Halaqah Paralel tentang Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama
Lima tahun terakhir ada pergeseran pelibatan perempuan yang semula sebagai korban, kemudian pendukung, dan merambah menjadi pelaku atau aktor intoleransi, yang berhijrah dan menjadi jihadis. Ini menunjuk kejadian bom bunuh diri di Mapolres Medan baru-baru ini, yang disinyalir kuat korbannya terpapar radikalisme dari isteri dan guru ngajinya. Pelibatan istri juga terjadi pada kasus bom tiga gereja di Surabaya pada 2018 silam.
Keadaan perempuan yang secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik terdiskriminasi, membuatnya minim akses pengetahuan dan pendidikan. Belum lagi pengaruh budaya patriarki yang mengharuskan perempuan untuk taat terhadap perintah suami, termasuk dalam aksi radikalisme-terorisme. Apalagi jika pemahaman mereka terhadap agama keliru.
Dari kondisi tersebut, perempuan dipandang lebih mudah di doktrinasi, dipengaruhi untuk terlibat dalam aksi radikalisme dan intoleransi. Perempuan juga dianggap lebih lembut dan halus dalam melakukan upaya radikalisme” bukan saja terkait pemahaman keagamaan yang sempit dan keliru, tindakan radikalisme juga dipengaruhi apa yang dialami mereka. Misalnya, kekerasan, konflik, peperangan, kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, diskriminasi gender. Selain itu, nilai-nilai dan tatanan kehidupan yang ada dianggap gagal mewujudkan perdamaian, kesejahteraan, dan keadilan abadi. Akibatnya, ideologi radikalisme dan intoleransi yang sekarang ini dikemas dalam materi lebih sistematis, bahkan mudah diakses secara online maupun offline, membuat mereka mudah terpengaruh. Sebenarnya perempuan bisa menjadi agen perdana dan agen toleransi, jika ini mau diupayakan. Karena itu Kongres Ulama Perempuan ke 2 telah menggelar salah satu tema dalam paralel nya adalah Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama.
Laporan ini merupakan laporan khusus kelas paralel “Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama” yang diselenggarakan dalam serial halaqah paralel Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2 di halaman MTs Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari Bangsri Jepara, pada tanggal 25 november 2022.
Masuk pada Materi “krisis global dan fenomena radikalisme serta dampaknya kepada perempuan: Bagaimana membangun strategi dan mengatasinya?” yang disampaikan oleh Kamala Chandrakirana. Kamala memulai dengan menyampaikan gambaran gerakan global dan mengaitkannya dengan radikalisme dan kepemimpinan perempuan. Pertama-tama, Kamala menampilan foto Nazi dan Demo 212 Jakarta. Kamala menegaskan bahwa Nazi adalah sebuah gerakan ekstrem-radikal (far night). Sementara Demo 212 Jakarta menggunakan simbol-simbol dan cukup intens, juga dapat disebut sebagai gerakan ekstrimis-radikal. Menurut Kamala, radikalisme bukanlah fenomena baru, sehingga bentuknya selalu beragam dan kontekstual. Fenomena yang saat ini kita hadapi tidak terlepas dari konteks-konteks serupa yang terjadi di belahan negara lain.
Dalam hasil penelitiannya tentang pemilu tahun 2015 ditemukan 20 negara yang mengalami krisis finansial yang berdampak pada kehidupan warganya. Lebih lanjut, penelitian itu menyebutkan bahwa gerakan-gerakan ekstrim kanan (far night) dan ekstremis kiri (left right) meningkat cukup drastis sebelum dan setelah krisis. Dari hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk memahami apa yang terjadi saat ini.
Salah satu yang menanggung krisis dan terkena dampak dari gerakan ekstremisme adalah perempuan. Kamala kemudian memetakan tiga hal yang menjadi fokus krisis yang dihadapi oleh perempuan. Krisis iklim, Menurut Kamala, adanya virus corona dapat menghentikan perputaran roda ekonomi, sosial dan politik. Pesan yang disampaikan oleh virus ini adalah seluruh sistem ekonomi yang sudah dibangun, memperlakukan alam sebagai tempat untuk akumulasi kekayaan, apa yang tersedia di alam semesta seakan-akan untuk dikuasai dan dijadikan sebagai alat hidup, adalah salah. Pandemi akan terjadi lagi jika kita tidak mengubah pola-pola industri, pertanian, dan cara kita berpikir tentang alam. Pandemi adalah krisis. Krisisnya bukan sekadar memakai masker dan menjaga jarak, tetapi krisis tersebut menciptakan penyakit-penyakit baru yang akan mematikan.
Kedua Krisis pangan dan energi akibat perang. Krisis ekonomi akibat Perang Rusia-Ukraina berdampak pada kehidupan kita sekarang. Kita harus siap jika perekonomian negara kita semakin memburuk. Negara-negara yang saat ini berkuasa di bidang ekonomi sedang berseteru, tentu hal itu akan menciptakan eskalasi geopolitik dan dampaknya adalah militerisasi dan meningkatnya persenjataan.
Kretiga soal Otoritarianisme. Istilah ekstremisme-radikalisme bukanlah istilah baru. Kedua istilah ini pernah digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menanggalkan gerakan yang dibuat oleh Pangeran Diponegoro. Belanda menyebut para pejuang Indonesia sebagai ekstremisme ketika mereka ingin menguasai Indonesia kembali setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan. Hingga sekarang, istilah tersebut sangat kontekstual, bukan istilah yang netral, tetapi mempunyai misi politik. Begitu juga dengan gerakan perempuan yang sering dipahami sebagai gerakan ekstremis. Selain kedua istilah itu, kita juga sering mendengar istilah islamisme, yaitu ideologi totalitarian dengan pusat ideology keagamaan, interpretasi holistik, mempunyai misi penguasaan dunia, dan memanfaatkan segala cara untuk mencapai tujuan akhir.
Sebagai ideologi totalitarian, kekerasan bukan satu-satunya cara bagi islamisme untuk mencapai tujuannya. Islamisme percaya pada ketidakterpisahan antara agama, gaya hidup keseharian, dan pemerintahan. Menurut Mozaffer, islamisme adalah gerakan yang terbelah tanpa ada sumber kepemimpinan global yang tunggal dengan perwujudan yang beragam di tingkat nasional.
Ada yang menyebut kondisi krisis kita hari ini dengan polycrisis. Krisis hari ini bukan lah krisis tunggal, tetapi krisis yang berlapis-lapis sehingga kita tidak bisa menyebutnya sebagai krisis lagi, tetapi polycrisis. Perempuan akan menanggung dampak poly crisis tersebut (krisis iklim, pangan, energi, dan otoritarianisme).
Kita harus membongkar cara berpikir dan pengetahuan yang sektoral. Jika yang dihadapi adalah sebuah ideologi, kita harus menjawabnya dengan ideologi tandingan yang berangkat dari pengalaman hidup perempuan. Tawaran Nyai Nur Rofi’ah ‘Keadilan Hakiki’ berangkat dari kondisi biologis perempuan. Kita perlu menempatkan paradigma dan cara berpikir yang disampaikan Nur Rofi’ah dalam konteks poly krisis dunia hari ini. Ada yang mengatakan, saling merawat (care manifesto) adalah sebuah jawaban untuk era ke depan.
Mengakhiri pemaparan materinya, Kamala menegaskan bahwa KUPI adalah sebuah ideologi atau cara pandang baru tentang bagaimana hidup dalam sistem peradaban dunia dengan akar lokalitas. Saat membicarakan ekstremisme-radikalisme, kita tidak sekadar memantau orang yang bergabung dalam gerakan itu. Kita harus memahami ideologinya. Ideologi hanya bisa diatasi dengan ideologi dan gerakan.
Hal lain yang muncul juga soal Narasi Jihad; Sebagai stimulus, Lies Marcoes memulai dengan membahas terlebih dahulu mengenai gerakan Diponegoro. Mulanya, gerakan Diponegoro dimaknai sebagai gerakan nasionalis-sekuler. Namun, dalam pandangan Pemerintah Kolonial Belanda, gerakan itu disebut gerakan radikal. Gerakan Diponegoro sama sekali tidak ada hubungannya dengan pandangan keagamaan. Namun dalam perkembangannya, ada tokoh-tokoh yang dapat menemukan bahwa gerakan itu muncul dari pandangan keagamaan. Dari sana lah pandangan keagamaan bisa mempengaruhi ideologi untuk melakukan perubahan.
Selanjutnya, Lies memperlihatkan 13 narasi tentang jihad baik yang bersumber dari ayat, hadits dan fatwa. Lalu peserta diajak untuk memilih mana saja ayat, hadits, ataupun fatwa yang menurut mereka mempunyai pengaruh pada diri mereka terkait makna jihad yang mereka yakini. Setiap peserta mempunyai tafsiran yang berbeda dari setiap ayat dan hadits yang ada.
Seperti memaknai QS. al-Baqarah ayat 218: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Lies mengajak peserta untuk merenungkan kembali makna dari ayat-ayat, hadits dan fatwa tersebut. Jihad untuk laki-laki adalah berperang, sedangkan jihad untuk perempuan adalah haji dan umrah, berbuat baik kepada suami, melayani suami. Dari sini dapat dilihat bahawa ada pendefinisian yang berbasis pada gender. Pendekatan lainnya, perempuan boleh berjihad namun perempuan harus menjadi laki-laki terlebih dahulu atau dimaskulinkan.
Pemahaman dan pemaknaan jihad yang didapatkan dari ayat dan hadits dapat mempengaruhi orang lain. Hal itu disampaikan dan dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui pengajian, media sosial, ceramah, dan lainnya. Narasi tentang jihad menyebar ke mana-mana dan tentu kita tidak bisa mengontrolnya. Narasi tentang jihad dari teks keagamaan bisa berubah sedemikian rupa karena ada pemaknaan dari banyak orang.
Narasumber ketiga adalah Noor Huda Ismail. Ia menyampaikan baik cerita maupun narasi adalah kejadian yang sama, namun framing-nya berbeda. Masuk pada tema inti kelas ini, Noor Huda menyampaikan bahwa orang yang terlibat dalam kasus terorisme atau radikalisme karena ideologi. Seseorang dapat bergabung dengan kelompok terorisme karena persoalan domestic, maskulinitas, individu, relasi bapak-anak yang tidak baik. Dalam hal ini, keamanan negara (state security) masih sangat kuat dalam menghadapi kasus-kasus terorisme.
Namun hal yang luput diperhatikan, terorisme juga merasakan keamanan insani/ individu (human security)—jiwa mereka, relasi bapak-anak lelaki atau perempuan. Orang yang terlibat dan bergabung dengan kelompok terorisme dapat dipenjara, kehilangan menjadi bapak yang baik atau menjadi suami yang baik.
Noor Huda membagi narasi menjadi tiga. Pertama, narasi induk, yaitu narasi yang diyakini kebenarannya oleh kultur tertentu—dalam konteks Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Satu narasi bisa dimaknai berbeda-beda. Kedua, narasi kelompok. Al-Qur’an atau Hadits-nya sama, namun tafsirnya berbeda dalam kelompok tersebut. Karena itu, memilih kelompok menjadi sangat penting. Ketiga, narasi individu atau subjektif.
Noor Huda juga menyampaikan keterlibatan seorang perempuan dalam pendanaan teror di Indonesia. Seorang perempuan dengan latar belakang keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Ia lompat pagar dan terlibat dalam pendanaan teror karena narasi di media sosial. Narasi yang berkembang di media sosial terus menerus dan bersifat gender. Perempuan dan laki-laki mempunyai cara yang berbeda untuk menjadi radikal. Seorang perempuan ingin bergabung dengan kelompok radikal karena ia ingin punya laki-laki (agen penerus jihad).
Apa yang dialami seorang perempuan yang terlibat dan tergabung dalam kelompok radikal adalah buah dari narasi yang bisa menyebar dengan melalui media sosial. Siapa saja boleh menarasikan apapun selama mereka mempunyai kemampuan untuk bernarasi. Para teroris berhasil menyampaikan ajaran radikalisme di media sosial dan internet, tidak lagi melalui pengajian-pengajian. Masalah yang terjadi di Indonesia adalah susah bertemu kiai atau ustaz yang benar mencari informasi keagamaan di media sosial. Kita perlu memahami isu ini dari dalam sendiri (emic understanding), di mana pelaku bercerita dan berefleksi atas apa yang sudah dilakukan.
Kelas diakhiri dengan sesi tanya jawab dan diskusi terkait narasi jihad yang terus berkembang baik di pesantren, diskriminasi terhadap kelompok Syiah yang dianggap kafir, dan variasi narasi dominan di media sosial. Menurut Lies, hal yang dominan adalah gagasan bagaimana menjadi lelaki yang akan membawa dirinya dan keluarganya ke surge. Narasi yang digunakan adalah Surat Yusuf, dimana cerita tentang Nabi Yusuf diterjemahkan dan di cocok-cocokkan dengan perjuangan seorang jihadis. Seorang jihadis berhadapan dengan thaghut. Narasi itu dimaknai sebagai narasi tunggal terkait radikalisme (single story about radicalism). Hal itu juga yang terus-terusan dinarasikan di media sosial. [] (ZA)
Selengkapnya untuk mendapatkan informasi tentang dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Paralel tentang Membangun Pengetahuan dan Kesadaran Kritis Soal Gender dan Radikalisme Agama.