Pesantren Babakan sebagai Ladang Persemaian Benih Keulamaan Perempuan (Refleksi Seorang Alumni)

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Syair1.png


Ingatlah enam syarat berhasilnya ilmu # Akan kusampaikan informasi itu beserta penjelasannya

Intelektualitas, dedikasi, persistensi, finansial  # Bimbingan guru dan waktu yang lama

Pengantar

Jika diibaratkan sebuah episode kehidupan, Babakan itu sebuah titik berangkat bagi perjalanan panjang para santrinya (mbabaki dalam bahasa Cirebon bisa berarti membuka/memulai lahan baru). Babakan adalah sebuah lahan tempat benih disemai lalu tumbuh dan membentuk pribadi-pribadi yang unik bagi setiap orang yang pernah menyinggahinya. Fase pembentukan awal dari babak kehidupan para santri ini akan menentukan kualitas mereka di masa depan.

Babakan adalah sebuah wilayah geografis kepesantrenan yang terbilang unik. Jika di tempat lain, satu pesantren terpusat di satu area, atau satu desa biasanya hanya ada satu pesantren besar, maka di Babakan terdapat puluhan pesantren besar dan kecil yang tersebar di satu desa dengan beragam bentuk tranformasi keilmuan yang dimiliki. Pada tahun 2012, tercatat ada sekitar 40 pesantren di Babakan. Pesantren Babakan berdiri, tumbuh dan berkembang oleh para Kyai yang datang dari berbagai daerah untuk mengembangkan ilmu-ilmu agama di wilayah itu. Dalam rentang waktu yang panjang, sekitar 3 abad, pesantren Babakan telah berkontribusi besar dalam pengembangan intelektualitas atau nilai-nilai keulamaan para lulusannya.

Sebagai pesantren salaf yang hanya mengajarkan ilmu agama, pesantren-pesantren di Babakan memiliki kekhasan dalam tradisi keilmuannya, dengan menggabungkan sejumlah metode pembelajaran berupa bandungan, sorogan dan klasikal (lihat Dofier, 1980). Di luar itu, para santri dapat belajar ilmu non-agama di luar pesantren. Hal ini menyebabkan pesantren dan sekolah berkembang bersama-sama di Babakan.  

Dalam tradisi pesantren, proses mencari ilmu sebagai bentuk penanaman nilai-nilai keulamaan mensyaratkan sejumlah persyaratan yang ketat. Cuplikan nadzom pada pembuka tulisan di atas merupakan ‘mantra’ wajib yang cukup populer yang menjadi prasyarat utama bagaimana proses belajar di pesantren harus dilalui. Nadzom yang biasa dinyanyikan di kelas pemula itu semacam filosofi dasar yang harus dipegang para santri dalam proses panjang menanamkan benih-benih intelektualitas atau benih-benih keulamaan, yakni harus adanya intelektualitas, dedikasi, persistensi, finansial, bimbingan guru dan waktu yang lama. Pertanyaannya, dalam waktu belajar yang panjang, sebagai salah satu prasyarat suksesnya proses pembentukan intelektualitas atau keulamaan itu, apakah kesempatan yang diperoleh santri perempuan di pesantren sama dengan laki-laki?

Karakteristik dunia pesantren yang secara ketat memisahkan dunia laki-laki dan dunia perempuan, seringkali membuatnya disalahpahami seolah dunia pesantren perempuan menjadi wilayah tertutup yang sulit dijamah. Hal ini terbukti dengan minimnya kajian terhadap pesantren perempuan. Pada kenyataannya, dunia pesantren perempuan itu memberi ruang yang begitu besar bagi pemberdayaan potensi keulamaan perempuan seperti yang terefleksikan pada peran para Nyai dan para santrinya dalam berkiprah di ruang publik. Fungsi keagenan pesantren putri dan Nyai ini berperan penting dalam konteks tranformasi keilmuan dan perubahan sosial masyarakat. Aktivitas Ibu Nyai dan para santri tidak hanya berada di area kepesantrenan, di bilik-bilik asrama dan kelas, tetapi juga memasuki ruang-ruang publik seperti memberi pengajian di masyarakat, majlis taklim, organisasi sosial-keagamaan, hingga masuk ke dunia politik atau pemerintahan. Namun sayangnya, peran dan konrtibusi itu seringkali tidak tercatat, tidak diketahui dan diabaikan dalam dunia kesarjanaan yang membicarakan tradisi kepesantrenan (lihat Srimulyani, 2012).

Pandangan bahwa pesantren membuat batasan yang demikian ketat bagi ruang gerak kaum perempuan, tidaklah selalu benar. Setidaknya, refleksi dari pengalaman saya sendiri sebagai santri selama kurang lebih 7 tahun, menunjukkan pengalaman yang berbeda. Dalam dunia yang kerap dipandang sangat ketat dalam menempatkan posisi perempuan dalam sekat-sekat dinding pesantren itu, sesungguhnya ruang privat dan publik kerap bisa dinegosiasikan.

Tulisan ini mengacu pada pengalaman pribadi saya sebagai santri putri di sebuah pesantren salaf di Babakan dengan refleksi metodologis yang saya pahami pada masa kemudian. Tentu refleksi personal ini tidak selalu dapat mewakili potret yang lebih besar mengenai pesantren Babakan dalam membentuk dan mengkader nilai-nilai keulamaan pada santri perempuan. Akan tetapi, refleksi pengalaman ini setidaknya menawarkan sebuah perspektif yang melihat adanya kompleksitas dan berbagai kemungkinan dalam menegosiasikan sebuah ruang bagi perempuan di pesantren bagi persemaian dan pembentukan nilai-nilai keulamaan itu. Pesantren dan Keulamaan Perempuan di Indonesia; Jejak Ulama Perempuan dalam Sejarah KeilmuanJejak Ulama Perempuan dalam Sejarah Keilmuan

Secara teologis, Islam menempatkan perempuan sebagai simbol spiritualitas tertinggi dengan menempatkan keridhoan perempuan sebagai jalan menuju tempat paling mulia, surga. Pemuliaan terhadap perempuan itu lahir dalam situasi masyarakat yang justru menghinakan perempuan. Nabi SAW membawa risalah kenabian dengan meyakinkan bahwa yang membedakan perempuan dan laki-laki di hadapan Sang Pencipta adalah kualitas kediriannya, kualitas keimanannya. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan punya kedudukan setara di hadapan Tuhan. Risalah ini menjadi lompatan emansipasi yang luar biasa dalam masyarakat Arab yang menempatkan perempuan dari hina dina menjadi sedemikian mulia.

Pemuliaan perempuan itu terus bertransformasi dalam catatan sejarah Islam ketika hampir di setiap periode selalu ada tokoh perempuan yang muncul secara cemerlang. Sejak masa Rasulullah SAW hingga kini, perempuan muslim berkontribusi pada kemajuan peradaban Islam di berbagai bidang: sebagai ilmuwan, pendidik, penguasa, pebisnis, pejuang/tentara, ahli hukum, dan lain-lain. Nabi SAW sendiri menemukan pendukung dan pembela yang pertama dan utama bagi dakwahnya dari seorang perempuan pendamping hidupnya, Khajidah RA. Lalu, Aisyah RA dikenal sebagai perempuan cerdas yang banyak menerima langsung transmisi keilmuan dari Nabi SAW sebagai perawi hadis dengan kapasitas keilmuan yang luar biasa. Demikian juga dengan Ummu Salamah RA.   

Kontribusi perempuan pada masa awal Islam terhadap terjaganya hadis sangatlah besar. Sebuah kajian mengungkapkan bahwa para kodifikasi hadis yang terkenal pada masa-masa awal banyak mengambil periwayatan hadis dari para guru perempuan, sebagai rujukan langsung yang otoritatif. Ibnu Hajar belajar dari 53 ulama perempuan; As Sakhawi mendapatkan ijazah dari 68 ulama perempuan; dan As Suyuti belajar dari 33 ulama perempuan, seperempat dari total jumlah gurunya (Aliyah, 2015).

Pada abad keempat, terdapat sejumlah ulama perempuan penting yang kelas-kelasnya selalu dihadiri oleh berbagai jenis audiens, laki-laki maupun perempuan: ada Fatimah binti Abdurrahman, yang dikenal sebagai As Sufiyah atas kesalehannya; Fatimah cucu Abu Dawud pengarang kitab Sunan Abu Dawud; Amat Al Walid, cucu Al Muhamili; Umm Fath Amat As Salam, putri dari hakim Abu Bakar Ahmad; serta Jumuah binti Ahmad.

Abad kelima dan keenam, para ahli hadist perempuan di antaranya Fatimah binti Al Hasan dan Karimah Al Marzawiyyah. Fatimah binti Muhammad yang bergelar Musnida Asfahan, pengajarannya tentang kitab Sahih Bukhori dihadiri oleh banyak sekali murid. Ada juga Sitt al Wuzro, yang selain dikenal ahli hadis juga ahli hukum Islam dan mengajar di Damaskus.

Abad ketujuh, Ummu Darda dikenal sebagai ahli hukum yang di antara muridnya adalah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah sendiri. Aisyah bin Saad bin Abi Waqqos, ahli hukum yang juga guru dari Imam Malik. Sayyida Nafisa, cicit Nabi SAW, putri Hasan bin Ali adalah pengajar hukum Islam, yang murid-muridnya datang dari tempat yang jauh, termasuk Imam Syafii. Ada Asyifa binti Abdullah yang merupakan Muslim pertama yang ditunjuk Khalifah Umar bin Khattab sebagai manajer dan inspektur pasar, dan masih banyak lagi.

Abad kesembilan ada Fatimah al Fihriyyah di Maroko yang mendirikan masjid al Qarawiyyin yang memiliki universitas pertama tertua di dunia yang masih berjalan hingga saat ini, dan murid-muridnya datang dari seluruh penjuru dunia. Tercatat juga Fatimah dari Cordoba dari abad ke-10 yang merupakan seorang pustakawan yang membawahi 70 perpustakaan umum dengan 400.000 buku. Abad 11-12 para ahli hukum dan ahli hadist perempuan terus lahir yang mewariskan keilmuannya kepada murid laki-laki dan perempuan. 

Dari abad ke abad, tokoh ulama perempuan yang menguasai berbagai bidang keilmuan terus lahir dan turut mewarnai peradaban dunia. Dr Akram Nadwi seorang penulis biografi perempuan muslim yang mencapai 40 volume menemukan setidaknya ada 8000 perempuan yang sangat berpengaruh dalam peradaban Islam sejak masa Nabi SAW (Aliyah, 2015).

Nyai dan Peran Keulamaan Perempuan di Indonesia

Berbicara mengenai isu keulamaan perempuan di Indonesia, tentu tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang institusi pendidikan bernama pesantren. Di Indonesia, pesantren merupakan institusi pendidikan tertua yang telah hadir jauh sebelum dikenalnya sistem pendidikan modern yang diperkenalkan melalui kolonial Belanda (lihat Dhofier 1980; van Bruinessen 1995; Federspiel 1998). Di pesantren lah, transmisi dan transformasi keilmuan berlangsung, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Sebagai institusi khas Indonesia, van Bruinessen (1995) mencatat bahwa pesantren merupakan sebuah istilah khas lokal yang tidak ditemui di tempat lain semisal di Timur Tengah. Kokohnya sistem pendidikan keagamaan di Nusantara, khususnya melalui pesantren ini membuat Timur Tengah pada akhir abad 19 awal abad 20 dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Nusantara.

Berbeda dengan kehidupan kaum perempuan di Timur Tengah, para sarjana mencatat bahwa kehidupan kaum perempuan di Indonesia pada umumnya lebih cair terkait dikotomi publik/privat. Kaum perempuan Indonesia dipandang lebih menikmati kebebasan di ruang publik dibandingkan dengan perempuan Muslim di Timur Tengah (Smith dalam Srimulyani 2012). Hal ini menegaskan karakteristik Islam di Indonesia yang khas, yang memberi ruang besar bagi kaum perempuan untuk berkiprah luas di ruang publik. Tak terkecuali peran Ibu Nyai dalam dunia pesantren. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pendapat Steenbrink (1986) yang beranggapan bahwa peran istri kyai/nyai di pesantren tidaklah penting.

Dalam institusi pesantren salaf seperti pesantren Babakan di mana kepemimpinan pesantren bersifat patriarkhis, peran dan kehadiran Ibu Nyai dalam proses pendidikan pesantren penting untuk dicatat. Sebagai posisi yang melekat pada kyai, terlepas dari latar belakang sosial atau pendidikannya, Nyai memiliki legitimasi untuk melaksanakan tugas-tugas terkait kekyaian. Nyai merupakan representasi kyai di pesantren putri: menjadi pemimpin pesantren, pengajar hingga aktif dalam berbagai kegiatan sosial/forum, dan organisasi keagamaan.

Sejumlah tokoh Nyai memiliki akses yang istimewa terhadap ilmu pengetahuan agama, khususnya melalui keluarganya, dalam hal ini ayahnya. Sebagai contoh, ulama perempuan bernama Nyai Khoiriyah, yang tak lain adalah putri pertama KH Hasyim Asy’ari. Pada saat belum ada sekolah/pesantren khusus untuk perempuan, ia dididik langsung oleh ayahnya, Kyai Hasyim Asy’ari, bahkan diijinkan ikut belajar bersama santri laki-laki (dengan tirai pemisah), memiliki akses terhadap kitab-kitab, dll (Srimulyani, 2012: 88).

Pada awal abad 20, kaum perempuan mulai mendapat kesempatan memasuki dunia pendidikan baik sebagai murid, guru, pemimpin atau pendiri sekolah perempuan. Akan tetapi, apa yang membuat Nyai Khoiriyah istimewa saat itu sebagai pemimpin pesantren ialah karena ia memimpin pesantren laki-laki dan juga memimpin sejumlah staf laki-laki melalui pesantren yang didirikannya bersama suaminya KH. Maksum Ali, Pesantren Seblak di Jombang Jawa Timur (2012: 88).

Kiprah keulamaan Nyai Khoiriyah terbilang istimewa, selain menginisiasi dan memimpin pesantren putri yang pertama, ia juga mendirikan sekolah perempuan pertama di Mekah, Madrasah lil Banat, tempat ia tinggal selama 19 tahun mengikuti suami keduanya setelah suami pertama wafat. Sekembalinya dari Mekah, ia kembali memimpin pesantren Seblak dan aktif di berbagai kegiatan sosial keagamaan. Keulamaan Nyai Khoiriyah juga diakui di antaranya dengan tercacatnya beliau sebagai ulama perempuan pertama dan satu-satunya yang masuk jajaran Bahsul Masail di PBNU dan menjadi anggota Badan Syuriah PBNU yang beranggotakan para kyai senior pada 1960an, hingga menjadi Ketua Muslimat NU yang pertama (Srimulyani, 2012).

Dalam dunia kepesantrenan, pada umumnya, saat Kyai wafat, Nyai mengambil alih peran memimpin pesantren meski umumnya terbatas pada santri putri. Jika yang menggantikan putranya, maka Nyai mendapat tempat istimewa sebagai orang yang dimintai nasihat mengenai urusan-urusan kepesantrenan. Di luar itu, terdapat kasus yang terbilang jarang terjadi: Nyai menjadi pemimpin bagi santri putri dan putra sekaligus. Hal ini dicontohkan dalam kasus Pesantren Seblak yang didirikan pada tahun 1921 yang kerap dijadikan rujukan penting mengenai peran kepemimpinan perempuan di pesantren. Karena keunikannya itu, pesantren Seblak pun menjadi prototipe bagi model kepemimpinan perempuan di pesantren.

Dalam konteks Babakan hari ini, dalam kapasitas keulamaan yang berbeda, kita dapat melihat keberhasilan Nyai Masriyah Amva yang memimpin Pesantren Kebon Jambu sepeninggal suaminya, Kyai Muhammad, dengan capaian yang terbilang istimewa. Nyai Marsiyah tidak hanya berhasil memimpin pesantren Jambu, baik santri laki-laki maupun perempuan, membawahi para staff/ustadz laki-laki dan perempuan, tetapi juga aktif berkiprah di ruang publik sebagai penulis/penyair yang cukup produktif beserta berbagai aktivitas lainnya. Di sini, kemampuan manajerial Nyai dalam mengelola pesantren tampak menonjol.

Peran Nyai semakin penting seiring perkembangan zaman saat para Nyai semakin mendapatkan ruang untuk mengenyam pendidikan formal yang lebih tinggi. Di sekolah-sekolah formal yang berafiliasi dengan pesantren seperti saat ini di mana pesantren memiliki sekolah tinggi atau kampus, maka para Nyai pun melakukan tranformasi keilmuan itu tidak hanya kepada santri perempuan tetapi juga laki-laki.

Menurut catatan Srimulyani, peran Nyai ini meluas sejak tahun 80an, saat majlis taklim merebak, dan anggotanya kebanyakan perempuan. Nyai memiliki peran penting memediasi interaksi pesantren dengan masyarakat. Ia menjadi agen bagi penafsiran modernisasi bagi perempuan di pedesaan (2012: 47).

Terkait dengan meluasnya peran Nyai di ruang publik dapat digambarkan sebagai berikut:

(Diadaptasi dari Srimulyani, 2012: 105)

Pesantren Babakan sebagai Tempat Persemaian Benih Keulamaan: Sebuah Refleksi Pengalaman

Sebagai sebuah refleksi, saya sungguh beruntung mendapat kesempatan menjadi santri Babakan. Perjalanan yang saya lalui selama menjadi santri itu semacam benih yang ditanam di tanah gersang, yang tumbuh menjadi kaktus yang tahan terhadap kering dan panasnya jalan panjang kehidupan. Babakan adalah tempat persemaian bagi benih agar para santrinya tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tak mudah menyerah dalam menapaki alur kehidupan pada fase berikutnya. Jika saya dan banyak alumni Babakan hari ini ditanya pada fase mana saat-saat paling penting dalam menjejaki langkah-langkah kehidupannya, pada umumnya jawabannya adalah saat mesantren di Babakan.

Keberuntungan saya itu di antaranya disebabkan oleh beberapa hal: pertama, keterlibatan saya secara aktif dalam organisasi kepesantrenan sejak tahun ketiga menjadi santri yang memungkinkan saya belajar menjadi asisten atau mengajar di kelas pemula hingga turut belajar memimpin organisasi kepesantrenan. Kedua, mendapat kesempatan berinteraksi secara dekat dengan figur Nyai sehingga akses ke ruang publik pun lebih terbuka. 

Berinteraksi dekat dengan almarhumah Nyai Munjiyah (istri alm KH. Masduqi Ali) atau yang biasa dipanggil Mimi, sebagai pengasuh pesantren di Pondok Pesantren Miftahul Mutaallimat (PPMM), memberi saya banyak pemahaman bagaimana aktivitas Nyai yang luar biasa: mulai menangani persoalan keseharian para santri, menjalani rutinitas ritual yang padat, mengajar hingga beraktivitas di ruang publik. Mimi dikenal sebagai sosok yang suka bersilaturahmi, selalu bepergian menghadiri berbagai acara, mengunjungi rumah-rumah penduduk sekitar pesantren, kerabat hingga rumah santri-santrinya. Kehidupan terasa berdenyut kencang saat ada Mimi di sekeliling kami karena kegesitannya.

Dalam lingkungan pesantren salaf, terdapat pola-pola yang unik dalam membangun relasi santri-Nyai. Nyai mendidik dengan keteladanan, melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konsep gender, Srimulyani (2012) menyebutnya santri ibuism, yakni sebuah peran yang menempatkan Nyai sebagai pemelihara, pelindung, pengasuh dalam berbagai aktivitas kepesantrenan sebagai bagian dari kewajiban, tanpa mengharapkan balasan. Di sini, Nyai merupakan “the symbolic mother” yang merawat, mengasuh dan mendidik para santrinya. Interaksi yang intens dalam keseharian itu telah membangun relasi santri-Nyai seperti anak-ibu.

Di luar interaksi dengan Nyai, aktivitas membantu urusan-urusan kepesantrenan membuat saya memiliki kesempatan berinteraksi dengan berbagai pihak. Selain banyak mengikuti aktivitas Mimi dalam kunjungan-kunjungannya ke luar pesantren, saya juga bisa leluasa berdiskusi para asatidz (para guru laki-laki) yang mengajar di pesantren putri, mengikuti sejumlah kegiatan kepesantrenan di luar area pesantren hingga membantu pengajian di masyarakat. Hal ini membuka banyak ruang kemungkinan bagi saya dalam melatih dan mengembangkan potensi diri dengan berinteraksi di ruang publik.

Dalam dunia kepesantrenan yang saya hayati, pendidikan karakter atau pembangunan akhlakul karimah adalah hal yang utama. Nilai-nilai itu bukan sekedar jargon, akan tetapi merupakan sesuatu yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari: kesederhanaan, sikap menghargai, tawadhu, merupakan praktik keseharian yang membentuk karakter para santri. Dengan kata lain, pesantren Babakan meletakkan dasar bagi terbentuknya potensi keulamaan perempuan pada aspek kediriannya. Dalam konteks keteladanan ini, berkah atau barokah punya tempat penting dalam tradisi keilmuan pesantren. Seberapa besar pun usaha para santri untuk belajar, jika tanpa diiringi keberkahan kyai/nyai maka akan sia-sia. Melalui interaksi saya dengan Mimi, saya dapat merasai betapa penting aspek doa dan keberkahan ini bagi kesuksesan tranformasi nilai-nilai keulamaan di pesantren. Hal ini tentu tak terlepas dari peran penting kitab pedoman para santri dalam menuntut ilmu, Ta’lim Muta’alim, sebagai kitab wajib di pesantren yang menempatkan posisi guru dan keridhoannya sebagai hal utama.

Sebagai pemimpin keagaaman, Nyai pada umumnya banyak menjalani ritual untuk peningkatan kekuatan spiritualitasnya. Kekuatan spiritual ini pula yang ditranformasikan kepada para santrinya. Tidak jarang Nyai mengajarkan wirid tertentu kepada para santri sebagai bekal untuk mencapai kekuatan spiritual tertentu agar memiliki ketahanan dalam beratnya melalui proses tranformasi keilmuan itu. Saya ingat saat berpamitan pulang dari pesantren, selain pesan-pesan moral Mimi juga membekali saya dengan sejumlah wirid atau bacaan tertentu. Dengan gesture tubuhnya yang khas dengan meniupkan doa-doa di ubun-ubun saya setiap kali berpamitan, telah membangun kelekatan spiritual dan personal yang khas antara Nyai dan santrinya. Hal ini, sekali lagi, merupakan cara bagaimana para Nyai ingin membekali santrinya dengan kekuatan spiritual sebagai bekal yang penting saat santri kembali ke kehidupan nyata yang tentunya penuh dengan tantangan.

Sementara itu, dari sisi potensi intelektualitas, seperti kebanyakan pesantren dengan masa belajar 3-6 tahun pada kisaran usia SMP-SMA, maka pelajaran-pelajaran yang didapat di pesantren Babakan merupakan materi-materi pengetahuan agama dasar yang menjadi bekal yang sangat penting pada proses belajar para santri pada tingkat lanjut maupun pada fase kehidupan selanjutnya yang dipilihnya. Kemampuan membaca kitab kuning misalnya, menjadi modal penting bagi mereka yang ingin mendalami ilmu keislaman selanjutnya, baik melalui lembaga formal maupun non-formal.

Beberapa Hambatan Kultural

Sebagai lembaga pendidikan dengan corak tradisional, pesantren putri sebagai tempat tersemainya bibit-bibit keulamaan perempuan mau tidak mau menghadapi sejumlah hambatan kultural. Pertama, terkait relasi sosial dan kultural yang bersifat partiarkhis dengan batasan-batasan yang ketat. Hal ini membuat peran Nyai lebih sering terbatas pada dunia santri perempuan saja. Padahal dengan potensi keilmuan yang dimilikinya, sebagaimana dicatat dalam sejarah Islam, ulama perempuan dapat mentransformasikan keilmuannya bagi semua santri, laki-laki atau perempuan. Kedua, dari sisi potensi santri. Sebagian besar santri putri yang mondok di Babakan berasal dari pelosok-pelosok desa di Jawa Barat, terutama Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, Majalengka dan sekitarnya. Pada tahun 1990an, dan mungkin saja hari ini sudah berubah, melalui pola-pola kehidupan tradisional yang dianut masyarakat, banyak santri putri meski dengan potensi yang sangat baik dan masa belajar yang belum juga usai akan segera ditarik pulang untuk menikah jika dianggap waktunya tiba. Hal ini tentu berpengaruh pada proses transmisi keilmuan yang membutuhkan waktu lama seperti disebut dalam kitab Alala di atas. Ini berarti potensi keulamaan juga seringkali terbentur dinding kultural yang sedemikian keras menyangkut posisi dan peran perempuan secara tradisional, yakni terbatasnya ruang dan waktu yang didedikasikan untuk belajar. Dengan kata lain, potensi keulamaan itu pada umumnya berkembang bagi mereka yang memilih studi lanjut dengan dasar-dasar pendidikan yang diperoleh di Babakan tadi.

Penutup

Dalam perjalanan intelektual saya, fase sebagai santri Babakan telah meletakkan dasar-dasar penting bagi berkembangnya nilai-nilai keulamaan, yakni character building yang berorientasi pada penanaman akhlak mulia. Milieu pesantren yang sangat menghargai ilmu pengetahuan seperti diajarkan dalam kitab kecil Alala itu menjadi pesan penting bagaimana pesantren Babakan telah meletakkan dasar-dasar keulamaan berupa tempaan yang bersifat prinsip bagi para pembelajar. Pembentukan karakter santri dengan tempaan sedemikian rupa menjadikan para alumni Babakan umumnya memiliki keteguhan dan keuletan dalam melanjutkan perjalanan intelektual mereka di tempat lain. Ziyadah doa dari para kyai/nyai serta konsep keberkahan hingga wirid-wirid tertentu yang diwariskan dari pesantren telah menjadi modal penting dalam perjalanan intelektualitas para santri di kemudian hari. Karakteristik pembelajaran yang menekankan kekuatan aspek ruhaniyah itu menjadi penting dan khas di dunia pesantren.

Kedua, dari sisi transformasi keilmuan, Babakan telah meletakkan dasar-dasar keilmuan bagi para santrinya yang menjadi pondasi penting bagi pengembangan nilai-nilai keulamaan pada fase pendidikan selanjutnya. Tentu, tidak semua lulusan santri Babakan berkiprah dalam dunia keilmuan. Akan tetapi, pesantren telah berjasa membentuk pribadi para santri sedemikian rupa dalam bidang apapun mereka berkiprah.

Keteladanan menjadi hal utama yang ditunjukkan para Nyai yang juga kerap menjadi motivator utama bagi para santrinya dalam menemukan potensi diri mereka. Saya sendiri mendapatkan kesempatan mengembangkan potensi kedirian sebagai santri putri saat mengaji di pesantren Babakan. Babakan, yang menjadi babak awal penanaman nilai-nilai keulamaan, menjadi fase penting bagi diri saya dalam menekuni dunia yang saya minati pada masa selanjutnya. Dengan kata lain, Babakan telah berkontribusi besar dalam menanamkan akar-akar keulamaan pada diri para santrinya yang kemudian berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan. Wallahu’alam.

Daftar Pustaka

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.  Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1980.

Federspiel, Howard M. Indonesia in Transition: Muslim Intellectuals and National Development.  Commack, N.Y.: Nova Science Publishers, 1998.

Martin van, Bruinessen. Kitab Kuning: Pesantren Dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia.  Bandung: Mizan, 1995.

Srimulyani, Eka. Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia : Negotiating Public Spaces.  Amsterdam: Amsterdam University Press, 2012.

Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen. Cet. 1. ed.  Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1986.

Aliyah, Zainab. Great Women in Islamic History: A Forgotten Legacy. 2015

http://www.youngmuslimdigest.com/study/02/2015/great-women-islamic-history-forgotten-legacy/. Acceseed 2 and 22 April 2017.

Penulis; Neng Yanti Khozana

(Doktor Antropologi dari Monash University, Alumni Pondok Pesantren Miftahul Muta’allimat Babakan Ciwaringin Cirebon (1988-1994), Dosen di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung).

(Disampaikan dalam Diskusi Paralel Kongres Ulama Perempuan Indonesia, 26 April 2017, di Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon).