Saparinah Sadli
Saparinah Sadli | |
---|---|
Tempat, Tgl. Lahir | Tegalsari, 24 Agustus 1926 |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Saparinah Sadli, biasa dipanggil Ibu Sap, lahir di Tegalsari, Jawa Tengah pada tanggal 24 Agustus 1926. Ia adalah aktivis perempuan senior yang mendirikan dan memimpin Program Studi Kajian Wanita atau Kajian Gender di UI. Ia juga merupakan Ketua Komnas Perempuan pertama (1998-2004), dan banyak berkontribusi untuk kemanusiaan, seperti menjadi Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (1996-2000) dan masuk dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang fokus pada kekerasan seksual.
Penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang gerakan perempuan yang dilakukan oleh aktivis senior seperti Ibu Sap. Ia termasuk tokoh yang membidani lahirnya Komnas Perempuan, satu lembaga yang kemudian menginisiasi lahirnya Alimat, salah satu organisasi pelaksana KUPI. Ibu Sap ikut hadir penuh waktu sebagai pengamat dalam tiga hari kongres bersama tokoh senior lainnya, Ibu Sjamsiyah Ahmad.
Pendidikan
Ibu Sap mengawali pendidikan formalnya di Europeesche Lagere School (ELS), Purwokerto (1933-1940). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke SMP di Semarang dan Yogyakarta (1942-1945). Kemudian ia melanjutkan ke SMA Sekolah Asisten Apoteker (AA) di Yogyakarta.
Ibu Sap menjadi Sarjana Muda pada tahun 1953 di Fakultas Farmasi, UGM. Kemudian melanjutkan Program Pascasarjana Psikologi di Universitas Indonesia tahun 1961 dan Doktor Psikologi UI tahun 1976. Ia dikukuhkan sebagai Guru Besar oleh UI pasca empat tahun meraih gelar Doktor.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Ibu Sap merupakan salah satu sosok di balik berdirinya program Kajian Wanita di Unversitas Indonesia (dan universitas-universitas lain). Meski kental dengan nuansa “Barat”, ibu Sap menegaskan bahwa Kajian Wanita tidak untuk diasosiasikan sebagai sarjana feminis atau sebagai perpanjangan peran dari sarjana feminis Barat yang mengenyam program women’s studies.
Menurut pengalamannya, bukan hal mudah memasukkan Kajian Wanita (women’s studies) ke dunia akademis Indonesia. Pada mulanya ada dosen perempuan dari UGM, Universitas Erlangga, dan IAIN Sultan Hasanuddin yang mengusulkan kepada masing-masing universitasnya untuk mendirikan program Kajian Wanita pada program Pascasarjana. Namun, semua pemimpin universitas, yang kesemuanya adalah laki-laki, mengkritisi dan menaruh skeptis terhadap usulan tersebut. Pada akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, tahun 2000 berdirilah program Kajian Wanita yang kedua di Indonesia, di IAIN Sultan Hasanuddin Makasar. Sementara di UI, Ibu Sap ditunjuk oleh rektor untuk mendirikan program Kajian Wanita.
Ada banyak stereotip terhadap istilah-istilah di dalam Kajian Wanita: gender, feminis, feminisme; yang menghambat kelancaran program Kajian Wanita. Masyarakat Indonesia menganggap term-term tersebut sebagai budaya Barat, sementara istilah “feminisme” sendiri dipahami sebagai anti-laki-laki. Padahal, menurut Ibu Sap, keadilan gender, yang menjadi spirit di dalam Kajian Wanita, sudah tertuang dalam pasal 27 UUD 1945.
Setelah program Kajian Wanita tersebut disetujui, ada beberapa kendala akademis dalam pelaksanaannya, antara lain, pertama, tidak adanya program S1 Kajian Wanita sebagai jembatan menuju program S2; kedua, tidak adanya sarjana (laki-laki atau perempuan) yang berpengalaman mengajar program Kajian Wanita di Pascasarjana; ketiga, oleh sebab itu, harus menghadirkan dosen profesional dengan latar belakang pendidikan di bidang Kajian Wanita. Satu per satu masalah itu terselesaikan meski tidak dalam waktu yang singkat. Dan saat ini beberapa universitas telah memasukkan program Kajian Wanita di dalamnya.
Banyak mahasiswa yang pada waktu itu sulit menerima feminisme dan menganggap sifat feminin sebagai produk alamiah dan kehendak Tuhan, alih-alih sebagai konstruksi sosial. Menurut Ibu Sap, feminisme itu digunakan untuk menemukan titik penindasan terhadap perempuan di dunia nyata. Akan tetapi, pemahaman itu tidak serta-merta mudah untuk dijelaskan kepada mahasiswa pada waktu itu. Di lain sisi, baginya, itu adalah cerminan pendidikan Indonesia yang masih belum memberlakukan critical thinking dan menumbuhkan rasa menghargai kepada mereka yang memiliki pendapat berbeda.
Ibu Sap berusaha memasukkan pengalaman perempuan yang beragam, seperti perbedaan status sosial, agama, dan etnis. Dan pangkalnya, Kajian Wanita menjadi sarana penambahan wawasan dan pengembangan konsep feminisme di Indonesia dalam konteks internasional. Pasalnya, ia sempat memiliki kualifikasi awal tentang siapa/apa yang disebut feminisme dalam Kajian Wanita. Yaitu, seorang yang menikah, kelas menengah keluarga Jawa dengan latar pendidikan Belanda dan Indonesia, serta dipengaruhi nilai-nilai Jawa. Latar belakang Ibu Sap sebagai psikolog yang menempuh pendidikan di Amerika dan berkenalan dengan sarjana feminis, membuat pandangannya terbentuk demikian.
Selain itu, latar belakang pendidikan tingkat SMA-nya juga turut memengaruhi. Adalah sekolah van Deventer, sekolah khusus perempuan pribumi hasil dari menyerap aspirasi Kartini untuk pendidikan perempuan asli Indonesia (inheemsche). Selama menempuh pendidikan di sekolah tersebut, Ibu Sap merasakan aturan yang sangat ketat, misalnya perempuan harus mengenakan pakaian Jawa. Namun, ia tetap merasa beruntung karena hanya menempuh pendidikan itu selama satu tahun, sebelum akhirnya Jepang menginvasi Indonesia dan menutup seluruh sekolah Belanda. Meskipun singkat, periode itu dinilainya cukup memengaruhi pandangannya terhadap feminisme Indonesia.
Mengenai isu perdamaian, Ibu Sap juga menempatkan perempuan sebagai pionir dalam pembangunan perdamaian (peacebuilding). Hal pertama yang harus dilakukan agar perdamaian tercipta adalah menghentikan kekerasan. Bagi Ibu Sap, yang telah menyusuri daerah-daerah konflik, seperti Aceh, Timor Leste, Papua, tidak adanya perang senjata tidak bisa diartikan keadaan damai. Keadaan seperti itu adalah cara pandang laki-laki, yang selalu penuh dengan selubung kekerasan. Tanda damai paling esensial, menurut ibu Sap, adalah dengan mengurangi kekerasan struktural yang berasal dari intitusi sosial dan ekonomi, tradisi, norma sosial, atau kebijakan ekonomi yang menyebabkan tindak kekerasan dalam kehidupan dan mereduksi kemanusiaan.
Ibu Sap menekankan, damai yang harus diwujudkan adalah damai positif, yaitu meningkatkan sumber daya manusia dan keamanan manusia. Di dalamnya terdapat HAM, pemerintahan yang baik, adanya akses pendidikan dan kesehatan, dan adanya kepastian setiap individu mendapat kesempatan dan pilihan yang sama untuk mengembangkan potensi masing-masing. Ibu Sap mencontohkan salah satu damai positif, yaitu terbangunnya relasi yang seimbang, aman, dan saling percaya antara laki-laki dan perempuan. Sebab, dengan absennya unsur-unsur itu, perempuan akan hidup di bawah ketakutan dan ancaman.
Rasa saling percaya kepada “liyan” harus terbangun. Sebaliknya, rasa tidak saling percaya adalah satu unsur penghancur keadaan damai positif. Menurut Ibu Sap, perempuan sudah sejak lama disalahkan dalam berelasi hanya karena ia terlahir sebagai perempuan, dan kepercayaan terhadapnya berkurang—bahkan nihil—karena kondisi biologisnya. Ibu Sap menambahkan, setiap orang, khususnya perempuan, berhak untuk hidup damai (bebas dari ketakutan adalah salah satu unsurnya).
Menurut Ibu Sap, ada perbedaan pandangan antara laki-laki dan perempuan dalam melihat konflik “perang senjata”. Laki-laki melihatnya sebagai sesuatu yang harus dimenangkan, sedangkan perempuan memandangnya sebagai bentuk kebengisan. Ketika itu terjadi, perempuan paling dirugikan; ia terancam kehilangan anak dan suami. Selain itu, tambah Ibu Sap, konflik mewariskan perpecahan di masyarakat Indonesia yang multi-etnis. Namun ia menggarisbawahi, bahwa tidak sedikit penyintas perempuan yang bangkit paska konflik dan memainkan peran penting di dalam menciptakan kedamaian dan rekonstruksi keluarga dan masyarakat mereka.
Meski perempuan mampu berperan di dalamnya, bagi Ibu Sap, pemerintah harus menunjukkan kepada pembela HAM, yaitu masyarakat sipil bahwa ia serius membawa pelanggar HAM dari tubuh negara ke meja pengadilan. Namun, Ibu Sap meragukan itu. Harapan itu akan terus menjadi mimpi. Sebab, kedamaian positif sulit terwujud di negara yang memiliki sistem penegakan hukum yang lemah. Bahkan dalam menegakkan keadilan, pembela HAM kerap mendapat intimidasi dari sesama masyarakat: belum terjaminnya keamanan saksi dan korban.
Berdasarkan aktivitas dan penelusuran Ibu Sap, perempuan tetap getol dalam menciptakan damai positif, meski pemerintah mengabaikannya. Beberapa jalan yang ditempuh adalah melalui kongres, menciptakan institusi baru, dan menampilkan aktivitas penting di lapangan.
Ibu Sap mencontohkan hal-hal itu, seperti di Aceh: perempuan yang menyaksikan langsung kekerasan HAM mulai mendokumentasikan insiden tersebut; perempuan mengambil tanggung jawab itu sebab curiga kepada laki-laki karena berpotensi menjadi pemberontak. Contoh lainnya adalah perempuan di Maluku, Aceh, dan Papua membangun jaringan untuk berbagi informasi dan relasi yang terhubung dari desa, kota, hingga pusat. Jaringan tersebut menyampaikan pesan dukungan dan strategi pendampingan yang saling terkoneksi.
Gambaran peran perempuan di dalam membangun damai positif tersebut digarisbawahi oleh Ibu Sap sebagai bukti bahwa perempuan bukan hanya berperan di ruang domestik dan secara alami menjadi feminin. Sebaliknya, perempuan Indonesia memiliki peran penting dalam menciptakan kedamaian. Mereka bisa melewati batas-batas antara ruang domestik dan ruang publik. Perempuan memiliki skill memediasi di tengah konflik untuk menciptakan kedamaian, baik di tingkat lokal ataupun nasional. Namun, Ibu Sap menyayangkan, skill tersebut kerap diabaikan dan tidak diakui di ruang publik.
Sekali lagi, Ibu Sap menegaskan bahwa diambilnya sudut pandang perempuan di dalam konflik bukan untuk menyaingi laki-laki atau mereka lebih baik dari laki-laki. Melainkan, perempuan bisa membawa tawaran yang berbeda di dalam meja perundingan dan menawarkan kemungkinan menciptakan kebijakan untuk mencapai kedamaian abadi.
Penghargaan atau Prestasi
Beberapa penghargaan yang pernah diterima Ibu Sap antara lain:
- Cendikiawan Berdedikasi Harian Kompas, 2009.
- The Asia Special Lifetime Achivement Award, 2008
- Anugerah Hamengkubuwono IX, UGM, 2004
- Nabil Award, 2011
- Roosseno Award, 2017
Karya-Karya
Karya tulis Ibu Sap antara lain:
- Disertasi, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, 1976;
- Berbeda tetapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, 2010;
- Feminism in Indonesia in an International Context, book chapter, 2002;
- Importing/applying Western Feminism: A Women’s Studies University Linkage Project, Women’s Studies International Forum, 1999.
- Bersama M Porter (Jurnal Elsevier); Indonesian Girls and Young Women Amidst Change, Canadian Woman Studies, 1995;
- Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut, Publikasi Unusia, 2021.
Daftar Bacaan Lanjutan
- Saparinah Sadli, Women adn Peacebuilding in a Multicultural Society, International Association for Cross-Cultural Psycology, 2004.
- Saparinah Sadli, Feminism in Indonesia in an International Context, dalam Women in Indonesia (Cambridge: ISEAS Publishing, 2002).
- Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2010)
- Ema Marhumah, Book Revew: Perempuan Indonesia dalam Memahami Hak dan Kewajibannya dalam Keluarga, Jurnal Musawa, vol. 10 no. 2, 2011.
Penulis | : | Miftahul Huda |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |