Memahami Syari'at Islam dengan Perspektif Perempuan

Dari Kupipedia
Revisi per 17 Januari 2022 09.02 oleh Faqihuddin (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ' ''“Ulama yang tidak memperhatikan perspektif perempuan,'' ''diharamkan untuk berbicara tentang syari’at Allah Swt”.'' Syeikh Muhammad al-Ghazali<ref>Ungkapa...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian


“Ulama yang tidak memperhatikan perspektif perempuan,

diharamkan untuk berbicara tentang syari’at Allah Swt”.

Syeikh Muhammad al-Ghazali[1]

Pendahuluan

Syari’at secara bahasa berarti jalan, syari’at Islam berarti jalan Islam. Dalam disiplin keilmuan Islam, ada berbagai definisi mengenai syari’at. Sebagian ulama memaknai syari’ah sebagai ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan, baik yang terkait dengan keyakinan, perbuatan maupun moralitas. Tetapi sebagian lain memaknai syari’ah hanya sebatas persoalan-persoalan hukum yang terkait dengan perbuatan manusia. Dalam kaitannya antara syari’ah dengan fikih, juga ada dua pandangan; pertama yang mengatakan syari’ah berbeda dari fikih. Syari’ah adalah teks-teks langsung dari al-Qur’an dan Hadits, sementara fikih adalah pemahaman manusia terhadap teks-teks tersebut. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa syari’ah dan fikih pada akhirnya adalah sama, atau tepatnya menyatu. Karena dalam proses perkembangan sejarahnya, syari’ah dan fikih muncul bersama penalaran-penalaran ulama terhadap teks-teks agama dalam kaitannya dengan realitas.[2] Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan syari’ah Islam adalah fikih Islam. Dalam kajian akademis, terminologi fikih Islam adalah lebih tepat daripada terminologi syari’ah Islam. Karena terminologi fikih telah digunakan berabad-abad oleh para ulama, dan menjadi terminologi yang paling tepat untuk mendefinisikan pemahaman [fikih] terhadap teks-teks Islam. Jadi, fikih Islam dalam tulisan ini sama persisi dengan syari’ah Islam, begitu sebaliknya.

Bagi beberapa ulama dan pemikir, fikih Islam (al-fiqh al-islâmî) dibedakan dengan pemikiran Islam (al-fikr al-islâmî). Yang pertama dianggap memiliki dasar dari teks agama (al-nushûsh asy-syar’iyyah), sementara yang kedua muncul dari ragam rujukan yang tidak selalu teks-teks agama. Pemikiran Islam, dianggap hanya merupakan kumpulan dari opini, analisis, kajian dan upaya-upaya pendekatan terhadap persoalan-persoalan Islam, tanpa keterikatan untuk merujuk kepada teks-teks Islam. Metodologi pemikiran Islam juga sangat beragam dan tidak terarah. Tidak seperti fikih, ia merupakan pemahaman terhadap teks-teks; al-Qur’an dan Hadits untuk kemudian dipraktekkan dalam tataran realitas. Sehingga ia –dianggap- berada di atas dan untuk meluruskan realitas. Bagi para ulama yang berpandangan demikian, realitas harus tunduk di bawah formula-formula fikih yang berdasar pada teks-teks agama. Fikih tidak datang untuk ditundukkan oleh realitas, karena ia bersumber dari teks suci [wahyu], sementara realitas bersumber dari pengetahuan manusia yang profan.[3]

Dengan cara pandang demikian, fikih mengklaim sebagai sumber kebenaran Islam, yang berkaitan dengan persoalan hukum dan kaitannya dengan perbuatan-perbuatan manusia. Fikih, kemudian dipahami sebagai produk hukum (baca: syari’at Islam) yang final dan mutlak. Karena itu, ia dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan pemikiran Islam.

Fikih dan Realitas

Bahwa metodologi fikih berbeda dari disiplin ilmu yang lain, bisa dibenarkan. Tetapi bahwa ia lepas dari realitas atau berada di atas realitas, adalah pandangan yang tidak tepat. Ia tidak memiliki argumentasi yang cukup. Karena fikih sarat dengan pergumulannya dengan realitas. Dalam satu persoalan, fikih bisa menawarkan hukum yang berbeda karena didasarkan kepada tuntutan realitas yang muncul. Pengaruh realitas dalam produk-produk fikih sangat ketara dan nyata. Dan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan perempuan adalah yang paling nyata, di antara persoalan-persoalan yang lain.

Banyak contoh yang bisa dikemukakan di sini. Misalnya, ketika pandangan mayoritas ulama fikih menyatakan bahwa Islam tidak memberikan kewenangan kepada perempuan untuk melangsungkan akad nikah, menjadi imam pada jama’ah shalat, atau memimpin komunitas sosial, sebenarnya ia lebih banyak dipengaruhi oleh tuntutan realitas (mutathallabât al-wâqi’), daripada oleh tuntutan indikasi-indikasi teks agama (dalâlât an-nash) secara langsung. Realitas yang berkembang banyak memberikan batasan, pengertian dan ruang lingkup terhadap persoalan-persoalan hukum fikih tentang khitan perempuan, perkawinan dan perceraian, hak dan kewajiban sebagai isteri, serta hak dan kewajiban sebagai warga dalam sebuah komunitas negara, serta dalam apa yang dikenal dengan konsep ‘fitnah perempuan’. Dengan mengurai persoalan-persoalan ini lebih mendalam, keterkaitan fikih dengan realitas yang berkembang akan terlihat nyata, termasuk tentu saja keterkaitannya dengan teks-teks yang diriwayatkan. Ada semacam tarik-ulur keterkaitan antara fikih dan teks sebagai sumber [penetapan] hukumnya di satu sisi, dan fikih dan realitas sebagai sumber [penerapan]-nya.

Misalnya dalam persoalan ‘menceraikan isteri’. Di dalam hadis sangat jelas disebutkan bahwa ‘menceraikan isteri’ adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah Swt.[4] Karena itu, Nabi sendiri dalam keadaan yang paling sulit sekalipun tidak berani menceraikan isteri. Tetapi persoalan itu menjadi sangat mudah bagi para ulama, ketika berbentuk norma-norma hukum fikih. Dalam fikih, perceraian bisa jatuh sekehendak suami, kapan, dimana, bagaimana dan dalam keadaan apapun, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan terhadap kondisi perempuan.[5] Termasuk ketika para ulama sepakat bahwa perceraian waktu isteri haid adalah haram, tetapi mereka tetap menganggap bahwa perceraian ‘haram’ itu sah, jatuh terhadap perempuan, sekalipun jelas diharamkan karena merugikan perempuan.[6]

Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam kitab Ath-Thuruq al-Hakîmah fi as-Siyasat asy-Syari’yyah, menerangkan bahwa apabila seseorang memiliki empat orang isteri, dan menyatakan “aku cerai isteriku”, tanpa menegaskan nama yang diceraikannya,   maka dalam pandangan Ibn Hanbal (164-241H) keempat isteri tersebut diundi,   yang keluar berarti dialah yang dianggap dicerai. Dalam pandangan Imam Malik (93-179H), bahwa talak jatuh terhadap keempat isteri tersebut, semuanya, karena suami tidak menjelaskan nama tertentu. Sementara Abu Hanifah (80-150H) berpendapat bahwa apabila seseorang yang memiliki empat isteri, lalu melafalkan talak tanpa menyebutkan nama, maka ia masih berhak untuk menggauli mereka. Ketika ia menggauli salah seorang di antara mereka, maka ‘talak’ mengarah kepada isteri yang lain, yang belum digauli. Begitu seterusnya, sampai isteri yang terakhir, dialah yang dikenakan jatuh talak.

Pandangan-pandangan seperti ini tentu saja muncul dari realitas masyarakat yang ada di mana para ulama itu hidup. Yaitu realitas patriarkhal yang bias terhadap perempuan, yang saat itu mengakar dalam kehidupan sosial. Padahal sebaliknya, pada tataran teks-teks agama ada penegasan bahwa perceraian sebagai kezaliman [perbuatan yang dibenci Allah]. Semestinya, norma-norma yang muncul adalah sejauh mana perceraian diupayakan untuk tidak terjadi dan tidak menimbulkan kezaliman kepada siapapun, terutama perempuan yang rentan terhadap segala bentuk kekerasan. Dalam perilaku Nabi Muhammad Saw, sebagai teks kedua setelah al-Qur’an,[7] juga banyak menyiratkan gambaran pemberian kesempatan kepada perempuan untuk menentukan pilihan bagi dirinya tentang kehidupan rumah tangganya.[8] Sehingga, laki-laki –sebagai suami- tidak seharusnya menjadi penentu awal dan akhir dalam kehidupan berumah tangga. Tetapi fikih klasik telah mewariskan norma-norma perceraian yang begitu mudah dan ringan di tangan laki-laki, tidak sebaliknya pada perempuan.

Pandangan beberapa ulama fikih tentang kewajiban-kewajiban perempuan juga banyak terinspirasi dari realitas budaya pada saat itu. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.555H/1111M) misalnya mengatakan tentang perempuan:

“Perempuan harus duduk dan tinggal di dalam rumah. Tidak banyak naik-turun tangga, melongok jendela dan sedikit berbicara dengan tetangga. Ia harus menjaga kehormatan dirinya dan suaminya, mengupayakan kesenangannya dalam segala hal, tidak mengkhianatinya  baik  dalam hal  harta  maupun kehormatan, tidak keluar rumah kecuali atas izinnya. Kalaupun harus keluar dan diizinkan, ia harus berpakaian lusuh, mencari lorong-lorong yang sepi, tidak melewati jalan raya atau pasar, tidak membiarkan suaranya didengar orang lain, atau dirinya dikenal oleh orang lain, apalagi oleh teman suaminya, demi menjaga kehormatan diri dan suaminya. Ia harus menerima apapun pemberian dari suaminya, mendahulukan keperluan suaminya dari keperluan dirinya atau kerabatnya. Ia harus selalu bersih dan bersedi setiap saat untuk digauli oleh suami, kapan dan di mana suami mau dan suka”.[9]

Dalam semangat yang sama, tulisan Imam Nawawi Banten (1230-1314H/1813-1897M) mengenai hak dan kewajiban isteri, yang oleh FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning-Ciganjur) juga dinilai sarat dengan muatan-muatan realitas masyarakat yang berkembang pada masanya.[10]

Pandangan demikian, tentu merupakan potret pergumulan fikih dengan realitas. Kemudian ia dalam rentang waktu yang cukup lama menumpuk di dalam literatur-literatur, bahkan tercetak di alam bawah sadar umat Islam. Fikih sebenarnya tidak bisa lalu disalahkan [baca: sendirian], ketika realitas-realitas tersebut pada masa berikutnya dinilai timpang, dengan menggunakan analisis gender misalnya. Fikih merupakan hasil intensitas interaksi antara teks-teks agama [al-Qur’an dan Hadits] sebagai sumber pertama dan realitas-realitas sosial sebagai sumber kedua. Fikih, dalam banyak hal tidak mungkin melakukan lompatan yang mustahil (thafrah mâ fawqa al-wâqi’), melampaui realitasnya yang ada. Tidak seperti prinsip-prinsip yang digariskan al-Qur’an yang terkait dengan perubahan-perubahan mendasar jauh melampaui realitas masyarakat yang ada.

Persoalannya adalah pada anggapan bahwa fikih itu suatu yang final, di atas realitas dan bukan bersama realitas. Dengan anggapan demikian, fikih menjadi terbebani sedemikian rupa, oleh pandangan-pandangan misoginis, yang sebenarnya merupakan konsekwensi logis dari interaksi dengan realitas. Realitas yang tentu saja –dalam penilaian sekarang- adalah timpang. Beban ini kemudian menutup rapat pandangan lain dalam fikih, yaitu pandangan-pandangan yang progresif, tidak misoginis dan berkeadilan gender. Fikih yang seperti ini menjadi terlupakan, ditinggalkan dan asing bagi banyak orang.[11] Anehnya, fikih tetap dianggap paling bertanggung jawab atas segala ketimpangan sosial umat Islam dalam hal relasi laki-laki dan perempuan. Mungkin yang lebih tepat, bahwa fikih adalah salah satu potret sejarah pemahaman keagaman umat Islam masa lalu, yang dalam banyak hal bersinggungan dengan realitas sosial dan kebudayaan.

Dengan demikian, pandangan fikih klasik tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai terlepas dari realitas. Karena sejatinya, ia merupakan potret pergumulan teks-teks agama dengan realitas yang berkembang pada masa kemunculannya. Apabila fikih klasik telah melakukan pergumulannya dengan realitas, maka dalam realitas kontemporer yang penuh dengan berbagai perubahan revolusioner, pergumulan itu harus diaktifkan kembali, bahkan menjadi keniscayaan. Dinamika fikih hanya bisa dilakukan melalui interaksi dengan realitas-realitas, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Efektifitas gagasan rekontsruksi fikih akan membuahkan produk yang kongkrit apabila poros metodologinya adalah ‘interaksi dengan realitas’.

Metodologi Interaksi dengan Realitas

Interaksi dengan realitas (ta’âmul ma’a al-wâqi’) dalam fikih bukan hal baru [bid’ah]. Dalam ushul fikih ada konsep-konsep tentang rujukan terhadap realitas, seperti pada kaedah al-‘âdah muhakkamah [mendaulatkan adat kebiasan], atau kaidah al-ma’rûf ‘urfan kal-masyruthi syarthan [apa yang sudah menjadi adat kebiasaan, memiliki kekuatan hukum, sama seperti apa yang sudah tertulis –disyaratkan- dalam kontrak], atau kaedah yang cukup terkenal taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-azmân [hukum bisa berubah mengikut perubahan zaman].[12]  Rujukan ini juga bisa dilihat dalam perbincangan ulama mengenai konsep-konsep metodologi penentuan hukum fikih, seperti konsep qiyâs [analogi hukum], istihsân [kebaikan sebagai dasar] dan al-maslahah al-mursalah [kemaslahatan yang netral] dan dalam konsep yang sekarang sangat terkenal al-maqâshid asy-syarî’ah [tujuan-tujuan hukum Islam].

Konsep al-Maslahah dan al-Maqâshid yang lebih banyak dipopulerkan Imam asy-Syâthibi (w. 790 H) dalam magnum opusnya, al-Muwafaqât, menegaskan bahwa hukum-hukum syari’at tidak diturunkan tanpa makna dan tujuan (maqâshid). Tujuan itu adalah kemaslahatan bagi segenap manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan manusia menjadi inti dari pensyariatan hukum dalam Islam. Karena itu, seperti kata Ibn al-Qayyim al-Jawzi (w. 751 H), kalau ada hukum yang tidak mendatangkan kemaslahatan, kebaikan dan keadailan, atau sebaliknya mengantarkan kerusakan, keburukan dan kezaliman kepada manusia, ia tidak bisa dimasukkan dalam rumpun hukum syari’at, sekalipun dilegitimasi (melalui ta’wîl) dengan teks. Hukum syari’at, tidak lain adalah hukum keadilan bagi manusia, kebijakan dan kemaslahatan.[13]  Karena subjek ‘kemaslahatan’ adalah manusia, maka ukuran dan batasannya dikembalikan kepada manusia. Tehnisnya, seperti kata Imam Najmud as-Din ath-Thûfi (675-716H)[14] adalah logika yang jernih, dengan melakukan penulusuran (istiqrâ/deduksi) terhadap realitas-realitas yang terjadi dan berkembang dalam kehidupan.

Artinya, konsep al-Maslahah dan al-Maqashid meniscayakan adanya interaksi teks dengan realitas. Teks diturunkan untuk kemaslahatan, dan kemaslahatan itu ada pada realitas, dengan melakukan penilaian dan perumusan indikator yang kongkrit. Sehingga teks dan realitas, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya menjadi dasar pembentukan hukum-hukum syari’at.

Fikih, sebagai potret interaksi teks dengan realitas, juga terlihat pada kenyataan bahwa fikih merupakan pemahaman,[15] tepatnya pemahaman seorang mujtahid terhadap teks-teks agama [Al-Qur’an dan Hadits] dalam interaksinya dengan realitas-realitas yang berkembang. Sekalipun ulama sepakat, bahwa rujukan utama fikih adalah teks-teks, tetapi dalam tataran nalar kognitif [ijtihâd istinbâthi] dan tehnik implementatif [ijtihâd tathbîqiy] mereka berbeda pendapat. Adanya perbedaan ini, mengisyaratkan betapa kuat interaksi fikih dengan realitas para pennggagasnya.

Fikih juga merupakan ragam dari berbagai pandangan, yang dalam satu persoalan bisa terjadi kontradiksi antara satu pandangan dengan pandangan yang lain. Kontradiksi ini tentu saja tidak terjadi pada [substansi] teks,[16] tetapi pada pemahaman-pemahaman terhadap teks, yang bisa karena literal teks dan bisa –ini yang terbanyak- karena perbedaan kondisi realitas-realitas, baik yang melatari teks, maupun yang mengitari pembaca teks itu sendiri. Fikih pada akhirnya merupakan metode pemilihan dan pemilahan terhadap ragam pandangan-pandangan. Dalam metodologi pemilahan [tarjîh] dari berbagai pandangan fikih, dasar yang dirujuk tidak sebatas argumentasi literal teks [dalâlât al-alfâzh], tetapi pada sejauh mana pandangan itu dapat menerjemahkan pesan-pesan substansial syari’at dalam dinamika realitas sosial.

Satu contoh yang bisa diketengahkan di sini adalah persoalan ‘intervensi harga’ [at-tas’îr][17] dalam konteks sosial ekonomi [fiqh mu’âmalah]. Pada awalnya, kesepakatan ulama mengharamkan tas’îr, karena ada teks hadis yang sangat tegas menunjukkan keengganan Nabi Saw untuk ikut menentukan harga pasar, sekalipun melambung tinggi di atas kemampuan daya beli masyarakat.[18] Tetapi kemudian, mayoritas ulama[19] memperkenankan pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap harga [paling tidak sebagian] produk. Alasannya, untuk menjaga kemaslahatan masyarakat banyak dari kezaliman ‘permainan harga’ oleh para pedagang dan spekulan. Karena inti dari penolakan Nabi Saw terhadap tas’îr adalah penafian terhadap ‘terjadinya kezaliman’ pada masyarakat. Karena itu, ketika realitas secara nyata menunjukkan bahwa yang bisa menghentikan ‘kezaliman’ justru dengan yang sebaliknya; yaitu memberlakukan tas’îr, maka ia bisa diafirmasi oleh syari’at, bahkan hukumnya bisa menjadi wajib. Artinya, sesuatu yang awalnya disepakati haram, bisa berubah menjadi tidak haram, bahkan wajib ketika realitas menuntutnya demi kemaslahatan yang benar-benar nyata.[20]

Dalam konteks distribusi kekayaan keluarga [fiqh mawârits], pendapat Ibn Hazm tentang ‘wasiat paksa’ [al-washiyyah al-wâjibah], awalnya ditolak dan tidak direstui oleh mayoritas ulama fikih. Tetapi, ketika realitas menunjukkan bahwa banyak cucu-cucu dari seseorang yang meninggal [awlâd wa banât ibn al-mayyit] terlantar tanpa perlindungan, kemudian banyak ulama yang merekomendasikan ‘bagian waris’ bagi para cucu. Mereka hanya bisa diselamatkan dengan ‘wasiat paksa’, yaitu bagian yang diambil dari harta waris, yang dalam perhitungan fiqh waris yang konvensional mereka semestinya tidak memperoleh bagian. Dianggap ‘paksa’, karena tanpa persetujuan awal dari mayyit atau keluarganya. Model wasiat ini, dipilih dengan alasan bahwa substansi dari pembagian waris adalah distribusi kekayaan untuk kemaslahatan orang-orang [keluarga dekat] yang ditinggalkan oleh mayyit, bukan untuk sebaliknya.[21]

Dengan demikian fikih tidak bisa dikatakan di atas realitas, atau datang untuk menundukkan realitas. Fikih bergumul bersama realitas, satu dengan yang lain saling melakukan interaksi intensif, dalam mewujudkan cita sosial manusia [al-mashlahah] yang terangkum dalam tujuan-tujuan syari’ah [al-maqâshid asy-syar’iyyah].[22] Cita sosial ini [al-maslahah] pada akhirnya adalah merupakan prinsip dasar fikih, sehingga ia tidak terjebak dalam pragmatisme atau positivisme,[23] yang bisa menghalalkan segala hal yang terjadi dan berlaku pada aras realitas. Karena itu, penting ditekankan adanya pengukuhan terhadap wilayah filosofis, konseptual dan parsial. Yang pertama dan kedua adalah prinsip-prinsip yang akan mengawal persoalan-persoalan parsial dalam interaksinya dengan realitas. Pertama wilayah filosofis, yaitu prinsip-prinsip fakultatif-universal [al-mabadi’ al-kulliyah], sedangkan kedua yang konseptual adalah prinsip-prinsip partikulatif-implementatif [al-qawâi’d al-juziyyah-al-‘amaliyyah], sementara yang ketiga adalah persoalan-persoalan tehnis operasional formal [ash-shuwar at-tathbîqiyyah al-‘amaliyyah].

Prinsip-prinsip fakultatif-universal [al-mabadi’ al-kulliyah] adalah ajaran-ajaran yang bersifat asasi yang kebenarannya dicukupkan oleh dirinya sendiri [self evidence], di atas mana ketentuan-ketentuan normatif dan aturan-aturan hukum diletakkan. Ia bersifat pasti, aksiomatik, tidak berubah-ubah, dan karena itu bersifat fundamental-universal. Prinsip ini telah diperbincangkan dengan tema al-maqâshid dan al-mashlahah oleh ulama-ulama terdahulu, sejak al-Juwaini (w. 478H), al-Ghazâli (w. 505H), ar-Râzi (w. 606H), al-Amidi (w. 631H), al-‘Izz bin ‘Abd as-Salâm (w. 660H), al-Qarâfi (w. 685 H), ath-Thûfi (w. 716H), Ibn Taymiyyah (w. 728 H), Ibn al-Qayyim al-Jawzi (w. 751 H), asy-Syâthibi (w. 790 H) dan Ibn ‘Asyûr (w. 1393H). Prinsip yang fakultatif-universal mengerucut pada empat hal –seperti yang telah dinyatakan oleh Ibn al-Qayyim-, yaitu keadilan, kemaslahatan, kerahmatan dan kebijaksanaan.[24]

Sementara prinsip-prinsip partikulatif-implementatif [al-qawâ’id al-juziyyah-al-‘amaliyyah] adalah ajaran dasar, yang pasti dan aksiomatik, tetapi berada dalam tataran implementasi, atau satu cakupan persoalan. Karena itu, kefundamentalannya hanya bersifat kebanyakan [fi al-ahglab] bukan untuk keseluruhan [fi al-kull]. Misalnya prinsip-prinsip dalam beribadah, prinsip perkawinan, atau prinsip kontrak dalam praktek perekonomian. Prinsip ini secara hirarki berada di bawah yang pertama.

Selebihnya adalah persoalan yang masuk dalam wilayah tehnis-operasional-formal [ash-shuwar at-tathbîqiyyah al-‘amaliyyah], yang berupa norma-norma hukum bersifat terapan, nisbi, terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Norma-norma hukum dalam wilayah ini benar dan harus didukung, selama ia masih mengakomodasi ajaran-ajaran prinsipal, baik yang bersifat fakultatif, maupun yang partikulatif. Tetapi ketika bukti-bukti empirik, secara nyata menegaskan yang lain, maka norma tersebut bisa berubah dalam bentuk lain, yang secara nyata bisa mengakomodasi ajaran-ajaran prinsipal tersebut.

Kerangka Metodologi Fikih Perempuan

Metodologi fikih di atas digunakan untuk membaca dan memformulasikan persoalan-persoalan yang terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan. Dari berbagai teks al-Qur’an, Hadits, pandangan-pandangan dan pemahaman para ulama, harus diklasifikasikan ke dalam tiga kerangka; al-mabâdi, al-qawâ’id dan al-juz’iyyât. Maka ada teks-teks, ajaran dan pandangan yang masuk dalam tataran prinsip fundamental [al-mabadi], ada yang pada prinsip parsial [al-qawa’id] dan ada yang hanya berada pada tataran norma-norma formal operasional [al-juz’iyyat].

Prinsip yang fundamental adalah keadilan dan kemaslahatan untuk semua tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Keadilan dan kemaslahatan ini merupakan refleksi konklusif dari kesetaraan yang sejak awal telah diusung oleh al-Qur’an. Beberapa teks yang merupakan klasifikasi al-mabâdi dalam persoalan relasi laki-laki dan perempuan, yang secara eksplisit diungkapkan adalah;

Pertama, bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4:1), karena itu kedudukan mereka sama dan sejajar, yang membedakan hanyalah kwalitas kiprahnya [taqwa] (QS. Al-Hujurat, 49:31).

Kedua, perempuan dan laki-laki sama dituntut untuk mewujudkan kehidupan yang baik [hayâtan thayyibab] dengan melakukan kerja-kerja positif [‘amalan shalihan] (QS, An-Nahl, 16:97). Untuk tujuan ini, diharapkan perempuan dan laki-laki bahu membahu, membantu satu dengan yang lain (QS. At-Taubah, 9:71).

Ketiga, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh balasan yang layak atas kerja-kerja yang dilakukan (QS. Al-Ahzab, 33:35).

Ketiga prinsip ini adalah sesuatu yang paling mendasar dalam syari’ah, yang tidak bisa diganggu gugat, dikalahkan karena sesuatu hal yang lain, atau ditangguhkan sekalipun. Ia merupakan kebenaran di dalam dirinya, yang tidak memerlukan dukungan luar, sehingga harus diterima sebagai dasar yang paling utama. Semua komponen masyarakat harus memiliki komitmen untuk menegakkan dan mengamalkan nilai-nilai dalam prinsip ini. Semua produk hukum dalam masyarakat harus mengacu pada prinsip keadilan dan kesetaraan. Intervensi yang berwenang bisa dilakukan terhadap produk hukum, budaya, perilaku atau perbuatan yang nyata-nyata secara kongkrit menafikan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan.

Sementara yang masuk dalam tataran al-qawâ’id, seperti dalam persoalan relasi perkawinan adalah prinsip-prinsip dasar; [1] kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233), [2] tanggung jawab [al-amânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), [3] independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-Baqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20), [4] kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-mawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), [5] perlakuan yang baik antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), [6] berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. Al-Baqarah, 2:233, Ali ‘Imran, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38) [7] dan menghilangkan ‘beban ganda’ dalam tugas-tugas seharian [al-ghurm bil ghunm].[25]

Ketujuh –misal- prinsip parsial ini juga merupakan dasar-dasar yang harus menjadi pertimbangan dalam persoalan perkawinan. Ia dikatakan prinsip karena merupakan dasar-dasar yang menjadi acuan perumusan produk-produk hukum, kesepakatan, kontrak dan perilaku. Tetapi juga dikatakan parsial karena dalam beberapa hal ia hanya terkait dengan persoalan tertentu, dalam hal ini –misalnya- adalah perkawinan. Tetapi yang lebih mendasar adalah karena ia tidak bisa berdiri sendiri, harus menjadi turunan dari prinsip dasar keadilan dan kesetaraan. Ia tidak bisa melampaui prinsip keadilan. Ia juga hanya terkait dengan orang-orang yang mengikatkan diri dengan kontrak terhadap prinsip parsial ini. Misalnya, ketika sebuah pasangan suami isteri yang keduanya mengaku kawin atas dasar kerelaan masing-masing, maka siapapun tidak boleh menafikan unsur kerelaan tersebut sekalipun memiliki tanda-tanda bahwa salah satu dari keduanya kawin dengan terpaksa. Berbeda dengan prinsip keadilan, yang atas dasarnya bisa dilakukan intervensi ketika suatu perilaku atau persoalan secara nyata bertentangan dengan prinsip keadilan.

Selain dari dua klasifikasi di atas, adalah teks, ajaran, produk hukum dalam hal ‘relasi laki-laki dan perempuan’ yang bisa dikategorikan dalam contoh kasus implementatif [al-juz’iyyat, atau shuwar tathbiqiyyah]. Ia bersifat relatif dan fleksibel, sehingga harus selalu didialogkan dengan realitas yang terjadi dan berkembang. Dalam hal ini, ketika teks-teks agama [al-Qur’an dan Hadis] mengakomodasi norma-norma tersebut, maka ia harus dipahami logika historisitasnya dalam bingkai transformasi keadilan dan kemaslahatan. Artinya, norma tersebut benar adanya selama mendukung cita sosial yang prinsipal dalam tataran realitas kehidupan. Tetapi ketika tidak, maka formalitas norma bisa berubah, bahkan kepada hal yang sebaliknya.

Seperti yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad bin ‘Asyur (1879-1973),[26] tentang hukum ‘memukul isteri’ yang diungkapkan dalam al-Qur’an, ayat 34 dari surat an-Nisa. Persoalan ini, kata Ibn ‘Asyur, terkait langsung dengan realitas Arab pada saat itu. Dimana masyarakat masih menganggap suami memiliki hak penuh untuk mendidik isteri dan meluruskannya, sekalipun dengan pemukulan. Tujuannya adalah pendidikan, pelurusan dan pengembalian kepada komitmen untuk hidup bersama. Tetapi ketika ada masyarakat lain –atau individu sekalipun- yang tidak demikian, atau realitas kehidupan memang telah berubah, dimana ‘pemukulan’ tidak lagi bisa menjadi solusi untuk mengembalikan keharmonisan rumah tangga, maka ia bisa menjadi tidak diperkenankan, bahkan bisa haram. Apalagi, kalau secara nyata ‘pemukulan’ mengakibatkan kerusakan-kerusakan terhadap pribadi perempuan, baik fisik maupun mental.[27]

Dalam hal ini Ibn ‘Asyur secara tegas menyatakan: “Apabila pemerintah melihat para suami ternyata menyimpang dalam menggunakan hak untuk mendidik isteri-isteri mereka, maka pemerintah berhak melarang penggunaan hak tersebut. Pemerintah bisa membuat undang-undang untuk menghukum orang yang memukul isterinya, agar tidak menjadi kebiasaan, apalagi ketika ‘kesadaran keagamaan’ sangat lemah”.[28]    

Semua persoalan mengenai relasi laki-laki dan perempuan, ketika dilihat melalui kerangka metodologis; al-mabâdi, al-qawâ’id dan al-juz’iyyât, akan terlihat bahwa kebanyakannya termasuk ke dalam katagori yang ketiga. Artinya, ia harus banyak dipahami historitasnya dan semangat transformasi yang ingin diusungnya. Persoalan-persoalan mengenai khitan perempuan, perkawinan dan perceraian, hak dan kewajiban perempuan sebagai isteri, serta hak dan kewajiban perempuan sebagai warga dalam sebuah komunitas negara, harus dipahami dalam ketiga kerangak metodologis tersebut. Prinsip keadilan dan kesetaraan tentu saja menjadi dasar dari formulasi semua produk hukum syari’at Islam.

Dalam hal ini, seperti yang dilakukan Ibn Asyur, hampir semua norma-norma fikih yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan harus didialogkan dengan realitas yang berkembang. Teks-teks agama [al-Qur’an dan Hadits] dalam hal ini harus dipahami melalui historisitasnya, begitu juga teks-teks fikih. Kebenaran yang sejati, dimiliki oleh teks yang otentik dan sekaligus juga dimiliki oleh realitas yang secara empirik nyata dan benar.[29] Teks menyimpan kebenaran, sebagaimana realitas juga memilikinya. Sehingga keduanya, semestinya tidak perlu diperhadapkan apalagi dikontradiksikan, tetapi didialogkan. Pemahaman ini bisa benar, apalabila historistas teks-teks agama dipahami melalui paradigma pemilahan ajaran yang prinsipal [al-mabadi dan al-qawa’id] dan yang parsial [shuwar]. Yang prinsipal harus tetap dipertahankan, sementara yang parsial tetap dipertahankan selama dalam tataran realitas bisa menjamin prinsip kemaslahatan dan keadilan. Artinya, interaksi ajaran parsial dengan realitas harus dilakukakan untuk menjamin berlangsungnya ajaran-ajaran yang prinsipal.

Mempertimbangkan Realitas Kontemporer

Realitas sosial ‘relasi laki-laki dan perempan’ pada saat ini telah berubah sedemikian rupa, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai hal. Seperti bentuk dan fungsi keluarga yang mengalami perubahan, bersamaan dengan berubahnya konstruksi masyarakat. Mulai dari masyarakat primitif pemburu dan peramu, masyarakat holikultural, masyarakat agraris, sampai kepada masyarakat modern-industrialis. Masyarakat pada pra-modern, secara umum cenderung membentuk keluarga besar, sementara pada masyarakat modern kecenderungan berkeluarga menjadi lebih kecil (nuclear family). Bentuk dan fungsi keluarga yang semakin mengecil, tentu saja akan merubah banyak hal dalam pola ‘relasi laki-laki dan perempuan’. Perempuan yang dahulu, sering diposisikan pada wilayah-wilayah domestik, pada masa sekarang sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Saat ini, tantangan-tantangan sosial yang dihadapi perempuan tidak jauh berbeda dengan apa yang dihadapi oleh laki-laki. Sehingga pemilahan wilayah domestik dan publik, apabila dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang, akan banyak memunculkan persoalan-persoalan sosial yang merugikan masyarakat, terutama perempuan.

Realitas sosial saat ini telah membuktikan, bahwa perempuan tidak seperti yang diasumsikan; sebagai makhluk yang lemah, lembut, kurang mampu mengemban tanggung jawab besar, tidak cerdas dan emosional. Perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, tidak serta-merta membedakan kemampuan dan kecerdasan seseorang, sehingga yang satu dianggap lebih kuat dari yang lain. Para ahli genetika mengakui bahwa manusia adalah makhluk biologis yang memiliki karakteristik tersendiri, perkembangan kesadaran dan kecerdasannya banyak ditentukan oleh faktor lingkungan, tidak hanya oleh faktor genetika,[30] atau jenis kelamin. Karena itu, perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tidak bisa mengabsahkan perbedaan peran mereka dalam wilayah sosial.

Apa yang dahulu dianggap sebagai kodrat perempuan, sekarang beberapa hal diantaranya secara empirik telah terbantahkan. Fakta-fakta sosial telah membuktikan, bahwa sifat dasar yang diyakini melekat pada perempuan atau laki-laki –yang berkaitan dengan peran sosial mereka- ternyata tidak seperti yang diasumsikan. Perbedaan-perbedaan itu, pada kenyataanya dibentuk oleh sosial, bersifat relatif, bisa berubah dan bisa dipertukarkan. Karena itu, saat ini kita bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang pintar, cerdas, bijak; ada yang menjadi politisi, pebisnis, pendidik, dokter dan profesi-profesi lain. Realitas ini, suka atau tidak suka, memaksa banyak orang dari berbagai  disiplin ilmu untuk melihat kembali pandangan mereka tentang perempuan, terutama dalam relasinya dengan laki-laki. Termasuk para tokoh agama, atau dalam hal ini adalah fikih Islam. Realitas ini, tidak bisa –bahkan tidak akan bisa- dinafikan oleh siapapun ketika menulis kembali persoalan-persoalan keagamaan yang berkaitan dengan pola realasi laki-laki dan perempuan.

Apalagi perbedaan –atau lebih tepatnya pembedaan- peran sosial perempuan, pada tataran realitas menyebabkan kezaliman-kezaliman terhadap perempuan, yang tentu tidak sejalan dengan misi dasar Islam sebagai agama keadilan dan kemaslahatan. Kezaliman [zhulm] dan kerusakan [dharar] dalam bentuk sekecil apapun harus dihentikan dan dihapuskan [lâ dharar wa lâ dhirâr]. Pengekangan terhadap aktifitas perempuan, yang dahulu dibenarkan dengan dalih perlindungan, ternyata menjerumuskan kepada ketidak-mandirian dan ketergantungan yang menistakan perempuan. Bahkan menempatkan perempuan pada posisi korban kekerasan, baik fisik, mental maupun sosial. Rezim sosial yang otoriter dan zalim tentu saja harus dilawan dan dihentikan. Dalam bahasa hadis, sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran [keadilan] di hadapan rezim [termasuk sosial] yang otoriter dan zalim [afdhal al-jihâd qawl al-haqq amâm sulthânin jâ’ir].[31]

Dalam realitas politik global, tuntutan-tuntutan perlindungan perempuan telah menjadi tolok ukur negara-negara dalam pergaulan internasional. Sejak komprensi Internasional di Mexico (1975), Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), Wina (1993), Cairo (1994) dan Beijing (1995), perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan, telah menjadi tuntutan global yang harus dihormati oleh semua negara dan semua bangsa. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Internasional untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dengan UU no. 7 tahun 1984. Realitas demikian, tentu memiliki kehormatan sehingga tidak bisa dinafikan begitu saja.

Dalam pemahaman inilah, mengapa lalu perspektif perempuan menjadi perlu dalam menyusun berbagai disiplin ilmu, termasuk fikih kontemporer. Bahkan bisa wajib, ketika perspektif tersebut menjadi salah satu jalan untuk menghentikan kekerasan-kekerasan sosial terhadap perempuan. Secara metodologis, fikih ‘relasi perempuan dan laki-laki’ bisa otentik dan dapat dipertanggung-jawabkan, apabila benar-benar didialogkan dengan realitas-realitas seperti di atas.

Dalam hal ini, telah ditulis berbagai buku-buku keagamaan [Islam] yang berkenaan dengan penguatan perspektif perempuan, sebagai upaya ‘dialog teks dan realitas’. Banyak nama yang mengawali penguatan ini, misalnya Qasim Amin [Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah], Leila Ahmad [Woman and Gender in Islam], Fatima Mernisi [Woman and Islam; an Historical and Theological Enquiry], Syekh Muhammad al-Ghazali [Qadhâyâ al-Mar’ah al-Muslimah], ‘Abd al-Halim Abu Syuqqah [Tahrîr al-Mar’ah fî ‘Ashr ar-Risâlah] dan Murtadha Mutahhari [Nizhâm Huqûq al-Mar’ah fi al-Islâm] dan tentu saja penulis-penulis lain.

Di Indonesia juga telah banyak buku yang ditulis dengan penguatan perspektif perempuan. Sebagai misal Masdar F. Mas’udi [Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan], Nazaruddin Umar [Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur’an], KH Husein Muhammad [Fiqh Perempuan; Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender], Syafiq Hasyim [Hal-hal yang terpikirkan], dan tentu-tentu penulis-penulis lain, di berbagai tempat dan daerah. Tulisan-tulisan itu merupakan respon atas realitas tuntutan ‘keadilan gender’ yang begitu menguat, yang secara prinsipal ternyata sejalan dengan dasar-dasar universal agama [al-mabadi dan al-qawa’id].

Potret Persoalan; Konsepsi Fitnah Perempuan

Dalam pemikiran keagamaan banyak sekali anjuran, atau perintah dan larangan, yang hanya berkaitan dengan perempuan. Hanya karena identi­tas seksya ada­lah perem­puan. Perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa alasan, tanpa ditemani kerabat dekat [mahram], harus menutup rapat seluruh tu­buh­nya, tidak diper­­kenankan ber­hias untuk umum, diharamkan me­nyam­bung rambut, mencukur alis, meng­gam­­­bar di tubuhnya, ber­suara lan­tang, memimpin (menjadi imam) shalat, diharuskan berka­bung atas kematian suami selama empat bulan sepuluh hari dan perintah-perintah lain yang hanya ditujukan kepada perem­puan. Tum­pukan pe­rintah dan larangan ini, jika ditarik benang merahnya, maka ia bermuara pada konsepsi ‘figur perempu­an seba­gai peng­goda’. Dalam bahasa fikih­nya, (tubuh) pe­rem­puan adalah fitnah.

Status perempuan sebagai fitnah keummatan, didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Takutlah kamu akan fitnah dunia dan fitnah perempuan, karena orang-orang Yahudi dahulu pertama kali terfitnah oleh para perempuan” (Riwayat Muslim, no. Hadits: 2742). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Tidak sekali-kali aku tinggal­kan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan”. (Riwayat al-Bukhari, no. hadis:4808).

Di satu sisi, kekhawatiran terhadap fitnah ini memicu lahirnya aturan-aturan yang mengekang kebe­basan perempuan, di sisi lain menghargai pe­rempuan hanya sebatas orientasi fitnah, dengan makna-maknanya yang erotis dan sensual. Dalam kitab ‘Uqûd al-Lujayn, Syeikh Nawawi (1230-1314H/1813-1897M) menyitir sebuah hadis: “Perempuan adalah perangkap bagi setan (untuk menggoda manusia). Andaikata syahwat (baca: libido) ini tidak ada, niscaya perempuan tidak punya kuasa (baca: posisi) di mata pria”.[32] Karena itu, kriteria perem­puan yang baik [shâlih] tidak terlepas dari penilaian sejauh mana ia bisa mengecilkan potensi-potensi fitnah itu di hadapan masyarakat, di saat yang sama ia bisa menawarkan fantasi fitnah tersebut di hadap­an suaminya. Seperti yang disebut dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa: “Perempuan yang shalih adalah perempuan yang jika dilihat oleh kamu (suami) menyenangkan, jika diperintah bersedia melak­sanakan, jika ditinggalkan mau menjaga dirinya dan harta suaminya” (Riwayat Sunan Abu Dawud, juz II/126, nomor hadis: 1664). Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa di dalam literatur klasik Islam, identitas perempuan ada pada fitnah (baca: sen­sualitas) tubuhnya.

Dalam relasi suami isteri menu­rut fikih –menurut pandangan beberapa ulama-, kewajiban isteri hanyalah memberi­kan kesempatan [tamkîn] bagi suami untuk menik­mati tubuhnya. Kapan saja suami berke­inginan dan di mana saja. Kewajiban ini didasarkan kepada sebuah hadis, bahwa: “Ketika suami meng­ajaknya berhu­bung­an intim, isteri harus memenu­hinya sekalipun ia sedang di dapur atau di punggung unta”. dalam suatu hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi Tur­mudzi (Sunan Turmudzi, no. hadis, 1160, III/465). Bahkan: “Ketika suami mengajaknya berhubungan intim, kemudian ia menolaknya, sehingga suami tidur dengan penuh kegundahan, ia dilaknat oleh para malaikat sampai pagi” (Riwayat Bukhari, no. hadis: 3065 dan 4898).

Dalam suatu riwayat, Rabi’ah al-‘Adawiyyah setiap malam se­lalu berhias, memakai pakaian yang indah, menyemprotkan wewangian ke tubuhnya, lalu mena­­warkan dirinya ke suaminya. “Silahkan, aku persembahkan tubuhku untukmu”. Jika suami tidak berminat, ia lepas semua pakaian indahnya, ia cuci tubuhnya dari wewangian, lalu menghadap Allah Swt. Ia mendirikan sembahyang dan berdzikir sepanjang malam.[33] Dengan demikian, tugas inti perempuanm sebagai isteri adalah memper­siapkan tubuhnya untuk dinikmati suami­nya. Hal yang sama juga dinyatakan Imam al-Ghazali (w. 505H/1111M) dalam Ihya ‘Ulum ad-Din. Karena harga perempuan di mata suaminya adalah fantasi sensual fitnah­nya. Karena ia juga bisa menjadi fitnah yang akan meng­giur­kan orang lain, ia harus dijinakkan sejak di dalam rumah, sebelum kemudian dijinakkan oleh aturan dan norma-noram sosial.

Sejumlah aturan juga disematkan kepada perempuan, agar sensualitas fitnahnya hanya dimiliki, dinikmati dan dikuasai oleh laki-laki suaminya, sekecil apapun tidak boleh fitnahnya keluar mengganggu siapapun selain suaminya. Salah satu aturan bagi perempuan misalnya; jika ada teman suaminya datang ke rumah, sedangkan sang suami sedang tidak ada di rumah, maka katakan tidak ada dan jangan bertanya apapun kepadanya dan jangan berbicara dengannya, apalagi mengajaknya masuk ke rumah. Hal ini harus dilakukan untuk menjaga kecemburuan suaminya. Ketika dia harus keluar rumah, maka ia harus menutup seluruh tubuhnya termasuk muka dan tangannya dari pandangan orang lain, menghindari bertemu dengan orang lain dan mencari jalan-jalan sempit yang tidak banyak dilalui orang.[34] Segalanya, demi menjaga sensualitas fitnahnya, yang hanya menjadi miliki khusus suaminya.

Fitnah (baca: hasrat seks perempuan) yang diji­nakkan ini, pada akhirnya dianggap sebagai sebuah kenyataan. Bahwa seksualitas perempuan itu su­dah terjinakkan atau pasif, tidak seperti laki-laki yang agresif. Karena kepasifannya, perempuan tidak memiliki hak untuk mengaktualisasikan hasrat seksualitasnya. Bahkan dalam relasi suami-isteri, hasrat seksual perempuan diukur tidak dari dalam dirinya. Hasrat seksualnya diukur dari kesanggupan dan kemungkinan waktu yang dimiliki laki-laki. Dalam fikih, ada beragam pendapat tentang hak perempuan untuk memperoleh layanan seksual dari suaminya. Ada yang mengatakan sekali dalam em­pat hari, dengan asumsi seorang laki-laki memiliki empat isteri dan setiap isteri berhak giliran satu malam. Ada yang mengatakan satu bulan sekali, ada yang empat bulan sekali dan ada yang menya­takan bahwa isteri hanya berhak menuntut satu layanan selama perkawinan. Alasannya, layanan seksual dari suami itu tergantung hasrat seks dari­nya. Hasrat seks tidak bisa dipaksakan, atau diten­tu­kan dengan batasan-batasan waktu. Apalagi has­rat seks laki-laki tidak bisa dan tidak boleh dipaksa­kan. Laki-laki yang tidak berhasrat, penis­nya tidak bisa ereksi, sehingga tidak mungkin mela­ya­ni kebutuhan isterinya.

Identitas perempuan sebagai isteri lebih banyak ditentukan oleh suaminya. Ia telah dilebur ke dalam kehendak suaminya, seperti yang dinyatakan oleh Syekh Nawawi al-Bantani, tentang kewajiban perempuan sebagai isteri: “Isteri wajib merasa malu terhadap suami, tidak boleh menentangnya, harus menundukkan muka dan pandangannya di hadapan suaminya, harus selalu taat terhadap suami ketika diperintah apa saja selain maksiat, harus diam ketika suami berbicara, berdiri ketika suami datang dan pergi, selalu menyenangkan suaminya”.[35]

Potensi fitnah dianggap -oleh pemikiran keaga­maan- secara inheren melekat pada perempuan. Domes­tifikasi perempuan, lahir dari anjuran perlin­dungan masyarakat dari fitnah perempuan. Syekh Nawawi menyatakan bahwa ada tiga hal, yang jika dilakukan oleh seorang perempuan yang shalihah sekalipun, maka ia pantas dianggap perempuan pelacur dan perempuan yang fasiq; yaitu kalau ia keluar pada siang hari dengan menampakkan perhiasan dan kecantikannya di hadapan para pria, kedua kalau ia memandang laki-laki lain selain suaminya dan ketiga kalau ia dengan sengaja memperdengarkan suaranya kepada laki-laki bukan mahramnya.[36]

Dalam sebuah riwayat hadis: “Setiap perempuan yang ke­luar rumah, akan diikuti setan sambil menghem­buskan bisikan: goda ini, bujuk itu. Dalam setiap lang­­kahnya lahir setan-setan penggoda. Dalam setiap ayunan tangannya keluar setan-setan penye­sat”. “Shalatmu di rumahmu lebih baik dari sha­latmu di mushalla kampungmu, dan shalatmu di mushalla kampungmu lebih baik dari shalatmu di masjidku (Nabi)” (Riwayat Ahmad, VI/371). Bahkan diriwayatkan: “Shalat perempuan yang paling dicintai Allah, adalah di tempat yang paling gelap di dalam rumahnya” (Riwayat Ibn Khuzaimah, at-Targhib, I/227 dan al-Baihaqi, III/131).

Karena kekha­watiran fitnah perempuan yang akan merusak tatanan masyarakat, perempuan tidak disarankan un­tuk keluar rumah tanpa keper­luan. Kalaupun harus keluar, sebisa mungkin tidak sendirian. Kare­na kehadiran tubuh perempuan di tengah masya­rakat dengan sendirinya menggoda mereka. Ma­sya­­rakat akan terangsang, tergoda dan mungkin bang­kit melakukan sesuatu terhadap tubuh perem­puan. Kata Nawawi bahwa seorang suami yang terhormat wajib melarang isteri dan anak perempuanya untuk keluar rumah dengan berhias dan berdandan, dan tidak memperkenankan mereka keluar rumah kecuali pada waktu malam hari dengan disertai mahram atau perempuan lain yang dipercaya.[37] Anjuran tidak keluar rumah terhadap perem­puan, disamping melindungi masyarakat dari fitnah tu­buhnya, juga melindungi­nya dari fitnah dirinya yang ditimbulkan terhadap mereka.

Pemikiran keagamaan yang cenderung mela­rang perempuan untuk memimpin shalat, meme­gang jabatan publik, maupun memimpin negara, ju­ga banyak dipengaruhi stigma ‘perempuan adalah fitnah’. Dalam pemikiran ini, kehadiran tubuh perem­puan di depan jama’ah shalat, dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyu’an dan membuyarkan kon­sen­trasi mereka dalam menghadap Allah. Tubuh-tubuh perempuan juga tidak diharapkan duduk dalam jabatan-jabatan publik, karena keha­dirannya hanya akan menggoda masyarakat dan mema­lingkan perhatian mereka dari tugas-tugas yang semestinya mereka kerjakan. Seksuali­tas perem­pu­an, dalam pemikiran keagamaan dianggap fitnah yang membahayakan. Baik terha­dap dirinya, mau­pun orang lain. Dalam peringatan yang dinyatakan oleh Nabi: “Tidak sekali-kali aku tinggal­kan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan”. (Riwayat al-Bukhari, no. hadis:4808). Dalam riwayat Abu Hurairah lebih tra­gis lagi: “Sumber kesialan [syu’m] itu ada tiga: pe­rem­puan, rumah dan kuda”, (Riwa­yat Bukhari. Lihat: al-‘Asqallani, VI/150-152).

Tentang kesialan perempuan ini, telah dikritik secara tajam oleh Aisyah bint Abi Bakr ra. Menurutnya, redaksi Abu Hurairah tidak mungkin keluar dari mulut Nabi Saw, karena ia bertentangan dengan prinsip akidah yang paling dasar. Yaitu, bahwa dalam keyakinan Islam tidak mengenal sumber kesialan dan tidak juga sumber keberuntungan. Karena semua itu dari Allah Swt. Aisyah ra kemudian membaca ayat: “Tiada bencanapun yang menimpa di muka bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid, 57: 22).[38]

Demikianlah, bangunan pemi­kiran keagamaan (baca: fikih) menyang­­kut relasi perempuan dengan dirinya, dengan laki-laki pasangan­nya, atau dengan masya­ra­katnya, didirikan atas dasar pan­dangan bah­wa perempuan adalah fitnah, bahkan sumber kesialan. Sehingga berbagai peraturan, ajaran, norma-noram dan anjuran dilahirkan atas dasar pandangan ini. Perempuan menjadi obyek kefitnahan dirinya, yang disematkan para ulama dan penulis kitab-kitab literatur klasik.

Dengan menggunakan kerangak metodologi di atas, fikih ‘relasi laki-laki dan perem­puan’ yang dikembangkan atas dasar ang­gapan bahwa perempuan itu fitnah, saat ini tidak layak lagi dilestari­kan. Fitnah adalah kata yang terkait dengan kondisi dan situasi tertentu. Fikih fitnah mun­cul dalam situasi sosial yang pe­nuh dengan gejo­lak, kecurigaan, ketakutan dan kewaspadaan. Biasa­­­­­­­­nya, orang yang memiliki po­si­si paling lemah di masyarakat yang akan dikena­kan banyak atur­an, demi kewas­pa­daan dan perlin­dungan sosial. Dalam hal ini, pe­rem­puan akan banyak dikontrol atas nama perlin­dungan daripada laki-laki. Fikih fitnah juga hanya mengukuhkan asumsi bahwa masyarakat muslim (baca: laki-laki) hanya melihat sosok perempuan sebagai sosok yang bermasalah dan penggoda. Dalam kesadaran kolektifnya pun, yang mengendap adalah pikiran-pikiran ‘kotor’ tentang perempuan. Sehingga segala gerak dan aktifitas perempuan tidak ada yang sesuatu yang lain kecuali rayuan dan godaan.

Saat ini, dalam masya­rakat kedamaian yang harus dikem­bangkan adalah fikih ‘amanah’ bukan fikih ‘fitnah’. Dalam masya­rakat damai, format hukum -termasuk fikih- tidak lagi harus didasarkan pada kecurigaan atau keta­kutan satu dari yang lain. Tetapi pada moralitas tang­­gung jawab, atau tepatnya fikih ‘amanah’. Yaitu fikih yang mengem­bangkan norma-nor­ma yang mendasar pada nilai-nilai tanggung jawab, keber­samaan dan saling pengertian dan peng­hargaan. Yaitu fikih yang dibangun atas prinsip-prinsip ke­mas­lahatan bersama, keadilan, kerah­matan dan kebijaksanaan untuk semua, seperti yang dinyata­kan Ibn al-Qayyim al-Jawzi (w. 751H). Ketika yang dibicarakan adalah persoalan relasi laki-laki dan perempuan, maka syariat Islam dalam hal ini harus banyak dikembalikan kepada kemaslahatan bagi kedua belah pihak secara setara. Kemaslahatan ini tentu saja tidak dimaksudkan sebagai pragmatisme atau positivisme dalam penentuan hukum dan aturan. Karena kemaslahatan sendiri pada dasarnya meniscayakan perujukan dasar-dasarnya pada teks-teks terutama al-Qur’an dan hadits.

Dengan semangat yang sama, figur perempuan sebagai fitnah atau penggoda harus dihentikan. Hadits yang terkait dengan hal ini, mungkin tidak dimaksudkan sebagai pelabelan perempuan –sebagau sumber fitnah atau figur penggoda- seperti yang dikembangkan fikih. Karena jika dicermati, ada perbedaan antara teks-teks hadis yang secara sepihak menganggap perempuan sebagai fitnah, dengan al-Qur’an dalam hal penggunaan kata fitnah. Al-Qur’an menggunakan kata fitnah dalam relasi timbal balik. Ada beberapa ayat di bawah ini yang bisa dijadikan dasar untuk melihat relasi fitnah antara satu hal dengan hal yang sebaliknya:

“..... Kami akan menguji kamu sekalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah, dan kepada Kami-lah kamu akan kembali”. (QS. Al-Anbiya, 21: 35).

Sesungguhnya sebelum mereka, Kami telah membuat fitnah bagi kaum fir’aun, yaitu dengan kedatang seorang rasul yang mulia”. (QS. Ad-Dukhan, 44: 49).

“.... Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, mungkin mereka akan berbuat fitnah kepada kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”. (QS. Al-Maidah, 5: 49).

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sebagai fitnah bagi orang-orang kafir dan ampunilah kami, ya Tuhan kami”. (QS. Al-Mumtahanah, 60: 5).

Sesungguhnya orang-orang kafir yang memfitnah orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab jahannam dan neraka yang membara”. (QS. Al-Buruj, 85: 10).

Dan demikianlah, telah kami jadikan fitnah, sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain”. (QS. Al-An’am, 6:53).

“....dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai fitnah bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar”. (al-Furqan, 25: 20).

Dengan demikian, di dalam al-Qur’an ada relasi timbal balik dalam hal fitnah. Misalnya kebaikan adalah fitnah, keburukan juga fitnah (QS. Al-Anbiya, 21: 35), rasul adalah fitnah bagi kaumnya (QS. Ad-Dukhan, 44: 49) dan kaumnya adalah fitnah baginya (QS. Al-Maidah, 5: 49), orang kafir adalah fitnah bagi orang mukmin (QS. Al-Buruj, 85: 10) dan orang mukmin adalah fitnah bagi orang kafir (QS. Al-Mumtahanah, 60: 5), bahkan setiap orang adalah fitnah bagi yang lain, atau sebagian orang atas sebagian yang lain (QS. Al-An’am, 6:53 dan al-Furqan, 25: 20). Karena itu, fitnah tidak hanya melekat pada tubuh perem­puan terhadap laki-laki. Tetapi juga melekat pada tubuh laki-laki terhadap perempu­an. Pan­dangan al-Qur’an lebih proporsional bila dibanding­kan teks hadis bahwa perempuan adalah fitnah yang paling memba­ha­yakan bagi laki-laki. Pandang­an yang tanpa ada timbal balik­nya, bahwa laki-laki juga fitnah ba­gi perempuan. Pada­hal, baik laki-laki terhadap perem­puan atau perem­puan ter­ha­dap laki-laki ke­duanya sama-sama memiliki po­tensi fitnah dan pada saat yang sama memiliki potensi maslahah. Stig­ma fitnah salah satu dari ke­dua­­nya, tanpa satu yang lain, adalah salah dan tidak sesuai dengan perspektif al-Qur’an.

Karena itu, Aisyah ra menolak keras teks hadis yang diriwayat­kan Abu Hurairah ra bahwa tubuh perempuan itu sumber kesialan. Katanya, tidak mungkin teks ini keluar dari mulut Rasul, suami­nya. Iapun menyitir ayat: “Tiada ben­ca­napun yang menimpa di muka bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguh­nya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid, 57: 22).[39]

Dengan demikian, anjuran-anjuran keagamaan yang didasarkan pada ‘fitnah’ perempuan harus dipahami substansi persoalannya dan konteks so­sial­nya. Karena fitnah adalah kata yang sarat dengan muatan-muatan konteks temporer. Misal­nya, larangan perempuan keluar rumah tanpa kera­bat, harus dipahami sebagai bentuk perlin­dungan perempuan bukan sebagai ajaran domestifikasi (pengekangan dan pembatasan) terhadap perempuan. Ada misal yang cukup kongkrit dalam hal ini, yaitu tentang konsepsi mahram untuk perempuan. Konsepsi dipahami oleh banyak ulama, bahkan oleh beberapa ulama kontemporer seperti DR. Wahbah Zuahili, bahwa perempuan tidak diperkenankan untuk melakukan perjalanan sepanjang 20 farsakh, tanpa mahram. Perempuan harus tinggal di rumah dan tidak melakukan bepergian, ketika tidak ada kerabat yang mau menemaninya. Pandangan ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi SAW, yang sebenarnya bisa dipahami berbeda. Teks lengkapnya, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Jami’ al-Ushul, VI/17), Nabi bersabda: “Tidak dihalalkan bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian tanpa mahram sejauh jarak tempuh tiga hari tiga malam”. Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana dengan isteri saya, yang pergi haji tanpa mahram?”, Nabi menjawab: “Susullah dan temani isterimu”.

Jawaban Nabi yang terakhir ini adalah sebuah penegasan bahwa konsep mahram adalah konsep perlindungan terhadap perempuan, bukan pelarangan. Perlindungan berbarti pengadaan keamanan dan kesempatan untuk melakukan aktifitas yang ingin digeluti perempuan, yang dalam konteks sosial politik sekarang adalah tugas negara. Selayaknya, negara yang dituntut, atau masyarakat, atau keluarga untuk mewujudkan perlindungan dan keamanan, bukan dengan melarang perempuan.

Contoh lain adalah konsepsi perempuan shalihah. Pemaknaan konsepsi ini –dalam literatrur klasik- hanya merujuk kepada sejauh mana relasi perempuan dengan suaminya. Seksualitas perempuan dalam hal ini, ditentukan dan diukur dari luar dirinya, karena kriteria perempuan shalihah ada tiga hal: (a) Bisa memuaskan keinginan suami (b) Selalu melayani keinginan dan perintah suami (c) Bisa menjaga diri, rumah dan keluarga. kita harus menhentikan. Dengan pemaknaan ini, baik-buruk perempuan ditentukan sejauh relasinya dengan sang suami, sehingga ia tercerabut dari kehidupannya sebagai manusia muslim dan makhluk sosial pada umumnya. Padahal seperti disepakati oleh para ulama, bawa setiap perempuan, sebagai seorang muslim, terkait dengan perintah-perintah keimanan dan keislaman yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Seperti perintah ibadah shalat, puasa, haji, zakat, berbaik kepada orang tua, saudara, tetangga, kerja-kerja positif (‘amal shalih) terhadap masyarakat, amar ma’ruf dan nahy munkar, serta perintah-perintah lain yang tentu saja tidak hanya berhubungan dengan sang suami.

Pemaknaan parsial ini biasanya merujuk pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam teks tersebut, Nabi menyatakan: “Maukah aku tunjukan simpanan terbaik seseorang? Perempuan shalihah; yang ketika dilihatnya memuaskan, diperintahkannya menurut dan ditinggalkan olehnya, mau menjaga diri dan harta suami”.Padahal teks hadis ini, kalau ditelusuri konteksnya sebenarnya merupakan penggalan dari sebuah kisah yang terjadi dalam kehidupan; antara beberapa sahabat dan Nabi Muhammad Saw. Dalam sunan Abu Dawud, pernyataan Nabi Saw tentang mar’ah shalihah sebagai hiasan/simpanan terbaik, diungkapkan di depan sahabat-sahabat yang miskin. Saat itu, mereka mendatangi Nabi dan mengeluhkan bahwa perintah-perintah Qur’an banyak yang mengarah kepada orang-orang kaya, seperti haji, zakat dan shadaqah. Mereka, karena kemiskinannya, merasa tidak memiliki apa-apa untuk bisa beramal shalih lebih banyak. Dalam konteks ini, Nabi menyatakan perempuan shalihah sebagai harta atau simpanan terbaik. Berarti, konteksnya adalah menenangkan, melipur lara dan memberi kesempatan kepada orang-orang tertentu untuk tetap bisa merasakan kenikmatan dan tetap bisa melakukan ‘amal shalih.[40]

Pelayanan yang baik terhadap suami adalah salah satu kriteria ‘perempuan shalihah’. Dalam hal ini, pemaknaannya juga harus timbal balik, setiap satu kepada yang lain. Ketika ‘isteri shalihah’ dituntut untuk menyenangkan suami, maka ‘suami shalih’ juga dituntut hal yang sama, bisa menyenangkan isteri. Karena perempuan sebagai isteri tidak bisa berdiri sendiri, sehingga secara sepihak diharuskan untuk menyenangkan suami, kapan dan dalam keadaan apapun. Tanpa ada tuntutan yang sama dari pihak suami. Karena itu, yang diperlukan adalah kebersamaan dan keadilan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sesuai dengan tuntutan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh al-Qur’an, terutama prinsip mu’asyarah bil ma’ruf antara suami dan isteri; saling melengkapi, saling mengisi dan saling memahami. Dalam ungkapan al-Qur’an, yang satu adalah pakaian bagi yang lain [Hunna libasun lakum, wa antum libasun lahunn].

Tetapi perempuan, identitas sosialnya tidak hanya sebagai isteri. Karena setiap perempuan, baik sebagai anak, ibu, maupun isteri akan memiliki relasi dengan keluarganya, tetangga-tetangganya dan masyarakat yang lebih luas. Ia tidak hanya terkait dengan suaminya, sehingga pelabelan ‘perempuan shalihah’ tidak hanya terkait dengan pelayanannya terhadap sang suami. Tetapi juga sejauh mana ia baik, sesuai dan benar dalam relasinya terhadap keluarga dan masyarakat luas. Perempuan, seperti juga laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama terhadap baik dan buruknya kehidupan masyarakat. Seperti yang secara eksplisit difirmankan Allah SWT: “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah mitra (bersama untuk melakukan) amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, mentaati Allah dan Rasul-Nya. Merekalah yang akan mendapat rahmat Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Kuat dan Bijaksana”. (QS, At-Taubah, 9:72).


Pendalaman Persoalan Lain

Beberapa persoalan lain yang menyangkut relasi tubuh perempuan, sosial, maupun politik juga harus dibaca melalui kerangka metodologi interaksi dengan realitas. Setelah dilakukan pengklasifikasian ke dalam tiga kerangka dasar; al-mabâdi, al-qawâ’id dan al-juz’iyyât. Dalam persoalan persoalan haid-nifas-istihadlah misalnya, tidak bisa dirumuskan melalui pandangan-pandangan ulama masa lalu. Karena mereka sendiri merumuskan persoalan itu atas dasar penelitian [istiqrâ]. Karena itu, penelitian dan perujukan terhadap fakta-fakta empirik adalah keniscayaan. Sekalipun secara umum fikih tidak melakukaan stigma buruk terhadap perempuan dalam persoalan ini, tetapi norma-norma yang dibangun banyak yang menyeret perempuan pada puncak keruwetan, sehingga ia bingung harus berbuat apa ketika ‘tamu bulanannya’ datang. Karena norma tersebut sebenarnya muncul sebagai hasil penelitian deduktif [istiqra] terhadap kebiasaan-kebiasaan perempuan masa lampau. Persoalan ini perlu dirumuskan dengan pendekatan inter-disipliner dan meperhatikan variabel-variabel; polusi, alat kontrasepsi, emosi, tuntutan mencari nafkah. Semua ini, harus dilibatkan dalam menyusun norma-norma fikih kontemporer haid-istihadah-nifas.

Mungkin bisa ditegaskan dalam persoalan menstruasi ini, bahwa kita tidak bisa lagi menjatuhkan pilihan terhadap suatu pandangan fikih tertentu dengan alasan teks yang dianggap otoritatif dan argumentatif. Misalnya dalam ‘identifikasi’ haid; berapa hari, bentuk darah, berapa lama daurnya, harus tidak lagi menjadi wilayah fikih, karena ia sebenarnya merupakan wilayah medis-biologis. Saat ini, fikih –dengan merujuk kepada fikih klasik- tidak perlu lagi menentukan apa itu haidh, kapan, bagaimana dan berapa hari. Ini sepenuhnya wilayah disiplin ilmu lain; medis-biologis. Fikih klasik sendiri memiliki ketentuan-ketentuan itu melalui penelitian [istiqra], maka fikih kontemporer juga harus menyerahkan persoalan itu kepada penelitian ilmiah, yaitu medis-biologis sekarang. Wilayah fikih hanya pada tataran moralitas; yaitu kalau waktu haidh tidak mendirikan sembahyang, puasa, thawaf dan tidak melakukan hubungan seksual.

Dalam persoalan iddah dan ihdad, seperti yang telah dibahas secara mendalam oleh Abdul Muqsith Ghazali, juga tidak perbah bisa terlepas dari pergumulan teks-teks dengan realitas yang berkembang. Dalam kajiannnya, norma-norma fikih ‘iddah/ihdad’ lebih menempatkan perempuan sebagai obyek perintah dan larangan; untuk tidak keluar rumah, tidak berhias, tidak memakai wewangian, tidak menggunakan pakaian yang baik dan tidak mencari pasangan. Larangan ini, sebaliknya tidak ada pada laki-laki pasca perceraian. Suatu ayat (QS. 65:6), yang sebenarnya ditujukan kepada laki-laki untuk menafkahi perempuan yang ditalak dan tidak mengeluarkannya dari rumah keluarga, tetapi dipahami oleh kebanyakan ulama fikih sebagai perintah kepada perempuan untuk ndekem menunggu rumah, tanpa keluar ke tempat manapun. Dalam analisisnya, nilai-nilai moralitas harus menjadi dasar penentuan norma-norma fikih ‘iddah/ihdad’, sehingga tidak lagi dipahami hanya sebagai cara untuk mengidentefikasi kehamilan. Ada tiga nilai moralitas yang dikembangkan; pertama bahwa ‘iddah/ihdad’ adalah formula perlindungan dan penguatan terhadap perempuan yang sedang dalam masa transisi dari dependensi ke independensi. Kedua, pembukaan kesempatan rekonsiliasi kepada kedua belah pihak untuk kembali kepada tali perkawinan. Ketiga, perkabungan ketika dalam kasus ‘ditinggal mati’, sebagai wujud dari cinta kasih antara kedua suami isteri.[41]

Jika kerangka analisis ini bisa dibenarkan, semestinya harus dikembangkan pemaknaan yang lebih kongkrit sebagai penguatan perspektif perempuan, misalnya:

[1] perlindungan dan penguatan adalah persoalan realitas, sehingga cara dan tehnis yang diterapkan bersifat relatif. Pada masa sekarang, ia harus tidak lagi dalam bentuk-bentuk yang mengungkung perempuan dari aktifitas-aktifitas positifnya.

[2] Rekonsiliasi juga harus dituntut dari pihak laki-laki. Sehingga ketika perempuan [mantan isteri] diharuskan dalam masa tertentu untuk tidak menjalin hubungan dengan orang lain, maka laki-laki [mantan suami] juga dalam masa yang sama harus diwajibkan [melalu UU pemerintah, atau konvensi masyarakat] untuk tidak menjalin hubungan dengan perempuan lain. Karena rekonsiliasi, tidak bisa dibangun dari satu arah.

[3] Tuntuan perkabungan juga sama harus dua arah, isteri yang ditinggal mati oleh suami dan suami yang ditinggal mati oleh isteri.


Penutup

Metodologi interaksi fikih dengan realitas, melalui klasifikasi tiga kerangka dasar, bisa jadi sangat menarik untuk merumuskan kembali secara lebih kongkrit terhadap seluruh persoalan relasi laki-laki dan perempuan. Penguatan perspektif perempuan dalam hal ini menjadi penting, karena memandang fikih masa lalu dalam banyak hal telah memposisikan perempuan dengan tidak setara. Mendaulatkan [perspektif] perempuan dalam fikih sebenarnya bukan hal baru. Perspektif ini sejak awal telah dihadirkan oleh al-Qur’an, Hadits dan lebih kuat lagi oleh Aisyah ra, dalam berbagai fatwa-fatwa kritisnya.[42] Secara umum kritik-kritik Aisyah yang berkaitan dengan penguatan perspektif perempuan adalah: [1] Kritik terhadap hadis bahwa perempuan termasuk sumber kesialan [syu’m wa thayarah] yang diberitakan oleh Ibn Umar ra, as-Sâ’idi ra dan Abu Hurairah ra. [2] Kritik terhadap Ibn Umar ra yang memfatwakan bahwa perempuan yang dikepang rambutnya harus diurai terlebih dahulu sebelum mandi junub. [3] Kritik terhadap fatwa beberapa sahabat yang melarang perempuan pergi ke mesjid. [4] Kritik terhadap pandangan yang melarang perempuan mengawinkan dirinya atau orang lain. [5] Kritik terhadap pandangan umum yang tidak memperkenankan perempuan aktif di wilayah publik, dengan aktifitas mengajar dan terjun langsung memimpin pasukan tentara dalam perang Jamal.

Sebagai kesimpulan, penguatan perspektif perempuan dalam fikih, secara teologis bisa dibenarkan. Bahkan, ia bisa menjadi sebuah keniscayaan karena menjadi salah satu cara untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan terhadap perempuan, dan sejalan dengan prinsip universal untuk membangun kehidupan yang baik dan adil.[]


Keterangan:

Artikel ini ditulis Faqihuddin Abdul Kodir pada Tahun 2003 untuk berbagai seminar, pelatihan, diskusi-diskui tentang syari'at Islam dalam isu-isu perempuan pada tahun-tahun berikutnya.


Footnote:


  1. Ungkapan ini diucapkan oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dalam mimbar ketika khutbah jum’at (lihat: Quthb ‘Abd al-Hamid, Khuthab asy-Syaikh al-Ghazâlî fî Syu’ûn ad-Dîn wa al-Hayât, 1988: Dar al-I’tishâm, Cairo. Juz I, h. 14). Muhammad al-Ghazâlî dilahirkan di Buhairah, Mesir, pada 22 September 1917 dan telah wafat pada tanggal 9 Maret 1996 ketika sedang mengikuti seminar di Riyadh. Tahun 1941, ia meraih gelar doktor dari fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir. Ia telah menulis lebih dari limapuluh buku dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu Islam. Ia terkenal sangat gigih mengkritisi pemahaman-pemahaman keagamaan yang bias terhadap perempuan. Diantara pemikirannya yang berperspektif perempuan terkumpul dalam buku yang ditulisnya “Qadlâya al-Mar’ah bayna at-Taqâlid ar-Rakidah wa al-Wâfidah, 1994: Dara asy-Syuruq, Libanon (Diterjemahkan oleh Zuhairi Misrawi dengan judul “Mulai dari Rumah; Wanita Muslim dalam Pergumulan Tradisi dan Modernisme, 2001: Mizan-Bandung). Untuk mengetahui sejarah pemikiran Muhammad al-Ghazâli, bisa dibaca pada; M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan; Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, 2001: Mizan, Bandung, halaman 166.
  2. Lihat: Muhammad ad-Dasuqi dan Aminah al-Jabir, Muqaddimah fi Dirasât al-Fiqh al-Islâmy, 1990: Dar ats-Tsaqafah, Qatar.
  3. Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthy, seorang pakar fikih dan akidah Islam dari Universitas Damaskus-Syria, dalam berbagai tulisannya selalu menggugat kecenderungan ummat Islam untuk merujuk pemikiran Islam, tidak kepada fikih Islam. Dalam pandangannya, pemikiran Islam adalah kerapuhan, kekaburan, tidak otentik, kacauan dan jauh dari kebenaran Islam. Sementara fikih Islam adalah keutuhan, kekokohan, otentik dan muara kebenaran Islam. Pemikiran tunduk kepada realitas untuk teks, sementara fikih tunduk kepada teks kebenaran untuk realitas.
  4. Teks haditsnya: “Abghadl al-Halâl ilallâhi ath-talâq” [perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak/menceraikan]. Dalam teks lain disebutkan: “Mâ ahalla al-lâhu syay’an abghadlu ilayhi min ath-thalaq” [Tidak ada satupuan perbuatan yang dihalalkan oleh Allah, tetapi paling dibenci-Nya melainkan talak]. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan al-Hakim, dari sahabat Ibn ‘Umar r.a. Lihat: Ibn al-Atsîr, Mubarak bin Muhammad, Jami’ al-Ushûl min Ahadîts ar-Rasûl, 1984: Dar Ihya at-Turâts, Beirut-Libanon, juz viii, h. 392, no. hadis: 5780.
  5. Dalam fikih, talak merupakan hak suami sepenuhnya. Bahkan dalam pandangan Ibn Hazm, sekalipun suami telah memberikan mandat kepada isteri untuk menceraikan, atau memberikan kesempatan untuk memilih, hak talak tetap di tangan suami. Si isteri menceraikan atau tidak, atau membuat pilihan atau tidak, perceraian tetap tidak jatuh bila isteri yang melakukan, karena hanya suami yang bisa menjatuhkan talak, bukan isteri.
  6. Dalam fikih Islam perceraian waktu haid dikenal dengan istilah ‘thalâq bid’iyy’ [perceraian yang bid’ah], sebaliknya adalah‘thalâq sunniy’ [perceraian yang mengikut sunnah]. Thalâq bid’iyy dalam pandangan mayoritas ulama fikih adalah haram hukumnya, atau dalam mazhab Hanafi dianggap makruh tahrim. Sekalipun haram, mereka berpendapat bahwa talak tersebut tetap jatuh dan sah, kecuali dalam pandangan Ibn Taymiyyah bahwa talak tersebut haram dan tidak sah [tidak jatuh talak]. Ini menunjukkan bahwa hak suami terhadap perceraian ‘jauh lebih kokoh’ dibandingkan dengan teks agama, karena ia bisa [dan sah] menjatuhkannya pada saat agama melarangnya. Lihat: Az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 1984: Dar al-Fikr, Damaskus-Syria, juz vii, h. 402-403.
  7. Maksudnya adalah hadis, yang dalam metodologi ushul fiqh dianggap sebagai rujukan hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Komposisi hadis yang konvensional adalah perkataaan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw. Ulama memperdebatkan; apakah ‘sikap dan perilaku’ Nabi Saw (sifat wa ahwâl an-nabiyy) termasuk hadis atau bukan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa ‘sikap dan perilaku’ bukan merupakan hadis, sehingga ia tidak mengikat siapapun selain diri Nabi Saw.  Ia masuk dalam katagori ‘spesialitas kehidupan Nabi Saw’ (khushushiyyât an-nabiyy), yang tidak mengindikasikan ‘perintah keagamaan’ (tasyrî’), kecuali jika dibarengi dengan pernyataan verbal dari Nabi Saw. Karena itu, perilaku Nabi Saw terhadap isteri-isteri, bagi fikih tidak menjadi rujukan dalam megembangkan struktur hukum; baik dalam hal perkawinan, percerain, maupun susunan hak-kewajiban suami dan isteri.
  8. Konsep keteladanan terhadap Nabi, meniscayakan perujukan hukum terhadap segala perilaku beliau, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Beliau tidak pernah memukul isteri, membentak, apalagi mencaci, atau menghina. Ketika terjada ‘perselisihan’, beliau memberi kesempatan kepada isteri-isteri untuk meluahkan persoalan. Bahkan ketika ‘perselisihan’ mengeras, beliau pergi menyendiri, memberi kesempatan kepada para isteri untuk menumpahkan seluruh kekesalan, dan ketika tetap ‘buntu’, beliau mempersilahkan mereka untuk memilih; tetap bersama atau bercerai. Artinya, soal kelangsungan rumah tangga, perempuan memiliki hak ‘pendapat dan penentuan’ yang sama dengan laki-laki. Nabi pernah memberikan hak kepada isteri Tsabit bin Qays r.a. untuk ‘menceraikan’ suaminya, hanya karena persoalan ‘tidak suka’ (HR. Bukhari, no. 4971-4973). Nabi juga memberikan hak penuh kepada Khansa bint Khaddam ra, untuk ‘melepaskan’ diri dari perkawinan paksa, yang tidak direlakannya (HR. Bukhari, no. 6568).
  9. Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ ‘Ulûmu ad-Dîn, juz ii, h. 55.
  10. Lihat: FK3, Wajah Baru Relasi Suami Isteri; Telaah Kitab “Uqûd al-Lujjayn, 2001: LKiS, Yogyakarta, h. 60-61. Dalam analisis Husein Muhammad bahwa Imam Nawawi banyak terpengaruh oleh realitas budaya saat itu, sekalipun mungkin perilakunya sendiri sedikit banyak memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan. Katanya, tulisan Nawawi memliki kecenderungan yang kuat terhadap pengaruh tradisionalisme dan sufisme yang sangat mengakat pada realitas budaya saat itu. Tradisionalisme yang ditandai dengan upaya-upaya mempertahankan kemapanan, konservatif dan bacaan literal terhadap teks. Sementara sufisme ditandai dengan gemar beribadah dan asketis. Kecenderungan ini mempertajam perspektif Nawawi yang patriarkhal, yang sudah sudah mengakar dalam realitas budaya. Nawawi kemudian mengukuhkan peranan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan dan melegitimasi haknya untuk mengatur dan menentukan segala-galanya. Lihat; Husein Muhammad, Kajian atas Kitab Uqud al-Lujain; Sebuah Analisi, dalam Tashwirul Afkar, No. 5, tahun 1999, hal. 94-100.
  11. Dalam fikih, ada tawaran pilihan-pilihan pandangan yang cukup progresif, melampaui masa di mana realitas-realitas sosial hidup dan berkembang. Seperti pandangan kebolehan perempuan untuk menjadi pemimpin, menjadi imam shalat, mengawinkan dirinya atau orang lain, memiliki dirinya dalam hal perceraian dan tentu saja hal-hal lain seperti bekerja, belajar, keluar rumah, terlibat perang, mengelola hartanya bahkan menolak untuk menyusui anaknya sendiri, dengan alasan penjagaan kecantikan atau alasan lain. Pandangan-pandangan ini tentu saja asing bagi fikih mayoritas dan praktek keagamaan kebanyakan orang. Ini pertanda bahwa teks-teks dasar fikih [sumber rujukan awal] menyimpan cita ideal hukum yang universal dan melampaui realitas (yata’ala ‘ala az-zamân wal-makân).
  12. Ada kaedah-kaedah lain yang sejenis, seperti Ats-tsâbit bi al-‘urfi tsâbitun bi-dalilin syar’iyy [Apa yang ditetapkan oleh kebiasaan (realitas) memiliki kekuatan hukum yang sama dengan apa yang ditetapkan oleh teks agama], atau isti’mal an-nâs hujjatun yajibu al-‘amal bihâ [Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti]. Kaedah-kaedah seperti ini termasuk dalam apa yang dikenal dengan ‘Konsep Adat’ [Nazariyyat al-‘Urf] dalam disiplin ilmu ushul fikih. Secara konseptual fikih telah mengenal perujukan terhadap adat kebiasaan yang berlaku, atau realitas yang berkembang. Hanya saja fikih memberikana batasan yang cukup ketat, bahwa adat [realitas] yang dirujuk adalah yang belum ada ketentuan hukumnya dari teks [al-Qur’an dan Hadits]. Apabila sudah ada ketentuannya, maka rujukan terhadap realitas tidak berlaku, atau dibatalkan. Artinya realitas tetap di bawah teks dan tidak boleh bertentangan dengan literal teks. Persoalan-persoalan yang dalam fikih klasik didasarkan kepada realitas adalah; misalnya dalam penentuan kadar nafakah terhadap isteri dan keluarga, bentuk-bentuk pergaulan antar suami isteri dan jumlah mahar perkawinan. Persyaratan bahwa adat [realitas] yang dirujuk harus yang belum ditentukan oleh teks, apabila digeneralisir adalah tidak sepenuhnya tepat. Ada contoh fikih klasik yang merujuk kepada realitas dalam persoalan yang secara tegas telah dijelaskan dalam teks al-Qur’an. Yaitu perintah izin masuk kamar orang dewasa dalam kehidupan rumah tangga. Dalam surat an-Nur (QS. :58) ada perintah bahwa hamba sahaya dan anak-anak yang belum dewasa harus meminta izin terlebih dahulu ketika hendak memasuki rumah atau kamar orang-orang dewasa. Izin ini harus dilakukan pada tiga waktu [disebut dalam teks al-Qur’an]; menjelang shalat Subuh, waktu siang dan waktu malam setelah shalat Isya. Sekalipun sudah ditentukan oleh teks, baik perintah maupun waktu pelaksanaanya, tetapi sebagian besar ulama memahami persoalan ‘minta izin’ hanya sebagai anjuran, atau saranan, bukan kewajiban. Penentuan tiga waktu juga disebutkan dengan merujuk kepada adat kebiasaan masyarakat. Artinya tiga waktu itu biasanya merupakan waktu-waktu orang beristirahat, sehingga orang yang ingin memasuki wilayah istirahat sseeorang selayaknya meminta izin terlebih dahulu. Apabila realitas suatu masyarakat berbicara lain, maka perintah dan ketentuan waktu juga bisa berubah. Substansinya adalah larangan mengganggu wilayah privasi orang. Implementasinya diserahkan kepada realitas. Dengan demikian, persyaratan realitas yang dirujuk harus yang tidak (belum) ditentukan oleh teks, adalah tidak sepenuhnya tepat. Generalisasi persyaratan ini  akan banyak menghambat upaya mengintensifkan interaksi fikih dengan realitas, yang saat ini telah  menjadi sebuah keniscayaan. Tentang ‘Konsep Adat/Kebiasaan/Realitas’ dalam hukum Islam lihat: Muhammad az-Zuhaily, An-Nazariyyât al-Fiqhiyyah, 1993: Dar al-Qalam, Damaskus. Dan Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah; Mafhumuha, Nasy’atuhâ, Tathawwuruhâ, Dirâsat Mu’allafâtuhâ, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ, Tathbiqâtuhâ, 1994: Dar al-Qalam-Damaskus, pp. 293-302.
  13. Di sini Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa: “asy-syarî’atu mabnâhâ wa asâsuhâ ‘ala al-hikam wa mashâlih al-‘ibâd fî al-ma’âsy wa al-ma’âd. wa hiya ‘adlun kulluhâ wa rahmatun kulluhâ wa mashâlihun kulluhâ wa hikmatun kulluhâ. Fa kullu mas’alatin kharajat ‘an al-‘adli ilâ al-jûwr wa ‘an ar-rahmati ilâ dliddihâ wa ‘an al-mashlahati ilâ al-mafsadah wa ‘an al-hikmati ilâ al-‘abatsi fa laysat min asy-syarî’ati, wa in udkhilat bi at-ta’wîl” [Bahwa syari’at Islam itu dibangun atas dasar-dasar kebijaksanaan (kearifan) dan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akherat. Syari’at seluruhnya adil, kasih sayang, maslahat, dan bijak. Oleh karena itu, setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju ke kecurangan, dari kasih-sayang menuju sebaliknya, dari maslahat menuju ke kerusakan, dan dari kebijakan menuju ke kesewenang-wenangan, maka bukanlah syari’at, sekalipun didukung oleh penafsiran (teks), karena syari’at itu ‘keadilan’ Allah di antara hamba-hamba-Nya]. Baca Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn, ed. Muhy ad-Din ‘Abd al-Hamid, Dar al-Fikr, Bierut-Libanon, Juz III, hlm. 14.
  14. Nama lengkapnya adalah Abû Rabî’ Sulaymân bin ‘Abd al-Qawiyy. Ia lahir di daerah Sarsar, dekat Baghdad, pada tahun 675 H Berkelana ke berbagai tempat, seperti Baghdad, Syria, Mesir dan terakhir menetap di Bait al-Maqdis sampai akhir hayatnya. Ia seorang ulama yang cukup terpandang, tetapi terkena fitnah politik dengan dakwaan syi’ah dari koleganya sendiri, sehingga ia dihukum dera, diikat dan diseret keliling kota Kairo dan terakhir dipenjara di penjara Qus. Tulisan-tulisannya yang masih tersimpan di perpustakaan sekarang hanya berjumlah sekita 50 tuliasan. Diantara yang sudah diterbitkan adalah, al-Iksîr fî Qawâ’id at-Tafsîr (disiplin tafsir), Syarh Mukhtashar ar-Raudlah (fiqh), al-Intisharat al-Islâmiyyah fi Daf’i syubhat an-Nasyraniyyah (teologi) dan ‘Alam al-Jadzal fî ‘Ilm al-Jadal (Logika).
  15. Dalam bahasa akademisnya, fikih berasal dari akar f-q-h, yang berarti faham. Secara terminologis, ia didefinisikan sebaga: “Ilmu yang membahas mengenai hukum-hukum syari’at menyangkut perbuatan-perbuatan manusia, yang dipahami dari teks-teksnya. Ia berbeda dari ilmu kalam, karena menyangkut keyakinan seseorang, dan berbeda dari ilmu tasawuf, yang mendalami pengalaman spriritual manusia. Ia hanya berbicara mengenai segala perbuatan manusia, baik yang bersifat privat, maupun publik. Bahsan fikih secara umum bisa dibagi tiga; personal, inter-personal dan antar personal. Yang personal itu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, yiatu ibadah. Yang inter-personal itu hubungan antar dua orang, yaitu seperti jual beli, hutang piutang, perkawinan, perceraian. Yang antar-personal itu hubungan kemasyarakatan, seperti persoalan-persoalan pemerintahan dan kemasyarakatan.
  16. Dalam konsep ‘ta’ârudl wa tarjîh’ [kontradiksi dan seleksi] dinyatakan bahwa teks itu berasal dari Allah Swt, karena itu tidak mungkin ada kontradiksi satu dengan yang lain. Seperti dinyatakan dalam QS.An-Nisa, 4: 82. “Afalâ yatadabbarûna al-qur’ân, wa law kâna min ‘ind ghairillâhi lawajadû fîhî ikhtilâfan katsiran” [“Tidakkah mereka merenungkan al-Qur’an, padahal dari selain Allah; mereka akan menemukan perbedaan yang cukup banyak]. Artinya, perbedaan dan kontradiksi hanya ada pada selain teks Allah, bukan pada teks Allah. Atau dalam pernyataan Imam asy-Syâthibi (w. 790H): “Siapapun yang mengkaji dasar-dasar syari’ah, akan menemukan bahwa dalil-dalilnya tidak ada yang kontradiktif, dan syari’ah sama sekali tidak kontradiktif”. Persoalan ‘kontradiksi dan seleksi’ bisa lihat pada: ‘Abd al-Latif al-Barzanji, At-Ta’arudl wa at-Tarjih Bayna al-Adillah asy-Syariyyah, 1993: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut-Libanon. Pp-41-71.
  17. Fikih memiliki dua terma tentang harga, si’r dan tsaman. Si’r adalah harga penawaran yang ditentukan antara penjual dan pembeli, sementara tsaman adalah harga asli yang merupakan kadar nilai barang yang sebenarnya. Misalnya seseorang bisa merakit sebuah komputer dengan spesifikasi tertentu dalam waktu dua hari kerja. Jika modal dasar yang digunakan adalah Rp. 3.400.000,- (untuk semua pengeluaran; hardware, transportasi, konsumsi dan komunikasi) dan upah kerja standarnya adalah Rp. 75.000,- perhari, maka harga tsaman komputer hasil rakitannya adalah Rp. 3.550.000,-, tidak lebih. Sementara harga si’r adalah tergantung penentuan dan kesepakatan antara penjual dan pembeli, bisa lebih banyak dari harga tsaman, bisa juga lebih sedikit.
  18. Tentang penolakan ‘penentuan harga’ barang ada dua riwayat dari Nabi Saw dan satu riwayat dari ‘Umar bin Khaththab ra ketika menjabat Khalifah. Pertama, dar Anas ra berkata: “Suatu ketika harga barang-barang di pasar Madinah melambung tinggi, pada masa Rasullah Saw masih hidup. Orang-orang berdatangan kepada beliau seraya memohon: “Ya Rasul, tentukanlah harga di pasar kami”. Rasul menjawag: “Allah-lah Penentu harga itu, Yang menahan dan Yang melepaskan, Yang memberi rizki kepadamu, saya berharap kelak ketika bertemu Allah, tidak ada seorangpun yang datang menemuiku menuntut kezaliman yang telah aku lakukan kepadanya, baik dalam hal darah maupun harta”. [HR, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ahmad bin Hanbal]. Kedua, dari Abu Hurairah ra, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: “Tentukanlah harga”. Rasul menjawab: “Saya hanya bisa berdo’a”. Datang lagi laki-laki lain dengan memohon hal yang sama: “Tentukanlah harga”. Lalu Rasul berkata: “Allah-lah yang menurunkan dan menaikkan harga, saya berharap ketika bertemu Allah, aku tidak pernah melakukan kezaliman kepada siapapun”. [HR Abu Dawud]. Lihat pada Ibn al-atisr, Jâmi’ al-Ushûl, juz 2/24-25, no. hadis: 433 dan 434. Ketiga, riwayat al-Baihaqi, bahwa Umar bin Khaththab pernah memerintahkan seorang pedagang kismis untuk menaikkan harganya atau memasukkanya saja ke dalam rumah. Umar kemudian menyesal dan mendatang pedagang tersebut dan berkata: “Yang aku katakan tadi bukan kewajiban atau keputusanku [sebagai kepala pemerintah], tetapi saya hanya menginginkan kebaikan bagi penduduk negeri, sebenarnya kamu berhak untuk menjual dengan harga sesuka kamu”. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, juz 6/29. [19] Setidaknya disuarakan oleh ulama Mazhab Hanafi, pendapat Malik dari riwayat Asyhab, Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim dan beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan mazhab lain. Pembahasan yang lebih jelas dan mendalam bisa dilihat pada: Muhammad Fathi ad-Durayni, al-Fiqh al-Islâmi al-Muqâran ma’a al-Madzâhib, 1995: Universitas Damaskus-Syria, pp. 155-242.
  19. Setidaknya disuarakan oleh ulama Mazhab Hanafi, pendapat Malik dari riwayat Asyhab, Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim dan beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan mazhab lain. Pembahasan yang lebih jelas dan mendalam bisa dilihat pada: Muhammad Fathi ad-Durayni, al-Fiqh al-Islâmi al-Muqâran ma’a al-Madzâhib, 1995: Universitas Damaskus-Syria, pp. 155-242.
  20. Dalam hal ini Ibn al-Qayyim (w. 751 H) berkata: “Apabial ia [tas’îr] menyebabkan kezaliman kepada seseorang, dengan memaksakan kehendak melampau haknya, untuk menjual dengan harga yang tidak diinginkannya, atau dilarangnya dari sesuatau yang sebenarnya diperbolehkan Allah, maka ia [tas’îr] adalah haram. Tetapi kalau ia [tas’îr] bisa menjamin keadilan bagi orang-orang, misalnya dengan menentukan harga yang selayaknya [tsaman al-mitsl] dan melarang penjualan dengan harga di atasnya, maka ia bisa diperkenankan [ja’iz], bahkan bisa wajib”. Lihat: ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyâsah asy-syar’iyyah, ed. Ahmad al-‘Askari, 1961: al-Mu’assasah al-‘Asriyyah, Kairo-Mesir, pp. 285.
  21. Lihat: Az-Zuahily, al-Fiqh al-Islami, juz 8/121-125.
  22. Dalam bahasa Imam al-Ghazali, cita sosial ini terdiri dari lima pokok persoalan; yaitu pemeliharaan terhadap agama [hifzh al-dîn], jiwa [hifzh al-nafs], akal [hifzh al-‘aql], keturunan [hifzh al-nasl) dan harta benda [hifzh al-mâl]. Setiap hal yang mengandung jaminan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah kerusakan [mafsadah]Al-Ghazali, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, tt: Dar al-Fikr, Bairut-Libanon. Juz I, hlm. 26.
  23. Positivisme pragmatis memandang fakta sosial sebagai unsur yang menentukan konsep hukum. Hukum tunduk kepada masyarakat, sehingga konsepsi hukum harus selalu berubah mengikuti selera masyarakat, yang pada akhirnya hanya merupakan upaya untuk memuaskan keinginan-keinginan manusia. Positivisme mengasumsikan adanya kontradiksi yang ketat antara realitas kenyataan [das Sein] dengan realitas idea [das Sollen], sehingga yang perlu dikedepankan adalah realitas kenyaatan, yang secara nyata telah hidup oleh dan untuk manusia. Sementara hukum Islam menyatakan adanya keharmonisan antara realitas kenyataan dan realitas ide. Lihat pada: Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, 1999: Logos, Jakarta, pp. 62-65.
  24. Pembahasan konsep al-maqâshid yang lebih dalam, diantaranya bisa dilihat pada bukua: Isma’il al-Hasani, Nazariyyat al-Maqâshid ‘ind al-Imâm Muhammad ibn ‘Asyur, 1995: IIIT, Herndon-Virginia-USA.
  25. Ini termasuk kaedah fikih yang cukup terkenal dalam fikih mu’amalah. Secara sederhana diartikan. Lihat: an-Nadawi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, 343.
  26. Lahir di daerah Marsa, Tunisia bagian selatan pada tahun 1296H/1879M, telah menghafal al-Qur’an pada umur enam tahun. Memperoleh gelar keilmuan dari Universitas Zaitunah Tunisia pada bulan Juli 1899. Beliau menduduki berbagai jabatan akademis di almamaternya dan jabatan birokratis dalam pemerintahan kerajaan Tunisia saat itu. Terakhir tahun 1351H menjadi penasehat Kerajaan dalam bidang agama, Syaik al-Islam masyarakat Tunisia dan sekaligus menjabat Rektor Universitas Zaitunah. Tahun tahun 1940, beliau menjadi anggota pada Lembaga Bahasa di Kairo, dan tahun 1955 pada Lembaga Penelitian Arab di Damaskus. Menulis sekitar 50 buku, tetapi yang telah dicetak dan diterbitkan sampai sekarang hanya berjumlah 14 tulisan. Diantaranya dalam bidang tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Ushûl an-Nizhâm al-Ijtimâ’i al-Islâmi dan yang cukup terkenal Maqâshid asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah.
  27. Lihat: al-Hasani, Op. Cit. hal.207-210.
  28. Ibid. h. 210. Baca pada buku Ibn ‘Asyur, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, 5/44.
  29. Dalam hal ini Ibn Taymiyyah (w. 728H) berkata: “Laqad tadabbartu kulla at-tadabbur fi al-adillah asy-syar’iyyah; anna al-qiyas ash-shahih lan yu’aridl an-nash ash-shahih [Saya telah merenungkan berbagai teks-teks agama, bahwa analogi yang benar tidak mungkin akan kontradiksi dengan teks yang otentik]”.
  30. Dalam analisis Maxon dan Daugherty bahwa meskipun sifat-sifat dasar genetika manusia memiliki persamaan dengan makhluk biologis lainnya, tetapi manusia mempunyai perkembangan genetika dan seks jauh lebih rumit dan kompleks, terutama dalam mendeteksi fenotipe seksual [ekspresi genetika yang merujuk kepada sifat organisme biologis, misalnya struktur, fisiologi, biokimia, perilaku, atau keseluruhan unsur-unsur tersebut]. Fenotipe seksual manusia terpengaruh oleh dua hal faktor genitika dan faktor lingkungan. Dikutip dari Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur’an, 1999: Paramadina, Jakarta, hal. 38-45.
  31. Riwayat an-Nasa’i, lihat pada Ibn al-Atsir, op.cit, juz 1/236.
  32. lihat: FK3, Wajah Baru Relasi Suami Isteri, 2001: LKIS, Yogyakarta, hal. 154.
  33. Ibid, hal. 181-182.
  34. Ibid, hal. 155.
  35. Ibdi, hal. 61.
  36. Ibid, 163-164.
  37. Ibid, 165-166.
  38. Ibid.
  39. lihat: al-’Asqallani, op. Cit. VI/150-152.
  40. lihat teks hadis lengkap pada Abu Dawud, Sulayman as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, ed. Izzat ad-Da’as, tt: Dar al-Qalam, Syria, juz II/126, nomor hadis: 1664.
  41. Abdul Muqsith Ghazali, dkk., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, 2002: Rahima Jakarta dan LKIS Yogyakarta, hal. 134-167.
  42. Sejarah dan pemikiran Aisyah ra, diantaranya bisa dibaca dari: Dr. Abdullah Abu as-Su’ud Badr, tafsir Umm al-Mu’mini Aisyah ra, 2000: Serambi Ilmu, Jakarta. Bisa lihat juga: Sa’id al-Afghani, Pemimpin Wanita di Kancah Politik; Studi Sejarah Pemerintahan Aisyah, Pustaka Pelajar dan LP2IF, Yogyakarta. Dan Dra. Hj. Fatimah Utsman, M. Si. Dan A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M. Ag, Ratu-ratu Hadis, 2000: Ittiqa Press, Semarang.