Yefri Heriani

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Yefri Heriani
Yefri Heriani.jpeg
Tempat, Tgl. LahirPadang, 21 Januari 1973
Aktivitas Utama
  • Pendiri Women’s Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan di Sumatera Barat. Sejak Agustus 2019 bekerja sebagai Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat

Yefri Heriani lahir di Padang, pada 21 Januari 1973. Ia merupakan pendiri Women’s Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan di Sumatera Barat. Sejak Agustus 2019 ia bekerja sebagai Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat.

Uni Yefri berpartisipasi sebagai peserta dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 di Cirebon, Jawa Barat. Sebelumnya juga terlibat dalam halaqah-halaqah serta persiapan menjelang KUPI. Hingga sekarang aktif berjejaring dan ikut bersama yang lain dalam merancang strategi pasca KUPI.

Riwayat Hidup

Yefri Heriani merupakan anak dari Bapak H. Syamsul Bahri (alm.) dan Ibu Hj. Kartini. Ia menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Mardisiwi 2 Padang. Setelah lulus SD, ia melanjutkan ke SMPN 8 padang dan ke SMAN 1 Padang. Selepas lulus dari SMA, Uni Yefri melanjutkan kuliah di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas di Padang, Sumbar.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Keterlibatan Yefri Heriani dalam perjuangan membela kaum perempuan dimulai sejak masih menjadi mahasiswa. Sambil kuliah di Universitas Andalas, Uni Yefri mulai aktif menjadi relawan di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumbar. Di PKBI, Yefri mendalami isu keadilan, kesetaraan gender, dan kesehatan reproduksi. Pada 1998, ia mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam kursus gender dan seksualitas yang dilanjutkan dengan kursus penelitian seksualitas pada tahun 1999 di Universitas Indonesia (UI).

Yefri bersama beberapa relawan PKBI lainnya menggagas berdirinya Women’s Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan sejak tahun 1996. Pada 1999, WCC Nurani Perempuan mulai bergerak melakukan pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan serta didukung dengan program advokasi. Pembentukan WCC, menurut Yefri, dilatari oleh banyaknya kekerasan terhadap perempuan di tanah Minang. Hal itu miris mengingat masyarakat Minang menggunakan garis keturunan ibu (materilineal), di mana seharusnya perempuan ditempatkan pada posisi terbaik.

Kekerasan terhadap perempuan Minang awalnya ditampik tokoh adat dan masyarakat. Berdirinya WCC Nurani Perempuan pun mendapat banyak tentangan. Dengan pendekatan dan dialog yang terus-menerus, akhirnya semua elemen masyarakat bisa membuka mata tentang realitas kekerasan tersebut. Meski demikian, angka kekerasan terhadap Perempuan di Sumbar belum juga turun.

WCC dikelola oleh banyak relawan perempuan dan laki-laki dengan berbagai latar belakang. Kesehariannya WCC diurus oleh relawan yang terdiri dari mahasiswa yang memiliki keprihatinan dengan kondisi perempuan. Yefri sendiri tidak penuh bekerja di WCC karena membagi waktu dengan pekerjaannya di lembaga yang bergerak pada isu kesehatan ibu dan anak serta sanitasi.

Setiap akhir pekan, bersama para relawan WCC, Yefri mengembangkan rencana berdasarkan refleksi yang reguler dilakukan. Khususnya rencana peningkatan kapasitas relawan WCC dalam melakukan penanganan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan. Pada 2010, Yefri secara penuh mengurus WCC setelah bekerja di beberapa provinsi di Indonesia, diantaranya pemulihan pasca konflik sosial di Maluku, pemulihan pasca bencana di Aceh dan Papua. Hingga tahun 2019 menjadi direktur WCC Nurani Perempuan.

WCC tetap melakukan penanganan bagi perempuan korban kekerasan. Namun pada periode 2010-2011 pasca gempa di Sumbar, WCC juga terlibat dalam beberapa program pemulihannya dengan tetap fokus pada pemulihan kelompok perempuan dan anak pasca gempa di Sumbar. Tahun 2011, WCC terlibat dalam pengusulan dan terlibat dalam pembuatan ranperda Perda Perlindungan Perempuan dan Anak di Sumbar. Pada tahun 2013 ranperda tersebut disahkan oleh DPRD. Tahun 2018 setelah melakukan kajian pasca 5 (lima) tahun implementasi perda, WCC mengusulkan dilakukan revisi terhadap perda tersebut. Hingga hari ini upaya tersebut belum membuahkan hasil.

Tahun 2012, bersama WCC, Yefri menggagas pertemuan rutin antar perempuan penyintas kekerasan, yang menjadi bagian dari kerja pendampingan korban. Forum Penyintas ini ditujukan agar diantara penyintas dapat saling berbagi pengalaman untuk memperkuat daya mereka untuk semakin berdaya di masa depan, bahkan mungkin mampu menjadi agen perubahan, setidaknya di lingkungan terdekatnya. Hingga saat ini kelompok ini tetap melakukan berbagai kegiatan, bahkan telah menjadi narasumber untuk beberapa kegiatan. Mereka pun dapat diminta untuk menguatkan korban yang mendapatkan dukungan rumah aman dari WCC.

Menyadari kasus kekerasan yang spektrumnya semakin meluas, pada 2014 WCC mengembangkan komunitas-komunitas peduli perempuan. Mereka terdiri dari perempuan dan laki-laki yang menjadi tokoh dan anggota masyarakat di wilayahnya. Mereka difasilitasi dan didampingi untuk mengembangkan rencana untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan di lingkungannya. Mereka juga mendapatkan pengembangan kapasitas untuk dapat melakukan penanganan awal bagi perempuan korban kekerasan di wilayan mereka. Hingga tahun 2018, ada tujuh komunitas di Kota Padang yang menjadi dampingan. Tahun 2016, komunitas dari tujuh wilayah tersebut difasilitasi untuk mengembangkan forum komunitas yang menjadi wadah bagi mereka untuk melakukan saling berbagi kapasitas, saling dukung untuk melakukan pendampingan korban lintas wilayah serta advokasi kepada pemerintahan setempat juga melakukan advokasi di tingkat kota dan provinsi bersama WCC Nurani Perempuan.

Tahun 2016, WCC Nurani Perempuan juga mengembangkan forum lintas agama. Forum ini beranggotakan tokoh-tokoh agama, baik perempuan dan laki-laki. Forum ini digagas bersama dengan tujuan dapat memberikan dukungan bagi korban yang sering mendapatkan stigma negatif. Kadang stigma itu datang dengan menggunakan penafsiran ajaran agama yang memojokkan perempuan. Sayangnya forum ini belum terfasilitasi dengan baik.

Pada 2017, Yefri aktif dalam pembentukan Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat (JPP Sumbar). Jaringan ini dibentuk untuk melakukan advokasi dan menjadikan WCC sebagai lembaga rujukan untuk penanganan perempuan korban kekerasan. WCC hingga saat ini masih menjadi koordinator JPP sejak pembentukannya. Jaringan ini juga menjadi forum bersama untuk merespon berbagai isu-isu terkini di Sumbar.

Forum penyintas, komunitas dan JPP juga menjadi wadah untuk berbagi gagasan-gagasan yang dikembangkan KUPI di tahun 2017. Meskipun tidak secara tekstual, akan tetapi cita-cita yang diperjuangkan KUPI bisa diserap dalam forum, komunitas, dan jaringan-jaringan tersebut.

Keterlibatan Yefri dengan KUPI diawali pada akhir 2016 saat ada halaqah di Padang. Waktu itu, Uni Yefri diminta untuk berbagi pengalaman kepada para ulama perempuan yang berasal Sumatera. Kehadiran Yefri karena Ibu Masruchah yang seharusnya mengisi sesi tersebut tidak dapat hadir. Dalam kegiatan tersebut hal paling menarik yang masih diingatnya adalah diskusi terkait terma “ulama perempuan”. Pada waktu itu, kata “ulama” masih belum biasa dilekatkan pada “perempuan”, sehingga peserta halaqah yang perempuan, pada saat itu belum dapat menerima serta merta peran keulamaan yang sudah dilakoninya.

Selanjutnya Yefri juga diundang hadir untuk halaqah berikutnya di Jakarta. Dalam halaqah itu ada metodelogi keagamaan ulama perempuan yang dibahas. Termasuk melakukan rumusan tentang fatwa isu kekerasan seksual, perlindungan terhadap anak, pernikahan pada usia anak, dan pengrusakan lingkungan yang merupakan isu yang sangat mendesak untuk menjadi perhatiaan keulamaan perempuan.

Yefri ikut aktif dalam beberapa kali kegiatan persiapan KUPI. Ia pun hadir dalam acara KUPI yang diselenggarakan di Pesantren Kebon Jambu. Pengasuhnya, Nyai Mas, merupakan seorang ulama perempuan yang luar biasa di matanya. Saat itu Yefri masuk dalam komisi yang membahas tentang kekerasan seksual di pesantren. Di dalam kongres, Uni Yefri bertemu dengan kawan dari berbagai daerah dengan pengalaman yang luas. Semua orang sepakat tentang menguatkan upaya ulama perempuan memaknai kembali ajaran agama yang selama ini digunakan untuk melanggengkan kekuasaan yang mendiskriminasi perempuan.

Pasca kongres berlalu, Yefri terlibat dalam pembuatan renstra KUPI untuk merumuskan bagaimana gerakan keulamaan perempuan pasca kongres dilakukan. Menggagas dan merawat gerakan KUPI merupakan kerja yang tentunya menantang untuk memastikan juga beberapa rekomendasi dari kongres dapat dilakukan.

WCC Nurani Perempuan juga mendapatkan kesempatan untuk berlatih dalam beberapa program yang dikembangkan KUPI. Di antaranya adalah pelatihan penulisan dan pengembangan media. Tidak hanya personel WCC, pesrta pelatihan ini juga adalah mereka dari JPP Sumbar dan organisasi mahasiswa kampus di Padang dan Bukittinggi.  Peserta yang hadir di kongres pun hingga saat ini masih intens berkomunikasi, meski belum ada aktivitas khusus yang memberikan warna pada gerakan sosial, khususnya gerakan perempuan di Sumbar. Namun beberapa orang alumni KUPI I yang berlatar belakang akademisi telah melakukan riset terkait keulamaan perempuan di Sumatera. Sayangnya beberapa hasil riset tersebut belum sempat kami desiminasi. Ini PR yang harus segera dilakukan.

Bagi Yefri, perspektif keadilan membawanya semakin matang dalam pekerjaannya sekarang sebagai Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar. Tidak seperti saat aktif di WCC, Ombudsman membuat lingkup perjuangan pembelaan terhadap perempuan semakin meluas, pada semua aspek dalam pelayanan publik. Lansekap perjuangan itu ternyata lebih dari persoalan yang sebelumnya sudah pernah ia advoksi. Akan tetapi, perspektif keadilan dan kesetaraan menjadi analisa yang sangat membantunya dalam bekerja. Termasuk yang terbaru adalah dalam upayanya melihat, menganalisa, dan menempatkan kasus jilbab siswa perempuan di salah satu SMK di Padang. Ombudsman perwakilan Sumbar mengatakan ada maladministrasi dalam penyusunan tata tertib yang mewajibkan siswi non-muslim memakai jilbab di sekolah tersebut. Ombudsman pun menyampaikan pihaknya menemukan tindakan tidak patut dari oknum pejabat sekolah tersebut.

Selain menghadapi kasus tersebut, Uni Yefri juga menghadapi kasus-kasus lainnya, yang dalam kacamatanya, itu bersumber dari sistem kehidupan masyarakat yang terlalu maskulin. Sistem patriarkhal ternyata sudah merembes jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakay. Mulai dari budaya, agama, hingga ajaran-ajaran yang hidup di tengah masyarakat. Hal itu terlihat dari kecenderungan mereka untuk berpikir dan berperilaku maskulin, seperti terlalu berhasrat untuk menguasai, mengeksploitasi, mengontrol, dan mengalahkan orang lain. Dalam kasus tambang misalnya, energi maskulin itu membuat para pelaku tambang seenaknya mengeruk alam tanpa memikirkan bagaimana caranya untuk merawat dan melestarikannya. Bagi Yefri, tantangan bagi perspektif keadilan dan kesetaraan itu ada di berbagai aspek kehidupan. Sehingga ia meyakini bahwa perjuangan ke depan masih akan berat dan panjang.

Daftar bacaan lanjutan


Penulis : Abdul Rosyidi
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir