Musyawarah Keagamaan tentang Perlindungan Perempuan dari Pemaksaan Perkawinan
Acara Musyawarah Keagamaan: Tentang Perlindungan Perempuan dari Pemaksaan Perkawinan diawali dengan pemaparan draft secara umum dengan memasukan hasil pra musyawarah keagamaan pada 24 November. Acara ini dipimpin oleh Nurun Sariyah selaku pemimpin sidang, Arifah Millati sebagai pencatatan dan Khotimatul Husna presentasi hasil draft fatwa. Terdapat dua mushahih atau ahli yang hadir yaitu Kyai Imam Nahei’I dan Nyai Umdah El Baroroh. Nurun selaku pimpinan sidang memberikan peraturan-peraturan bagi peserta, salah satunya pimpinan sidang berhak meminta berhenti pada peserta yang sudah tidak fokus pada persoalan yang dibahas.
Nurun juga mengingatkan bahwa ada tiga persoalan yang dibahas dalam musyawarah keagamaan ini yaitu (1) apa hukum melakukan perlindungan perempuan dari bahaya perkawinan anak. (2) apa hukum meminimalisir dampak buruk yang dialami perempuan korban pemaksaan perkawinan. (3) apa hukum membuat peraturan perundangan yang memberikan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan. Kemudian memaparkan definisi pemaksaan perkawinan baik menurut Islam maupun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam hukum Islam definisi perkawinan paksa yang diambil dari pendapat para ulama yaitu pemaksaan perkawinan adalah pemaksaan seseorang terhadap perkawinan perempuan di bawah kuasanya untuk melakukan perkawinan yang tidak dia inginkan, baik dengan cara terang-terangan mendesak korban untuk patuh disertai ancaman, maupun secara manipulatif. Dalam UU TPKS pasal 10 ayat 1 yang berbunyi “setiap orang melawan hukum memaksakan seseorang di bawah kuasanya atau orang lain untuk menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya, atau dengan orang lain dipidana karena pemaksaan perkawinan dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, dan atau pidana denda paling banyak 200 juta rupiah”. Pasal 2 termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, A. perkawinan anak, B. Pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya atau C. pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Nurun kembali mengingatkan terkait metodologi dan struktur fatwa KUPI, sehingga bisa menjadi perhatian bagi peserta pada poin mana mereka akan memberikan masukan. Draft hasil musyawarah sudah dibagi ke semua peserta dan peserta bisa memberi masukan. Berikut beberapa masukan peserta:
- Tashawwur atau deskripsi dari mahasiswa Bandung alumni PP. Kebon Jambu Cirebon. Dia memaparkan temuannya yang mengatakan bahwa perkawinan anak 90% terjadi dispensasi nikah, dispensasi nikah adalah melakukan pernikahan yang disetujui oleh negara atau pengadilan agama. Bahkan ditemukan hakim ketika ingin memberikan dispensasi nikah hanya melontarkan satu pertanyaan seperti “mengapa bapak ingin meminta dispensasi nikah untuk putri bapak” dengan jawaban “takut anaknya berzina” itu sudah cukup menjadi dasar hakim memberikan dispensasi nikah.
- Pada tazkiyah/rekomendasi. Merekomendasikan untuk melakukan pembatalan dan juga pencegahan pemaksaan perkawinan apabila terjadi pemaksaan. Dengan begitu harus membuat regulasi untuk mencegah pemaksaan perkawinan terhadap perempuan.
- Adanya peran tokoh agama secara massif melakukan manipulatif mendorong terjadinya pemaksaan perkawinan
- Dispensasi perkawinan yang sangat mudah diberikan oleh hakim tanpa adanya rekomendasi dari konselor. Data di Jateng dispensasi perkawinan naik, dan anak-anak tersebut adalah korban kekerasan seksual. Kedepan penting adanya sinergi pengadilan dengan lembaga layanan untuk melihat psikologi dan keinginan korban. Karena dari 90% yang melakukan konseling mereka tidak mau menikah, tapi karena nama baik keluarga dan lainnya akhirnya mereka dinikahkan
- Apabila perkawinan paksa itu sudah terjadi yang harus dilakukan adalah melakukan advokasi dan pendampingan, melakukan pembatalan perkawinan yang hal ini hanya bisa dilakukan oleh yang bersangkutan. Pembatalan bisa dilakukan apabila jangka waktunya 6 bulan.
- Dalil dari kitab al fiqh islami waadillatu juz 9 bab nikah halaman 52, di situ disebutkan syarturrobi’ arrido walikhtiyar minal angki daini auadamul ikroh, orang yang melakukan akad itu harus rela, ridho dan tidak ada paksaan, ini pendapat jumhur dari tiga madzhab, yaitu hanafiyah. Artinya madzhab syafi'iyah, hambali dan malikiyah sepakat dengan pernyataan ini. Dalam kitab ini juga disebutkan bahwa tidak sah pernikahan yang dilakukan dengan unsur paksaan. Dengan begitu jawaban dari pernyataan nomor satu adalah wajib memberikan perlindungan, karena akadnya tidak sah.
- Hukum meminimalisir terjadinya pemaksaan perkawinan juga hukumnya wajib karena berdasarkan maqashid syariah dengan melihat dampak yang ditimbulkan dari pemaksaan perkawinan tersebut. karena dampaknya banyak sekali, mulai dari dampak sosial dan yang lainnya.
- Masukan untuk tashawwur/ deskripsi masalah. Ada satu kasus pemaksaan pernikahan, tetapi pemaksaan bukan dari orang tua pada anaknya, justru ini adalah pernikahan yang dipaksakan oleh suami kepada istrinya. Jadi, istrinya sudah ditalak tiga oleh istrinya, tapi suaminya memaksa ingin kembali menikah dengan istrinya. Dengan begitu suaminya memaksa istrinya untuk nikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain, untuk kemudian nanti cerai dan bisa menikah lagi dengan dia. Namun, dalam pernikahan dengan muhallil ini, istrinya hamil dan melahirkan anak, sehingga mereka tidak mau bercerai. Tapi masalahnya perempuan ini masih tinggal di rumah suaminya yang pertama, karena statusnya belum cerai secara negara. Selain itu status anak ini kan anak kandung muhallil, tapi di akte kelahiran dia tercatat sebagai anak kandung dari laki-laki yang pertama. Kasus ini terjadi di Kabupaten Banjar. Pemaksaan pernikahan perempuan dengan muhallil oleh suami pertamanya itu banyak terjadi. [] (ZA)
Baca juga Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia Ke-2. Selengkapnya untuk mendapatkan dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Musyawarah Keagamaan tentang Perlindungan Perempuan dari Pemaksaan Perkawinan.