KUPI: Ruang Perjumpaan Yang Tulus Dan Majemuk
Para penggagas KUPI tak pernah lengah menegaskan bahwa kongres yang unik ini dicanangkan sebagai sebuah ruang perjumpaan dan bukan sebagai ajang pertarungan kuasa sebagaimana kongres-kongres pada umumnya. Sungguh suatu niat yang dijalankan secara tulus dan pilihan yang diambil secara sadar di tengah suasana kehidupan berbangsa yang tercabik-cabik oleh ambisi untuk berkuasa. Bukan hal yang mudah untuk menciptakan sebuah ruang dimana berbagai pihak dengan asal-usul yang beragam bisa merasa nyaman untuk berkontribusi dan bertumbuh bersama. Prinsip keterbukaan terhadap pendapat yang berbeda dan rasa persaudaraan antar semua pihak memberi pijakan yang kokoh bagi keberlangsungan ruang perjumpaan ini. Sedemikian kuatnya daya panggil KUPI sebagai gagasan dan sebagai proses sehingga dapat memunculkan semangat kerelawanan yang luar biasa dari mana-mana. Menyimak hasil akhir KUPI, saya anggap KUPI adalah sebuah anugerah kebersamaan dan ketulusan yang amat berharga.
Ruang perjumpaan KUPI yang secara fisik terjadi di Pondok Pesantren Kebon Jambu pada tanggal 25-27 April 2017 secara sosial merupakan buah dari rangkaian perjumpaan lain yang telah dimulai bahkan sejak sekitar 15 tahun yang lalu. KUPI tidak mungkin terjadi tanpa upaya Rahima yang tanpa henti membangun ruang pemberdayaan bagi ulama perempuan di berbagai pelosok negeri; tanpa karya-karya Fahmina yang begitu mengakar dalam kehidupan sosial-politik Cirebon dan mencerahkan bagi diskursus keagamaan di Indonesia; dan, tanpa semangat Alimat dalam membangun ruang dialog dan kebersamaan yang melintasi batas-batas keorganisasian. KUPI tidak akan bisa memberi inspirasi bagi perempuan di manca negara tanpa ikatan Alimat dengan ‘Musawah: Gerakan Sedunia untuk Kesetaraan dan Keadilan dalam Keluarga Muslim’, dan tanpa peran aktif AMAN Indonesia yang tekun membangun jejaring internasionalnya. Saya juga ikut bersaksi bahwa kekhasan ruang perjumpaan KUPI tidak akan tercapai tanpa dialog yang dinamis dan saling mencerahkan antara komunitas ulama dan aktivis perempuan dalam berbagai konteks.
Walaupun keberadaan ulama perempuan adalah sebuah keniscayaan sejarah, sebagaimana dinyatakan oleh Badriyah Fayumi pada pembukaan KUPI, deklarasi ulama perempuan Indonesia, kekhasan cara pandangnya, serta pengakuan publik atas keabsahannya saat di Cirebon, hanya mungkin terjadi sebagai hasil dari perjuangan panjang yang melibatkan beragam individu dan organisasi yang bekerja di ranah yang berbeda-beda tapi saling melengkapi. KUPI adalah karya kolektif untuk dirawat bersama agar sungguh-sungguh membawa kebaikan bagi kehidupan keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan.
30 Mei 2017
Penulis: Kamala Chandrakirana
(Dewan Pembina Yayasan Fahmina/Ketua Badan Pengawas Rahima/Panitia Pengarah KUPI)