Suraiya Kamaruzzaman
Suraiya Kamaruzzaman, lahir pada tanggal 3 Juni 1968 di Kabupaten Aceh Besar, adalah aktivis hak perempuan dan pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada pemberdayaan dan penguatan perempuan bernama Flower Aceh pada tanggal 23 September 1989. Suraiya dianugerahi penghargaan perdamaian UNDP N-Peace Award atas upayanya melakukan peningkatan kapasitas dan advokasi pemenuhan hak perempuan Aceh, terutama perempuan yang terpinggirkan dari akses ekonomi dan korban kekerasan seksual yang terperangkap dalam konflik bersenjata[1].
Suraiya bekerja sebagai Dosen Fakultas Teknik di Universitas Syiah Kuala (USK) sejak tahun 1998. Ia juga menjabat sebagai Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim USK (2017 sampai sekarang), Ketua Devisi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, Pusat Riset Atsiry (ARC) USK (2016 sampai sekarang), Sekretaris Pusat Riset HAM USK (2015 sampai sekarang), Wakil Ketua Forum SGDs USK (2020 sampai sekarang), Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) Aceh (2020 sampai sekarang), Anggota Komisi penelitian dan Pengembangan Pendidikan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh Besar (2019 sampai 2026), Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSuIA) 2 periode (2011 sampai sekarang), Pengurus GMB (Gerakan Mari Berbagi) (2012 sampai sekarang), Ketua Komisi Pemasyarakatan HAM dan Advokasi, ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) Aceh 2 periode (2012 sampai sekarang), dan Ketua Bidang Lingkungan, KAHMI Aceh (2015 sampai sekarang).
Suraiya mengetahui tentang KUPI sejak sebelum penyelenggarannya pada bulan April 2017. Ia sering berkomunikasi untuk membantu Tim KUPI mengidentifikasi nama-nama ulama perempuan dari Aceh yang mungkin bisa diundang. Selain itu, ia bersama Kiai Faqihuddin Abdul Kodir melobi The Asia Foundation untuk memfasilitasi kedatangan mereka. Dalam kesempatan tersebut, Suraiya juga menulis tentang satu ulama, yakni Umi Hanisah, dan dimuat di dalam salah satu buku yang diluncurkan oleh KUPI. Suraiya ikut menghadiri KUPI, yaitu pada sesi Seminar Internasional pada hari pertama. Suraiya merasa terharu. Menurutnya, KUPI merupakan satu bentuk pengakuan terhadap ulama perempuan, semacam merayakan bahwa kita memiliki banyak sekali ulama perempuan yang hebat-hebat.
Riwayat Hidup
Suraiya lahir dari Ibu dan Bapak yang sama-sama berprofesi sebagai guru. Ibunya mengajar di MIN, sementara ayahnya adalah guru SD. Waktu kecil, ia biasa dipanggil De Su (dari kata Suraiya) yang kemudian menjadi nama kecilnya. Sementara nama Kamaruzzaman pada namanya adalah nama dari Ayah yang ia sematkan setelah ayahnya wafat ketika ia masih menempuh pendidikan sarjana. Suraya menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Teknik Kimia di Universitas Syiah Kuala Aceh. Ia melanjutkan pendidikan magisternya di Fakultas Hukum, Bidang Hak Asasi Manusia, University of Hong Kong dan jurusan Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala Aceh.
Kakek Suraiya dari ibu adalah seorang ulama Aceh terkenal bernama Abu Lampoh karena berasal dari kampong yang bernama Lampoh. Waktu Suraiya lahir, sang kakek sudah tiada. Ia hanya sempat membaca nama besar kakeknya di dalam buku ensiklopedia yang tebal. Nama Abu Lampoh banyak dikenal oleh masyarakat, termasuk juga keuarga besarnya.
Adik nenek Suraiya kemudian mendirikan dayah Abu lampoh yang menerapkan sistem pendidikan pesantren modern. Pagi sampai siang santri bersekolah, lalu siang sampe sore mereka mengaji di pesantren. Ayah Siraiya termasuk orang yang terlibat penuh dalam usaha membebaskan tanah bersama adik nenek itu. Sementara ibu Suraiya sempat menjadi sukarelawan kepala asrama puteri karena lokasinya hanya bersebelahan rumah. Kakak Suraiya juga sempat mengajar di dayah, sementara Suraiya sempat menjadi direktur di dayah itu paska tsunami selama 4 tahun, mengurus dayah dan anak-anak yatim, sambil ia mengajar di kampus.
Saat itu ia pernah menfasilitasi program dayah dengan salah satu organisasi di Malaysia. Sebanyak 250 anak yatim dan anak perempuan korban konflik mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di lembaga pesantren milik keluarganya itu. Mereka dibiayai secara penuh dari tingkat SMP sampai SMA. Suraiya yang bukan alumni pesantren kemudian mencoba membantu mengelola manajemen pesantren. Karena paska bencana alam tsunami tidak ada lagi guru dan ustadz yang mengurus pesantren, maka ia pun turun tangan untuk membangun kembali dayah itu.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Suraiya Kamaruzzaman atau yang akrab disapa Kak Aya banyak terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh bersama kelompok perempuan. Dalam wawancaranya dengan BBC ia menuturkan bahwa pada bulan Februari 2000, perempuan-perempuan Aceh menyelenggarakan Duek Pakat Inong Aceh (Kongres Perempuan Aceh yang pertama) di mana ia menjadi Ketua Steering Comitte. Kongres dihadiri oleh 500 perempuan dari berbagai kabupaten/kota dan latar belakang yang berbeda-beda dengan mengangkat tema perempuan dan perdamaian[2].
Suraiya berpendapat bahwa upaya awal penyelesaian konflik Aceh melalui dialog damai itu dilakukan oleh perempuan. Paska Kongres, Suraiya bersama empat perempuan Aceh menghadap Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid untuk mengusulkan agar penyelesaian konflik di Aceh dilaksanakan dengan mengedepankan dialog damai dan menghentikan pendekatan militerisme. Mereka juga menyampaikan seluruh hasil rekomendasi dari kongres Perempuan Aceh. Namun lima tahun kemudian, ketika kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan GAM ditandatangani di Helsinki, Finlandia, di antara lima tim negosiator resmi yang mewakili kedua belah pihak tidak ada satu pun yang melibatkan perempuan. Akibatnya, permasalahan perempuan di wilayah konflik luput dari topik penting yang didiskusikan serta tidak menjadi bagian kesepakatan di dalam MOU perdamaian. Dengan kata lain, secara formal mereka sudah menafikan peran krusial perempuan di dalam dialog perdamaian.
Selama konflik bersenjata di Aceh, Suraiya aktif mengkampanyekan pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh di berbagai wilayah di Indonesia dan berbicara ke berbagai negara melalui konferensi-konferensi, melakukan lobby atau mengikuti sidang-sidang PBB di Geneva. Pada acara the 49th CEDAW session, di New York, dengan dukungan IWRAW (International Women’s Rights Action Watch) Asia Pacific, ia menyampaikan ‘’An Oral and Written Statement on Aceh, Commencing the Committee’s Process of Elaborating a General Recommendation on Women in Conflict and Post-conflict Situations”. Tujuan dari rekomendasi umum ini adalah untuk memberikan masukan yang tepat kepada Negara yang ikut menandatangani Konvensi CEDAW tentang tindakan yang akan diambil untuk memastikan kepatuhan dengan kewajibannya dalam rangka melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak asasi perempuan selama masa konflik bersenjata dan dalam semua proses pembangunan perdamaian, yang meliputi masa-masa segera setelah konflik dan rekonstruksi paska-konflik jangka panjang.
Suraiya juga mempromosikan partisipasi Perempuan dalam perdamaian melalui tulisan yang dimuat di berbagai media. Pada tahun 2009, ia menjadi Gender Analysis Consultant bagi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang difasilitasi UNFPA untuk memberikan masukan-masukan tentang prinsip keadilan, Gender mainstreaming, dan konsep Resolusi UNSRCS 1325 pada draf UU Konflik Sosial. Ia juga bekerja sama dengan ICAN (International Civil Society Action Network) dan MIT (Center for International Studies) menjadi periset di lapangan dengan judul “What the Women say, Participation and UNSCR 1325” dan terlibat dalam serangkaian kampanye untuk UNSCR 1325 di New York dan Washington DC bersama ICAN-MIT. Ia juga menjadi Projek Koordinator publikasi buku berjudul Acehnese Women Speak after Tsunami and Conflict, yang merupakan kerjasama antara Flower Aceh dan UN Women[3].
Paska KUPI, Suraiya berupaya mengaplikasikan hasil fatwa KUPI ke dalam program dan aktivitasnya. Sebagai Presidium Balai Syura, ia membuat SOP untuk draft Pergub soal penanganan kasus kekerasan seksual dari Qanun Jinayat atas nama gerakan sipil. Ia juga mempersiapkan naskah akademik untuk Qonun Jinayat tersebut bersama dengan teman-teman CSO yang bekerja secara volunteer. Tujuan advokasi Qonun Jinayat yang ia lakukan bersama tim adalah agar pasal tentang kekerasan seksual dan pemerkosaan dicabut dari qonun.
Namun, Suraiya belum terhubung dengan jaringan ulama perempuan di Aceh. Ia pernah bekerja sama dengan Umi Hanisah, menyelenggarakan training bagi ulama perempuan terkait isu kesejahteraan. Selain itu, ia juga masih berkomunikasi dengan Umi Hayati yang juga menjadi salah satu Dewan Balai Syura. Namun, masih banyak yang belum bisa ia lakukan karena adanya batasan-batasan, misalnya, bahwa ia bukan seorang ulama. Telaah akademis yang dilakukan PSGA juga masih dari perspektif akademisi, belum pada konteks atau pandangan ulama perempuan. Sehingga menurutnya perlu ada workshop untuk memfasilitasi ulama perempuan menyuarakan pandangan mareka terkait Qanun Jinayat pasal pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. Hanya saja Suraiya mengaku tidak punya dana untuk mengumpulkan banyak orang. Tetapi, ia ingin mencoba mengadakan pertemuan melalui zoom meeting untuk mengumpulkan jaringan ulama perempuan di Aceh.
Paska KUPI, Suraiya dengan ulama perempuan Aceh yang mendapatkan dukungan dari The Asia Foundation untuk menghadiri KUPI membentuk Whatsapp Group ulama perempuan Aceh. Namun demikian, menurutnya aktivitas dalam bentuk gerakan seperti gerakan KUPI belum terlalu muncul di kalangan mereka. Alasannya, pertama, ulama perempun di Aceh masih terbatas, dan jaraknya berjauhan. Ada yang di Meulaboh, Bireun, dan daerah lainnya. Sehingga tidak mudah untuk membentuk gerakan yang kuat. Satu kegiatan yang pernah diadakan adalah bedah buku Qiraah Mubadalah yang ditulis oleh Kiai Faqih Abdul Kodir. Waktu itu Suraiya juga ikut menjadi narasumber. Ia menjadikan buku itu sebagai pegangan yang membantunya ketika berbicara mengenai keadilan dan kesetaraan gender.
Kedua, di Aceh masih jarang dijumpai ulama laki-laki yang berperspektif seperti Kiai Faqih dan Kiai Husein yang secara terbuka dan berani berdiri di samping perempuan untuk bersama-sama berjuang.
Ketiga, Suraiya melihat bahwa ketika ulama di Aceh menjawab persoalan, mereka masih tergantung pada isu dan situasi. Ia mencontohkan, ketika satu persoalan didisksusikan di dalam forum terbatas, para ulama sepertinya mendukung sekali. Namun, mereka berubah tidak mau terbuka dan mendukung ketika diskusi diadakan di luar lingkaran perempuan. Karena mereka merasa bahwa persoalan itu adalah kepentingan perempuan. Mereka hanya mengatakan bahwa ada beberapa pandangan di dalam Islam, tetapi tidak mau menegaskan posisi dan pendapat mereka mengenai persoalan tersebut. Kecuali Ustadz Tengku Daniel yang secara terbuka memberikan dukungan.
Keempat, setiap individu dan organisasi memiliki fokus dan kesibukan masing-masing sehingga gerakan bersama belum terbangun. Selain itu, beberapa NGO yang tersisa adalah mereka yang bekerja sejak masa konflik. Beberapa NGO yang bekerja paska tsunami sudah tidak ada lagi. NGO yang ada hampir rata-rata bekerja secara sukarela karena tidak memiliki sumber pendanaan. Mereka bekerja hanya pada isu yang muncul di hadapan mereka. Meskipun mereka kerap membuat renstra, cara kerja mereka kadang-kadang tetap seperti pemadam kebakaran. Misalnya, kasus kekerasan seksual, mereka akan bersuara ketika muncul sebuah. Setelah itu, mereka langsung hilang, menguap begitu saja.
Sementara berkaitan dengan peluang, Suraiya melihat sosok ulama perempuan yang potensial dapat menjadi kekuatan gerakan KUPI di Aceh. Misalnya, Umi Hanisah yang terampil berdakwah dengan bahasa masyarakat dan Prof Eka Srimulyani dari UIN Ar Raniry Aceh yang berada di jalur akademik dan banyak melakukan riset tentang ulama perempuan. Para ulama perempuan ini dapat berkolaborasi dan bersinergi untuk memadukan potensi dan ruang keahlian masing-masing. Ada pula Nurjanah yang terampil berbicara di tengah masyarakat dan majelis taklim. Ia kuat di akar rumput, tetapi ia mungkin belum terbiasa untuk berargumen dengan ulama laki-laki.
Prestasi dan Penghargaan
Beberapa prestasi dan penghargaan yang pernah diperoleh Suraiya Kamaruzzaman antara lain:
- Penghargaan dari IKAWAPI Nasional, Pegiat Sosial, Mei 2018.
- Salah satu Ikon Berprestasi Pancasila, kategori Pegiat Sosial, dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Idiologi (UKP) Pancasila, 17 Agustus 2017.
- Penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Penghargaan Perempuan Pegiat Perdamaian, April 2017.
- Sebuah apresiasi untuk Wanita Indonesia dari Tupperwere, “Wanita Inspiratif, She Can Award Indonesia, 2013.
- Penghargaan sebagai Tokoh Peduli Perempuan dari Walikota Banda Aceh, Perempuan Pembela HAM, Banda Aceh, 28 Desember 2012.
- Role model perdamaian yang diselenggarakan oleh lembaga PBB, UNDP, N–Peace Award, Asia Fasifik, mewakili Indonesia, 2012.
- The 3rd Annual List of 16 Female Role Models Fight to End Violence Against Women in their communites, from 14 countries and 4 continents, The Pixel Project, November 2012.
- Penghargaan Nasional penegakan Hak Asasi Manusia, Yap Thiam Hien Award dari Yayasan Pusat study HAM Indonesia, 2001.
Karya-Karya
Adapun karya akademik dan non akademik yang pernah dibuat oleh Suraiya Kamaruzzaman adalah;
- Penulisan bersama “Gender mainstreaming in a Disaster-Resilient Village Programme in Aceh Province, Indonesia: Towards disaster preparedness enhancement via an equal opportunity policy”, dalam International Journal of Disaster Risk Reduction, Volume 52, January 2021, 101974 https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S221242092031476X
- E-Book “Violence, internal displacement and its impact on the women of Aceh” https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9780203099292-31/violence-internal-displacement-impact-women-aceh-suraiya-kamaruzzaman
- “Women and the war in Aceh”, Inside Indonesia, 2000
- “These women want to silence all the guns, whether Indonesian or Acehnese” dalam Inside Indonesia, 2000, www.peacewomen.org.
- Penulisan bersama “Bentonite and Magnetite Filler-Modified Polyurethane Foam in Fixed Bed Column for the Adsorption of Mercury(II) Ions from Aqueous Solution” dalam http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/AIJST/article/view/18890
- Penulisan bersama, “Regenerasi Minyak Jelantah dengan Proses Adsorpsi Menggunakan Ampas Nanas (Ananas Comosus)” dalam http://www.jim.unsyiah.ac.id/JIRL/article/view/16776
- “Women and Syariah in Aceh”, Inside Indonesia Volume 79 Issue 9.
- “Agents for change: the roles of women in Aceh’s peace process”, Accord Insight: Women Building Peace, 2008.
- “Violence, internal displacement and its impact on the women of Aceh”, Violent Conflicts in Indonesia, 2006.
- Penulisan bersama, “Effects Of Pyrolysis Temperature on the Composition of Liquid Smoke Derived from Oil Palm Empty Fruit Bunches”, Rasāyan Journal of Chemistry, 2020.
- Penulisan bersama dalam buku: Perempuan Aceh Bicara: Gerakan Perempuan di Aceh Pasca Tsunami: Sejauhmana Tantangan dan Peluang? UNIFEM, 2008.
- Penulisan bersama “Study on sustainable agriculture and dimension of needs: a case study patchouli farming in Aceh Jaya”, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 2021.
- Penulisan bersama “Characterization of mechanical properties polypropylene composites film filled with corncob as reinforcement”, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 2021.
- “Women and Children in Aceh after the tsunami: disaster, survival, relief, reconstruction”, 2012.
- Penulisan bersama “Heavy Metal Removal from Wastewater Using Synthesized Silicate-1 Nanocrystal”, Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan, 2011.
- “Tindak kekerasan terhadap perempuan di Aceh dalam buku Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan”, Yayasan Jurnal Perempuan, 2005.
Penulis | : | Zahra Amin |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |
Referensi
- ↑ https://elsam.or.id/team/suraiya-kamaruzzaman-s-t-ll-m/ diakses pada 25 Juni 2021
- ↑ https://elsam.or.id/team/suraiya-kamaruzzaman-s-t-ll-m/ diakses pada 25 Juni 2021
- ↑ Ibid