Draft Tulisan Satu: Perbedaan revisi
Faqihuddin (bicara | kontrib) |
Faqihuddin (bicara | kontrib) |
||
Baris 1.037: | Baris 1.037: | ||
Artikel ini adalah bahan diskusi internal Alimat pada tahun 2015 yang dipersiapkan untuk draft buku tentang konsep dan hukum keluarga Islam dalam perspektif keadilan gender Islam. | Artikel ini adalah bahan diskusi internal Alimat pada tahun 2015 yang dipersiapkan untuk draft buku tentang konsep dan hukum keluarga Islam dalam perspektif keadilan gender Islam. | ||
Footnote: | |||
<references /> | <references /> | ||
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]] | [[Kategori:Diskursus Hukum Islam]] |
Revisi per 19 Januari 2022 00.26
Keluarga merupakan sekolah pertama tempat manusia belajar relasi gender. Orang-orang dewasa dalam sebuah keluarga setiap saat memperlihatkan relasi gender pada anak. Cara berkomunikasi dan bersikap ayah-ibu, kakek-nenek, paman-bibi yang disaksikan secara terus menerus setiap hari akan diserap dengan kuat oleh seorang anak dan mempengaruhi cara berfikir, berucap, dan bertindak anak hingga usia remaja, dewasa, bahkan usia lanjut.
Seorang anak yang kerap melihat ibunya melayani segala keperluan ayah dan melihat ayah tidak sekali pun mengurus urusan rumah tangga secara tidak sadar akan membangun konsep bahwa tugas ibu adalah melayani ayah dan rumah tangga adalah urusan ibu. Sebaliknya seorang anak yang kerap melihat ayah dan ibunya sama-sama bekerja di luar rumah, secara bergantian memandikan dirinya, ayah kadang-kadang masak, dan ibu kadang-kadang dinas keluar kota karena pekerjaan, akan secara tidak sadar membangun konsep bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama dapat berkarir dan rumah tangga adalah urusan bersama.
Relasi gender dalam keluarga sebagai unit sosial terkecil kerap menjadi model bagi relasi gender di unit sosial yang lebih besar yaitu masyarakat, negara, bahkan dunia. Pola relasi gender yang diserap dari keluarga sebagai sekolah pertama, tidak hanya berpengaruh pada sikap anak di dalam keluarga, melainkan juga di ruang publik seperti sekolah, tempat bermain, tempat kerja, organisasi, masyarakat, negara, dan pergaulan intenasional. Ketika kepala keluarga diidealkan laki-laki, maka demikian pula yang diidealkan bagi kepala agama, kepala adat, kepala lembaga sosial kemasyarakatan, kepala negara, hingga pimpinan lembaga internasional.
Di sinilah pentingnya keluarga diberikan perhatian yang memadai dalam gerakan kesetaraan dan keadilan gender. Gerakan perempuan mungkin berhasil membuat pendidikan tertinggi dapat diakses perempuan. Namun demikian ketika relasi gender dalam keluarga bermasalah, maka dia tidak bisa bekerja membangun karir hanya karena tidak ada ijin suami. Demikian pula seorang perempuan mungkin mempunyai kepemimpinan yang bagus dan diakui dan dikehendaki oleh masyarakat untuk memimpin. Namun ketika ayah tidak mengijinkan, maka potensi kepemimpinan perempuan tersebut menjadi tinggal potensi belaka.
Sayang sekali pemahaman agama kerap dijadikan legitimasi bagi pelemahan perempuan di dalam keluarga yang berakibat langsung pada pelemahan perempuan di ruang publik. Akad nikah dilakukan oleh calon mempelai laki-laki dan ayah atau wali sehingga sebagai calon pengantin, syarat dewasa bagi perempuan kerap dianggap tidak penting. Akibatnya adalah pernikahan paksa terutama bagi anak-anak perempuan dalam usia anak bahkan bayi dianggap sah selama ayah atau walinya memenuhi syarat untuk menikahkannya. Kerugian yang dialami anak perempuan seperti putus sekolah meskipun cerdas bahkan terbaik di kelasnya, keharusan berhubungan seksual di masa anak-anak sebagai isteri, kemudian hamil dan melahirkan di usia anak-anak sebagai ibu, dianggap sebagai kewajaran bagi perempuan.
Kehidupan keluarga mempunyai banyak dimensi. Oleh karena itu, aturan negara yang berkaitan dengan keluarga tidaklah hanya undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Seluruh peraturan perundangan yang berkaitan dengan ekonomi misalnya, jelas berkorelasi dengan ekonomi keluarga. Demikian halnya dengan aturan negara dalam pengelolaan lingkungan hidup seperti air tentu memberi pengaruh pada keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan air. Demikian seterusnya termasuk pemahaman agama.
Indonesia memang bukan negara Islam. Namun sebagai agama yang dianut oleh masyoritas warga negara, ajaran Islam memberi pengaruh kuat tidak hanya pada kehidupan sosial melainkan juga pada leval negara. Relasi gender dalam keluarga yang didasarkan pada ajaran Islam, juga memberikan pengaruh secara signifikan pada relasi gender yang dianut oleh negara Indonesia. Membangun relasi gender yang setara dan adil dalam dalam keluarga Muslim, dengan demikian juga berdampak langsung pada kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat dan negara Indonesia.
Mengenal Qiwamah dan Wilayah
Dalam Fiqh (Hukum Islam), relasi gender dalam keluarga diatur melalui dua konsep kunci yang disebut dengan Qiwamah dan Wilayah. Secara umum, kedua konsep ini mengatur bahwa sebelum menikah perempuan berada dalam tanggungjawab ayah melalui konsep wilayah dan setelah menikah ia berada dalam tanggungjawab suami melalui konsep qiwamah (kepemimpinan keluarga).
Menurut Ibnu Mandzur, kata al-qiwamah secara bahasa bermakna قام على الشيء يقوم قياماً yakni penjaga atas sesuatu dan penjamin kemaslahatannya. Kata qayyim berarti seseorang yang bertanggungjawab atas sesuatu, menyelesaikan masalahnya dan menjamin kebutuhannya. Qayyim adalah pemimpin dan pemegang urusan. Istilah qayyim al-qaum mengandung arti pemimpin sebuah kaum yang bertugas menyelesaikan segala urusan mereka. Qayyim al-mar’ah mengandung maksud suami atau walinya karena keduanyalah yang menyelesaikan urusan perempuan dan memenuhi kebutuhannya.[1]
Al-Qawwam mengikuti wazan fa’aal yang menunjukan arti lebih dalam mempertanggungjawabkan sesuatu hal, kekuasaan, serta menjaganya dengan sungguh-sungguh[2]. Al-Baghawi juga mengatakan bahwa qawwam mengandung makna yang lebih kuat daripada al-qoyyim, yakni orang yang menyelesaikan segala kebutuhan (maslahat), mengatur, dan mengarahkan.[3] Secara istilah kata Qiwamah dapat berarti kepemimpinan suami atas istri atau wewenang yang diberikan pada suami untuk menyelesaikan persoalan-persoalan istri dan mengerjakan hal-hal yang dibutuhkannya. Qiwamah Zaujiyah dengan demikian adalah wewenang yang diberikan kepada suami untuk mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan istri dengan mengatur dan melindunginya. Dalam arti ini qiwamah merupakan tanggungjawab suami dan penghormatan untuk istri.[4]
Adapun kata wilayah memiliki pengertian yang serupa namun tidak sama dengan qiwamah. Menurut Ibn al-Mandzur ada dua kata yang mirip satu sama lain, yaitu wilayah dan walayah. Pada umumnya para ahli bahasa seperti Al-Farra’, Sibawaih, Ibn Sakit, dan lainnya membedakan kedua kata tersebut. Wilayah dan Walayah sama-sama berarti pertolongan, nasab atau pembebasan budak, namun kata wilayah mengandung arti kekuasaan, sedangkan kata walayah tidak. Subjeknya disebut dengan wali yang berarti teman atau penolong. Secara istilah kata wali berarti setiap orang yang menyelesaikan atau mengurus suatu masalah.[5] Ibn Mandzur juga menyebutkan bahwa menurut Ibn Al-Atsir istilah wilayah berhubungan erat dengan pengaturan, kemampuan dan pelaksanaan, dan jika tidak memiliki ketiga unsur tersebut, maka seseorang tidak bisa disebut dengan wali.[6]
Baik kata qiwamah maupun wilayah, keduanya mengandung unsur tanggungjawab. Untuk melaksanakan tanggungjawab ini, seorang ayah dan suami diberi wewenang mengatur perempuan dalam keluarga. Peralihan tanggungjawab ayah ke suami atau dari wilayah ke qiwamah terjadi saat akad nikah selesai dilafalkan. Oleh karenanya subjek akad nikah adalah ayah dan calon suami. Dalam sebuah masyarakat di mana perempuan dipandang lemah dan kerap dipermainkan, maka berhadap-hadapannya calon suami dengan ayah perempuan dalam akad nikah mempunyai makna sosial bahwa calon suami tidak bisa mempermainkan perempuan karena dia akan berurusan dengan sesama laki-laki yaitu ayahnya.
Relasi gender dalam keluarga yang didasarkan pada konsep qiwamah dan wilayah ini tentu bersifat estafet sehingga seorang perempuan dalam keluarga selalu berada dalam kepemimpinan laki-laki, baik sebelum maupun setelah menikah. Qiwamah dan wilayah dengan demikian mempengaruhi relasi gender dalam kehidupan keluarga baik pada masa pra-nikah, selama menikah, maupun pasca cerai baik cerai hidup atau mati.
Luasnya spektrum Qiwamah dan Wilayah menunjukkan besarnya pengaruh kedua konsep ini dalam kehidupan seorang Muslim. Jika keduanya berhasil dirumuskan dan diterapkan dalam spirit keadilan gender, maka dapat terjadi percepatan dalam pencapaian keadilan gender di dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Demikian pula sebaliknya, konsep qiwamah dan wilayah yang dipahami dan dipraktekkan secara bias menjadi halangan serius dalam pencapaian keadilan gender di berbagai sendi kehidupan, lebih-lebih jika dilegitimasi oleh ajaran agama dan negara.
Qiwamah dan wilayah sebagaimana konsep-konsep lain yang berkembang dalam Islam, tidaklah muncul dalam situasi hampa budaya. Kedua konsep ini merupakan respon Islam atas relasi gender yang sangat buruk dalam tradisi masyarakat Arab jahiliyah. Pengabaikan konteks ini dapat menyebabkan kegagalan mempertahankan spirit perlindungan yang semula sangat kuat mewarnai keduanya.
Masyarakat Arab memandang identitas gender sebagai sesuatu yang sangat penting. Hal ini antara lain direfleksikan oleh bahasa Arab yang menjadikan identitas gender seseorang atau sesuatu sebagai penentu bentuk kata kerja (fi’il), kata ganti (isim dlomir), kata tunjuk (isim isyaroh), kata sifat (isim naat), kata sambung (isim maushul). Kedudukan identitas gender bagi masyarakat Arab adalah setara dengan kedudukan kelas sosial dalam masyarakat Jawa, dan waktu (tenses) bagi masyarakat pengguna bahasa Inggris. Ketiganya menjadi pusat kesadaran masyarakat masing-masing.
Sayangnya relasi gender yang terbangun dalam bahasa maupun budaya Arab sangat bias. Tentu ini merefleksikan pengalaman masyarakat Arab dalam memperlakukan perempuan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kebencian masyarakat Arab terhadap perempuan itu paling tinggi dibandingkan dengan kebencian pada lainnya.[7] Al-Qur’an mengisyaratkan kebencian tersebut dalam surat an-Nahl/19:58-59 sebagai berikut:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَى مِنَ لْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
Pada masa pra-Islam, perempuan Arab berada di bawah kekuasaan penuh laki-laki. Perempuan adalah bagian dari sesuatu yang diwariskan. Dalam menjelasakan surat an-Nisa/4:19, ath-Thabari mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan tradisi Arab saat itu di mana jika salah seorang perempuan ditinggal mati suaminya, maka anaknya atau kerabatnya lebih berhak atas diri perempuan itu dari siapa pun termasuk dari diri perempuan itu. Merekalah yang memutuskan apakah perempuan tersebut akan dinikahinya, dinikahkan dengan orang lain, atau bahkan dilarang menikah sepanjang hidupnya.[8]
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa di antara topik terpenting yang dibawa al-Qur’an berkaitan dengan perkawinan adalah perintah untuk berlaku adil pada perempuan, membebaskannya dari kezaliman jahiliyyah, dan dari tindakan otoriter suami dalam menentukan kehidupannya. Al-Qur’an memberikan kehormatan pada perempuan baik sebagai anak, isteri, ibu maupun sebagai anggota masyarakat.[9] Qardhawi mempunyai gambaran menarik tentang cara masyarakat Arab memperlakukan sebagai berikut:
Ketika itu wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak untuk menggunakan hartanya tanpa persetujuan isteri. kaum laki-laki di banyak negeri berbeda pendapat tentang hakikat wanita apakah ia seorang manusia yang mempunyai jiwa dan ruh yang kekal seperti pria atau tidak? Apakah ia beragama dan sah iabdahnya atau tidak? Apakah ia nanti masuk surga atau masuk neraka? Salah satu konsili di Roma menetapkan bahwa wanita adalah hewan najis yang tidak mempunyai ruh dan kekekala, namun ia wajib beribadah dan berkhidmah agar mulutnya dibungkam seperti sapi dan anjing peliharaan, untuk mencegahnya tertawa dan bebricara, karena ia adalah alat penggoda setan, salah satu undang-undang membolehkan orangtua menjual anak wanitanya, sebagian orang Arab berpendapat seorang bapak mempunyai hak untuk mengubur anak wanitanya hidup-hidu. Dan di antara mereka ada yang berpendapat seorang laki-laki tidak dihukum qishas dan tidak perlu membayar diyat jika membunuh seorang wanita.[10]
Hal serupa dikemukakan oleh sejarawan Haekal dalam buku Hayat Muhammad. Ia mengatakan sebagai berikut:
Pada jaman jahiliyah orang-orang Arab itu belum mengenal arti suatu organisasi yang tetap, selain apa yang sudha berjalan menurut adat istiadat. Mereka tida punya suatu ketentuan keluarga, suatu undang-undang perkawinan dan syarat-syarat perceraian....pada dasarnya hubungan pria dan wanita dalam masyarakat Arab itu seluruhnya –berdasarkan bukti-bukti al-Qur’an serta peninggalan-peninggalan sejarah masa itu- todak lebih adalah suatu hubungan jantan dengan betina, dengan sedikit perbedaan, sesuai dengan tingkat-tingkat kelompok dan golongan-golongan kabilah masing-masing yang pada umumnya tidak jauh dari cara hidup yang masih mirip-mirip dengan tingkatan manusia primitif...juga pada masa itu maslaah poligami dan perbudakan tanpa ada batas atau sesuatu ikatan. Laki-laki boleh kawin sesukanya, boleh mengambil gundik sesukanya. Mereka semua boleh saja beranak sesuka-sukanya...[11]
Keterangan di atas sejalan dengan kesaksian Umar bin Khatab dalam sebuah hadis yang berbunyi sebagai berikut:
Kami semula sama sekali tidak menganggap kaum perempuan. Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru menyadari bahwa ternyata mereka juga memiliki hak-haknya tersendiri yang tidak bisa kami intervensi. (HR Bukhari)
Salah satu strategi yang digunakan al-Qur’an dalam melakukan perubahan sosial adalah dengan mempertahankan memberikan spirit baru pada sistem yang ada. Demikian yang terjadi pada relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Islam memberikan ruh baru berupa perlindungan laki-laki atas perempuan pada relasi gender keluarga yang semula diwarnai oleh superioritas tanpa batas laki-laki atas perempuan. Qiwamah dan wilayah adalah relasi gender dalam keluarga di mana laki-laki diberi mandat untuk melindungi, bukan menguasai perempuan. Perempuan di bawah perlindungan (bukan penguasaan) laki-laki sebelum menikah melalui wilayah dan setelah menikah melalui qiwamah. Relasi gender diperbarui sedikit demi sedikit dengan menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai hamba Allah, kesetaraan di ruang publik, dan kesetaraan di dalam rumah tangga.
Transformasi cara pandang atas perempuan baik sebagai hamba Allah, di ruang public, dan dalam keluarga member dampak pada relasi gender dalam keluarga di mana sebelumnya dijiwai oleh kekuasaan menjadi perlindungan. Salah satu contoh revolusioner dalam hal ini ada pada waris. Jika semula perempuan menjadi bagian yang diwariskan, maka mereka kemudian mendapatkan jaminan untuk memperoleh waris hingga setengah dari bagian laki-laki (misalnya surat an-Nisa/4:11), bahkan bisa mewariskan (Misalnya an-Nisa/4:12)
Namun demikian, dominasi pemahaman fiqh yang menitikberatkan pada petunjuk literal daripada kontekstual dan minimnya keterlibatan perempuan, maka spirit perlindungan dalam dua konsep kunci yang menentukan relasi gender dalam keluarga ini mempunyai kecenderungan untuk diabaikan sehingga qiwamah dan wilayah malah berbalik menjadi peneguh kekuasaan laki-laki atas perempuan. Pembagian peran yang semulabersifat fleksible dibakukan agar memberikan kepastian. Perubahan sosial yang terjadi sepanjang sejarah pasca turunnya al-Qur’an tidak dipandang penting sehingga pembakuan kewajiban dan hak yang sama dapat justru melahirkan ketidakadilan pada perempuan.
Qiwamah dan Wilayah dalam Kehidupan Perempuan
Qiwamah dan wilayah sejatinya adalah konsep dalam hukum Islam (Fiqh). Meskipun keduanya tidak disebutkan secara langsung, namun pengaruh konsep ini dalam pengaturan keluarga di Indonesia sangat kuat. Hal ini terlihat pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Pada Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan dijelaskan peran suami dan isteri sebagai berikut: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Peran keduanya kemudian dirinci dalam pasal 34 ayat 1-3 sebagai berikut:
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Undang-undang Perkawinan tersebut oleh tokoh-tokoh Muslim dianggap kurang mewakili aspirasi mereka sepenuhnya sehingga disusunlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang khusus mengatur dan menjadi rujukan utama perkawinan di kalangan masyarakat Muslim. KHI mengatur secara lebih rinci peran suami-isteri dalam Bab XII tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri pada Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Isteri pada Pasal 79 Ayat 1 sebagai berikut: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”
Peran suami dlam KHI secara lebih rinci dijelaskan pada Bagian Ketiga tentang Kewajiban Suami Pasal 80 sebagai berikut:
1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
3. biaya pendididkan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Sementara peran isteri dalam KHI dirinci di Bagian Keenam tentang Kewajiban Isteri Pasal 83 yang hanya memuat dua pasal sebagai berikut:
1. Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Berbeda dengan aturan kewajiban suami, kewajiban isteri langsung disertai dengan Pasal 84 tentang konsekuensi pelanggaran kewajiban sebagai berikut:
1. Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
2. Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz.
4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Didukung oleh UU Perkawinan dan KHI, peran gender dalam keluarga atas dasar qiwamah dan wilayah semakin kokoh dibakukan dan mewarnai pola keluarga di Indonesia. Pembakuan peran gender dalam tafsir agama maupun negara tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Laki-laki selalu lebih kuat daripada perempuan, baik secara fisik, ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun secara spiritual dan lainnya sehingga layak berfungsi sebagai kepala keluarga.
2. Laki-laki selalu memiliki harta lebih banyak daripada isteri sehingga suami diwajibkan menafkahi isterinya.
3. Setiap keluarga selalu mempunyai laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga.
Sayangnya dalam realitas tidak semua asumsi tersebut benar adanya. Agama dan negara sama-sama memandang bahwa nafkah adalah kewajiban laki-laki yang berarti menjadi hak bagi perempuan baik sebagai anak, isteri, maupun ibu. Dalam realitasnya banyak pasangan isteri yang mempunyai kelebihan atas suami baik secara fisik, sosial, bahkan agama. Tidak sedikit isteri yang berasal dari keluarga kaya dan suami sebaliknya, atau isteri mempunyai karir bagus sementara suami tidak beruntung mendapatkan karir yang sepadan. Banyak juga pasangan suami isteri yang sama-sama bekerja sepanjang hari namun kebutuhan sandang, pangan, dan papan belum mampu dipenuhi dengan baik. Hal ini berarti bahwa banyak perempuan sesungguhnya memberikan konstribusi signifikan pada ekonomi keluarga bahkan menjadi pencari nafkah tunggal keluarga.
Pembagian peran dalam keluarga berimplikasi pada adanya hak dan kewajiban yang semestinya bersifat paralel, yakni hak diberikan selama kewajiban dijalankan. Demikian pula peraturan dalam agama dan negara di atas kertas semestinya juga paralel dengan yang terjadi dalam realitas. Pembakuan peran gender di satu sisi dan lemahnya penegakan hukum di sisi lain menyebabkan laki-laki yang tidak menjalankan kewajiban tetap mendapatkan haknya. Sebaliknya perempuan yang mengambil alih kewajiban laki-laki dalam keluarga tetap tidak diberi hak laki-laki.
Ketika perempuan ditelantarkan oleh suaminya, kemudian dia merawat sendiri anak perempuannya sejak lahir. Begitu anak memasuki usia dewasa dan ingin menikah, maka yang dianggap berhak menjadi wali nikah tetaplah ayahnya. Padahal dia tidak menafkahinya sepeser pun sejak lahir. Sementara ibu yang mengambil alih kewajiban ayahnya yakni menafkahi anak seorang diri, tetap sama sekali dipandang tidak berhak untuk menjadi wali anaknya. Seorang perempuan yang mengalami hal ini sempat menuturkan keinginannya sebagai berikut:
Setelah bercerai suami masih suka menengok anak-anaknya, namun hanya semaunya saja kadang 1 bulan sekali,kadang 1 tahun sekali, dan itu pun hanya mengajak jalan-jalan di mall saja dan setelah pulang kerumah tidak diberikan untuk nafkah sehari-harinya dan biaya sekolah.…Pernah terfikir untuk menuntut hak nafkah anak ke Pengadilan namun dirasa sia-sia saja. Dan berniat wali untuk anak perempuan saya pada saat menikah kelak tidak ingin diwalikan oleh bapaknya.[12]
Di negara kita, kemiskinan dan tidak adanya jaminan pemenuhan atas kebutuhan pokok hidup oleh negara maupun lembaga yang mengurus dana umat, serta tidak adanya penerapan sanksi bagi laki-laki yang menelantarkan telah menyebabkan anak-anak termasuk anak-anak perempuan bahkan membantu nafkah keluarga sejak dini.
....Saya sendiri sudah mulai ikut mencari nafkah untuk keluarga, sejak lulus SD, yaitu sekitar tahun 1993, umur saya waktu itu 15 tahu. Saya kerja di pabrik, Saya masuk pabrik dengan bantuan calo, bayar ke dia 100.000 rupiah. Hasilnya tidak seberapa tetapi lumayanlah, 50.000 per dua minggu, pada waktu itu uang sebesar itu...buat jajan-jajan dan keperluan Saya sendiri mah tercukupi, tidak perlu tergantung pada pemberian orang tua.[13]
MS sudah mulai kerja cari duit dari masih kecil, abis lulus SD, langsung kerja sampai tahun lalu, mula-mula cuma kerja rumahan, bantu-bantu tetangga bibi yang buka usaha bikin es; MS dapet upah... uang jajan namanya. Terus waktu MS berumur 14 tahun, MS dimasukkan kerja di pabrik sepatu… Upah yang MS dapat sekitar Rp 250.000 per bulan, sudah termasuk uang lembur. Upah yang didapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari dan membiayai pendidikan adik.[14]
AS dan MS tidaklah sendirian. Menurut laporan ILO (International Labour Office) pekerja anak Indonesia telah mencapai angka 3,7 juta pada tahun 2009 berumur 10-17 tahun. Artinya lebih dari 10 % dari jumlah penduduk indonesia yang yang berusia 10-17 tahun yaitu 35.7 juta, telah bekerja dan mayoritasnya ada di sektor buruh.[15] Pendidikan yang snagat minim dan keterampilan yang belum memadai memaksa anak terjun dalam dunia pekerjaan dengan kategori kotor, sulit, dan bahaya (3D: dirty, difficult, and dangerous). Di samping sektor perburuhan, anak-anak juga dipekerjakan di jalanan.
Anak jalanan perempuan juga banyak dipekerjakan dengan cara-cara yang memprihatinkan. Dalam tulisan Profil Pekerja Jalanan (Anak Jalanan Perempuan yang Dilacurkan) disebutkan bahwa 10% jenis kelamin dari 5.000 anak jalanan yang teridentifikasi adalah perempuan. Dalam tulisan ini terdapat pengakuan seorang anak perempuan jalanan yang berusia 16 tahun. Siang hari bersama beberapa teman perempuannya ia bekerja di dalam bis-bis kota sampai jam tiga sore. Malam harinya mereka dilacurkan oleh preman setempat melayani sopir bemo, kenek, tukang becak dan preman. Mereka diharuskan setor Rp 35.000 per hari dan hanya mendapatkan Rp 5.000,- darinya. Hal yang sama dialami oleh anak-anak perempuan di sepanjang rel di daerah setempat. Dengan tarif 3.500 sekali main anak-anak dipaksa melakukan pekerjaan itu baik oleh ibu mereka, semang maupun teman sebaya mereka.[15]
Minimnya akses pendidikan pada jenjang yang tinggi dan terbatasnya keterampilan yang dimiliki, menjadi faktor penting mengapa perempuan banyak berada dalam sektor pekerjaan yang beresiko tinggi. Di samping pekerja jalanan, perburuhan dalam negeri, perempuan Indonesia juga banyak menjadi buruh migran atau dikenal dengan sebutan TKW.
Menjadi pekerja migran, meskipun beresiko tinggi, menjadi pilihan bagi banyak jutaan warga negara Indonesia, termasuk perempuan. Banyak di antara mereka yang sebetulnya sudah mengetahui pengalaman buruk TKW, bahkan mengalami sendiri. Namun demikian, tuntutan hidup yang terus meningkat, sementara pekerjaan dengan syarat mudah, dan gaji memadai sulit ditemukan di tanah air menyebabkan banyak perempuan tetap memutuskan untuk kembali menjadi pekerja migran meskipun telah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.
Saya bekerja di Saudi sampai empat kali, Keberangkatan pertama pada tahun 1998, Saya berangkat tiga tahun setelah perkawinan. Pada keberangkatan yang pertama ini Saya bekerja di dua majikan, yang pertama Saya Cuma kerja 6 bulan... terus kabur ke embesi (embassy) karena majikan coba-coba, Saya lari dan dapat majikan baru, di sini dua tahun penuh... jadi di Saudi yang pertama Saya kerja total 2 tahun lebih...Lalu Saya berangkat lagi pada pertengahan tahun 2001 hingga pertengahan 2003. Cuti sebentar, lalu berangkat lagi yang ketiga pada tahun 2003-2005. Keberangkatan yang keempat tahun 2005. Saya kembali tahun 2007.[17]
Hingga akhir tahun 2008, Pemerintah RI memperkirakan bahwa ada sekitar 4,3 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Jumlah ini tentu akan membengkak jika ditambahkan pekerja tidak berdokumen. Migrasi tenaga kerja perempuan meningkat pesat sejak krisis keuangan Asia di tahun 1997. Prosentase jumlah mereka meningkat tajam menjadi 80% dari total pekerja migran Indoensia dan merupakan tertinggi di Asia Tenggara.[18]
Berbeda dengan laki-laki yang dapat bekerja dengan tenang karena tugas rumah tangga menjadi tugas perempuan, maka perempuan pekerja pada umumnya tetap diharuskan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga meskipun ketika suami dalam kondisi tidak bekerja. Lebih-lebih perempuan yang menjadi orangtua tunggal bagi anaknya baik karena perceraian maupun karena penelantaran suami. Perempuan seperti ini sebetulnya adalah perempuan kepala keluarga yang mempunyai tugas ganda, yakni sebagai ayah sekaligus ibu
Aku bekerja membanting tulang dengan menjadi petani. Aku mencangkul dan menanam padi dengan penuh semangat karena mengharapkan hasil yang memuaskan. Di samping petani sawah, aku membuat kue basah yang dititipkan di warung-warung kopi yang tidak jauh dari tempat tinggalku....sesudah mengantar kue ke warung sekitar jam 7 pagi, aku menyediakan sarapan pagi sekaligus menyuapi anak sebelum berangkat sekolah....[19]
Pemahaman agama maupun aturan negara yang membakukan peran laki-laki sebagai kepala keluarga menyebabkan sosok perempuan dipandang tidak mungkin menjadi kepala keluarga. Sekali pun jumlah mereka jutaan, namun tidak dianggap ada sehingga mendapatkan kesulitan ketika mengurus surat-surat penting keluarga.
Kalau mengurus apa-apa itu sulit sekali. Kayaknya kita nggak dianggap. Kita nggak pernah dilibatkan, kayaknya kita itu dianggap ngga ada. Juga gangguan karena kita nggak punya suami, kita dianggap remeh sekali. Karena kita itu sendiri, yang ditakuti sama mereka itu tidak ada. Jadi merasa tidak aman juga.[20]
Keberadaan pekerja migran perempuan, perempuan pencari nafkah tunggal keluarga, dan perempuan yang menjadi orangtua tunggal betul-betul membalik konsep keluarga yang diidealkan oleh agama dan negara. Perempuan yang dikonsepkan berada di rumah karena semua keperluannya akan dipenuhi oleh laki-laki, dalam realitasnya bertebaran mencari nafkah. Mereka bahkan tidak hanya keluar rumah sebentar, melainkan keluar negeri selama bertahun-tahun. Mereka keluar negeri bukan untuk pesiar, melainkan untuk menafkahi keluarga yang konon menjadi haknya. Mereka tidak hanya menafkahi diri sendiri dan anaknya, melainkan juga ayah dan suami yang konon berkewajiban menafkahinya.
Demikian halnya dengan KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) dalam konsep wilayah. Laki-laki diberi mandat khusus untuk melindungi perempuan dalam keluarga mereka melalui mekanisme wilayah. Pelaku KDRT pada umumnya adalah mahram perempuan yang anatara lain mempunyai fungsi melindungi mereka dari gangguan orang lain ketika keluar rumah. Seorang laki-laki yang melakukan tindakan KDRT pada isteri atau anak sesungguhnya telah melakukan pengkhianatan atas amanah yang diberikan Allah pada mereka untuk melindungi perempuan dari gangguan orang lain karena malah memberikan gangguan sendiri dengan cara memuku, melukai, mengancam pembunuhan hingga membunuh, dan melakukan pelecehan seksual hingga perkosaan incest.
Ketika saya tanya soal T (isteri mudanya) lagi, dia ambil celurit dikalungkan ke leher saya dan mngancam, ”Kalau tanya lagi soal T, kamu akan saya bunuh!! Ketika dia ambil celurit, saya teriak minta tolong dan dia kalungkan celurit itu sambil mengamcam. Ternyata tetangga di sebelah mendengar teriakan saya lalu dia menyuruh adiknya untuk datang ke saya. Dia ketuk-ketuk pintu depan dan ketika itu saya diancam lagi, ”Awas kalau teriak saya bunuh kamu”. Akhirnya saya diam dan karena diam, tetangga pulang lagi dianggap tidak ada apa-apa. Keesokan harinya saya mau meminjam buku resep makanan ke tetangga. Setelah mau mengembalikan, suami melihat saya langsung marah dan mengancam lagi, ”Kamu keluar dari teras ini, kamu nusyuz hukumnya.” Saya berpikir apa betul ini nusyuz dan saya kembali ke rumah. Dia maish marah akhirnya dia ambil alat dongkrak mobil dari besi yg berat itu akan dihantamkan ke kepala saya. Saya langsung lari ke tetangga ketakutan.[21]
Ada salah satu jamaah ibu-ibu yang menangis menyampaikan sebuah kasus. Cucunya yang masih kelas 5 SD (11 tahunan) hamil. Ibu ini minta pendapat saya apa yang harus dia lakukan karena cucunya masih sekolah dan tidak diketahui siapa yang menghamili. Akhirnya pelan-pelan saya meminta agar neneknya itu mencoba mengusut dengan bertanya pada cucunya. Ternyata cucunya mengatakan bahwa yang menghamilinya adalah kakeknya sendiri![22]
Sayangnya kekerasan terhadap perempuan seringkali mendapat dukungan dari tokoh-tokoh agama. Seorang narasumber penelitian Alimat yang berprofesi sebagai muballighah (penceramah agama) menuturkan bahwa suaminya menikah lagi dengan perempuan lain di tanpa sepengetahuannya. Padahal ketika itu dia sedang diminta kampanye atas pencalonan suami sebagai anggota DPR RI oleh kiai-kiai dari partai yang mencalonkannya,
Ternyata dia (suami) gerilya ke kiai-kiai dan mengatakan isteri sudah tahu dan ternyata penghulu, saksi, dan yang datang pada saat pernikahan suami dengan isteri keduanya secara diam-diam adalah kiai-kiai itu.
Kasus KDRT di atas menunjukkan bahwa dalam realitasnya relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga seringkali melahirkan kesewenang-wenangan. Relasi gender yang didasarkan pada qiwamah dan wilayah lebih-lebih yang tidak disertai dengan spirit perlindungan telah mengubah wewenang laki-laki atas perempuan dalam keluarga untuk memimpin, membimbing, dan melindungi perempuan berubah menjadi kesewenang-wenangan. Rumah yang semestinya menjadi tempat paling aman bagi perempuan dari gangguan orang lain berubah menjadi tempat yang paling berbahaya dari gangguan laki-laki. Suami, kakek, bahkan tokoh-tokoh agama yang semestinya menjadi orang-orang yang paling melindungi perempuan berubah fungsi menjadi orang-orang yang secara sendirian maupun kelompok melakukan ketidakadilan pada perempuan.
Perempuan-perempuan korban KDRT seringkali berada dalam posisi yang memprihatinkan karena kekerasan yang mereka alami kerap luput dari perhatian khalayak sehingga telat mendapatkan pertolongan sehingga pada umumnya terjadi dalam waktu yang cukup lama dan berulang-ulang. Sementara itu, tidak jarang bentuk kekerasan yang mereka terima oleh masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang wajar, bahkan oleh korbannya sendiri. Misalnya adalah pemukulan, poligami, dan perkosaan yang dilakukan oleh suami.
Qiwamah dan Wilayah dalam Fiqh
Keluarga merupakan institusi kecil yang penting dalam kehidupan masyarakat, negara, maupun dunia global. Tidak satu pun manusia yang sejatinya lahir di luar keluarga dan tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali. Qiwamah dan wilayah agak sulit untuk ditentukan mana yang lebih dulu terjadi karena wilayah terjadi karena adanya perkawinan yang menjadi awal terjadinya qiwamah. Sebaliknya qiwamah terjadi karena adanya peralihan dari wilayah melalui akad nikah. Qiwamah dan wilayah juga terkait dengan relasi. Keduanya bisa terjadi secara bersamaan. Seorang perempuan yang menikah, mempunyai hubungan wilayah dengan ayahnya dan hubungan qiwamah dengan suaminya.
Fiqh adalah bagian dari keilmuan Islam yang fokus kajiannya adalah hukum. Fiqh mengatur segala sesuatu dalam perpektif hukum termasuk soal qiwamah dan wilayah. Hukum Islam, sebagaimana hukum-hukum lain mempunyai pendekatan yang positifistik dimana kebenarannya sangat terukur. Kelebihan pendekatan ini adalah adanya kepastian aturan. Adapun kekurangannya adalah adanya kecenderungan untuk mengabaikan hal-hal yang tidak terukur seperti nilai-nilai yang mendasari lahirnya hukum itu sendiri.
Al-Qur’an misalnya menjelaskan memandang pernikahan sebagai janji kokoh (mitsaqan ghalidlan) di mana hubungan suami dan isteri mesti didasarkan pada kasih-sayang (mawaddah wa rahmah) dan secara layak (ma’ruf). Namun para ulama Fiqh melihat pernikahan lebih pada aspek fisiknya, lebih khusus lagi terkait dengan hubungan seksual. Hal ini terlihat dari definisi nikah yang berkembang di kalangan ahli hukum.
Menurut bahasa nikah berarti penyatuan, hubungan badan, atau percampuran. Menurut al-Fara’ sebagaimana dikutip dalam al-Jami’ fi Fqih an-Nisa mengatakan bahwa an-nukh berarti kemaluan.[23] Makna etimologi ini sangat mewarnai pengertian nikah secara terminologi yang diungkapkan oleh para ulama Fiqh sebagai berikut:
1. Madzhab Hanafiyah; nikah adalah sebuah akad yang menyebabkan diperbolehkannya seorang laki-laki bersenang-senang dengan perempuan secara sengaja.[24]
2. Madzhab Malikiyah; nikah adalah akad yang menghalalkan untuk bersenang-senang dengan perempuan yang bukan mahram, bukan seorang Majusi dan bukan budak dari ahli kitab dengan menggunakan shighah tertentu.[25]
3. Syafi’iyah: Nikah adalah akad yang mengandung diperbolehkannya melakukan senggama dengan menggunakan lafal “inkah”, “tazwij” atau terjemahnya.[26]
4. Hanabilah; nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diungkapkan dengan menggunakan lafal “nikah” atau “tazwij” atau terjemahnya.[27]
Ada dua paradigma yang berkembang di kalangan fiqh dalam melihat pernikahan, yaitu sebagai akad pembolehan (aqd al-ibahah) yakni pembolehan laki-laki dan perempuan berhubungan seksual, dan akad pemilikan aqd at-tamlik) yakni akad yang menyebabkan laki-laki memiliki perempuan, baik kepemilikan dalam arti sesungguhnya maupun kepemilikan dalam arti hak guna, baik seluruh tubuh perempuan maupun alat kelaminnya. Paradigma tersebut dan juga definisi-definisi di atas terutama pertama hingga ketiga menjelaskan secara eksplisit bahwa inti pernikahan adalah hubungan seksual.
Sebetulnya pembolehan hubungan seksual hanyalah salah satu implikasi akad nikah. Namun sebetulnya akad nikah memberikan implikasi adanya hak dan kewajiban suami-isteri yang didasarkan pada pembagian peran gender dalam keluarga. Secara umum konsep qiwamah dan wilayah mengatur peran suami isteri dalam keluarga di mana laki-laki adalah penanggungjawab keluarga yang diberi kewajiban mencari nafkah, sementara perempuan adalah pengurus rumah tangga. Pembagian peran ini antara lain didasarkan pada Qs. An-Nisa/4:34 dan hadis berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ....
Para suami adalah penanggungjawab atas isteri karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena harta yang mereka nafkahkan untuk keluarga...[28]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَالإِمَامُ رَاعٍ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ فِى أَهْلِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالْخَادِمُ فِى مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ ، وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Dari Abdillah Ibni Umar Ra sesungguhnya dia mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang Imam (pimpinan) adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang khadim (pembantu) adalah pemimpin atas harta tuannya (majikannya), dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya." (HR Bukhari)[29]
Pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga di atas menjadi pra asumsi yang mendasari perumusan hak dan kewajiban keduanya. Menurut Syekh Nawawi Banten dalam kitab Uqud al-Lujain yang menjadi rujukan utama di pesantren-pesantren, kewajiban suami yang berarti hak bagi isteri adalah sebagai berikut:
1. Memberikan sandang pangan
2. Tidak memukul wajah
3. Tidak menjelek-jelekkan dengan memperdengarkan hal yang dibencinya, seperti ucapan ”Semoga Allah menjelekkan kamu”
4. Tidak melakukan pisah ranjang kecuali di dalam rumah. Adapun menghindari bicara hukumnya haram kecuali karena alasan yang dibenarkan.[30]
Adapun kewajiban isteri yang berarti menjadi hak suami adalah sebagai berikut:
1. Apabila suami memerlukan diri istrinya sekalipun sedang berada di atas punggung onta, maka ia tidak boleh menolak.
2. Istri tidak boleh memberikan apa saja dari rumah suaminya jika tidak mendapatka izinnya. Kalau isteri memberikan sesuatu tanpa izin suami, maka si isteri mendapatkan dosa sedangkan suami mendapatkan pahala.
3. Isteri tidak boleh berpuasa sunnah jika tidak mendapatkan izin dari suaminya. Jika tetap melaksanakannya, ia hanya merasakan lapar dan dahaga, sedangkan puasanya tidak diterima oleh Allah.
4. Jika isteri keluar rumah tanpa izin suaminya, maka ia akan mendapatkan laknat para malaikat hingga kembali ke rumahnya dan bertaubat.[31]
Perbedaan antara hak dan kewajiban suami isteri di atas memperlihatkan perbedaan peran gender dalam keluarga. Dalam kajian Fiqh, perbedaan dan pembedaan antara laki-laki dan perempuan telah dimulai pra-nikah bahkan sejak seorang anak manusia dilahirkan, selama menikah, hingga pasca cerai baik hidup maupun mati sebagai berikut:
a. Pra-Nikah
1. Nasab;
dalam aturan Hukum Islam, seorang anak dinisbatkan atau dinasabkan pada ayahnya saja. Oleh karena itu, nama ibu tidak dicantumkan dalam nama seseorang. Setiap orang selalu disebut sebagai anak laki-laki (bin) atau anak perempuan (binti) ayahnya. Spirit perlindungan dalam sistem nasab patrilinial ini tentu saja adalah melindungi seorang anak dari pengingkaran ayahnya yang ingin lari dari tanggungjawab. Nama ibu tidak dicantumkan dalam nama anak karena ibu seseorang bisa dipastikan karena dialah yang melahirkan sehingga secara sosial sulit baginya untuk lari dari tanggungjawab sebagai ibu.
2. Status urin bayi yang hanya mengkonsumsi air susu ibu;
status urin bayi laki-laki dan perempuan yang belum mengonsumsi makanan apapun selain air susu ibu adalah beda. Status urin bayi perempuan adalah najis mutawasithoh (kotor sedang), sedangkan urin bayi laki-laki adalah najis mukhofafah (kotor ringan). Kedua jenis najis ini berbeda dalam cara membersihkannya di mana najis ringan cukup dengan diperciki air, sedangkan najis sedang harus disiram hingga air mengalir. Bayi laki-laki kerap dibawa kesana kemari karena membanggakan orangtuanya sedangkan bayi perempuan sebaliknya dianggap sebagai aib keluarga. Secara sosial aturan ini memberikan keringanan.
3. Aqiqah;
cara menyatakan syukur atas kehadiran bayi dengan menyembelih kambing. Menurut Fiqh, jumlah kambing yang dipotong untuk bayi laki-laki adalah dua sedangkan untuk bayi perempuan cukup seekor kambing. Jika jumlah kambing menunjukkan besarnya rasa syukur, maka secara sosial kehadiran bayi laki-laki selalu disambut dengan rasa syukur dua kali lipat daripada kehadiran bayi perempuan. Menariknya adalah Rasulullah Saw sendiri pernah melakukan aqiqah untuk cucu laki-lakinya yang kembar yaitu Hasan dan Husein masing-masing satu ekor.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا[32]
Dari Ibnu Abbas Ra; Sesungguhnya Rasulullah Saw mengaqiqahkan (cucunya) Hasan dan Husein masing-masing dengan satu kambing. (HR. Abu Daud)
4. Tanda mukallaf;
tanda memasuki usia mukallaf (bisa dibebani kewajiban agama) antara laki-laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki memulai usia mukallaf ketika mimpi basah yang juga ditandai dengan berubahnya suara. Tanda-tanda perempuan adalah menstruasi. Penyikapan berbeda terjadi terhadap keduanya adalah bahwa laki-laki yang baru mukallaf dipandang belum pantas menikah karena dipandang belum mampu mencari nafkah yang menjadi kewajibannya sebagai suami. Sementara perempuan mulai dianggap pantas menikah karena sudah bisa hamil yang menjadi tugasnya sebagai isteri. Di samping itu, menstruasi dipandang sebagai darah kotor sehingga perempuan menstruasi dipandang tidak boleh melakukan puasa dan shalat yang pada akhirnya dipandang sebagai kekurangan perempuan dalam hal agama.
5. Khitan;
pemotongan bagian dari alat kelamin. Khitan laki-laki cukup dengan memotong kulit yang menutupi kepala penis sehingga memberi efek makin sensitif secara seksual, sedangkan pada perempuan yang dipotong adalah daging yang menjadi bagian dari vagina sehingga dapat mengurangi sensitifitas seksual.
6. Mahram;
laki-laki boleh pergi ke mana saja sendiri tanpa teman, sedangkan perempuan harus didampingi laki-laki yang menjadi mahramnya. Laki-laki bahkan didorong untuk bepergian mencari nafkah kemana saja. Sebaliknya perempuan didorong untuk berdiam diri di rumah. Spirit perlindungan dalam mahram adalah adanya mandat pada laki-laki untuk menjamin keamanan perempuan terutama ketika berada di luar rumah.
b. Menjelang dan Ketika Menikah
1. Kafaah;
calon suami atau isteri diutamakan mereka yang sekufu. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah Saw yang berbunyi: perempuan dinikahi karena empat perkara, yaitu karena cantik, harta, dari keturunan, dan agama.[33] Tidak ada kriteria yang jelas soal calon suami yang ideal.
2. Khitbah;
khitbah adalah lamaran. Menurut sebagian ulama, seorang lelaki yang hendak melamar perempuan berhak untuk melihat bagian-bagian tertentu dari perempuan. Bahkan ada yang memb lehkan melihat sekujur tubuh perempuan. Sementara perempuan tetap dilarang melihat laki-laki calon suaminya bahkan orangtua boleh menikahkan perempuan tanpa sepengetahuannya.
3. Ridlo (rela);
pada umumnya fuqoha mensyaratkan adanya kerelaan dari mempelai laki-laki. Sementara kerelaan perempuan untuk dinikahkan menurut mayoritas ahli fiqh hanya disyaratkan pada perempuan yang sudah pernah menikah sebelumnya (janda) atau anak yatim (yang tidak mempunyai ayah), sedangkan pada gadis tidak disyaratkan sehingga banyak terjadi nikah paksa.
4. Wali mujbir;
perempuan dipandang mempunyai wali yang mempunyai hak untuk memaksanya menikah dengan lelaki pilihan wali meskipun anak perempuan tidak menghendaki. Laki-laki tidak mempunyai wali mujbir.
5. Akad Nikah;
dalam peristiwa yang sangat menentukan nasib perempuan ini, terdapat perbedaan peran dan posisi gender yang cukup beragam, antara lain:
6. Saksi nikah;
laki-laki dapat menjadi saksi nikah, sementara perempuan tidak;
7. Wali nikah;
harus laki-laki yaitu ayah, kakek, paman, kakak, bahkan adik sedangkan perempuan seperti ibu, nenek, bibi, kakak, adik mempelai perempuan tidak bisa
8. Menikahkan dirinyi;
mempelai laki-laki dapat menikahkan dirinya sementara perempuan menurut mayoritas ahli Fiqh tidak;
9. Kedudukan dalam akad;
laki-laki sebagai mempelai maupun wali menjadi pelaku akad nikah, sementara mempelai perempuan menjadi okjek akad nikah.
10. Mahar;
laki-laki diharuskan membayar mahar, sementara perempuan maupun keluarga perempuan tidak. Mahar dikaitkan dengan hubungan seksual. Jika suami sudah menggauli isterinya, maka dia wajib membayar penuh maharnya.
c. Selama masa menikah ada perbedaan dan pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang cukup banyak, antara lain:
1. Kepala keluarga;
laki-laki menjadi kepala keluarga yang memimpin, perempuan menjadi pengurus rumah tangga yang dipimpin.
2. Nafkah;
dipahami sebagai kewajiban suami dan sering pula dipahami sebagai larangan perempuan bekerja atau berkarir.
3. Jima;
hubungan seksual dipandang sebagai hak bagi lai-laki sementara bagi perempuan kewajiban.
4. Azl:
Bersetubuh dengan cara mani (sperma) dikeluarkan di luar vagina isteri untuk menghindari kehamilan.
5. Ijin;
suami pergi tidak memerlukan ijin isteri, sebaliknya istri harus ijin pada suami.
6. Ithoah;
isteri diwajibkan taat pada suami, sementara suami tidak diwajibkan taat pada isteri.
7. Nusyuz;
isteri yang membangkang suami dianggap melakukan nusyuz, sementara suami yang melalaikan kewajibannya tidak disebut nusyuz. Jika isteri baru dikhawatirkan nusyuz suami diperbolehkan memukul, sedangkan jika suami melakukannya isteri diminta untuk berdamai.
8. Mar’ah shalihah;
ada definisi yang kongkrit tentang mar’ah shalihah yaitu isteri yang taat pada suami, sementara definisi tentang rojulun shalih (suami yang baik) tidak ada.
9. Fungsi reproduksi;
laki-laki hanya mengalami hubungan seksual sementara perempuan mengalami hubungan seksual, hamil, melahirkan, dan menyusui.
10. Nifas;
selain haidl perempuan juga mengalami nifas (keluar darah setelah melahirkan seperti darah menstruasi) dan dilarang shalat serta puasa wajib yang juga dipandang sebagai sebab kekurangan agama perempuan.
11. Tarbiyatul aulad;
pendidikan anak laki-laki sangat diutamakan sementara pendidikan anak perempuan dipandang kurang penting.
12. Kontrasepsi;
meskipun kehamilan disebabkan oleh hubungan seksual yang dilakukan oleh kedua belah pihak, namun yang dipandang menanggung hukum kontrasepsi hanyalah perempuan. kontrasepsi dipandang membunuh anak.
13. Aborsi;
aborsi adalah salah satu respon terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Meskipun kehamilan selalu karena perbuatan laki-laki dan perempuan, namun yang dipandang berdosa ketika melakukan aborsi hanya perempuan meskipun ketika perempuan melakukannya atas desakan suami.
14. Birrul Walidain;
anak dituntut untuk taat kepada kedua orangtua namun orangtua tidak dituntut untuk menyayangi anak. Ada istilah anak durhaka namun tidak dikenal orangtua durhaka meskipun banyak dijumpai penelantaran orangtua (ayah) pada nafkah anak.
15. KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan);
setiap perempuan tidak berharap berada dalam kondisi hamil sepanjang usia pernikahannya. Sementara itu, sepanjang usia pernikahannya perempuan dipandang wajib melakukan hubungan seksual kapan saja suami menghendaki. Akhirnya perempuan kerap mengalami KTD sedangkan laki-laki tidak.
16. KDRT;
kekerasan dalam rumah tangga kerap menimpa pihak yang lebih lemah dalam sebuah relasi. Dalam relasi gender keluarga yang timpang, maka isteri lebih rentan mendapatkan kekerasan dari suami dan anak-anak lebih rentang mendapatkan kekerasan dari orangtua.
17. Poligami;
laki-laki dibolehkan menikah dengan perempuan lebih dari satu pada saat yang sementara perempuan harus dengan satu laki-laki.
18. Muallaqah;
perempuan bisa mengalami kondisi gantung sebagai isteri, yakni ditelantarkan suami tanpa dicerai, laki-laki tidak akan mengalaminya karena diberi hak untuk cerai dan poligami.
19. Dhihar;
suami mengatakan pada isteri, ”punggungmu seperti punggung ibuku” yang berakibat pada larangan melakukan hubungan seksual, sementara perempuan tidak bisa mengatakan hal sama pada suami, ”punggungmu seperti punggung ayahku” yang berakibat sama.
20. Sumpah Ila’;
suami bersumpah tidak akan berhubungan seksual dengan isteri tanpa dicerai sebaliknya perempuan tidak bisa melakukan sumpah yang sama.
21. Sumpah Li’an;
suami dapat menuduh isterinya melakukan zina tanpa saksi hanya dengan sumpah. Isteri dapat melakukan sumpah yang sama tanpa saksi untuk membatalkannya. Namun isteri tidak bisa memulai menuduh suami berzina hanya dengan mekanisme sumpah.
22. Syiqaq;
pertengkaran yang terjadi antara suami dan isteri dalam rumah tangga.
23. Ishlah;
rekonsiliasi dengan cara suami dan isteri masing-masing mengutus perwakilan sebagai perantara untuk mengatasinya.
d. Pasca Nikah (Cerai Hidup atau Mati)
1. Thalaq;
suami mempunyai hak untuk menceraikan isterinya cukup secara lisan dan akan jatuh thalaq. Suami diberi kesempatan untuk melakukan thalaq yang bisa dirujuk sebanyak dua kali.
2. Khulu’;
sementara perempuan harus mengajukannya ke hakim terlebih dahulu dan jika diterima maka tidak ada kesempatan untuk kembali lagi ke suaminya.
3. Ruju’;
suami menentukan apakah isteri akan dinikahi kembali sebelum masa menunggu (iddah) habis.
4. Iddah;
isteri mempunyai masa menunggu setelah cerai atau ditinggal mati suami. Selama masa ini perempuan dilarang menikah dengan laki-laki lain dan dilarang keluar rumah. Laki-laki sama sekali tidak mempunyai masa iddah, bahkan diperbolehkan menikah lagi ketika isteri dalam kondisi hidup dan sehat wal afiyat.
5. Ihdad;
perempuan dilarang berhias dan berdandan sehingga menarik perhatian lawan jenis pada masa iddah.
6. Mut’ah:
isteri mendapatkan kompensasi ketika cerai dari pihak suami, namun tidak sebaliknya.
7. Nafkah pasca cerai;
suami mempunyai kewajiban menafkahi anaknya, namun tidak ada hukuman definitif bagi mereka yang melanggarnya.
8. Hadlonah pasca cerai
pengasuhan anak diserahkan pada ibu pada saat anak belum baligh. Secara teori nafkah tetap dibebankan pada ayahnya dan keluarga ayahnya jika ayah meninggal. Dalam prakteknya perempuan menafkahi sendiri anaknya pasca cerai atau ditinggal mati suami.
9. Waris;
laki-laki mendapatkan bagian dua kali lebih besar dari perempuan pada banyak posisi yang sama. Misalnya anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian perempuan. Suami dapat bagian waris ½ atau ¼ dari harta isterinya yang mati sementara isteri dapat ¼ ketika punya anak atau 1/8 dari harta peninggalan suami.
Konsep-konsep di atas sebagaimana qiwamah dan wilayah berangkat dari asumsi di mana laki-laki adalah lebih berat kewajibannya yaitu menjaga dan memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarga sehingga mendapatkan beberapa hak khusus seperti bagian waris yang lebih besar dan boleh melakukan poligami. Persoalannya lagi-lagi adalah apakah hak-hak tersebut paralel dengan kewajiban laki-laki? Tetap berhakkah dia menjadi wali atas anaknya ketika tidak sepeserpun menafkahinya? Berhakkah ibu menjadi wali anak perempuan yang dia besarkan seorang diri?
Ketika Spirit Perlindungan Hilang
Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
1. Kepala Keluarga.
Pembagian waris laki-laki dan hak mereka sebagai wali dalam pernikahan seorang anak perempuan kerap dikaitkan dengan kontribusi mereka dalam keluarga melalui nafkah. Dalam kondisi di mana perempuan juga berkontribusi signifikan secara finansial dalam sebuah keluarga bahkan menjadi pencari nafkah tunggal, maka laki-laki tidak melakukan kewajiban utama sebagai kepala keluarga. Sebaliknya perempuan telah melaksanakan kewajiban laki-laki sebagai kepala keluarga. Jika hak selalu paralel dengan kewajiban, maka pertanyaanya adalah mungkinkah agama mengakui perempuan sebagai kepala keluarga sehingga berdampak pada perubahan bagian waris maupun otoritas sebagai wali anak.
2. Nafkah
Nafkah dipahami sebagai kewajiban laki-laki dan kerap dipahami sebagai tidak pentingnya perempuan untuk sekolah maupun bekerja, bahkan larangan suami bagi isteri untuk bekerja.
Kira-kira dua tahun yang lalu suami saya ikut sebuah pengajian yang diadakan di masjid dekat rumah. Suami saya mendadak ”saleh”....persoalan timbul ketika suami melarang saya bekerja karena menurutnya agama mewajibkan laki-laki sebagai pencari nafkah. Hal ini membuah saya gundah. Saya takut melanggar aturan agama tapi saya juga tak ingin kondisi keuangan kami goyah karena pekerjaan suami tak menentu. Suami meminta saya untuk tawakkal saja karena rezeki Allah yang menjamin.[34]
Perempuan tidak didorong untuk sekolah dan bekerja sehingga secara ekonomi sangat tergantung pada laki-laki baik sebagai ayah maupun suami. Sementara itu hukuman bagi laki-laki yang menelantarkan nafkah keluarga tidak ada. Akibatnya adalah perempuan mudah terjebak pada pekerjaan yang membahayakan dirinya bahkan perdagangan manusia melalui iming-iming pekerjaan ketika tiba-tiba harus menafkahi sendiri anak-anaknya karena ditinggal mati atau dtinggal begitu saja oleh suaminya.
Di sisi lain, kini banyak perempuan mampu memperoleh gelar akademik tertinggi dari sebuah universitas. Banyak pula perempuan yang mempunyai karir cemerlang dengan gaji yang melebihi kebutuhan tersier keluarga. Mereka tidak hanya sekedar membantu ekonomi keluarga, bahkan mampu menjadi pencari nafkah tunggal keluarga.
Tidak sedikit perempuan yang menjalani pekerjaan berat sebagai pencari nafkah tunggal keluarga termasuk suaminya dengan menjadi TKW, tetapi malah dipoligami dan tidak ada hukuman apapun pada suami yang melakukan tindakan seperti ini karena pemahaman agama bahwa suami memang berhak melakukan poligami karena isteri dianggap tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
Saya SS (30 th) berasal dari Probolinggo. Sudah 2 tahun ini suami saya terkena PHK di tempatnya bekerja. Kami pun berembuk dan memutuskan bahwa saya harus bekerja. Kemudian saya mendaftar jadi TKI ke Kuwait, lalu bekerja sebagai pembantu dengan gaji 3,500 Riyal. Setiap bulan saya kirim 3,000 Riyal ke suami saya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, untuk orangtua, dan mertua, serta sisanya ditabung sebagai simpanan untuk modal usaha nanti. Selama saya bekerja, suami jarang kirim kabar. Setelah 1,5 tahun, saya memutuskan kembali ke Indonesia. Alangkah terkejutnya, ketika di rumah saya telah ada perempuan lain yang ternyata adalah isteri kedua suami...[35]
Temuan dalam penelitian Alimat menunjukkan bahwa setelah cerai pada umumnya perempuan menafkahi sendiri anaknya hingga dewasa tanpa bantuan eks suami maupun keluarga ayah. Sebaliknya mereka disupport oleh keluarga ibu.
Setelah perceraian nafkah pun gak ada sama sekali sampai sekarang. Setelah anak lahir (perempuan) tahun 1992, karena gak ada nafkah dari orang tua, orang tua saya yang menafkahi saya dan anak saya, sampai anak umur 4 tahun saat anak saya masuk TK.[36]
Aku dapat putusan cerai 1993. Akhirnya aku kembali tinggal dengan ibu tinggal di desa kami dengan anakku. Hak asuh anak ada padaku dan tidak pernah ada upaya mantan suami untuk minta hak asuh anak. Sejak cerai, ketika itu anak masuk kelas 1 SD hingga sekarang (mau lulus kuliah) ayahnya tidak menafkahi anak sama sekali...[37]
3. Mahram
Salah satu ketentuan mahram adalah bahwa perempuan harus ditemani mahramnya (laki-laki kerabatnya) setiap kali keluar rumah. Hal ini menyebabkan perempuan tergantung sepenuhnya pada laki-laki ketika mempunyai kepentingan di luar rumah. Hingga kini, perempuan-perempuan Saudi yang belajar di luar negeri masih banyak disertai mahramnya, baik adik atau kakak laki-lakinya.
Ketentuan mahram ini menyebabkan keluarga mensyaratkan anak perempuannya yang ingin kuliah di kota yang berbeda dengan orangtuanya untuk menikah dulu agar ada yang menjaganya. Dalam realitasnya, setelah menikah perempuan kemudian tergantung lagi pada ijin suami apakah boleh meneruskan kuliah atau tidak. Di samping itu, setelah menikah dan berhubungan seksual dengan suami, perempuan kerap mengalami kehamilan yang membuatnya tidak leluasa dan tidak memiliki energi yang cukup untuk menjalankan kewajiban kampus.
Tentu saja tidak semua keluarga mempunyai kemampuan finansial yang baik sebagaimana perempuan-perempuan Saudi. Pemahaman mahram seperti ini pada akhirnya dapat menyebabkan banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan menggapai kesempatan kerja meskipun ketika potensi dan kesempatan itu datang pada mereka.
Sementara itu, relasi antara pemilik modal dengan pekerja di Indonesia dan di negara berkembang lainnya masih sangat timpang. Hal ini antara lain disebabkan karena peminat pekerjaan jauh lebih banyak daripada kesempatan kerja yang ada sehingga sebuah keluarga menjadi tidak realistis ketika mensyaratkan mahram bagi perempuan yang akan bekerja. Bahkan Kerajaan Saudi Arabia yang mewajibkan mahram bagi perempuan yang akan melaksanakan haji atau umrah pun, enggan mensyaratkan mahram bagi pekerja migran perempuan Indonesia. Padahal jika melihat tingkat keamanannya, tempat umrah dan haji yang selalu ramai itu jauh lebih aman daripada di dalam rumah-rumah orang Saudi yang besar dan lengang. Potensi kejahatan terhadap perempuan-perempuan asing di dalam rumah mereka lebih tinggi yang berarti lebih memerlukan mahram.
Ketika anak-anak perempuan, isteri, dan ibu yang menjadi pekerja migran mendapatkan kekerasan fisik, mental, ekonomi, hingga seksual oleh pengguna jasanya di luar negeri, muncul fatwa yang melarang perempuan keluar negeri tanpa disertai dengan mahram.[38] Sementara mahram perorangan bagi TKW tidak memadai karena menyangkut hubungan kerja antar negara.Persoalan yang menarik untuk mandapatkan perhatian adalah terkait mahram adalah ketika laki-laki yang diberi amanah untuk melindungi perempuan justru menyalahgunakan otoritasnya misalnya melakukan KDRT, termasuk perkosaan incest dan perkosaan dalam perkawinan.
Secara umum persoalan yang mungkin muncul pada penerapan Qiwamah dan Wilayah tanpa spirit perlindung dalam konteks kini adalah sebagai berikut:
AJARAN | REALITAS |
Nasab
Mengikat tanggungjawab laki-laki dan keluarganya atas seorang anak |
|
Aqiqah
Bayi laki-laki dua kambing perempuan satu kambing |
|
Pendidikan
Laki-laki dan perempuan wajib belajar |
-Perempuan dilarang sekolah/ kuliah oleh suami |
Mahram
Laki-laki melindungi perempuan ketika bepergian |
-Perempuan biasa bepergian jauh bahkan keluar negeri sendiri -Perkosaan insest -KDRT pada perempuan |
Nafkah
Kewajiban suami untuk menjami kebutuhan keluarga |
-Banyak perempuan menjadi pencari nafkah tunggal keluarga -setelah cerai pada umumnya keluarga ibu yang membantu nafkah |
Akad Nikah
Dilakukan mempelai laki-laki dan wali mempelai perempuan (laki-laki) |
-ayah tetap diberi hak wali anak perempuannya yang ditelantarkan sejak lahir -ibu yang membesarkan anak perempuannya seorang diri tidak diberi hak menjadi wali. |
Mahar
Diberikan oleh calon suami kepada calon istri dan sepenuhnya menjadi hak istri |
-mahar tidak mempunyai nilai jual sama sekali (alat shalat, dll) -mahar tidak signifikan -mahar digunakan bersama |
Wali Mujbir
Wali yang berkewajiban memastikan calon suami adalah orang yang bertanggungjawab |
-pernikahan yang dilakukan ayah dianggap lebih sah daripada yang dilakukan perempuan tanpa ijin ayah |
Kepala Keluarga
Laki-laki sebagai kepala keluarga karena menafkahi |
-Banyak perempuan menjadi pencari nafkah tunggal dalam keluarga -banyak perempuan menjadi orangtua tunggal |
Hubungan Seksual
Hak dan kewajiban suami-isteri yang harus dilakukan secara ma'ruf. |
-tidak diakuinya perkosaan dalam perkawinan -banyak isteri mengalami kekerasan seksual |
Poligami
Mengatasi problem poligami yang tidak terbatas |
-menambah problem sosial |
Khulu'
Jalan keluar bagi perempuan dari perkawinan yang buntu |
-istri tidak mendapatkan harta bersama meskipun ketika kontribusinya banyak. -ada yang mensyaratkan ijin suami |
Thalaq
Suami dapat sewaktu-waktu mentalak isterinya |
-isteri statusnya digantung oleh suami, yakni tidak dicerai namun juga tidak dinafkahi sehingga tidak bisa menikah lagi |
Iddah
Memastikan penanggungjawab (ayah) anak |
-peran keluarga ayah sangat minim dalam kondisi ibunya ditinggal mati suami |
Pengasuhan anak
Ayah adalah penanggungjawab anak |
-ibu mengasuh tanpa kontribusi ayah sama sekali |
Waris
Bagian laki-laki lebih banyak daripada perempuan karena akan menjadi kepala keluarga |
|
Spirit Perlindungan yang Setara dan Adil
Setelah 1400 tahun lebih sejak Rasulullah Saw wafat, tentu terjadi perubahan sosial sangat signifikan yang dihadapi oleh umat Islam di berbagai belahan dunia pada saat ini. Beberapa perkembangan konteks yang penting untuk dipertimbangkan dalam memahami keluarga pada saat ini adalah sebagai berikut;
1. Masyarakat Arab ketika itu terikat kuat pada kabilah (suku) di mana kabilah laki-laki memberikan perlindungan pada unit-unit keluarga yang ada di dalamnya. Masyarakat Muslim sekarang terutama di Indonesia tidak memiliki ikatan kabilah yang kuat. Meskipun beberapa suku membawa nama marga sebagai identitas diri, namun ikatan sesama marga tidak sekuat ikatan kabilah. Kondisi ini penting untuk dipertimbangkan dalam memahami konsep nafkah. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, tidak lagi mendapatkan support dari kabilah sehingga mereka pada umumnya menafkahi sendiri anak-anaknya.
2. Masyarakat Muslim modern mempunyai ikatan pada negara sehingga identitas kewarganegaraan menjadi bagian dari identitas seseorang. Hal ini berarti bahwa nasib setiap warga negara di samping menjadi tanggungjawab diri dan keluarganya, adalah juga menjadi tanggungjawab negara. Penyelenggara negara mempunyai kewajiban untuk memastikan setiap keluarga mampu memenuhi kebutuhan sadar hidupnya dengan baik.
3. Pada masa Rasulullah Saw terdapat dana umat yang dikelola dengan baik dalam bentuk Baitul Mal. Sekarang meskipun institusi tersebut ada bahkan di Indonesia ada pula dana publik berupa pajak, namun keduanya tidak dikelola sedemikian rupa sehingga mampu menjamin kebutuhan dasar hidup setiap keluarga. Hal ini berarti bahwa perempuan mesti dipersiapkan atau mempersiapkan diri menjadi pencari nafkah tunggal keluarganya ketika ditinggal mati suami karena tidak ada jaminan sama sekali bahwa usia suami lebih panjang daripada isteri. Demikian pula jika sewaktu-waktu ditelantarkan.
4. Perempuan kini mempunyai akses pada informasi, pendidikan, dan dunia kerja profesional. Hal ini memungkinkan perempuan mendapatkan gaji secara profesional sebesar gaji yang diperoleh laki-laki, bahkan bisa lebih besar. Perkembangan ini tentu saja penting untuk dipertimbangkan dalam memandang properti keluarga.
Tentu masih ada banyak perkembangan signifikan yang membedakan kondisi masyarakat Muslim saat ini dengan masyarakat Muslim pada masa Rasulullah Saw hidup. Perkembangan kondisi ini penting dipertimbangkan agar spirit perlindungan yang menjiwai ajaran Islam tentang keluarga dapat dipertahankan.
Kondisi perempuan pada masa jahiliyah memperjelas gambaran mengenai posisi petunjuk al-Qur’an terkait dengan perempuan dan relasi gender. Asghar Ali Engineer mengingatkan pentingnya kondisi perempuan saat itu untuk dipertimbangkan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang perempuan. Seseorang harus juga mengambil penyataan-pernyataan normatif dalam al-Qur’an dan bukan kontekstual. Ketika berhadapan dengan ayat kontekstual orang harus memahaminya dalam konteks masyarakat dan status perempuan dalam masyarakat tersebut. Jika konteks tersebut diabaikan, maka kesimpulan yang benar tidak bisa ditarik.[39]
Dalam kondisi di mana perempuan diperlakukan sebagaimana hewan dan barang, Allah Swt menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan, baik sebagai hamba Allah, di ruang publik, maupun di ruang privat. Dalam surat al-Hujurat/19:13 Allah menegaskan kesetaraan manusia di hadapaa Allah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ats-Tsa’alabi menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagai sesama makhluk, mereka adalah sama. Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan manusia perlu untuk saling mengetahui dan mengenali hak masing-masing sebagai sesama makhluk dengan baik. Keutamaan dan kemulyaan mereka ditentukan oleh ketaqwaannya pada Allah dan keselamatan hatinya.[40] Ayat ini merupakan kritik sosial pada cara pandang masyarakat Arab yang membanggakan jenis kelamin laki-laki daripada perempuan, bangsa Arab daripada bangsa lainnya, dan suku Quraisy daripada suku lainnya.
Di surat at-Taubah/9;71, Allah menegaskan satu prinsip kesetaraan di ruang publik di mana laki-laki dan perempuan mu’min adalah setara karena mereka mempunyai fungsi sebagai penolong (auliya dari kata wali).
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyitir dua hadis yang mengibaratkan orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan adalah laksana sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain dan laksana satu tubuh yang jika salah satu anggotanya disakiti, maka sakit pula seluruh anggota tubuh lainnya.[41] Selain di hadapan Allah dan di ruang publik, Allah juga mengisyaratkan kesetaraan suami-isteri dalam keluarga dengan mengibaratkan keduanya sebagai baju bagi pasangannya (al-Baqarah/2:187).
Prinsip umum bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kesempatan untuk menjadi yang paling mulia di sisi Allah dan keduanya mempunyai diminta untuk saling mengenal satu sama lain (lita’arafu), mempunyai fungsi saling menjaga (ba’dluhum auliya’u ba’dlin) dan saling melengkapi satu sama lain (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn) ini tentu saja menjadi dasar relasi gender di luar dan di dalam rumah tangga. Pernikahan tidak boleh menjadi alasan bagi siapa pun untuk membangun relasi gender yang tidak adil.
Tentu prinisp-prinsip relasi gender Islam yang ditawarkan pada masyarakat Arab yang mempunyai problem serius dalam memandang perempuan tidak efektif jika tidak disertai dengan petunjuk praktis bagaimana menerapkannya. Pengaturan peran gender oleh al-Qur’an dan hadis sesuai dengan konteks kala itu bukan masalah sama sekali karena menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk melakukan reformasi besar-besaran. Masalahnya adalah ketika petunjuk kongkrit terkait peran gender yang mempertimbangkan konteks lokal tersebut dibakukan secara universal; lintas tempat dan waktu sebagaimana terjadi sekarang ini.
Masyarakat Muslim modern telah mempunyai konteks sosial yang sangat berbeda dengan masyarakat Arab pada masa turunnya al-Qur’an. Sekarang misalnya masyarakat Muslim telah mempunyai norma kesetaraan dan keadilan gender yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki sebagai manusia. Norma ini sesungguhnya adalah sebuah norma yang mendasari reformasi relasi gender sejak masa Rasulullah Saw hidup namun belum mungkin diterapkan konteks sosial ketika itu belum memungkinkan. Hal yang sama terjadi pada kasus perbudakan di mana spirit utamanya adalah menghapusnya, namun karena konteks sosial ketika itu belum memungkinkan maka terjadilah kompromi-kompromi, misalnya dengan tidak melarang secara keras tetapi membuka berbagai cara untuk memerdekakan para budak.
Kini perempuan telah mampu memiliki akses untuk memperoleh pendidikan tinggi, pekerjaan yang bagus, dan berpartisipasi aktif di wilayah publik hingga menempati posisi strategis atau pengambilan keputusan seperti memimpin kementerian, menjadi anggota parlemen, hingga menjadi perdana menteri atau presiden bagi rakyat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan telah diakui mampu berbagi peran dan tanggungjawab dengan laki-laki di ruang publik.
Memang tidak semua perempuan mempunyai kemampuan untuk berbagi peran dan tanggungjawab dengan laki-laki di ruang publik. Hal yang sama juga sebenarnya terjadi pada laki-laki di mana tidak semua mereka mampu mengemban tanggungjawab di dalam keluarga apalagi di ruang publik. Namun demikian fakta ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mampu berbagi peran dan tanggungjawab di ruang publik yang memiliki masalah begitu kompleks dan cakupan otoritas yang begitu luas, apalagi dalam sebuah keluarga yang menjadi unit sosial terkecil dalam sebuah masyarakat, negara, dan dunia global.
Pembagian peran dan tanggungjawab secara setara dan adil dalam keluarga meniscayakan perubahan cara pandang sebagai berikut:
Lama | Baru |
Perempuan adalah milik laki-laki | Laki-laki dan perempuan sepenuhnya milik diri mereka sendiri |
Laki-laki menikahi atau menikahkan perempuan | Laki-laki dan perempuan menikahkan dirinya sendiri |
Perempuan boleh dinikahkah ketika anak-anak | Laki-laki dan perempuan hanya boleh menikah setelah dewasa |
Laki-laki boleh poligami | Laki-laki dan perempuan monogami |
Orangtua boleh memaksa perempuan menikah | Laki-laki dan perempuan menikah karena keinginan sendiri |
Orangtua menikahkan perempuan secara sepihak | Laki-laki dan perempuan memutuskan menikah secara sadar |
Laki-laki memimpin keluarga | Laki-laki dan perempuan adalah Tim yang berbagi kepemimpinan keluarga secara fleksibel |
Laki-laki wajib memberi nafkah | Laki-laki dan perempuan bekerja sama untuk memenuhi nafkah keluarga |
Hubungan seksual adalah kewajiban isteri dan hak suami | Hubungan seksual suami isteri adalah hak dan kewajiban kedua belah pihak |
Anak dinisbatkan pada ayah | Laki-laki dan perempuan sama-sama berkewajiban dan berhak menjadi orangtua anak |
Cara pandang yang ditawarkan di atas sesungguhnya mempunyai dasar yang sangat kuat dalam al-Qur’an. Eksistensi laki-laki dan perempuan adalah setara dan independen di hadapan Allah. Berikut adalah beberapa ayat yang secara literal menunjukkan hal tersebut:
1. Manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah hamba Allah (abd Allah) sekaligus pemimpin di muka bumi Khalifah fi al-ardl). Hal ini disinggung di berbagai ayat antara lain adz-Dzariyat/ Qs. 51:56, dan al-Ahzab/ Qs. 33:72.[42] Ayat pertama menegaskan bahwa perempuan adalah hamba Allah, bukan hamba laki-laki. Bahkan laki-laki juga adalah hamba Allah. Oleh karenanya, laki-laki dan perempuan dilarang menghamba atau memperhamba satu sama lain. Ayat kedua menegaskan bahwa yang menjadi khalifah di muka bumi tidaklah hanya laki-laki melainkan juga perempuan sehingga keduanya harus bekerjasama dalam menjaga kehidupan di muka bumi.
2. Laki-laki dan perempuan tercipta dari materi yang sama (al-Mu’minun/ 23:12-16).[43] Ayat ini menegaskan bahwa perempuan tidak diciptakan dari laki-laki sehingga mengandung pemahaman bahwa laki-laki dan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan dari setetes mani. Tentu ayat ini juga menolak anggapan bahwa laki-laki adalah makluk primer sebagai asal penciptaan perempuan dan bahwa perempuan adalah makhluk sekunder yang diciptakan dari laki-laki.
3. Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin melainkan dari ketakwaannya (al-Hujurat/49:13) dan bahwa laki-laki dan perempuan yang berbuat kebaikan sama-sama akan masuk sorga (Al-Nisa’/4:124).).[44] Ayat-ayat ini menegaskan pandangan bahwa kemuliaan bukanlah karena menjadi laki-laki melainkan karena menjadi orang baik. Menjadi perempuan baik dengan demikian sama mulianya dengan laki-laki baik dan sangat lebih mulia daripada menjadi laki-laki jahat. Ayat ini juga sekaligus menghapus keraguan yang berkembang saat itu bahkan di kalangan agamawan dan filosof di berbagai belahan dunia tentang apakah perempuan berhak masuk surga.
4. Laki-lai dan perempuan mu’min adalah penolong bagi satu sama lainnya (at-Taubah/9:71).[45] laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan setara di hadapan lainnya, yaitu sebagai penolong dan menjaga. Laki-laki menjaga perempuan dan demikian pula sebaliknya. Orang yang tidak mengakui hubungan kesetaraan ini berarti tidak imannya tidak sempurna.
5. Laki-laki dan perempuan akan kembali pada Allah sendiri-sendiri dan sebagai dirinya sendiri (al-An’am/6:94).[46] Seorang perempuan akan kembali menghadap Allah sendiri tanpa ayah dan suami mereka, dan sebagai diri sendiri bukan sebagai anak perempuan atau sebagai isteri seorang laki-laki.
Cara pandang atas laki-laki dan perempuan ini mendasari cara pandang al-Qur’an atas pernikahan sebagai berikut:
1. Pernikahan adalah sebuah perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidla) (an-Nisa/4: 20-21).[47] Al-Qur’an menggunakan istilah ini tiga kali. Dua lainnya adalah perjanjian antara para rasul dengan Allah dan perjanjian antara Musa As dengan umatnya. Al-Qur’an menegaskan bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen kuat yang harus juga dipertanggungjawabkan tidak hanya pada pasangan melainkan juga kepada Allah. Laki-laki dan perempuan dengan demikian dilarang keras mempermainkan institusi pernikahan sama sekali.
2. Tujuan pernikahan adalah mendapatkan ketengan lahir-batin yang didasarkan pada hubungan cinta dan kasih, bukan hubungan atas dasar kekuasaan (Qs. ar-Rum/30:21).[48]
Berdasarkan cara pandang baru pada eksistensi laki-laki dan perempuan dan pada institusi pernikahan di atas al-Qur’an membangun prinsip-prinsip yang mendasari relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga sebagai berikut:
1. Pernikahan dijalankan berdasarkan rambu-rambu yang ditentukan oleh Allah (al-qiyam bi hududillah) (QS. 2:229).[49] Hal ini menegaskan bahwa adat-istiadat, keinginan suami atau isteri, maupun masyarakat dan negara tidak bisa mengatur pernikahan secara sewenang-wenang melainkan mesti tunduk pada cara pandang baru pada eksistensi laki-laki dan perempuan dan eksistensi pernikahan yang diberikan oleh al-Qur’an.
2. Kerelaan kedua belah pihak (ridlo) (Qs. 2:232).[50] Ayat ini menegaskan bahwa tidak boleh ada unsur paksaan di dalam berumah tangga.
3. Menghindari sikap saling menyulitkan (QS. 2:233).[51] Laki-laki dan perempuan baik sebagai suami-isteri maupun ornagtua-anak tidak boleh menyulitkan satu sama lain.
4. Cara-cara yang layak atau pantas (ma’ruf) (QS. 2:180, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 240, 241, QS. 4:19, 25, QS. 65:2, 6),[52] dan cara yang lebih baik (ihsan) (QS. 2:229, QS. 6:151).[53] Laki-laki dan perempuan tidak dapat mengambil keputusan dalam keluarga yang hanya menguntungkan dirinya baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.
5. Tidak pamrih (nihlah) (QS. 4:4)[54]. Laki-laki maupun perempuan tidak bisa memperlakukan pihak lain sebagai pelayan karena kontribusi ekonomi yang dilakukannya pada keluarga baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.
6. Memberi ruang untuk berpendapat (musyawarah) (QS. 2:233).[55] Laki-laki dan perempuan tidak dapat bersikap sewenang-wenang baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.
7. Mengusahakan perdamain jika berkonflik (ishlah) (QS. 2:228, QS. 4:35, 128).[56] Masalah salam keluarga dBerikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.ibicarakan secara baik-baik, bukan diputuskan dengan cara-cara kekerasan.
Prinsip-prinsip relasi di atas secara umum melandasi aturan-aturan al-Qur’an tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga baik sebagai suami-isteri maupun orangtua-anak pada masa turunnya al-Qur’an. Tentu saja cara pandang dan prinsip-prinsip pernikahan di atas memerlukan contoh kongkrit ketika diterapkan dalam konteks spesifik masyarakat Arab masa itu dengan berbagai kondisi khususnya. Jika tidak, maka prinsip-prinsip al-Qur’an tinggal prinsip dan tidak memberikan pengaruh apapun dalam kehidupan masyarakat setempat.
Paradigma lama al-Qur’an dalam memandang eksistensi laki-laki dan perempuan, pernikahan, dan prinsip-prinsip relasi dalam keluarga baik relasi suami-isteri maupun orangtua-anak mesti menjadi dasar dalam melakukan upaya reinterpretasi atas konsep qiwamah dan wilayah beserta konsep-konsep lain yang diderivasi dari keduanya.
Reinterpretasi Qiwamah
Al-Qur’an surat a-Nisa (4:34) merupakan rujukan utama dalam membangun relasi suami-isteri. Ayat ini sesungguhnya mempunyai terobosan yang revolusioner jika melihat relasi keduanya di masyarakat Arab ketika itu. Namun demikian, ayat ini kemudian dipahami dalam paradigma lama di mana laki-laki dipandang lebih mulia daripada perempuan sehingga tafsir atas ayat ini pun justru memberi efek pembakuan superioritas laki-laki atas perempuan dalam keluarga yang kemudian diadopsi di ruang publik.
Secara lengkap bunyi an-Nisa/4:34 adalah sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Para suami itu adalah penanggungjawab para isteri karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Isteri-isteri yang salehah ialah perempuan-perempuan yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara. Isteri-isteri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu (ternyata tidak melakukan nusyuz), maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat ini merupakan ayat yang banyak mengandung perbedaan tafsir di hampir setiap bagiannya. Isu yang menjadi perdebatan dalam tafsir sehingga melahirkan kesimpulan yang berbeda adalah sebagai berikut:
No | Kata kunci | Perdebatan |
1 | Ar-Rijal | Laki-laki, suami, ataukah kelalakian? |
2 | Qawwam | Pemimpin, penguasa, atasan, ataukah penanggungjawab? Mengapa laki-laki yang diberi mandat sebagai penanggungjawab? |
3 | An-nisa | Perempuan,isteri, atau keperempuanan? Mengapa isteri diposisikan sebagai penerima nafkah secara pasif? |
4 | Fadldlola | Mengutamakan secara hakiki, sosial, ataukah secara fungsional |
5 | Ba’dlohum ala ba’dlin | Laki-laki atas perempuan, suami atas isteri, sebagian laki-laki atas sebagian laki-laki lainnya, sebagian laki-laki dan perempuan atas sebagian laki-laki dan perempuan lainnya? |
6 | Anfaqu min amwalihim | Nafkah adalah kewajiban suami atas isteri, laki-laki menjadi penanggungjawab jika memberikan nafkah? |
7 | Ash-sholihat | Isteri yang sholihat, bagaimana dengan suami yang shaleh? |
8 | Qonitat | Taat kepada Allah, taat kepada suami, taat kepada Allah dan suami? Bagaimana dengan suami yang shaleh? |
9 | Hafidhat lilgahibi | Isteri yang menjaga dirinya sendiri ketika suami tidak ada, bagaimana dengan suami ketika isteri tidak ada? |
10 | Takhofuna | Isteri-isteri yang baru dikhawatirkan nusyuz sudah boleh dipukul? bagaimana dengan suami yang nyata-nyata tidak memberi nafkah dan melakukan KDRT tanpa sebab? |
11 | Nusyzahunna | Nusyuz adalah pembangkangan pada suami atau pada komitmen perkawinan? Mengapa istilah nusyuz suami tidak populer? |
12 | Wadlribuhunna | Betulkah pesan utamanya adalah bolehnya memukul atau sebaliknya jangan main pukul? |
13 | Atho’nakum | Apa beda thoaat dan qunut? Apa maksud taat pada suami di sini? |
Perbedaan penafsiran atas kata kunci-kata kunci tersebut membawa perbedaan yang cukup kontras dalam kesimpulan. Berikut adalah tiga kemungkinan tafsir yang muncul:
1. Tafsir dengan spirit perlindungan laki-laki atas perempuan.
a. Suami adalah penanggungjawab atas isteri.
b. Suami berkewajiban memastikan nafkah dalam keluarga terpenuhi dengan baik karena kelebihan sosial dan ekonomi yang mereka miliki.
c. Isteri yang shalehah adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada.
d. Isteri-isteri yang dikhawatirkan berselingkuh maka nasehati dia. Jika belum berhasil, maka pisah ranjanglah. Jika belum berhasil juga, maka pukullah.
2. Tafsir tanpa spirit perlindungan.
a. Laki-laki adalah penguasa atas perempuan, baik di dalam keluarga maupun di wilayah publik.
b. Laki-laki mempunyai kelebihan hakiki atas perempuan secara fisik, akal, ketaatan dalam beragama, keilmuan, dan lainnya.
c. Laki-laki yang mempunyai kewajiban menafkahi perempuan oleh karena itu perempuan tidak boleh bekerja.
d. Istri yang shalehah adalah mereka yang taat pada suami dan menjaga diri ketika suami tidak ada.
e. Suami diperbolehkan memukul isteri agar mereka taat dalam rangka mendidik.
3. Tafsir dengan spirit perlindungan setara.
a. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan harus bekerjasama memenuhi nafkah keluarga baik sebagai suami-isteri maupun anak-orangtua. Mereka yang mempunyai rejeki lebih lancar mempunyai kewajiban untuk memastikan nafkah keluarga terpenuhi dengan baik. Nafkah dikatakan sebagai tanggungjawb suami karena pada masa turunnya al-Qur’an merekalah yang pada umumnya menguasasi sumber ekonomi, sedangkan perempuan tidak.
b. Laki-laki dan perempuan mempunyai kelebihan masing-masing dari Allah dan mereka yang menafkahi keluarga mempunyai kelebihan secara sosial.
c. Laki-laki dan perempuan yang shaleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan mampu menjaga diri dengan baik ketika sedang tidak bersama pasangannya karena menyadari bahwa Allah menjaga atau mengawasinya.
d. Nusyuz adalah pembangkangan suami atau isteri pada komitmen pernikahan. Nusyuz bisa terjadi dalam bentuk selingkuh dan penelantaran keluarga.
e. Suami-isteri dilarang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, misalnya dengan main pukul pada pasangan atau anak-anak karena ada banyak cara yang bisa ditempuh seperti saling menasehati, dan menghindari pertemuan ketika berada dalam kondisi emosional.
Secara faktual ketika itu wilayah publik didominasi oleh laki-laki. Mereka pada umumnya menguasai atau setidaknya lebih mudah mengakses sumber-sumber ekonomi yang bertebaran di ruang publik daripada perempuan. Khadijah Ra isteri Rasulullah Saw merupakan pengecualian yang sangat sedikit dari kondisi umum yang ada pada masa itu. Dalam konteks keluarga, hal ini berarti bahwa laki-laki baik sebagai ayah maupun suami secara ekonomi pada umumnya lebih kuat daripada perempuan. Oleh karenanya sangat realistis jika kemudian laki-laki sebagai suami diberi tanggungjawab untuk menafkahi isterinya sebagaimana dijelaskan dalam Qs. an-Nisa/4:34.
Penunjukan suami sebagai penanggungjawab atas isteri sama sekali tidak didasarkan pada pandangan bahwa laki-laki secara hakiki lebih utama atas perempuan, melainkan karena secara sosial mereka mungkin mengemban peran sebagai penannggungjawab keluarga. Menarik sekali melihat opini para mufasir tentang mengapa laki-laki ditunjuk sebagai penanggungjawab isteri, bukan sebaliknya. Menurut Ibnu Abbas, kelebihan lelaki atas perempuan disebabkan lelaki dikaruniai kelebihan akal dan mereka dilebihkan atas perempuan dalam memperoleh bagian ghanimah.[57] Sementara itu Az-Zamakhsyari mengemukakan bahwa kelebihan lelaki itu karena pada umumnya mereka memiliki kelebihan penalaran (al-‘aql), tekad yang kuat (al-hazm), kekuatan (al-quwwah) dan keberanian (al-furusiyah wal-ramy).[58]
Penafsiran mufasir tentu dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya. Pada masa Ibnu Abbas maupun Az-Zamakhsyari, kesetaraan antara lelaki dan perempuan secara potensial dan praktek belum terbukti secara meyakinkan dalam sejarah, padahal penafsiran siapa pun akan dihalangi batas-batas baik berupa tradisi kepercayaan maupun fakta empirisnya. Oleh karena itu, sangat ganjil bila saat itu menekankan equality, sama ganjilnya dengan menekankan superiority lelaki atas perempuan pada masa modern ini. Apa yang dipahami sebagai kelebihan hakiki laki-laki dan merupakan pemberian langsung dari Allah ternyata dapat dimiliki oleh perempuan. Tidak sedikit perempuan saat ini yang mampu menjadi juara kelas dan menempuh gelar akademik tertinggi dalam dunia pendidikan sehingga memiliki penalaraan yang lebih tajam daripada umumnya laki-laki. Perempuan mungkin tidak memperoleh ghanimah sebagaimana laki-laki modern juga sudah tidak mendapatkannya, tetapi secara ekonomi banyak perempuan yang mampu mendapatkan penghasilan melebihi laki-laki termasuk suaminya sendiri.
Reinterpretasi atas Wilayah
Wilayah sesungguhnya mengatur relasi orangtua-anak. Konsep ini berkaitan dengan relasi gender dalam bentuk relasi ayah dan ibu sebagai sesama orangtua, dan relasi ayah dengan anak perempuannya. Banyak ayat al-Qur’an yang mengatur bahwa hubungan orangtua-anak yang harus didasarkan pada saling tanggungjawab dan kasih sayang.
Dalam Qs. Al-Baqarah/2:233, al-Qur’an menjelaskan relasi orangtua-anak dalam keluarga sebagai berikut:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan ayat di atas maka ibu mempunyai peran reproduksi yaitu menyusui, sedangkan ayah mempunyai fungsi produksi yaitu menyediakan makanan dan pakainan. Pembagian peran ayah dan ibu seperti ini sangat adil, karena pada saat melakukan fungsi reproduksi (terutama hamil, melahirkan, menyusui) seorang perempuan tentu perlu mencurahkan waktu, energi, perhatian yang cukup besar pada diri sendiri, janin maupun bayinya. Pandangan empatik al-Qur’an ini semestinya mengilhami suami-isteri untuk mengatur jarak dan frekuensi kehamilan dengan baik sehingga isteri tidak berada dalam kondisi hamil, melahirkan, menyusui sepanjang usia pernikahan.
Di samping itu, pembagian peran seperti ini tidak pula dimaksudkan sebagai pembakuan karena setiap perempuan tidak selalu berada dalam masa hamil, melahirkan, dan menyusui. Sayangnya petunjuk yang sangat empatik pada fungsi reproduksi perempuan ini kadang-kadang dipahami sebagai larangan perempuan untuk bekerja meskipun ketika suami tidak mampu menafkahi dengan baik sedangkan isteri mempunyai potensi untuk berkarir dengan baik.
Ayat di atas memberikan petunjuk yang menarik mengenai relasi gender ayah dan ibu di mana keduanya diminta untuk bermusyawarah mengenai apa yang terbaik bagi anak mereka. Laki-laki sebagai ayah bukanlah pengambil keputusan tunggal dalam keluarga. Ibu yang juga sama-sama orangtua juga berhak ikut memutuskan apa yang terbaik bagi keluarganya, bahkan bagi tubuhnya yakni apakah dia akan menyusui sendiri bayinya ataukah akan disusukan pada perempuan lain.
Pembagian peran ayah dan ibu sebagai orangtua sebagaimana qiwamah juga didasarkan pada konteks di mana pada umumnya laki-laki ketika itu lebih mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Pada ayat di atas peran reproduksi yaitu menyusui yang jelas-jelas tidak bisa ditukar dengan suaminya pun dinyatakan memiliki fleksibilitas, yakni bisa diwakilkan kepada perempuan-perempuan tukang menyusui dengan memberikan imbalan. Ibu tidak boleh dipaksa menyusui anaknya ketika memang tidak bisa dan sebaliknya ibu juga tidak boleh dilarang menyusui anaknya sendiri ketika dia menghendaki.
Jika peran reproduksi yang tidak bisa dipertukarkan dengan suami saja bersifat fleksibel, maka lebih-lebih peran reproduksi yang lebih mungkin dipertukarkan. Hal ini berarti bahwa penetapan peran suami sebagai pencari nafkah tidak dapat dipahami sebagai larangan bagi isteri untuk berkontribusi dalam nafkah keluarga, melainkan sebagai upaya berbagi tanggungjawab yang bersifat fleksibel. Musyawarah kemudian menjadi kata kunci dalam pengambilan keputusan untuk berbagi peran yang pada intinya baik ayah maupun ibu sama-sama mempunyai tanggungjawab untuk kemaslahatan keluarganya termasuk mengambil keputusan terbaik bagi anak ketika anak belum mampu memutuskan sendiri.
Orangtua dan anak sama-sama memiliki potensi untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah mereka yang lebih kuat dalam sebuah relasi. Ketika anak-anak masih kecil, dia lebih lemah daripada orangtua sehingga kerap mendapatkan kekerasan dari orangtua dalam bentuk pukulan, jewer, ucapan tidak menyenangkan dan lain-lain. Namun ketika anak memasuki usia dewasa terutama setelah berkeluarga, ganti orangtua memasuki usia senja. Relasi bisa berbalik di mana anak bisa lebih kuat secara fisik, ekonomi, maupun secara sosial. Pada saat ini, anak mempunyai potensi sebagai pelaku kekerasan atas orangtua terutama kekerasan verbal karena berkurangnya pendengaran dan daya ingat orangtua.
Pada prinsipnya hubungan ayah dan ibu sebagai orangtua, maupun orangtua dan anak tidak boleh menyulitkan satu sama lain dan tidak boleh membebani pihak lain di luar kemampuannya. Orangtua mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak, sebaliknya dalam kondisi di mana anak lebih kuat daripada orangtua, mereka pun dilarang melakukan kekerasan verbal apalagi kekerasan lainnya. Al-Qur’an mengingatkan agar anak tetap bersikap lemah lembut pada orangtua antara lain pada Qs al-Isra/17:23 sebagai berikut:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Prinsip musyawarah, tidak saling membebani keluarga di luar batas kemampuan mereka, dan tidak saling menyakiti semestinya merupakan prinsip-prinsip yang menjadi dasar relasi orangtua-anak yang terkandung dalam konsep wilayah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw menjelaskan beberapa kewajiban orangtua atas anak sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak itu ada tiga, yakni: pertama, memberi nama yang baik ketika lahir. Kedua, mendidiknya dengan al-Qur'an dan ketiga, mengawinkan ketika menginjak dewasa."
Tentu saja kewajiban yang paling krusial adalah mengawinkan ketika menginjak dewasa. Jika dasar relasi orangtua dan anak adalah tanggungjawab dan kasih sayang, maka pertanyaan yang muncul terkait hal ini adalah:
- Betulkah wali berhak memaksa anak untuk menikah?
- Apakah perempuan bisa menikahkan dirinya?
- Apakah perempuan bisa menikahkan perempuan lainnya?
Tentu ulama Fiqh mempunyai pendapat yang beragam sesuai dengan dalil yang berbeda-beda atau berdasarkan dalil yang sama dengan penafsiran yang berbeda.Terkait dengan persetujuan atau kerelaan dalam nikah, berikut adalah pendapat para fuqoha.[59]
Kasus | Pendapat-1 | Pendapat lain |
Persetujuan yang menjadi syarat sahnya nikah | Wali perempuan saja | Kedua calon mempelai dan wali, kedua calon mempelai tanpa wali |
Persetujuan laki-laki dewasa, merdeka, dan dapat mengurus dirinya sendiri | Syarat sah pernikahan | |
Persetujuan anak lelaki yang belum dewasa | Tidak perlu | |
Persetujuan budak | Malik dan Abu Hanifah: tidak harus | Syafi’i: harus |
Persetujuan janda dewasa | Harus | |
Persetujuan gadis dewasa | Malik, Syafi’i, Ibnu Abi Laila: harus | Tidak harus |
Persetujuan janda belum dewasa | Malik dan Abu Hanifah: tidak harus | Syafi’i: harus |
Persetujuan gadis sebelum dewasa | Tidak harus | Harus |
Yang tidak boleh dipaksa | Hanya janda sehingga gadis boleh dipaksa meskipun sudah dewasa | Semua perempuan dewasa sehingga janda belum dewasa boleh dipaksa |
Janda yang tidak boleh dipaksa | Malik dan Abu Hanifah: janda karena pernikahan yang sah, syubhat nikah, atau akibat kepemilikan, bukan janda krn perzinahan atau perkosaan | Syafi’i: semua janda |
Nikahnya gadis kecil | Syafi”i; hanya boleh oleh ayah dan kakek | Malik: hanya boleh oleh ayah atau orang yang diberi mandat oleh ayah, Abu Hanifah: ayah, keluarga, atau lainnya dan ia punya hak memilih ketika dewasa |
Persetujuan anak yatim | Dewasa harus | Anak tidak harus |
Nikahnya lelaki kecil | Syafi’i: Hanya boleh oleh ayah | Malik: boleh oleh yang diwasiati mengurusnya, Abu Hanifah: para wali namun mewajibkan khiyar ketika dewasa. |
Kedudukan wali yang setara dengan ayah | Syafi’i: hanya kakek | Lainnya: semua wali |
Pada umumnya para ahli fiqh mensyaratkan adanya wali bagi anak perempuan yang akan menikah dan bahwa wali tersebut harus laki-laki. Qs al-Baqarah/2:232 adalah ayat yang kerap dikaitkan dengan otoritas ayah sebagai wali nikah:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahai ayat ini yang kemudian berimplikasi pada apakah seorang perempuan itu harus mempunyai wali ketika menikah atau dia bisa menikahkan dirinya. Pada umumnya para ulama mengatakan bahwa ayat di atas melarang para wali untuk menghalangi perempuan yang telah habis masa iddahnuya dalam thalaq tiga untuk kembali menikahi mantan suaminya. Pengertian ini memberikan makna bahwa wali dilarang mencegah anak perempuan yang sudah menikah yang kemudian disimpulkan jika wali dilarang mencegah pernikahan perempuan yang sudah janda, maka wali boleh mencegah pernikahan anak perempuan yang masih gadis. Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut ini:
Diriwayatkan dari Mi’qal ibn Yasar bahwa sebelumnya saudara perempuan Mi’qal adalah istri Abu al-Bidah kemudian ia menceraikannya dan membiarkannya sampai habis masa iddahnya. Kemudian Abu al-Bidah menyesal dan melamar mantan istrinya yang memang masih menginginkan suaminya kembali, tetapi Mi’qal menolak menikahkan saudara perempuannya itu dan berkata: “Haram bagi saya melihat wajahmu lagi jika kamu menikah dengan Abu al-Bidah. Kemudian turunlah ayat ini. Muqatil berkata: Rasulullah memanggil Mi’qal dan bersabda: “Jika kamu beriman maka janganlah kamu melarang saudara perempuanmu menikah dengan Abu al-Bidah”. Mi’qal menjawab: “Saya beriman kepada Allah”. Kemudian Mi’qal pun menikahkan saudara perempuannya itu dengan Abu al-Bidah”.[60]
Memaknai larangan mencegah tersebut ditujukan pada wali, menurut ar-Razi mengandung kerancuan kalimat karena yang subjek yang menceraikan dalam kalimat syarat adalah suami, sehingga subyek yang mencegah dalam jawaban seharusnya juga suami. Ayat tersebut seharusnya dipahami sebagaimana berikut: jika kalian (para suami) menceraikan istrimu kemudian dia telah melewati masa iddahnya, maka janganlah kalian (para suami, bukan wali sebagaimana pemaknaan sebelumnya) menghalang-halangi dia (mantan isteri) untuk menikah dengan laki-laki lain. Ayat ini dengan demikian tidak ada hubungannya dengan wali dan perempuan dapat menikahkah dirinya sendiri sebagaimana istilah yang digunakan ayat ini, yaitu an yankihna (menikahi bukan dinikahkan).[61]
Sebetulnya ada banyak hadis yang mendukung pemaknaan ar-Razi. Beberapa di antaranya adalah hadis berikut ini:
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر وإذنها سكوتها
Perempuan janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perempuan gadis harus dimintai izin mengenai dirinya dan izinnya adalah diamnya (HR Muslim, Abu Daud, at-Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad).
Hadis di atas secara literal menunjukkan bahwa izin anak perempuan untuk dinikahkan adalah sebuah keharusan. Perbedaan antara janda dan gadis dalam hal ijin pernikahan tidaklah terletak pada perlunya tidaknya ijin di mana ijinnya janda diperlukan sementara ijinnya gadis tidak. Perbedaan tersebut ada pada cara mereka menyampaikan persetujuan di mana janda perlu menyatakan secara terus terang untuk memastikan bahwa dia memang betul-betul setuju untuk nikah, sedangkan gadis boleh menyatakan persetujuannya dengan diam. Sayangnya pendapat yang lebih populer karena itu lebih banyak diikuti adalah pendapat yang pertama yang memang sesuai dengan tradisi Arab yang telah berlangsung sejak masa pra-Islam.
Dalam riwayat lain bahkan Rasulullah Saw menyerahkan pada perempuan atas keputusan ayah yang menikahkan dirinya secara sepihak.
Aisyah Ra menuturkan, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah Saw datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan dan mengembalikan persoalan itu kepada anak perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan: “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan: bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini” (HR. An-Nasai).[62]
Hadis lain yang juga menarik namun jarang diungkap padahal diriwayatkan oleh banyak imam hadis seperti Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, adalah hadis tentang perempuan bernama Khansa bin Khidam yang dipaksa nikah oleh orang tuanya. Dalam kasus ini Nabi juga mengembalikan keputusan itu kepada perempuan, bukan kepada orangtuanya apakah pernikahan tersebut mau diteruskan atau dibatalkan. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa Ra sebagai berikut.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansapun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya yaitu Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah.[63]
Lagi-lagi hadis tersebut diabaikan antara lain dalam pengambilan keputusan hukum tentang perselisihan seorang gadis dengan wali mujbirnya dalam menunjuk pemuda yang mengawininya di mana pilihan ayah lebih didahulukan daripada pilihan anak perempuannya.[64] Adapun rujukan utama yang gunakan adalah kutipan dalam kitab I’anah ath-Tholibin Juz III sebagai berikut:
Seorang hakim tidak boleh mengawinkan jika wali mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan hasil pilihannya sendiri, sedangkan ayah sudah memiliki lelaki lain yang juga kufu (sepandan) walaupun laki-laki pilihan ayahnya kesepadanannya lebih rendah dibandingkan pilihan putrinya. Yakni jika si putri menentukan laki-laki yang sepadan sedangkan si ayah juga menentukan laki-laki yang sepadan, maka dia ayah tidak termasuk adlil (tidak setuju pernikahan putrinya) sehingga hakim tidak boleh mengawinkannya karena hak perwaliannya tetap berada di pihak ayah, yang demikian itu, karena penilaian ayah di atas penilaian putrinya sehingga pilihannya dianggap lebih layak daripada laki-laki pilihan putrinya.
Padahal di samping hadis yang menunjukkan Rasulullah Saw mendahulukan pendapat anak perempuan tentang pernikahannya daripada ayahnya, ada pula riwayat di mana perempuan bahkan bisa menikahkan sebagai berikut:
Aisyah binti Abi Bakar Ra pernah suatu ketika menikahkan Hafsah binti Abdurrahman dengan Zubair bin al-Mundzir. Ketika itu, ayah Hafsah sedang berada di luar Madinah, di daerah Syam. Awalnya ketika sang ayah tiba di Madinah, ia marah dengan apa yang dilakukan oleh Aisyah terhadap putrinya Hafsah. Tetapi kemudian ia menerima, terutama karena Hafsah tetap memilih untuk tinggal serumah dengan Mundzir bin Zubair (HR. Imam Malik)
Hadis-hadis yang dikemukakan di atas sebetulnya terdapat dalam kitab-kitab hadis mu’tabar. Bahkan beberapa hadis ditemukan di banyak kitab mu’tabar sekaligus. Hal ini menunjukkan bahwa dalam literatur Islam telah tersedia rujukan-rujukan yang cukup kuat untuk mendukung independensi perempaun dalam menentukan pendamping hidup melalui pernikahan. Namun demikian, pemilihan hadis tentu menentukan posisi seseorang dalam merespon sebuah kasus dan kecenderungan dalam mengutip hadis yang secara literal menempatkan perempuan dalam kekuasaan laki-laki tentu lebih sesuai dengan tradisi Arab yang sangat patriarkhi.
Gerakan Kultural dan Struktural
Pada masa pra-Islam, masyarakat Arab menjalankan keluarga sebagaimana tradisi yang ada dengan cara pandang dan sikap yang memandang perempuan layaknya barang. Melalui al-Qur’an, Rasulullah Saw melakukan reformasi besar-besaran yang mengubah mindset masyarakat Arab tentang eksistensi laki-laki dan perempuan, paradigma tentang keluarga, prinsip-prinsip dalam berkeluarga hingga petunjuk praktis bagaimana mengimplementasikan semua itu dalam kehidupan riil.
Sayangnya tradisi pemahaman Islam lebih melihat petunjuk praktis yang sebetulnya kandungan lokalnya sangat tinggi sebagai rujukan bersama secara universal. Perubahan sosial yang terjadi sejak masa Rasulullah Saw hidup hingga kini telah melahirkan gap yang luar biasa antara petunjuk literal ayat dengan pengalaman riil kehidupan keluarga di era modern. Kondisi makro maupun mikro yang dihadapi muslim di hari ini, banyak yang berbeda dengan pada masa lampau sehingga penerapan Islam secra literal sering membawa Muslim terutama perempuan ke dalam sebuah dilema, apakah harus berpegang teguh pada petunjuk lietral yang menimbulkan ketidakadilan, ataukah berpegang pada prinsip keadilan meskipun harus berlawanan dengan petunjuk literalnya.
Dilema ini telah dialami oleh para ulama sejak masa klasik sehingga dalam literatur-literatur mereka sejak zaman klasik telah banyak ditemukan dua jenis pemahaman atas Islam yaitu literal dan kontekstual. Sayangnya petunjuk literal lebih cocok dengan tradisi Arab yang menempatkan posisi laki-laki dalam tempat yang lebih tinggi daripada perempuan. oleh karena itu, petunjuk literal pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai bias gender yang mereka anut.
Tantangan yang dihadapi gerakan pembaruan keluarga di mana pun adalah bahwa pemahaman literal ini cukup mendominasi kesadaran muslim modern. Lebih-lebih mereka yang hidup di suatu negara yang mengadopsi cara pandang yang biasa tersebut ke dalam peraturan perundangan negara. Pemahaman agama yang bersifat kultural pada akhirnya dikokohkan oleh struktur negara.
Fakta bahwa para ulama telah memiliki pandangan yang progresif sejak masa klasik memberikan harapan bahwa perubahan itu adalah mungkin. Dalam situasi dimana relasi gender yang bias dalam keluarga memberikan dampak relasi gender di ruang publik, yang berarti bahwa ketidakadilan gender dalam keluarga memberi pengaruh signifikan pada ketidakadilan gender di ruang publik, maka perubahan itu tidak hanya mungkin melainkan harus segera dilakukan.
Reformasi hukum keluarga bahkan sudah dilakukan di negara-negara muslim lainnya. Dalam konteks Indonesia, undang-undang yang terkait dengan keluarga seperti perkawinan mempunyai sensitifitas yang tinggi mengingat undang-undang perkawinan ini dipandang sebagai satu-satu hukum Islam yang tersisa dalam aturan negara. Hal ini berarti bahwa selain gerakan struktural, maka reformasi cara berkeluarga Muslim Indonesia juga penting untuk dilakukan melalui strategi budaya, seperti pendidikan publik melalui bukum talkshow, training, dan lain-lain menjadi sama pentingnya dengan advokasi undang-undang apa saja yang terkait langsung dengan kehidupan keluarga.
Penulis: Nur Rofiah
Keterangan:
Artikel ini adalah bahan diskusi internal Alimat pada tahun 2015 yang dipersiapkan untuk draft buku tentang konsep dan hukum keluarga Islam dalam perspektif keadilan gender Islam.
Footnote:
- ↑ Ibn Manzhur, Lisan al-Arab (Beirut: Darl al-Fikr), j. 12, h. 502, Abu Bakr al-Razy, Mukhtar al-Shahhah (Beirut: Maktabah Lubnan), h. 233
- ↑ Ibn Mandzur, Lisan, j.12, h. 233.
- ↑ Abu Muhammad al-Husein Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil (t.t: Dar Thoyyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi’, 1997), j.2, h.207.
- ↑ Al-Baghawi, Ma’alim, j.12, h.207.
- ↑ Ibn al-Mandzur, Lisan al-Arab, j.6, h. 4920-4923.
- ↑ Ibn al-Mandzur, Lisan al-Arab, j.6, h. 4920-4923.
- ↑ Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah, al-Harani, Al-Nubuwwat, (Mesir: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1386), jilid 1, h. 240.
- ↑ At-Thabari, Jami’ l-Bayan, jilid 3, h. 646.
- ↑ Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 148.
- ↑ Yusuf, Berinteraksi, 151-152.
- ↑ Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, penerjemah Ali Audah (Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1979), h. 395-397.
- ↑ Hasil Interview Alimat dengan YNH, 43 tahun, di Jakarta 17 Februari 2011.
- ↑ Hasil interview Alimat dengan AS, eks pekerja migrant, di Karawang pada 8, 11, 16, Juni dan 6 Juli 2011.
- ↑ Hasil interview Alimat dengan MS, eks pekerja migrant, di Karawang pada bukan Mei, Juni, dan Juli 2011.
- ↑ ILO, Children Working in Indonesia, Laporan tahun 2009, hal. 21 dan 30.