Nurjannah Ismail
Nurjannah Ismail lahir di Kruen Panjoe Bireun, pada tanggal 7 Juni 1964. Saat ini ia sebagai dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di UIN Ar-Raniry. Ia hadir di dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia sebagai peserta aktif dan membawa sekitar 20 perempuan dari Aceh untuk mengikuti KUPI.
Riwayat Hidup
Nurjannah menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah, di IAIN Ar-Raniry. Di kampus yang sama, pada tahun 1995, ia menyelesaikan pendidikan Masternya pada Jurusan Hukum Islam. Ia mendapatkan gelar doktor dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada tahun 2002.
Selain aktif di bidang akademik, Nurjannah juga aktif di pemerintahan, seperti menjadi Staf Ahli di Kantor Gubernur Aceh. Ia juga dikenal luas sebagai aktivis gender, dan menjadi narasumber di berbagai seminar nasional dan internasional, konferensi, diskusi, dan training yang berkaitan dengan isu gender dan hukum berkaitan dengan perempuan dan anak dalam Islam. Sementara untuk aktivitas organisasi, ia merupakan bagian dari Anggota Dewan Paripurna Ulama (DPU) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Anggota Majelis Pendidikan Daerah (MPD), dan Kepala Dinas Pendidikan Aceh dan Dewan Perempuan Aceh.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Pasca tsunami Aceh 2006, Nurjannah turut mensosialisasikan pemahaman gender dalam Islam bersama Husein Muhammad. Ia bekerja sama dengan LSM yang fokus pada isu gender dalam Islam. Ia sudah lama menggeluti isu gender dalam Islam. Ia mengawali fokus studinya itu dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an terkait posisi perempuan. Beberapa teman, menurut pengakuannya, telah memberi pengaruh besar terhadap cara pandangnya terhadap isu gender dalam Islam, seperti Ruhaini Dzuhayatin, Ema Marhumah, Inayah Rohmaniyah, Khoirudin Nasution, dan Alimatul Qibtiyah saat ia menempuh pendidikan doktoral di Yogyakarta. Ia semakin tertarik pada kajian gender dan Islam ketika menjadi bagian dari PSW UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2000-an.
Isu yang menjadi konsentrasinya adalah perempuan di dalam Al-Qur’an, poligami, dan kekerasan. Ia mengungkap bahwa banyak mufasir terjebak di dalam asurat an-Nisa’ ayat 1 tentang penciptaan. Lafal “min” dalam kalimat min nafsi wahidah, menurutnya, berarti min tab’iyah, berfungsi sebagai “bagian”. Dengan demikian, itu adalah min jinsiyah, yang menandakan Adam dan Hawa diciptakan dari bahan yang sama, bukan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ia menyadari topik perempuan dibahas di banyak ayat di dalam Al-Qur’an, namun an-Nisa’ merupakan surat yang paling banyak membahas mengenai perempuan. Nurjannah menamakan surat tersebut sebagai an-Nisa’ al-Kubra, sebagai tanda untuk membedakan surat lain yang juga menyajikan masalah perempuan, yakni surat ath-Thalaq, disebut juga dengan an-Nisa’ ash-Sughra.
Nurjannah menyebutkan ada banyak mufasir yang terpapar dongeng penciptaan perempuan, yang cukup terkemuka adalah Ibnu Katsir. Pengertian “penciptaan dari tulang rusuk yang bengkok” tidak bermakna literal, lanjutnya, tetapi menunjukkan arti karakter perempuan. Sehingga makna mudah bengkok mengharuskan laki-laki harus bijaksana dalam berbicara atau mengingatkan perempuan, bukan dengan kekerasan. Nurjannah menegaskan ulang bahwa tulang rusuk itu kiasan. Ia mengikuti saran Rifat Hasan tentang penolakannya terhadap hadits yang menyatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam karena bertentangan dengan Al-Qur’an, meskipun diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Berkaitan dengan derajat perempuan, Nurjannah menyebut tidak ada perbedaan dengan laki-laki. Ia merujuk Ensiklopedia Sirah yang disusun Afzalur Rahman bahwa persamaan laki-laki dan perempuan terletak di semua aspek kehidupan. Tetapi ada yang membedakan, yaitu peran masing-masing dalam kehidupan yang disebabkan oleh perbedaan fisiologis, biologi, dan prikologi antara laki-laki dan perempuan. Dari perbedaan itu, maka terjadilah perbedaan peran dan tanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga dan di dalam masyarakat.
Di tempat asalnya, Aceh, Nurjannah mengaku mendapat banyak tantangan dalam menyampaikan dakwah gender dalam Islam. Tidak jarang ia dianggap menentang ajaran Islam dan dituduh mengutak-atik Al-Qur’an. Yang menjadi masalah, masyarakat memiliki pemahaman yang sama terhadap surat an-Nisa’ ayat 34. Mereka memahami bahwa rijal dan nisa’ itu adalah jenis kelamin, padahal itu adalah gender atau peran. Kalau jenis kelamin itu merujuk ke dzakar dan untsa.
Dari ayat itu laki-laki dianggap memimpin perempuan dan mencari nafkah untuk mereka. Sedangkan Nurjannah selalu mencontohkan realitas di masyarakat bahwa sekarang ini banyak perempuan yang mencari nafkah dan mendapat penghasilan sendiri. Sayangnya, pemahaman konservatif masyarakat yang ngotot memegang an-Nisa ayat 34 dengan perspektif biologis, membuat perempuan tidak pernah diakui sebagai pemimpin. Dan Nurjannah, ia selalu mendapat rintangan dalam menyamaikan tafsir adil gender tersebut.
Kecerobohan penafsiran terhadap ayat tersebut dapat mengakibatkan tindak kekerasan dan penelantaran. Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan di dalam surat an-Nisa’ ayat 34, Nurjannah merujuk Muhammad Abduh, adalah kepemimpinan yang memiliki arti menjaga, melindungi, dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sedangkan kepemimpinan laki-laki yang dipahami masyarakat bertentangan dengan pemaknaan itu.
Kuatnya pandangan konservatif di masyarakat terhadap perempuan tidak hanya ditopang oleh Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34 saja. Kitab Uqudu al-Lujain fî al-Bayan Huqûqu az-Zaujaini, karya Muhammad Umar an-Nawawi, ulama dari Banten banyak menerangkan hak dan kewajiban suami istri di dalam keluarga. Kitab itu merupakan rujukan utama umat Muslim terkait fiqh perempuan. Namun, kitab tersebut memandang perempuan selalu berkiprah di wilayah domestik: dapur, sumur, dan kasur.
Langkah agar bisa mengubah realitas masyarakat adalah melalui tafsir terhadap sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Nurjannah menyampaikan, metode tafsir dengan beragam corak pendekatannya harus dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan zaman. Ketika itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan akan lahir metode tafsir dengan corak pendekatan dan paradigma baru. Ia menyebutkan beberapa contoh, yaitu tafsir kontekstual dengan pendekatan sosio-historis yang diperkenalkan oleh Fazlur Rahman dan tafsir dengan pendekatan hermeneutik yang dipraktikkan oleh Amina Wadud. Kemunculan metode baru dalam penafsiran inilah yang menurut Nurjannah akan mengenalkan keadilan gender dalam Islam.
Penafsiran yang adil gender perlu digalakkan, sebab, menurut Nurjannah, kondisi perempuan Muslim di negara-negara Islam tertunduk akibat penafsiran-penafsiran terhadap Al-Qur’an dan hadits yang tidak mempertimbangkan persoalan perempuan. Ia merujuk kepada Rifat Hasan, bahwa telah lama masyarakat mengonsumsi sumber-sumber Islam yang ditafsirkan oleh laki-laki, dengan tidak melaksanakan tugas mendefinisikan status ontologis, ideologis, sosiologis, dan eskatologis perempuan Muslim. Nurjannah menyarankan untuk segera mengagendakan reinterpretasi, revitalisasi, rekonstruksi, bahkan dekonstruksi terhadap pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an. Dan perempuan sebagai penafsir mempunyai potensi reflektif (Quwatu al-Ta’aluq) yang sama dengan laki-laki, hanya saja potensi itu tidak diberi ruang untuk dikembangkan.
Oleh sebab itu, perempuan perlu terus belajar, dan setidaknya memahami dalil-dalil yang sering digunakan oleh para dai konvensional yang bias gender. Langkah itu untuk antisipasi supaya perempuan tidak dibodohi dan tersubordinasi. Nurjannah mendorong perempuan untuk menyadari haknya, misalnya dengan belajar hadits secara kritis. Sebab menurutnya, dari situlah perempuan sulit diakui sebagai ulama. Bahkan di Aceh, tutur Nurjannah, perempuan masih sulit untuk keluar rumah, sekalipun dalam rangka mengikuti pengajian. Mereka harus mendapatkan izin suami atau ditemani mahramnya.
Ada persoalan di daerahnya yang membuat Nurjannah geram, yaitu tentang perceraian. Ia menyampaikan bahwa setiap perempuan mendapat kekerasan suami tidak mau cerai talak. Laki-laki, sebagian besar, menunggu untuk digugat cerai. Sebab ketika istri melakukan gugat cerai, di Aceh, ia tidak mendapat uang iddah dan diribetkan dengan biaya sidang yang harus dibayar perempuan. Kasus seperti itu sering terjadi di daerah Nurjannah, yang membuat perempuan mengalami kerugian berlapis.
Selain isu-isu kepemimpinan, penciptaan perempuan, dan kekerasan, Nurjannah juga mendalami isu poligami. Menurutnya, perilaku tersebut adalah sisa-sisa dari perbudakan dan laku diskriminatif terhadap perempuan. Di dalamnya tidak ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Poligami umum dilakukan oleh para raja, kepala suku, pangeran, dan para pemilik harta, di mana memperlakukan perempuan semata-mata sebagai pemuas nafsu seksual dan pengabdi untuk diri laki-laki.
Adapun an-Nisa ayat 3 yang umum digunakan untuk legitimasi poligami, ia tidak setuju dengan pernyataan at-Thabari yang mengatakan: “Jika kamu khawatir tidak bisa berlaku adil walau terhadap satu orang istri, maka janganlah kamu menikahinya. Tapi cukuplah kamu bersenang-senang dengan budak-budak yang kamu miliki ...” Ungkapan itu tetap diskriminatif terhadap perempuan. Sekalipun ia adalah budak, perasaannya perlu dipertimbangkan, terlebih kerelaannya untuk “dipermainkan”.
Nurjannah menegaskan, sekalipun budak, Islam tetap mengatur hak asasinya dan tidak boleh diperlakukan secara semena-mena. Misalnya, anak dari budak yang berhubungan dengan tuannya disebut sebagai umm al-walad, yang memiliki hak sebagaimana perempuan merdeka. Itu adalah bagian dari misi Islam membebaskan budak. Ia setuju dengan pernyataan Asgahr Ali, bahwa an-Nisa’ ayat 34 menegaskan keadilan, dan itu adalah konsep utama, bukan memperlakukan poligami sebagai hak istimewa bagi laki-laki.
Karya-Karya
Karya-karya Nurjannah antara lain: Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LkiS, 2003); “Syariat Islam dan Keadilan Gender” (First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, 2007); “Keadilan Islam dalam Syariat Islam” (Jurnal Perspektif Pemikiran Ulama Perempuan Aceh, 2008); Relasi Gender dalam Al-Qur’an, dalam Gender dan Islam (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga, 2009); “Rekonstruksi Tafsir Perempuan: Membangun Tafsir Berkeadilan Gender (Studi Kritis atas Pemikiran Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, dan Amina Wadud Muhshin tentang Perempuan dalam Islam)” (Jurnal Gender Equality, 2015); dan “Penafsiran Mufassir dan Feminis Muslim terhadap Ayat-Ayat Al-Quran yang Berwawasan Gender” (Jurnal Takamul, 2017).
Daftar Bacaan Lanjutan
- Nurjannah Ismail http://wisemuslimwomen.org/muslim-woman/nurjannah-ismail-2/
- Penafsiran Mufassir dan Feminis Muslim terhadap Ayat-Ayat Al-Quran yang Berwawasan Gender, Jurnal Takamul vol. 6 no. 2, 2017.
- Rekonstruksi Tafsir Perempuan: Membangun Tafsir Berkeadilan Gender (Studi Kritis atas Pemikiran Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, dan Amina Wadud Muhshin tentang Perempuan dalam Islam), Jurnal Gender Equality vol. 1 no. 1, 2015.
Penulis | : | Miftahul Huda |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |