Ema Marhumah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Ema Marhumah
Ema Marhumah.jpg
Tempat, Tgl. LahirBangkalan, 12 Maret 1962
Aktivitas Utama
  • Dosen dan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Karya Utama
  • Konstruksi Gender di Pesantren (Yogyakarta: LkiS, 2010)

Ema Marhumah lahir di Bangkalan, pada tanggal 12 Maret 1962. Ia mengawali pendidikan di Pesantren Miftahul Ulum Sidogiri, Pasuruan, pada tahun 1977. Saat ini ia menjabat sebagai Dosen dan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (2020-2024).

Sebelum penyelenggaraan KUPI, Ema sudah aktif dalam diskusi-diskusi keulamaan perempuan, dan isu gender telah menjadi fokusnya sejak lama. Menurutnya, tokoh-tokoh ulama perempuan yang berada di perguruan tinggi sejatinya telah memiliki concern terhadap isu gender dan turut menyuarakannya, meski saat itu KUPI belum hadir. Oleh karena itu, saat KUPI hadir, ia dan para tokoh dari perguruan tinggi langsung mendukung dan bergerak mengorganisasi para ahli di perguruan tinggi agar telibat di dalam KUPI. Keterlibatannya dalam mempromosikan keulamaan perempuan tidak berhenti sampai saat KUPI saja. Paska KUPI, Ema tetap menyuarakannya lewat berbagai forum diskusi atau ketika menjadi narasumber di berbagai forum.

Riwayat Hidup

Ema mengenyam pendidikan pesantren sejak tahun 1977 di Pesantren Miftahul Ulum Sidogiri, Pasuruan. Kemudian melanjutkan pendidikan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pondok Pesantren Cukir, Tebuireng, Jombang, pada tahun 1982. Setelah itu, ia menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Sunan Kalijaga Jurusan Pendidikan Agama Islam pada tahun 1988 dan menyelesaikan S2 di IKIP Negeri Yogyakarta pada tahun 2002. Dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ia mendapatkan gelar doktor pada tahun 2009 dan mendapatkan gelar sebagai Guru Besar di universitas yang sama pada tahun 2019.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Ema telah memberi kontribusi terhadap keulamaan perempuan, bukan hanya melalui karya akademis, tapi juga aktivitas sosial kemasyarakatan bersama jaringan. Aktivitas tersebut antara lain, kerjasama dengan PTKIN se-Indonesia dalam menguatkan sensitifitas gender di PTKIN pada tahun 2007-2011, yang merupakan hasil kerjasama dengan BADILAG MA dalam menguatkan Hakim Agama di Indonesia; menjadi Ketua Komisi MUI Provinsi DIY (Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak) pada tahun 2006; sebagai Dewan Pendiri Yayasan Kesjahteraan Fatayat Yogyakarta pada tahun 1995.

Jalur aktivisme juga ia tempuh untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan. Pada tahun 1988, Ema menjadi Ketua PMII Putri Cabang Yogyakarta yang menjadi saluran perjuangannya. Ia lalu menjadi Direktur Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2007-2011. Jalur aktivismenya itu ia gunakan untuk mensosialisasikan kesetaraan gender dan mengkonter pandangan-pandangan yang bias gender.

Dalam pidato pengukuhan Guru Besar-nya, Ema menyampaikan bahwa ia telah menggeluti isu gender dan perkawinan anak sejak mengenyam pendidikan pesantren pada tahun 1970-an. Ia sering menanyakan secara kritis mengenai sulitnya perempuan mendapatkan akses keilmuan yang setara dengan laki-laki. Tidak kepada terhadap keluarganya sendiri, yang termasuk keluarga pesantren, yang lebih mengutamakan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pada puncaknya, hatinya bergolak dan merasa ada yang tidak beres ketika kakak perempuannya dinikahkan saat masih SD pada tahun 1967.

Berangkat dari realitas tersebut, Ema menjadi satu-satunya dari sembilan bersaudara yang melayangkan protes terhadap perjodohan dan nikah muda. Selepas protes tersebut, ia memilih “keluar” dari rumah dan memilih kuliah di Yogyakarta untuk menghindari pernikahan ketika tamat Madrasah Aliyah. Tentu dengan seizin orang tua yang tidak mudah mendapatkannya.

Lulus S1, orang tua menawarkan dan membujuk Ema agar mau menikah dan menjadi “nyai kampung”, namun ia tolak. Ia memilih menjadi tenaga pendidik di almamaternya. Tawaran tersebut selalu bergolak di pikiran Marhumah. Menurutnya, ada yang salah dengan cara berpikir masyarakat yang sudah dikonstruksi oleh interpretasi agama yang bias gender, misoginis, dan patriarkis. Sebagai tenaga pendidik dan memiliki latar belakang keilmuan Islam, Ema merasa tergerak untuk mensosialisasikan hadits-hadits misoginis, khususnya di kalangan pesantren. Ia memilih pesantren sebagai medan sosialisasi karena di sana tempat tradisi Islam bersirkulasi namun dengan tafsir yang misoginis.

Sangat disayangkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan menjadi gerbang awal terjadinya transformasi nilai-nilai Islam yang misoginis yang terkandung di dalam hadits. Marhumah menandai penyebabnya, yaitu bahan ajar tentang hadits yang digunakan di setiap sekolah dan pesantren masih bersifat ideologis dan dogmatis. Hal itu semakin suram ketika penyampaiannya berlangsung satu arah, terutama oleh figur laki-laki yang dianggap memiliki otoritas keagamaan.

Adapun guru-guru perempuan juga mengajarkan, menurut Ema, tapi tidak bisa lepas dari hadits misoginis, dan mereka akan terus mereproduksinya. Sebab, setiap orang akan dicap sebagai “musuh Islam” ketika keluar dari ajaran mainstream tersebut. akhirnya, mau tidak mau, guru perempuan terdesak untuk mengajarkan ajaran yang bias gender. Selain itu, sensitifitas gender mereka juga kurang. Sedangkan murid akan menjadi penerima pasif dan menginternalisasikan perspektif bias gender yang berkelindan di sekitar mereka. Oleh karenanya, Marhumah memilih bidang keilmuan hadits sebagai bidang yang ia tekuni dan teliti. Baginya, hadits merupakan salah satu sumber agama yang mengalami interpretasi yang misoginis-patriarkis dan bias gender yang cukup kencang.

Concern-nya terhadap hadits misoginis mengantarkannya pada diskursus keulamaan perempuan yang belum menjadi hal lazim di masyarakat. Menurut Ema, diskursus ulama perempuan tidak muncul dengan tiba-tiba. Akan tetapi, diskursus itu adalah buah perjuangan panjang dari berbagai elemen, seperti LSM dan Pusat Studi Gender serta individu-individu penggeraknya yang kemudian ide-ide mereka terakumulasi di dalam KUPI. Demikian juga keterlibatan Ema dalam diskursus keulamaan perempuan bukanlah hal muncul ketika KUPI diselenggarakan. Jauh sebelum itu, Ema telah memulai proses panjang untuk sampai pada diskursus keulamaan perempuan.

Di masyarakat yang tidak terlalu menguntungkan ini, kehadiran perempuan sebagai ulama sangat diperlukan. Jabatan Dekan mendorong Ema untuk mempresentasikan kepemimpinan perempuan. Ia menerapkan manajemen birokrasi berperspektif feminis yang sangat penting dilakukan agar bisa meredam konflik dan menerapkan manajemen yang kolaboratif. Baginya, tidak ada orang yang “tidak disukai” kemudian disingkirkan dari birokrasi seperti yang dilakukan dalam kepemimpinan “laki-laki” (maskulin). Ia berusaha merangkul “lawan” agar bisa menjadi teman dalam satu tujuan.

Keulamaan perempuan dalam kacamatanya sangat terkait dengan aktivitasnya saat ini. Maka dalam pandangannya, perempuan jangan hanya sebagai penerima manfaat, tapi juga harus terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Baginya, itu adalah ideologi dan harus diterapkan di mana pun dan kapan pun. Ketika ia diberi kesempatan untuk menjadi Dekan, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan terus memperjuangkan ideologi tersebut, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memimpin. Kesempatan itu tidak bisa direduksi berdasarkan jenis kelamin.

Menurut Ema, belum adanya kesamaan persepsi tentang pentingnya kesetaraan gender menjadi tantangan berat dan penyebab kenapa perempuan belum bisa diterima sebagai ulama. Perbaikannya pun cenderung lebih sulit di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Barat. Negara-negara Barat cukup diuntungkan dengan kondisi kultur dan struktur yang mengafirmasi perempuan memiliki kesempatan yang sama. Berbeda dengan Indonesia, meski dari segi struktur sudah ada afirmasi. Namun dari segi kultur, unsur patriarki masih cukup kuat. Ema mengutip pengalaman pribadinya bahwa posisi perempuan sebagai “penyerah manten” masih belum bisa diterima oleh kultur walaupun status pendidikannya cukup tinggi. Kultur mengamanatkan posisi tersebut diperankan oleh laki-laki yang memiliki status kiai, tanpa menimbang tingkat pendidikan. Kalaupun tetap memaksakan perempuan memerankannya, sanksi sosial sudah siap menanti untuk menghukum perempuan “pelanggar” tersebut.

Ema meyakini bahwa politik dalam studi feminis berarti sebuah perebutan, dan perempuan bertugas merebut kultur dalam pernikahan tersebut. Tetapi negosiasi juga dibutuhkan, mempertimbangkan masa depan kehidupan keluarga yang tenang tanpa bayang-bayang sanksi sosial. Tidak serta-merta menabrak kultur di masyarakat. Kendatipun ulama laki-laki yang berperspektif gender bisa merebut kultur tersebut, namun ia tetap tidak merasakan hambatan akses seperti yang dialami perempuan. Ada kesenjangan pengalaman antara ulama laki-laki dan ulama perempuan.

Penghargaan dan Prestasi

Ema menerima penghargaan, salah satunya adalah Penghargaan Nobel Perdamaian untuk Perempuan diberikan kepadanya pada tahun 2018.

Karya-Karya

Beberapa karya tulis yang dihasilkan oleh Ema antara lain:

  1. “Perempuan single parent (dampak psikologis dengan adanya COVID 19 Daerah istimewa Yogyakarta)”, 2021.
  2. “Pemikiran Progresif di PTKIN Indonesia (Study tentang pola pemikiran progresif Dosen Hadits pada PTKIN)”, 2020.
  3. “The roots of gender bias: misogynist hadith in pesantren”, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol.5. no 2 (2015), pp.283-304.
  4. “Perceraian dalam Konsep Islam (studi atas Al-Qur’an dan hadits tentang konsep perceraian dan implikasinya terhadap perempuan dan anak)”, Jurnal UKDW, 2015.
  5. “Potential for Women Leaders of Islamic Boarding Schools in Promoting Gender-Inculive Edcation.” Dalam Muslim Christian Relations Observed (Comparative Studies from Indonesia and the Netherlands), Volker Kuster (eds) Evangelische verlagsanstalt Gmb- Lipzig, 2014.
  6. “PUG di MI sebagai Keharusan Zaman”. Dalam Antologi Pendidikan Anak Program PGMI Pasca Sarjana UIN SUKA Yogyakarta, 2014..
  7. “Jilbab dalam Hadits: Menelusuri Makna Profetik Hadits”, Jurnal MUSAWA, Vol 13 No 1, Januari 2014.
  8. Ulumul Hadits; Konsep, Urgens, Objek Kajian, Metode dan Contoh. Penerbit SUKA Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Maret, 2014.
  9. “Women and Islam in Boarding School in Indonesia”, (OSLO Coalition 2013).
  10. Kontektualisasi Hadits dalam Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Penerbit SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2013.
  11. “Urgensi Pendidikan Multikultural bagi Anak Usia Dini”. Dalam Antologi Pendidikan Anak Program PGMI Pasca Sarjana UIN SUKA Yogyakarta, 2013.
  12. “Kesaksian Perempuan dalam Hadits Nabi” dalam Menuju Hukum Keluarga Progresif, Responsif dan Akomodatif terhadap Anak. Yogyakarta: Penerbit SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2013.
  13. “Pemikiran A Wahid Hasyim dan Implikasinya terhadap Kesetaraan Gender”. Dalam KH Wahid Hasyim, Sejarah dan Pemikirannya, Mengenang 100 tahun KH Wahid Hasyim. Penerbit Tebuireng Press 2011.
  14. Konstruksi Gender di Pesantren (LKiS, 2010).

Daftar Bacaan Lanjutan

  1. Ulama perempuan, Dalam Analisis Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta 22 April 2017
  2. Hadits Misoginis: Resepsi, Negosiasi, dan Pergolakan Pemikiran Antara Tradisi dan Modernitas di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, tahun 2019.
  3. Pernikahan Dini dan AKI, Kolom ANALISIS Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta 8 Juli 2012
  4. MK dan Usia Perkawinan, Dalam ANALISIS Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta 19 Juni 2015


Penulis : Miftahul Huda
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir