Umi Hanik
Ummi Hanik, atau biasa dipanggil dengan Bu Hanik, lahir di Purwodadi pada tanggal 7 Juni 1967, dari pasangan Musyarofah dan Masyhuri. Ia adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Puteri Hisnun Naja dan majelis taklim Sabilun Naja di Karangawen, Demak, Jawa Tengah, dan aktif sebagai ustadzah dan muballighah di banyak majelis taklim yang berafiliasi dengan Muslimat dan Fatayat NU. Saat ini ia menjabat sebagai ketua Muslimat NU Cabang Kabupaten Demak.
Keterlibatan Bu Hanik dalam gerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dimulai dengan partisipasinya di dalam program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) yang dilaksanakan oleh Rahima. Ia adalah salah satu peserta PUP Angkatan III dari dua puluh lima ulama perempuan dari Jawa Tengah lainya pada tahun 2011 – 2012.
Bu Hanik semula gamang dengan konsep mubadalah atau kesalingan yang ia pelajari di dalam PUP karena baginya masih sangat asing. Ia lebih familiar dengan konsep bahwa kaum perempuan adalah konco wingking, atau teman pelengkap yang posisinya di belakang atau di bawah laki-laki. Apalagi di lingkungannya, tafsir surat An-Nisa: 34 sering dipahami sebagai acuan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan di segala lini. Namun, setelah mendalami konsep mubadalah dan melihat realitas persoalan dan implikasi penafsiran ayat tersebut, ia kemudian menjadi yakin dan justru jatuh hati pada materi yang ditawarkan. Bahkan kini ibu dari Izzati Achlal Laili ini menjadi sangat aktif dalam berbagai aktivitas pemberdayaan perempuan di daerahnya.
Riwayat Hidup
Bu Hanik menempuh pendidikan dasarnya melalui dua jalur, yaitu sekolah umum dan pesantren yang ia jalani secara bersamaan. Sambil bersekolah di SD dan Tsanawiyah, ia sekaligus nyantri di Pondok Pesantren Al-Falahiyyah Purwodadi dari tahun 1981 hingga 1987. Selepas itu, ia berpindah ke kota Solo untuk melanjutkan pendidikan Aliyah dan mondok di Pesantren Al-Muayyad hingga tahun 1990.
Waktu itu, keluarganya tidak begitu mewajibkan anak perempuan untuk menempuh pendidikan tinggi. Tetapi, anak perempuan cukup menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun lalu menghafal Al-Quran atau masuk pesantren. Sehingga anak perempuan di lingkungannya jarang sekali yang kuliah.
Oleh karena itu, usai menamatkan Aliyah, Bu Hanik kembali mondok. Pertama ia hijrah ke Jember, tepatnya di Assidiqiyyah dari tahun 1990 hingga 1992, lalu dilanjutkan ke Pondok Pesantren Al-Mujahadah di Yogyakarta dari tahun 1992 hingga 1995. Ia juga pergi nyantri melintasi provinsi Jawa dengan belajar di Pesantren Roudlotul Ulum, Pandeglang, Banten selama tiga tahun.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Dakwah Bu Hanik banyak difokuskan di lingkungan pesantren, namun dalam perkembangannya ia juga mengelola yayasan pendidikan bagi anak usia dini setelah ia menyelesaikan pendidikan diploma keguruan. Waktu itu di lingkungannya sudah ada TK yang dikelola oleh Muslimat, namun manajemennya belum optimal. Ia kemudian berinisiatif untuk menghidupkan Lembaga Pendidikan anak tersebut sedikit demi sedikit. Usai menamatkan kuliah, ia mendapatkan amanah sebagai kepala sekolah TK Tarbiyatul Athfal 2007-2009.
Setelah dua tahun menjadi kepala sekolah, Bu Hanik tidak begitu saja melepas kegiatan mengajar di sekolah formal. Ia kemudian menjadi guru Baca Tulis Al Quran (BTA) di di tingkat SMP selama dua tahun. Tak hanya berkecimpung di dunia pendidikan, istri dari Bapak Zubaidi Mansur ini juga memegang banyak peran strategis dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Di antaranya, ia menjabat sebagai Ketua PAC Fatayat (2012 – 2021); bendahara IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Cabang Demak (2014 – 2024), bendahara BPD (Badan Permusyawaratan Desa) (2017 – 2021); bendahara PAI (Penyuluh Agama Islam) Kabupaten Demak (2017 – 2024).
Di samping jabatan-jabatan tersebut, amanah organisasi lain yang ia lakoni, yaitu Bagian Penelitian dan Pengembangan Badan Koordinasi Taman Pendidikan Qur'an (2015 – 2023); Waket LMY Cabang (Lajnah Muroqobah Yanbu'a) (2008 – 2022); Ketua PAC PB (Perempuan Bangsa) (2009 – 2024); Bendahara Forum Komunikasi Pondok Pesantren Cabang (2018 – 2022); Ketua Koordinator Sima'atul Qur'an Kec. (2012 – 2024); Ketua Pengurus Cabang Muslimat NU (2021 – 2026); Bidang Dakwah Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighoh (JP3M) Kabupaten Demak (2018 – 2022); dan Wakil Ketua PKK Kabupaten Demak (2021 – 2026).
Ia tidak hanya mendirikan pondok pesantren yang dinamai Hisnun Naja, namun juga membentuk kelompok pengajian Bernama Sabilun Naja bagi kelompok ibu-ibu lanjut usia. Ia mengaku bahwa untuk merintis kedua wadah Pendidikan itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak suka duka yang ia lalui. Untuk kelompok pengajian saja, awalnya hanya ada sepulub orang yang ikut. Mayoritas dari mereka kebanyakan adalah pegawai sepuh yang baru belajar tentang Islam sehingga Bu Hanik perlu telaten untuk mengajari mereka. Namun seiring berjalannya waktu, kini kelompok pengajiannya sudah diikuti oleh ratusan ibu-ibu dari berbagai latar belakang ekonomi dan pendidikan.
Selain aktif di berbagai organisasi, Bu Hanik juga mengemban amanah sebagai penyuluh non-PNS di lingkungan Kementerian Agama untuk melaksanakan bimbingan keagamaan dan pembangunan sumber daya manusia melalui bahasa agama kepada kelompok sasaran. Dalam melaksanakan tugas ini, ia pernah berhadap-hadapan dengan pemegang otoritas keagamaan yang masih bias gender, yaitu para modin yang selama ini selalu dijabat oleh laki-laki. Para modin ini bertanggung jawab, salah satunya mengenai perawatan jenazah. Pada waktu itu, ada permintaan untuk mengajari ibu-ibu mengurus jenazah karena adanya kebutuhan peran para perempuan untuk merawat jenazah perempuan. Merespon permintaan ini, Bu Hanik Ummi berinisiatif mengadakan pelatihan pengurusan jenazah bagi perempuan di lingkungannya. Akan tetapi, inisiatif Bu Hanik ini ternyata kurang disambut baik oleh para modin laki-laki. Mereka menganggap apa yang dilakukan oleh Bu Hanik akan mengurangi ‘jatah’ mereka yang selama ini menjadi sandaran warga untuk tiga momen penting: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Bu Hanik pun menerima protes dan cemooh dari para modin.
Menghadapi situasi tersebut, Bu Hanik kemudian berinisiatif mengumpulkan para modin yang difasilitasi oleh Kepala KUA setempat. Terhitung sekitar 30 modin dari 14 kecamatan menghadiri pertemuan tersebut. Di awal acara, mereka sempat bersitegang. Namun, Bu Hanik kemudian menguraikan panjang lebar mengapa perempuan juga perlu diberikan kesempatan untuk mengurus jenazah. Alasannya, terutama untuk merawat jenazah perempuan, menghindari fitnah, dan memenuhi wasiat ketika si jenazah perempuan menginginkan dirawat oleh perempuan. Para modin tersebut akhirnya bisa memahami dan meminta maaf pada Bu Nyai Ummi Hanik.
Penghargaan
Bu Hanik meraih beberapa penghargaan berkaitan dengan prestasi akademik di sekolah dan kampus. Ia sering memperoleh nilai terbaik di kelas, demikian juga ketika lulus dari program diploma dua, ia berhasil menjadi lulusan terbaik dari 56 mahasiswi di kelasnya. Ia bahkan masuk dalam sepuluh besar mahasiswa terbaik dari 1500 mahasiswa yang lulus dengan perolehan IPK 3,80.
Karya-Karya
Bu Hanik menulis beberapa makalah yang ia sampaikan di dalam forum-forum akademik. Selebihnya, ia banyak melakukan pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Usai menikah pada tahun 1998, ia mendirikan Pesantren Hisnun Naja dan Majelis Taklim Sabilun Naja.
Daftar Bacaan Lanjutan
- “Ummi Hanik: Perempuan Mampu Menjadi Subjek Kehidupan”, dalam Nor Ismah (Ed.), Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima (Jakarta: Rahima, 2014)
- Ismah, Nor. “Destabilizing Male Domination, Building Community Based Authority among Indonesian Female Ulama”, Asian Studies Review, 40:4, 527-544, 2016.
Penulis | : | Hasna A. Fadhilah |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |