Pra Musyawarah Keagamaan tentang Pengelolaan Sampah bagi Keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Perempuan: Perbedaan revisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Baris 22: Baris 22:




[[Kategori:Proses Kongres]]
[[Kategori:Proses]]
[[Kategori:Proses KUPI 2]]
[[Kategori:Proses KUPI 2]]

Revisi per 8 Mei 2024 06.49

Ibu Nyai Tho’atillah membuka dengan pembacaan tawasul dan dilanjutkan oleh moderator dengan pemaparan rangkaian agenda diskusi. Narasumber memberikan penjelasan bagaimana pengalamannya mengenai pengelolaan sampah, Bapak Wahyudi, demikian biasa dipanggil adalah sosok kepala desa Panggungharjo yang berhasil membuat gerakan di desanya. Desa pertama di Indonesia yang mengembangkan program perlindungan sosial secara mandiri sejak tahun 2013. Pengembangan berbagai program perlindungan sosial untuk masyarakat rentan dengan beberapa skema yang dilakukan di desa itu menjadi pengetahuan atas respon persoalan sampah.

Para peserta dibawa untuk melihat aksi-aksi solutif yang dilakukan oleh Bapak Wahyudi. Desa Panggungharjo telah memiliki rumah sehat sederhana dan disewakan kepada para warga desa dengan sistem yang dibuat sekaligus menjadi sebuah program edukasi dalam pengelolaan keuangan keluarga yang berawal dari sampah.

Strategi utama untuk menyelesaikan permasalah sampah ini ditopang oleh beberapa prinsip dasar. Yang pertama adalah terkait dengan pemberlakuan kebijakan tarif layanan yang proporsional, misalnya, semakin banyak membuang sampah maka semakin banyak membayar. Prinsip dasar yang kedua adalah mengolah sampah menjadi intermediate product yang menopang industri-industri lanjutan. Prinsip dasarnya sama, ketika sampah sudah terpilah, maka menjadi komoditas yang dapat dijual belikan. Prinsip dasar yang ketiga adalah manajemen berbasis data agar dapat mengetahui warga mana yang perilakunya belum berubah.

Untuk menyelesaikan persoalan sampah tanpa TPA (Tempat Pembuangan Akhir) membutuhkan berbagai macam infrastruktur, mulai dari politik berupa kebijakan regulasi dan lain-lain yang berupa pemerintah, infrastruktur sosial berupa bank sampah. Bank sampah yang dimaksud bukanlah sistem bisnis, namun sebuah sistem sosial. Karena itu jangan berharap ada aktivitas ekonomi di bank sampah karena soalnya terlalu kecil. Bahkan sebelumnya tanpa bangunan pun aktivitas pengelolaan sampah dapat berjalan karena hanya fokus pada pengambilan sampah di masing-masing rumah tangga, pemilahan dan penjualan. Yang didorong adalah gotong royong dan sukarela. Begitu juga infrastruktur ekonomi atau lembaga ekonomi yang menopang atau melakukan pendekatan-pendekatan ekonomi untuk menjamin keberlanjutan gerakan perubahan ini secara ekonomi.

Beberapa pertanyaan yang muncul dalam diskusi diantaranya yaitu dari Ibu Nyai Durotul Yatimah dari Pesantren.  Al-In’am, Sumenep, Madura yang bertanya, bagaimana mengintegrasikan pendidikan ekologi dalam kurikulum pesantren dan sekolah dan menyadarkan stakeholder akan pentingnya pengelolaan sampah?. Dan pertanyaannya yang kedua, bagaimana meminimalisir sampah ketika yang paling banyak menjadi produsen sampah terbesar adalah perempuan?

Pertanyaan disambung oleh Ibu Zaimah dari Institut Agama Islam Negeri  Kudus yang menanyakan tiga hal yakni; 1) Apakah di Desa Panggungharjo warga dididik untuk meminimalisir sampah? 2) Bagaimana cara untuk menduplikasi sistem yang diterapkan di Desa Panggungharjo di ranah pesantren dengan cara yang lebih sederhana? 3) Apa masalah yang paling banyak muncul saat memulai gerakan ini dan bagaimana menanggulanginya?

Semua persoalan yang ditanyakan sangat peserta diskusi merepresentasikan peserta yang turut hadir menyimak pemaparan dari narasumber sejak awal. Kemudian Narasumber menjawab dengan tegas bahwa jika pemerintah tidak punya komitmen kuat untuk mendorong perubahan itu, sampai kapan pun tidak akan tercapai. Permasalah ini sesungguhnya terkait dengan isu polusi. Jika dilihat dengan rantai nilai, yang terdiri dari hulu, tengah dan hilir,   pemerintah setiap tahunnya mengeluarkan 25 milyar hanya untuk mengurusi masalah tengah yang meliputi kontrak pengangkutan, solar, membayar pegawai yang mengangkut sampah, namun tidak ada upaya mendorong sisi pelaku maupun pemanfaatan di ranah hilir. Perubahan dimulai dari diri kita sendiri untuk meminimalisir sampah. Jika belum bisa meminimalisir sampah, maka lakukan perubahan di pemanfaatan sampah dengan memilah sampah dan tidak memerlukan alat-alat untuk memilah sampah yang harus ditunjang oleh teknologi. Karena itu, pendekatan teknologi menjadi infrastruktur terakhir yang harus dilengkapi karena sifatnya hanya untuk meningkatkan efisiensi atas sebuah proses yang dapat dilakukan secara manual. Pemanfaatan sampah ini jangan sekali-sekali dianggap sebagai bisnis, namun gunakan ini sebagai aksi sosial.

Forum diskusi berjalan kondusif dengan representasi peserta dari unsur pesantren, majlis taklim, perguruan tinggi, pimpinan ormas agama dan aktivis. Tantangan-tantangan yang dihadapi peserta dalam ruangan KUPI sebagai gerakan, perlu membangun serta memastikan meningkatnya kesadaran masyarakat atas perlindungan pada perempuan dan keselamatan makhluk hidup dengan pengelolaan sampah secara bijak.  

Pada penutupnya disampaikan bahwa persoalan-persoalan yang lebih khusus tentang pengelolaan sampah dan keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan dibahas di forum musyawarah keagamaan. Pertanyaan-pertanyaan yang masih menjadi perhatian dan dibutuhkan diskusi yang lebih mendalam; Mengapa perempuan menjadi penghasil sampah terbesar? Adakah kaitannya dengan relasi Mubadalah dalam sektor domestik di dalam keluarga? Bagaimana pengelolaan sampah di dalam keluarga? Bagaimana pengelolaan makanan di dalam keluarga, apakah sudah melibatkan semua pihak di dalam keluarga sehingga tidak ada lagi pernyataan bahwa membuang sampah terbesar adalah perempuan. Bisa jadi perempuan hanya agent dalam keluarga yang ditugaskan untuk membuang sampah, sehingga akan muncul pertanyaan mengapa hanya perempuan yang membuang sampah?

Begitu juga dengan produksi sampah yang khas diproduksi oleh perempuan dalam kaitannya dengan reproduksi, apakah betul-betul itu hanya tanggung jawab perempuan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab di musyawarah keagamaan dan mudah-mudahan akan menghasilkan fatwa yang tidak hanya membebankan persoalan sampah kepada satu pihak saja. [] (ZA)

Selengkapnya untuk mendapatkan dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Pra Musyawarah Keagamaan tentang Pengelolaan Sampah bagi Keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Perempuan.