekeringan air susu, karena si ibu hamil masih memiliki bayi kecil yang sedang disusui, sementara suami tidak memiliki kecukupan untuk membeli susu atau membayar perempuan lain untuk menyusui bayi tersebut. Pertimbangan seperti ini perlu dirumuskan kembali dalam konteks sekarang; misalnya kehamilan akibat perkosaan yang sangat mengganggu kondisi psikologis perempuan, kondisi tubuh perempuan yang tidak kuat untuk melahirkan, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu dikaji dan dirumuskan terlebih dahulu dengan para pakar di bidang masing-masing.

Yang sangat penting juga, bahwa agenda perumusan ini harus didasarkan kepada prinsip-prinsip yang diturunkan dari teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang menjadi perujukan pembicaraan ulama tentang aborsi. Prinsip-prinsip ini juga harus dikaji dan digali dengan seksama. Mungkin beberapa diantaranya bisa ditawarkan di sini;

Pertama prinsip penghormatan kepada kehidupan manusia, baik terhadap kandungan maupun terhadap ibu yang mengandung. Aborsi dalam hal ini tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa sebab dan alasan yang kuat.

Kedua, prinsip nyawa ibu lebih diutamakan daripada nyawa kandungan [al-umm ashl an-nasl, wa al-ashl muqaddamun ‘alâ al-far’].

Ketiga, prinsip bahwa penentuan ketetapan harus diberikan kepada yang paling minimal resikonya baik terhadap diri ibu maupun kandungan [idzâ ta’âradhat al-mafsadatân rû’iya a’zhamuhumâ bi irtikâb akhaffihimâ].

Keempat, prinsip bahwa setiap diri diharuskan untuk berupaya untuk tidak menjerumuskan kepada kerusakan dan kehancuran dirinya [wa lâ tulqû bi aydîkum ilâ at-tahlukah].

Dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip ini, sebenarnya semua komponen masyarakat, siapaun ia, memperoleh amanat untuk memelihara kehidupan kemanusiaan, baik yang terkait dengan kandungan maupun ibu yang mengandung. Memelihara kandungan adalah amanah, dan pada saat yang sama menjaga kehidupan ibu tetap terhormat juga amanah. Membiarkan praktek-praktek aborsi terjadi merajalela adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pada saat yang sama menjerumuskan ibu-ibu pada pilihan aborsi yang tidak aman yang mengancam jiwa mereka, juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Kontroversi aborsi memang sangat menyulitkan, tidak sesederhana pandangan orang dengan polarisasi dua kutub pro-life dan pro-choice.

Saat ini, perumusan fiqh aborsi harus memihak kepada kehidupan kemanusiaan dengan makna yang sesungguhnya, bukan sebatas persoalan nyawa. Baik kehidupan janin saat di dalam kanduangan, saat kelahiran, paska kelahiran dan masa-masa pertumbuhan serta perekembangan berikutnya. Maupun kehidupan ibu yang mengandung, saat kehamilah, melahirkan, menyusui, merawat dan membesarkan. Ketika realitas sosial masih membebankan persoalan kandungan –apalagi dalam kasus kehamilan yang tidak diinginkan- terhadap perempuan semata; baik beban mental, fisik dan ekonomi; pada seluruh fase-fase kehamilan, kelahiran dan paska kelahiran, maka pusaran utama dalam perumusan fiqh aborsi adalah perempuan, dengan mendasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan riil kehidupan nyata yang dialami perempuan hamil. Dengan melihat realitas yang seperti ini, pemihakan terhadap perempuan menjadi sebuah keniscayaan dan sangat penting.

Kesimpulan

Dalam fiqh, pandangan ulama mengenai aborsi sangat beragam, karena itu sangat tidak bijaksana jika hanya ‘nada pelarangan’ yang didengung-dengungkan kepada msayarakat. Karena pada prakteknya larangan aborsi tidak memperkecil praktek aborsi, malah menempatkannya pada sudut yang gelap, tidak terjamah tangan-tangan medis dan membahayakan para perempuan. Larangan aborsi hanya bisa difatwakan ketika disertai dengan pendampingan dan penguatan. Misalnya perempuan pekerja yang mau aborsi karena kehamilannya akan memutuskannya dari pekerjaan dan membuatnya terlunta-lunta tanpa ada jaminan ekonomi untuk dirinya maupun anaknya, maka larangan baru bisa difatwakan jika bisa sekaligus pada saat yang sama juga memberikan jaminan pekerjaan, atau jaminan ekonomi selama kehamilan dan paska kehamilan.

Jika tidak, larangan aborsi sebenarnya hanya akan menyeret mereka kepada kondisi yang membahayakan dan menistakan. Pada saat yang sama aborsi juga tidak bisa diperkenankan begitu saja, karena menyangkut moralitas kehormatan kemanusiaan, baik bagi kandungan, ibu yang mengandung, keluarga maupun masyarakat luas.  Mungkin cukup tepat jika diusulkan adanya Lembaga Konsultasi Aborsi, yang menjadi media konseling bagi para perempuan –atau pasangan- yang ingin melakukan aborsi. Sebelum mereka menjatuhkan pilihan aborsi, dia bisa bisa memperoleh informasi yang tepat tentang moralitas kemanusiaan, kondisi fisik dan mental tubuhnya serta informasi pelayanan medis yang paling aman dan sehat. Lembaga ini paling tidak terdiri dari tiga komponen; ulama yang arif, psikolog yang bijak dan ahli medis yang profesional. Pada prinsipnya kehidupan manusia harus dihormati, dimuliakan dan dilestarikan.


*) Makalah ini pernah disampaikan dalam sebuah Workshop mengenai Kesehatan Reproduksi, tanggal 21 Agustus 2003, di Yogyakarta.